Anda di halaman 1dari 11

Menyoal Wacana "Golput"

dari Sisi Hukum Tata Negara


Muntoha

Abstract
Attitude and action of white passive voter is the right and itis valid iegaily, but thepolitical
process forthe future is the determination of national leadership that itneeds the active
participation from public as the right ofstate. Ifthe amountof passive votergroup are
reaching till over 50 %, itmeans thatthe white group has delegatedthegeneralelection,
even the meaningof white grouphave changed as manifestation ofdevelopmentofstate.

Pendahuluan

Wacana "Golput" kini mencuat akan dikenakan hukuman pidana adalah or


kembali menjeiang Pilpres putaran II, setelah ang yang menghalangi seseorang yang akan
beberapa bulan yang lalu media massa ramai melakukan haknya untuk memillh, dengan
mengekspos wacana golput sebelum pemilu menggunakan kekerasan atau ancaman
diselenggarakan. Namun, bukan karena kekerasan. Dengandemiklan, bukanlah golput
semakin dekatnya penyelenggaraan pemilu tersebut yang akan dikenakan hukuman
tersebut yang menyebabkan golput ramai pidana, tetapi kekerasan itulah yang akan
dibicarakan, tetapi pada waktu itu ada isu dikenakan hukuman pidana karena
bahwa dalam RUU Pemilu, ada pasal yang merupakan perbuatan kriminal.^
menyebutkan bahwa orang-orang yang Terjadinya golput biasanya disebabkan
berkampanya golput, akan dikenakan karena beberapa hal, yakni ketidakpercayaan
hukuman pidana. Kenyataannya, setelah RUU masyarakat terhadap partai politik, tidak ada
Pemilu itu disahkan menjadi UU tidak ada sarana untuk menyalurkan aspirasi akibat
klausul yang menyebutkan bahwa golput atau parpol pilihan tidak lolos pemilu, atau dapat
orang yang mengajak golput akan dikenakan juga disebabkan karena adanya anggapan
hukuman pidanaJ Dalam UU tersebut, yang dari sebagian masyarakat bahwa pemilu

^Htto: IIwww. Yamaio. Or. Id. / Media Sipil On Line. Com.. "Golput SiapaTakut", Edisi 25/16-31 Maret
2003, him. 1.
'Ibid.

124 JURNAL HUKUM. NO. 25 VOL.11. JANUARI2004: 124-134


Munto ha. Menyoal Wacana "Golput"...

selama ini hanya sebagai kewajiban untuk akuntabilitas pejabat penyelenggara r^egara
memilih dan hanya merupakan seremonial yang kecil.®
politik.^ Golput, juga merupakan bentuk Apakah goiput itu hak, ataukah
ungkapan kekecewaan, kecewa terhadap merupakan sikap pembangkangan? Adayang
rezim pemerintahan yang sedang berkuasa mengatakan bahwa golput atau kampanye
dan sistem pemilu yang dianggap tidak golput adaiah melawan hak, padahal menurut
demokratls.** Oleh karena itu menurut Arbi Sanit.pendapat semacam ini tidak rasional.
Syamsudin Haris,® bila sejumlah besar Baginya, dalam melihat golput hams bertoiak
masyarakat menyatakan golput, berarti ada dari pemilik suara atau manusianya, bukan
yang salah dalam sistem polltik Indonesia. bertoiak dari negaraatau partai. Haknya adaiah
Para politisi dan partainya harus menjadikan untuk menggunakan hak atau tidak.'Tentu saja
kondisi seperti itu sebagai pelajaran bahwa pendapat Arbi Sanit ini hanya meiihat dari
mereka masih mengecewakan rakyat. Untuk aspek politisnya saja, dan oleh karenanya
itu, menurutnya dalam membahas sistem tullsan ini akan mencoba mencermati
pemiiu para poiitisi di Dewan Perwakiian persoalan golput ini dari perspektif Hukum
Rakyat (DPR) harus memperhatikan Tata Negara.
beberapa hai mendasar. Di antaranya adaiah
kuaiitas keterwakilan anggota iegisiatif.
Akar Persoalan "Goiput" di Indonesia
Menurutnya, sistem pemilu yang baik harus
mencapai tiga hal, yaitu peningkatan kuaiitas Pada umumnya, orang mengartikan
wakil-wakil rakyat dalam lembaga Iegisiatif, golput sebagai tindakan orang yang secara
peningkatan kuaiitas keterwakilan di mana sengaja dan sadar untuk tidak ikut mencoblos
semua eiemen masyarakat terwakili, dan dalam pemilu karenaalasan tidak percaya dan
peningkatan kuaiitas keterwakiian masyarakat tidak punya calon (pilihan) yang disukai.^ atau
dalam memilih wakll-wakil mereka. Jika ketiga membuat pilihan dengan tetap menggunakan
hal itu terpenuhl, maka kebutuhan masyarakat hak pilih tapi yang dicoblos adaiah bukan
akan akuntabilitas pejabat publik dan wakii gambar, tapi bagian lain atau putihnya, artinya-
mereka akan terpenuhi pula. Sebab tidak melawan pemilu secara total tapi
kelemahan mendasar yang dimiliki bangsa membatalkan suaranya sendiri.^ Dengan kata
Indonesia selama ini adaiah tingkat lain, golput dapat digolongkan kedalam

^Mohammad Chudori, "Golput tak Bermakna", dalam httD://wvw. Komoas. Com.. 12Desember 2003, him 1.
*http://www. Yamajo.... op. cit, him. 1.
^Syamsudin Haris, "Fenomena Golput Mendorong Parpol Meningkatkan Kinerjanya", dalam httD://www.
Swara. Net. Id.. 24 Juli 2004, him. 1-2.
®Syamsudin Haris, Ibid., him. 2.
'Arbi Sanit, dalam "Golput Siapa Takuf, op. cit., him. 2.
®Muhammad Qodari, dalam "Golput padaPiipres Putaran II Tak Akan Besar", htto://www SuaraMerdeka.
Com.. Rabu, 21 Juli2004, him. 1.
®Arbi Sanit, op. c/f., him. 1.

125
beberapa bentuk dan cara, berupa (a) penyelenggaraan pemilu ketika itu,
merusak kartu suara, misalnya dengan disebabkan telah terbentuk sistem kepartaian
sengaja mencoblos lebih dari satu gambar yang hegemonik atau hegemonic party sys
atau pilihan, (b) membiarkan kartu suaratidak tem (HPS). Dalam sistem kepartaian yang
dicoblos, sehingga tidak terdefinlsl pilihannya, hegemonik, keberadaan partai-partai politik
dan (c) tidak menggunakan haknya dengan dan organisasi sosial diakui tetapi perannya
cara absen dari tempat pemungutan suara dibuat seminimal mungkin, terutama dalam
(TPS)J'' Sedangkan jika diklasifikasikan pembentukan pendapat umum. Maka, dengan
berdasarkan spiritnya, goiput dapat dilakukan sistem kepartaian yang demikian inilah
dengan, pertama cara tidak sengaja berdampak pada keberadaan partai-partai
(keceiakaan semata) yang bisa terjadi karena lain, yaitu PPP dan PDI yang hanya berfungsi
alasan teknis-administratif, misalnya iupa, artifisial, sementara GOLKAR sebagai partai
tidak/belum terdaftar, atau karena kendala dan politik yang dominan. Konsekuensinya,
halangan darurat yang tidak dikehendaki; dinamika yang terjadi dalam partai politik
kedua ketidakpedulian poiitlk (apatisme) yang sebenarnya bukan sebagai "faktor
biasanya terjadi karena berpendirian bahwa berpengaruh" (independent variabel) terhadap
pemilu bukan sesuatu yang berkaitan dengan peningkatan kualitas demokrasi, karena
kepentingan dirinya secara langsung; dan; semua aturan main yang ada diciptakan untuk
ketiga, semangat kesengajaan yang biasanya memelihara sistem kepartaian yang hegemonik
dilandasi oleh prinsip perlawanan itu." Terciptanya sistem kepartaian yang
(pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat hegemonik itu karena dukungan beberapa
dengan sistem pemilu, tidak sesual dengan faktor sebagai berikut:"
partai kontestan, atau karena melihat adanya 1. Dibentuknya aparatur keamanan yang
fakta-fakta manipulasi." represif dengan tugas menjaga ketertiban
Secara historis, istilah goiput untuk dan mempertahankan aturan politik dan
pertama kalinya muncul menjelang pemilu stabilitas negara. Stabilitas politik telah
1971, pemilu pertama Orde Baru di bawah menjadi "bahasa resmP dalam setiap
kepemimpinan Presiden Sceharto. Saat itu itu kebijakan pemerintah dan militer selama
sekelompok orang memilih menjadi goiput masa Orde Baru Itu, maka dibentuklah
karena menilai pemilu waktu itu tidak berbagai lembaga untuk mendukungnya,
demokratlsJ2 Ketidakdemokratisan seperti BAKIN, Kopkamtib, dan Opsus;

" ArieSujito, Refieksi dan Aksi untuk Rakyat{Ce\a\^ar\ ke-1) (Yogyakarta: IRE-Press, 2004), him. 54.
'V6/d.
i^Fadlllah Pulra, PartaiPolitik dan Kebijakan Publik (Cetakan ke-2) (Yogyakarta: Pustaka Peiajar, 2004),
him. 104.
"Abdul Azis Thaba. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), him.
210-212.
"/b/d..hlm.211.

126 JURNAL HUKUM. NO. 25 V0L11. JANUARI 2004: 124-134


Munto ha. Menyoal Wacana "Golput"...

2. Proses depolitisasi massa agar negara masing-masing, hanya sekedar memudahkan


dapat memutuskan perhatian pada pemilihan umum (kilahnya).^® Saat itulah
pembangunan ekonomi. Depolitisasi golput mulai dikumandangkan oleh salah
massa dibutuhkan untuk menjamin seorang pelopornya ketika itu adalah Arief
pelaksanaan pembangunan ekonomi. Budiman. Meski tidak terorganisir dan
Aktivitas mobilisasi massa dalam proses merupakai) gerakan kultural, tetapi golput
politik biasanya dilakukan oleh Parpol selalu hadir dalam setiap pemilu. Maklum
pada masa Orde Baru itu; Soeharto ketika itu jelas-jelas memaksa
3. Emaskulasi dan restrukturisasi partai- masyarakat untukmemilih golkar. Oleh karena
partai politik yang dominan selain golkar, itu, kampanya golputpada waktu Itu dilakukan
terutama sebelum pemilu; dan dengan menyebarkan tanda gambar golput,
4. Dikeluarkannya hukum-hukum pemilu yang bentuknya miiip dengan tanda gambar
dan aturan pemerintahan sedemikian golkar yang berada dalam bidang segi lima,
rupa untuk memungkinkan partai yang tetapi wamanya putlh tanpa lambang pohon
didukung oleh pemerintah/militer (Golkar) beringin di tengahnya.'®
selalu menang dalam pemilu, seperti Sebagai follow up dari gagasan
dalam proses seleksi calon, kampanye, penyederhanaan partai-partai politik ketika itu,
dan intervensi pemerintah dalam tepatnya pada tahun 1973 pemerintah Orde
kehidupan parpol. Baru menerapkan kebijakan restrukturisasi
Implementasi dari dukungan beberapa partai. Pada waktuitu,empat partai Islam(NU,
faktor di atas, dalam kehidupan kepartaian di Parmusi, PSIl, dan Perti) disatukan kedalam
Indonesia pada masa Orde Baru telah wadah politik tunggal, yaitu PPP (Partai
mengakibatkan terjadinya keterpasungan Persatuan Pembangunan). Akibatnya, partai
(emaskulasi). Hal itu diawali dengan mulai tersebut tidak pemah mampu bekerja secara
munculnya gagasan-gagasan yang efektif sebagai sebuah unit tunggal yangkokoh,
menghendaki disederhanakannya partai- karena sejak kelahirannya hingga
partai politik yang ada pada saat itu, bahkan pettengahan tahun 1980-an. partai tersebut
gagasan yang menonjol pada saat itu adalah terus-menerus dilanda berbagai konflik inter
perombakan struktur politik kearahsistem DwI nal berkepanjangan di antara unsur-unsur
Partai. Maka pada tahun 1970, Presiden partai, khususnya antara NU dan Parmusi.
Soeharto ketika itu dihadapan 9 (sembilan) Pokok-pokok pertikaian yang mengganggu
partai politik menganjurkan untuk kehidupan politik PPP merentang dari isu-isu
mengadakan pengelompokan partai, tidak yang berkaitan dengan komposisi
untuk melenyapkan partai-partai, melainkan kepemimpinan partai hingga proses
setiap partai tetap memiliki identitasnya pencalonan wakil-wakil partai di parlemen.

^®lmam Suhadl, Cita-cita danKenyataan Demokras/(Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Hukum


Universltas Islan Indonesia (Ull), 1981), him. 46.
'®Fadillah Putra,op. cit., him. 104-105.

127
Situasi yang^ tidak menggembirakan itu tidak dibuat untuk keperluan penyatuan asas (asas
hanya menghalangi kemampuan PPP untuk Pancasila). Tidak adanya "tantangan" berarti
berperan sebagai artikulator yang efektif bagi daii partai-partai yang ada - khususnya PPP
aspirasi-aspirasi sosial-politik Islam, tetapijuga dan PDi - lingkup penyatuan asas kemudian
menghasilkan citra negatif partai di kalangan diperluas yang mencakup seluruh organisasi
para pendukung alamiahnya sendiri, yaitu kemasyarakatan.^^ Dalam masalah ini
umat Islam. Sebagian karena hal tersebut, kemudian menjadi suatu kewajaran ketika
sejumlah besar umat Islam, termasuk banyak timbul banyak tantangan. Keberatan-keberatan
pemimpin dan aktivisnya yang berpengaruh, masyarakat di seputar isu penunggalan asas
memutuskan untuk menyuarakan aspirasi berkisar dari pelanggaran hak berserikat
sosial-politik mereka melalui organisasi politik sampai penghjiangan ciri, sifat, atau watak
yang lebih efektif, yaitu Golkar." Nasib serupa yang (bisa juga) bersifat keagamaan.
juga harus dihadapi oleh dua partai politik Pemerintah pun sebenarnya ketika itu, tidak
kristen dan tiga partai politik "nasionalis" (PNI, dapat menjawab keberatan-keberatan dari
IPKi, Murba, Partai Katolik, dan Parkindo) yang masyarakat karena sesungguhnya kebijakan
meleburkan diri kedalam Partai Demokrasi tersebut melanggar elemen-elemen
Indonesia (POI). Jadi, praktis ketika Itu partai demokrasi.'^
yang tersisa tinggal PPP, Golkar (non partai), Kemudian puncak dari keterpasungan
dan PDI. kehidupan kepartaian di Indonesia tersebut
Setidaknya, upaya pemasungan mencapai titik kulminasinya dan menlmbulkan
kehidupan partai politik di masa Orde Baru perlawanan-perlawanan politik, adalah ketika
terus berlanjut hingga tahun 1982. Dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDi) "dipecah"
daiih kekerasan telah mewarnai kampanye oleh Pemerintah Orde Baru dengan cara tidak
pemilu 1982, telah membuat pemerintah mengakui kepemimpinan Megawati Sukarno
leluasa untuk berpendapat bahwa Putri, dan hanya mengakui PDI yang dipimpin
keberagaman asaslah yang menjadi penyebab oleh Soerjadi.
"keberingasan". Dengan keberagaman asas Perpecahan dl tubuh PDI tersebut
itu, partai-partai hanya memperhatikan atau menlmbulkan kemelut berkepanjangan yang
memperjuangkan kepentlngan sempit mereka pada akhirnya mengakibatkan peristiwa
sehingga mengakibatkan kepentlngan berdarah pada tanggai 27 Juli 1996. Peristiwa
nasional bisa terabalkan. Maka, segera inl disebabkan sikap dari aparat keamanan
setelah pidatoPresiden Soeharto di DPRpada yang bertindak sangat represlf kepada massa
tanggai 16 Agustus 1982 legal Arrangement pendukung PDI versi Megawati SoekamoPutri

"Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Cetakan ke-1, Paramadina, Jakarta, 1998, him. 231 - 232.
"Bahtiar Effendy, Repolitisasi Islam: Pemahkah Islam BerhentiBerpolitik? (Bandung: Mizan, 2000), him.
232.
"/b/d.,hlm. 233.

128 JURNAL HUKUM. NO. 25 V0L11. JANUARI2004: 124-134


Muntoha. MenyoalWacana''Golpuf...

yang menduduki Kantor Pusat PDI di Jalan sepakat dengan sistem pemilu, tidak sesuai
Diponegoro Jakarta. Dari peristiwa inilah dengan partai kontestan, atau karena melihat
muncul berbagai perlawanan susulan dari adanya fakta-fakta manipulasi, maka maraknya
para aktivis gerakan Pro demokrasi untuk isu golput sepanjang penyelenggaraan pemilu
menentang kezaliman Pemerintahan Orde pada masa pemerintahan Orde Baru adalah
Baru. Itulah sebabnya pelaksanaan sistem sesuatu yang paralel dengan format politik
ketatanegaraan Indonesia menjadi tidak yang teiah dibangun oleh rezim pemerintahan
sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan ketika itu. Pemerintahan Orde Baru lebih
yang demokratis. Dengan demikian, maraknya menghendaki suatu tatanan pikir yang iebih
golput sepanjang pelaksanaan pemilu di realistis dan pragmatis, diutamakannya
masa Pemerintahan Orde Baru diibaratkan kepentingan nasional, terciptanya suatu
sebagai sebuah kewajiban politik dalam tatanan yang lebih stabil, iebih didasarkan
bentuk protes atas sistem pemerintahan yang pada iembaga-lembaga, dan menghendaki
tidak demokratis.Maka, di masa ini pimpinan dan pemerintah yang kuat.^^ Hal
terminologi oposisi barangkali masih relevan inilah yang menyebabkan konfigurasi politik
disematkan pada golput, karena kala itu Orde Baru dapat dlklasifikasikan sebagai
gerakan yang dipopuierkan oleh tokoh oposan konfigurasi yang otoriter.^^ Dengan penguatan
Arief Budiman ini memang untuk menentang peran eksekutif yang lebih domlnan,
sistem politik otoriterrezim Soeharto.^^ otoriterisme format politik itu diantaranya telah
melahirkan UU. No 15 Tahun 1969 tentang
"Golput" Hak atau Pembangkangan Pemilu dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang
Susduk MPR/DPR/DPRD. Kedua undang-
Dengan merunut secara kronologis undang politik itu telah memberi peran yang
kepada akar persoalan golput di Indonesia begitu dominan kepada pemerintah untuk
yang terklasifikasikan berdasarkan spiritnya menyelenggarakan pemilu yang merupakan
bahwa golput yang masuk dalam kategori kehendak sepihak pemerintah dan memberi
pembangkangan adalah golput yang jalan bagi presiden untuk memasang tangan-
didasarkan atas semangat kesengajaan dan tangannya di MPR, DPR, dan DPRD, sehingga
dilandasi oleh prinsip perlawanan politik nasional tertumpu pada kehendak-
(pembangkangan), balk itu karena tidak kehendak politik presiden.^^

"Koirudin, Profit Pemilu 2004;EvaluasiPelaksanaan, l-lasildan Penibahan Peta Politik Nasional Pasca
PemiluLegislatif2004 (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), him. 82.
^^Fadiliah Putra, op. cit., him. 105.
^Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif
danLegislatifNegara Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977), him. 94-95.
"Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), him.
296.
him. 297-298.

129
Kemudian dilahirkan pula UU No. 3, UU atau menurut hukum." Pada umumnya,
No. 4,, dan UU No. 5 Tahun 1975, disusui negara berdasarkan hukum adalah negara di
kemudian pada tahun 1985 telah ditetapkan mana ada saling percaya antara rakyat dan
pula UU No. 2 Tahun 1985 tentang Pemilu, pemerintah. Rakyat percaya pemerintah tidak
UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik akan menyalahgunakan kekuasaannya, dan
dan Golkar, dan UU No. 4 Tahun 1985 tentang sebaliknya pemerintah percaya bahwa dalam
Susduk MPR/DPR/DPRD. Kesemua undang- menjalankan wewenangnya, pemerintah akan
undang polltlk ini hanya sebagai legalarrange dipatuhi dan diakui oleh rakyat." Oleh karena
ment untuk menciptakan sistem politik yang itu, untuk dapat dikatakan bahwa suatu
efektif dalam upaya menangani berbagai pemerintahan itu demokratis (negara hukum
tantangan dari kekuatan sosial politik lain atau yang dinamis) harus terpenuhi ciri-ciri sebagai
partai oposisi yang tidak sepaham dengan berikut;"
negara.^5 Impllkasinya adalah golongan atau 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain
kelompok apa pun yang beroposisi (partai menjamin hak-hak individu konstitusi
oposisi) ditenggelamkan di balik bangunan harus pula menentukan cara prosedural
kokoh negara dan UUD 1945. Artinya, produk untuk memperoleh perlindungan atas
struktur kelembagaan formal berupa peraturan hak-hak yang dijarnin;
perundang-undangan yang telah dihasilkan itu 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak
tidak menyediakan saluran partisipasi pada memihak;
partai oposisi. Dengan demikian, sikap dan 3. Pemilihan umum yang bebas;
tindakan warga negara untuk golput atau yang 4. Kebebasan menyatakan pendapat;
tergabung dalam golongan maupun kelompok 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan
yang beroposisi (partai oposisi) adalah sebuah beroposisi; dan
keniscayaan dan konstitusional, sesuai 6. Pendidikan kewarganegaraan
dengan prinsip-prinsip negara hukum yang Secara konstitusional, penegasan Indo
demokratls. nesia sebagai negara yang berdasar atas
Dalam negara hukum yang demokratls, hukum, kini dinyatakan secara eksplisit dalam
penguasa maupun rakyat atau warga negara Batang Tubuh UUD 1945 pada perubahan
bahkan negara itu sendiri semuanya harus ketiga, yang disahkan padatanggal 10 Novem
tunduk kepada hukum, semua sikap, tingkah ber 2001 dalam Pasal 1 ayat (3), "Negara In
laku, dan perbuatannya harus sesuai dengan donesia adalah Negara Hukum"."

"Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang politik itu, dikatakan oleh Mohtar Mas'oed
sebagai langkah-langkah sistdmatis darl pemerintah Orde Baru dalam rangka menciptakan negara semakin kuat
dan memegang peranan yang begitu besar. Lihat Mohtar Mas'oed, Negara Kapitaldan DemokrasI(Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 1994), him. 69.
^Soehino, Hmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 1980), him. 156.
"Van Der Pot- Donner, dalam Baglr Manan (Ed.), Kedaulatan Rakyat, HakAsasi Manusia dan Negara
Hukum (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), him. 67.
^®Moh. Mahfud MD., op.cit., him. 28.
^Dengan ditegaskannya negara hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945, maka penegasan negara

130 JURNAL HUKUM. NO. 25 V0L11. JANUAR! 2004: 124-134


Muntoha. MenyoalWacana "Golpuf...

Menurut Jimly As-Shiddiqie, Indonesia Persoalannya sekarang adalah masih


sebagai negara hukum di dalamnya relevankah sikap dan tindakan golput itu
terkandung pengertian adanya pengakuan dalam menghadapi pemilu 2004, terutama
terhadap prinsip supremasi hukum dan menjelang' Pilpres putaran 11 ? Dahlan Thaib,
konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan misalnya, dalam menanggapl wacana golput
kekuasaan dan pembatasan kekuasaan menjelang dilaksanakannya Pilpres putaran li
menurut sistem yang diatur dalam UUD, menyatakan, memilih presiden secara
adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak langsung dalam kerangka konstitusional, baik
memihak yang menjamin persamaan setiap dipandang dari paradigma kedaulatan rakyat,
warga negara dalam hukum, serta menjamin paradigma negara hukum, paradigma check
keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap and balances, dan paradigma hak asasi
penyalahgunaan wewenang oleh pihak manusia mempakan wujud demokrasi rakyat
penguasa. Konsekuensi yuridisnya adalah yang sesungguhnya. Oleh karena itu,
sikap dan tindakan golput (oposisi) dalam sehamsnya' bisa dijadikan kesempatan yang
pemilu itu merupakan hak yang konstitusional bagus oleh rakyat untuk menyalurkan
(Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945). bahkan bisa aspirasinya dalam memilih pemimpin bangsa
mengarah kepada suatu kewajiban politik yang inl. Sebab dalam kehidupan berbangsa, baru
konstitusional (Pasal 27 ayat (3) UUD 1945) sekarang inilah rakyat bisa menentukan
apabila sikap dan tindakan golput (oposisi) pemimpin bangsanya secara langsung,
tersebut merupakan respon terhadap sistem sehingga jangan ada rakyat yang menyia-
politik yang otoriter, sebagaimana yang telah nyikannya.^^
dipraktikkan oleh rezim pemerintahan Orde Sementara itu, Ketua Fomm Rektor In
Bam. Maka, sikapdan tindakan golput (oposisi) donesia (FRI) Marlis Rahman, meminta
tersebut mempakan sesuatu yang urgen dan selumh rakyat Indonesia tidak menjadi golput
relevan.

hukum dalam Penjelasan UUD 1945 tidak berlaku lagi, dan penjelasan UUD 1945itu sendiri telahhilang dari
struktur UUD 1945sertatidak berlaku lag! karena materinya yang panting telah diintegrasikan kedalam pasal-
pasal (perubahan) UUD 1945, sebagaimana penegasan yang termuat dalam Aturan Tambahan padaPasal 2
UUD 1945: "Dengan ditelapkannya perubahan UUD inl. UUD Rl Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan
Pasal-pasal".
^la juga menegaskan bahwa dalam paham negara hukum, pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang
menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip-prinsip nomokrasi (nomocracy) dan doktrin the rule oflaw,
andnotofman. Dalam kerangka therule oflaw Wu diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai
kedudukan tertinggi (supremacy oflaw), adanya persamaan dalam hak dan pemerintahan (equalitybefore the
law) dan berlakunya asaslegalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktik (due process oflaw).
Uhat Jimly Asshiddiqie, "Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945", Makalah,
pada Seminar Pembangunan Hukum Nasiona! VIII, yang diselenggarakan oleh BPHN-Departemen Kehaklman
dan HAM RldiDenpasar, 14-18 Juli 2003, him. 3.
^'Dahlan Thaib, "Pilih Presiden SecaraLangsung: Amanat UU Jangan Disia-siakan", harian Kedaulatan
Rakyat, Yogyakarta: 24Juli 2004, him. 3.

131
pada Pilpres putaran II, karena sikap golput tempatyang luas bagi aspirasi rakyat.^ Selain
selain merugikan dirl sendiri dan menodal itu, sejak tahun 1998 teiah terjadi pergeseran
kualitas demokrasi, jugatidakmendidik rakyat. dari sistem ketatanegaraan yang berkarakter
Maka menurutnya, bila menginginkan Indo otoritarian menuju perwujudan sistem
nesia menjadl sebuah negara yang ketatanegaraan yang demokratis. Maka,
demokratis dan diterima masyarakat dalam rangka upaya membangun sistem
internasional, pilihan golput hams dihindari, ketatanegaraan Indonesia yang demokratis,
karena hal ini tidak memberikan kontribusl teiah ditetapkan Tap MPR No X/MPR/1998
posltif apa pun bag! perjalanan roda Tentang Pokok-pokok Reformasi
demokrasi yang sedang berputar di Indonesia Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan
sekarang ini.^^ Bahkan Syafi'i Ma'arif dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai
menganjurkan kepada seluruh warga Haluan Negara. yang antara lain teiah
Muhammadiyah untuk tidak golput. disepakati bahwa pemerintah harus
Menurutnya, menggunak'an hak poiitik menghormati asas atau ciri, aspirasi, dan pro
dimaknai sebagai wujud akuntabilitas poiitik gram organisasi sosial-politik dan organisasi
yang objektif kepada bangsa, sekaiigus kemasyarakatan yang tidak bertentangan
pertanggung Jawaban amanah kepada Allah dengan Pancasiia.^®
SWT dalam menentukan arah masa depan Wujud dari reformasi ketatanegaraan Rl
rakyat dan negara Indonesia.^^ itu ditandai dengan proses perubahan dan
Berdasarkan berbagai tanggapan pergeseran baik pada suprastruktur poiitik,
mengenai mencuatnya wacanagolput di atas, yaitu dengan mereformasi konsepsi
menglndlkasikan bahwa kecenderungan kekuasaan dalam kelembagaan negara
sikap dan tindakan golput menjelang Pilpres berupa gagasan pembatasan kekuasaan
putaran II adalah sikapdan tindakan yang tidak dalam lingkup kekuasaan eksekutif, legislatif,
televan. Arief Budiman sendiri yangmerupakan dan kekuasaan yudikatif, maupun pada
penggagas golput menyatakan bahwa pilihan infrastruktur poiitik, yaitu menguatnya
menjadi golput pada pemilu 2004 sudah gelombang partisipatif masyarakat dalam
berbeda dengan pemilu masa Orde Baru. berbagai bentuknya, yang dapat berupa
Pada pemilu Orde Baru, goiput diibaratkan kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan
sebagai sebuah kewajiban poiitik yang kebebasan mengekspresikan pendapat
merupakan bentuk protes atas sistem yang secara lisan maupun tulisan secara individual
tidak demokratis. Namun, kini golput tidak maupun kelompok.^® Dengan demikian,
wajib lagi karena dunia poiitik sudah member! reformasi ketatanegaraan teiah mengarah

"htto: //www. Republika. Co. Id.. 14 Juli 2004, him. 1.


^httD://www. Gatra. Com.. 22 Juli 2004, him. 1-2.
^Koirudin, op.cit., him. 82.
^Muntoha, "Reformasi Poiitik Ketatanegaraan Rl", dalam Hand Out Kuliah Poiitik Ketatanegaraan
(Yogyakarta: FH-UII, 2003), him. 3.
«/b/d.,hlm.3-4.

132 JURNAL HUKUM. NO. 25 V0L11. JANUARI2004:124-134


Munto ha. Menyoal Wacana "Golput"...

pada pemahaman demokratisasi dalam merupakan slkap dan tindakan dari warga
kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, negara yang tidak bertanggung jawab, dan
dengan diiringi lahirnya gagasan barangkaii Iniiah makna goiput yang semula
memasukkan nilai-nilai hak-hak asasi sebagai hak dan dibenarkan secara hukum,
manusia (HAM) melalui Tap MPR No. XVII/ telah bergeser menjadi goiput sebagai wujud
MPR/1998 jo. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang • dari pembanokangan terhadap negara.
HAM.

Daftar Pustaka
Simpulan
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara;
Dengan spirit reformasi ketatanegaraan Transformasi Pemikiran dan Praktik
yang berorientasi pada pemahaman Poiitik Islam di Indonesia, Cetakan ke-
demokratisasi dan kehidupan sosiai 1, Jakarta: Paramadina, 1998.
berbangsa dan bernegara, maka harus
Effendy, Bahtiar, Repolitisasi Islam: Pernahkah
disadari bahwa proses menuju kehidupan
Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung:
poitik yang memberikan peran kepada partai
Mizan, 2000.
poiitik sebagai aset nasional, akan
beriangsung berdasarkan prinsip-prinsip : II www. Swara. Net. Id.. 24 Juli 2004.
perubahan dan berkesinambungan yang
Http://www. Yamajo. Or. Id./ MediaSipH
semakin iama semakin menumbuhkan
On Line. Com.. "Goiput Siapa Takut",
kedewasaan dan tanggung jawab dalam Edisi 25/16-31 Maret2003.
berdemokrasi.
Oieh karena itu, di saat rakyat memiiiki Koirudin, Profil Pemiiu 2004; Evaluasi
kesempatan untuk menentukan pemimpinnya Pelaksanaan, Hasil dan Perubahan
secara iangsung maka agenda poiitik itu harus Peta Poiitik Nasional Pasca Pemiiu
direspon secara positif. Walaupun sikap dan Legislatif 2004, Yogyakarta: Pustaka
tindakan goiput itu merupakan hak dan Pelajar, 2004.
dibenarkan secara hukum. tetapi peristiwa Mansoer, Mohammad Toichah, Pembahasan
poiitik ke depan adaiah penentuan beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-
kepemimpinan nasional yang membutuhkan kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
partisipasi aktif dart warga negaranya yang Negara Indonesia, Jakarta: Pradnya
merupakan hak negara (s/afe rights). Tanpa Paramlta, 1977.
peran serta warga negara dalam menyalurkan
aspirasi poiitiknya, akan menodai Mas'oed, Mohtar, Negara Kapital dan
demokratisasi daiam pemiiihan pemimpin Demokrasi, Yogyakarta: PustakaPelajar,
1994.
nasional secara iangsung. Artinya, jika wacana
goiput menjadi ini menjadi kenyataan daiam MD, Moh. Mahfud., Perguiatan Poiitik dan
Piipres putaran il mendatang, dan jumiahnya Hukum diIndonesia, Yogyakarta: Gama
mencapai di atas 50% maka berarti goiput Media, 1999.
teiah mendelegitimasi pemiiu. Hal ini

133
Muntoha, "Reformasi Polltik Ketatanegaraan Thaba, Abdul Azis, Islam dan Negara dalam
Rl", dalani Hand Out Kuliah Politik Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani
Ketatanegaraan (Yogyakarta: FH-Uli, Press, 1996.
2003). Van Der Pot - Donner, dalam Bagir Manan
Putra, Fadillah, Partai Politik dan Kebijakan (Ed.), Kedaulatan Rakyat, Hak AsasI
Publik (Cetakan ke-2), Yogyakarta: Manusia dan Negara Hukum, Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2004. Cetakan ke-1, Gaya Media Pratama,
1996).
Soehino, ilmu Wegara, Yogyakarta: Liberty,
1980. Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta: 24Juli
2004.
Suhadi, Imam, Cita-cita dan Kenyataan
Demokrasi, Yogyakarta: Bagian htto: II www Suara Merdeka. Com.. Rabu, 21
Penerbitan Fakultas Hukum Universi- Juli 2004.
tas Islan Indonesia (Ull), 1981. htto: //www. Gatra. Com.. 22 Juli 2004
Sujito, Arie, Refleksi dan Aksi untuk Rakyat htto: II www. Kompas. Com.. 12 Desember
(Cetakan ke-1), Yogyakarta: IRE-Press, 2003.
2004.
htto: //www. Reoublika. Co. Id.. 14 Juli 2004.

•••

134 JURNAL HUKUM. NO. 25 V0L11. JANUARI2004:124-134

Anda mungkin juga menyukai