Anda di halaman 1dari 42

A. 1. Teori demokrasi siapa yang mencetus?

Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan Negara yg umunya


dianggap sebagai Negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM.
Cleisthenes disebut sebagai “bapak demokrasi Athena”

Menurut pakar hukum tatanegara Mahfud MD ada dua alasan dipilihnya


demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama hamper
semua Negara didunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang
fundamental, kedua demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah
memberikan arah bagi pranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara
sebagai organisasi tertingginya

Menurut Lincoln demokrasi aadalah bentuk suatu pemerintahan dimana


kekuasaan kekuasaan politik tertinggi (supreme political authority) dan
kedaulatan soveriegthy ada ditangan rakyat yang memiliki kedaulatan berhak
untuk memerintah. Karena itu pemerintahan yang demokratis adalah
pemerintah yang mendapat persetujuan rakyat atau pemerintahan yang sudah
memiliki mandat untuk memerintah dari rakyat dalam sistem pemerintahan
rakyat atau yang oleh Lincoln disebut government by people tersebut
direpresentasikan dalam bentuk lembaga perwakilan yang mengatasnamakan
kepentingan rakyat

Menurut Henry B. Mayo demokrasi adalah sistem politik yang


demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suatu terjaminnya kebebasan politik.1
1
Lebih lanjut Henry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh
beberapa nilai, yakni:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
(institutionalized peaceful settlement of conflict);
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah (peaceful change in a changing society);
3. Menyelenggaran pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of
rulers);
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion);
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity)
dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat,
kepentingan, serta tingkah laku;
6. Menjamin tegaknya keadilan.2
Sementara menurut Nurcholis Madjid, yang menjadi pandangan hidup
demokrasi haruslah didasari atas 7 (tujuh) norma sebagai berikut:
1. Kesadaran atas pluralism
2. Musyawarah
3. Pemufakatan yang jujur dan sehat
4. Kerjasama
5. Pemenuhan segi-segi ekonomi
6. Pertimbangan moral
7. Sistem pendidikan yang menunjang
Sedangkan menurut Robert. A. Dahl, yang diikuti Muntoha dalam
jurnalnya yang berjudul “Demokrasi dan Negara Hukum” menyatakan,
Demokrasi sebagai suatu gagasan politik di dalamnya terkandung 5 (lima)
kriteria, yaitu:
2
Ibid, hlm. 266-267
1. Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat;
2. Partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara
dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif;
3. Pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang
untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan
pemerintahan secara logis;
4. Kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya keputusan eksklusif bagi
masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus
diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan
kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat;
5. Pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa
dalam kaitannya dengan hukum.3

2. Teori pemilihan umum siapa yg mencetus?


Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di
lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam
bidang politik. 4 Menurut Joseph Schumpeter bahwa pemilihan umum merupakan sebuah
arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor-aktor politik yang meraih
kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak-hak
sipil dan politik warga Negara. Dalam hubungan ini partai politik merupakan aktor utama
yang berkompetisi untuk memperoleh dukungan massa dan meraih kekuasaan eksekutif dan
legislatif. 5
Makna tersebut mengandung arti bahwa kekuasan tersebut berada pada tangan
rakyat dan harus bertindak atas nama rakyat. Untuk itu, maka pemilu dijadikan cara untuk

3
Muntoha, “Demokrasi dan Negara Hukum”, Jurnal Hukum, Volume 16 Nomor 3, Juli, 2009, hlm:381
4
Syahrial Syarbaini, dkk, (ed.) Pengetahuan Dasar Ilmu Politik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 141
5
P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 177.
mengangkat eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. 6
Menurut Manuel Kaisiepeo dalam Bintar R. Saragih, menjelaskan bahwa pemilihan umum
merupaka sesuatu yang penting dalam menjalankan kekuasaan, karena disanalah penguasa
mendapatkan legitimasi atas kekuasaan tersebut.7
Pemilihan umum menjadi tanda dimana rakyat melaksanakan kedaulatannya secara
bebas dan merdeka dalam memilih siapa pun yang mereka inginkan, karena rakyat tidak
ingin menjadikan rezim yang ada selalu bercokol mempertahankan status quo nya dalam
jabatan pemerintahan sehingga menjadi kekhawatiran bagi rakyat yang ingin membangun
sistem demokrasi kemudian berubah berorientasi menjadi pemerintahan yang feodal. Maka
tidaklah berlebihan apabila Maurice Duverger mengatakan bahwa dimana ada pemilihan
yang merdeka dan bebas disitulah ada demokrasi. 8
Jika rakyat dikatakan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam suatu negara maka
sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan, rakyat berhak menentukan cara
penyelenggaraan pemerintahan serta menentukan tujuan yang hendak ingin dicapainya
dalam sebuah negara. Tentunya menjadi sulit apabila dalam praktek penyelenggaraan
ketatanegaraan semua rakyat menyatakan kehendaknya secara perorangan untuk
menentukan kebijakan yang akan dilakukan dalam pemerintahan. Apabila kita melihat
jumlah rakyat Indonesia yang jumlahnya jutaan terdiri dari keberagaman suku, agama,
etnis, tentulah menjadi tidak mungkin apabila secara perorangan melaksanakan
kebijakannya secara murni dalam pemerintahan. Sehingga dalam hal ini dibuatlah formula
bagaimana rakyat tetap dapat menentukan kehendaknya dengan cara dilakukan
melalui sistem perwakilan, yang dalam bahasa Jimly Asshiddiqqie sebagai
sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indirect
democracy).9
Walaupun pada prinsipnya pemilihan umum menjadi alat dalam
mewujudkan kedaulatan rakyat yang melibatkannya secara langsung, akan
6
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sitem Pemilihan Umum di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta, 2017, hlm 45.
7
Bintar R. Siragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta,
1998, hlm. 167
8
Ibid, hlm.169.
9
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 168.
tetapi pelaksanaan pemilu memiliki beberapa varian sistem dalam pelaksanaan
pemilihan umum. Adanya varian sistem yang berbeda-beda tersebut tidak
berarti pelaksanaan pemilihan umum mengabaikan prinsip utamanya yaitu
kedaulatan rakyat, akan tetapi tetap berpijak pada prinsip bahwa rakyat
sebagai pemilik kuasa yang mutlak dan bukan sesuatu yang kompromis. 10

3. bedah teori tentang konteks pemilu


A. Pemilihan Umum di Indoneisa
1. Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu pelayanan hak-hak asasi warga negara
dalam bidang politik.11 Menurut teori demokrasi minimalis, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Joseph Schumpeter bahwa pemilihan umum merupakan sebuah arena yang
mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor-aktor politik yang meraih kekuasaan
partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak-hak sipil dan
politik warga Negara. Dalam hubungan ini partai politik merupakan aktor utama yang
berkompetisi untuk memperoleh dukungan massa dan meraih kekuasaan eksekutif dan
legislatif.12
Melalui pemilu, demokrasi sebagai sistem yang menjamin kebebasan warga
negara terwujud melalui penyerapan suara sebagai bentuk partisipasi publik secara luas.
Dengan kata lain bahwa pemilu merupakan simbol dari kedaulatan rakyat. Yang berarti
rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan
cara pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak di capai.
Pemilihan umum juga dapat diartikan sebagai pemindahan hak dari setiap warga Negara
kepada kelompok yang akan memerintah atas nama kekuasaan dari rakyat. Agar
pemerintah yang berkuasa itu betul-betul menjalankan kekuasaannya sesuai dengan hati

10
Zainal Arifin Hoesein, Penataan Pemilih dalam Sistem Pemilihan Umum, Rajawali Pers, Depok, 2017,
hlm. 19.
11
Syahrial Syarbaini, dkk, (ed.) Pengetahuan Dasar Ilmu Politik. Bogor: Ghalia. Indonesia, 2011, hlm. 141
12
P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 177.
nurani rakyat, maka pelaksanaan pemilihan umum harus berpedoman kepada asas-asas
yang telah disepakati bersama.13
Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak
politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat
kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Adapun menurut Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, pemilu adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat
prinsipiil, karena dalam pelaksanaan hak asasi adalah suatu keharusan pemerintah untuk
melaksanakan pemilu. Sesuai asas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semua itu
dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Oleh karena itu pemilu adalah suatu
syarat yang mutlak bagi negara demokrasi untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.14
Dari beberapa penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pemilihan
umum itu sebagai suatu jalan yang dijadikan oleh warga negara untuk memilih seorang
pemimpin dan wakil pemimpin dalam mengurusi suatu Negara tersebut. dalam artian
bahwa rakyat dapat memilih langsung pemimpin yang nantinya akan memimpin rakyat-
rakyatnya dan sebagai pendengar aspirasi rakyat yang telah rakyat alami dan rasakan
sehingga dapat menjadi sebuah tanggungjawab pemimpin terhadap rakyatnya agar
rakyatnya menjadi sejahtera.

2. Makna Pemilihan Umum


Pemaknaan terhadap pemilihan umum, terlebih dahulu harus memaknai sistem
demokrasi yang menjadi latar belakangnya. Kaitan antara kedua sangat erat yaitu
berangkat dari pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat da untuk rakyat (democracy is
government of the people, by the people, and for the people). Makna tersebut
mengandung arti bahwa kekuasan tersebut berada pada tangan rakyat dan harus bertindak
atas nama rakyat. Untuk itu, maka Pemilu dijadikan cara untuk mengangkat eksistensi
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. 15 Pemilihan umum memang
menjadi tradisi penting yang hampir digunakan sistem demokrasi di dunia. Oleh karena
pengaruh demokrasi di dunia yang begitu kuat, maka pemilihan umum menjadi sarana
yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya. Menurut Manuel Kaisiepeo
13
Syahrial Syarbaini, dkk, (ed.) Op. CIt. hlm. 145
14
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 329-331
15
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sitem Pemilihan Umum di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 2017, hlm 45.
dalam Bintar R. Saragih, menjelaskan bahwa pemilihan umum merupaka sesuatu yang
penting dalam menjalankan kekuasaan, karena disanalah penguasa mendapatkan
legitimasi atas kekuasaan tersebut.16
Pemilihan umum menjadi tanda dimana rakyat melaksanakan kedaulatannya
secara bebas dan merdeka dalam memilih siapa pun yang mereka inginkan, karena rakyat
tidak ingin menjadikan rezim yang ada selalu bercokol mempertahankan status quo nya
dalam jabatan pemerintahan sehingga menjadi kekhawatiran bagi rakyat yang ingin
membangun sistem demokrasi kemudian berubah berorientasi menjadi pemerintahan
yang feodal. Maka tidaklah berlebihan apabila Maurice Duverger mengatakan bahwa
dimana ada pemilihan yang merdeka dan bebas disitulah ada demokrasi.17 Dalam hal ini
Syamsuddin Haris, menjelaskan fungsi pemilihan umum sebagai sarana:
a. Legitimasi Politik, dalam arti bahwa melalui pemilihan umum keabsahan pemerintah
yang berkuasa dapat ditegakkan.
b. Fungsi Perwakilan Politik, dalam arti bahwa melalui pemilihan umum rakyat
menentukan wakil yang dapat dipercaya untuk menduduki jabatan legislatif maupun
eksekutif.
c. Pergantian atau Sirkulasi Elit Penguasa, dalam arti pemilihan umum mempunyai
keterkaitan dengan sirkulasi elit yang diasumsikan sebagai penguasa yang bertugas
dan mewakili masyarakat.
d. Sarana Pendidikan politik, dalam hal ini pemilihan umum dapat memberikan
Pendidikan politik secara langsung dan terbuka kepada masyarakat sehingga
diharapkan masyarakat menjadi sadar akan kehidupan politik yang demokratis.18
Jika rakyat dikatakan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
maka sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan, rakyat berhak menentukan cara
penyelenggaraan pemerintahan serta menentukan tujuan yang hendak ingin dicapainya
dalam sebuah negara. Tentunya menjadi sulit apabila dalam praktek penyelenggaraan
ketatanegaraan semua rakyat menyatakan kehendaknya secara perorangan untuk
menentukan kebijakan yang akan dilakukan dalam pemerintahan. Apabila kita melihat
16
Bintar R. Siragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta,
1998, hlm. 167.
17
Ibid, hlm.169.
18
Syamsuddin Haris, Struktur, Proses dan Fungsi Pemilihan Umum, Catatan Pendahuluan dalam pemilihan
Umum di Indonesia, Jakarta, PPW-LIPI, 1997, hlm. 6-10.
jumlah rakyat Indonesia yang jumlahnya jutaan terdiri dari keberagaman suku, agama,
etnis, tentulah menjadi tidak mungkin apabila secara perorangan melaksanakan
kebijakannya secara murni dalam pemerintahan. Sehingga dalam hal ini dibuatlah
formula bagaimana rakyat tetap dapat menentukan kehendaknya dengan cara dilakukan
melalui sistem perwakilan, yang dalam bahasa Jimly Asshiddiqqie sebagai sistem
demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy).19
Di berbagai negara demokrasi saat ini, pemilihan umum merupakan salah satu
pilar demokrasi yang dianggap sebagai lambang dan tolak ukur dari demokrasi itu
sendiri. Secara sederhana pemilihan umum adalah mengonversi suara dari pemilih
menjadi kursi yang dimenangkan oleh kandidat. Menurut Refly Harun, bahwa pemilihan
umum adalah alat untuk menerjemahkan kehendak umum sebagai pemilih menjadi
perwakilan pemerintahan. Melalui pemilihan umum rakyat memilih orang yang dipercaya
yang akan mengisi jabatan legislatif maupun eksekutif.20
Secara umum di kekuasaan legislatif baik di DPR maupun DPRD masyarakat
memberikan hak pilihnya kepada siapa yang akan mewakilinya untuk duduk di kursi
parlemen melalui pemilihan langsung untuk melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan
dan keuangan. Sedangkan di kekuasaan eksekutif baik presiden maupun kepala daerah,
masyarakat memberikan pilihannya melalui pemilihan umum untuk mewakilinya dalam
hal penyelenggaraan pemerintahan. Kedua kekuasaan ini pada hakikatnya adalah wakil
rakyat yang mempunyai fungsinya masing-masing karena mereka mendapatkan
legitimasi langsung oleh rakyat itu sendiri melalui pemilihan umum. Begitu pentingnya
kedudukan kedua lembaga tersebut dalam siklus ketatanegaraan, sehingga mereka dapat
menentukan corak serta tujuan yang hendak di capai baik dalam jangka pendek maupun
jangka Panjang.21 Oleh karena itu, demi mencapai hasil pemilihan umum yang benar-
benar sesuai dengan kehendak rakyat maka pemilihan umum harus benar-benar
dilaksankan diatas prinsip yang bebas dan adil.
Walaupun pada prinsipnya pemilihan umum menjadi alat dalam mewujudkan
kedaulatan rakyat yang melibatkannya secara langsung, akan tetapi pelaksanaan Pemilu
19
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 168.
20
Refly Harun, “Pemilu 2019 Momentum Penguatan Demokrasi Indonesia yang Berintegritas”, Jurnal Ilmu
Hukum, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 31 Maret 2018.
21
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, Bandung, 2015, hlm. 197.
memiliki beberapa varian sistem dalam pelaksanaan pemilihan umum. Adanya varian
sistem yang berbeda-beda tersebut tidak berarti pelaksanaan pemilihan umum
mengabaikan prinsip utamanya yaitu kedaulatan rakyat, akan tetapi tetap berpijak pada
prinsip bahwa rakyat sebagai pemilik kuasa yang mutlak dan bukan sesuatu yang
kompromis.22 Varian sistem pemilihan umum pada umumnya ada dua, yaitu:
a. Single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil atau biasanya
disebut sistem distrik).
b. Multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil atau
biasanya disebut sistem proporsional).23
Sistem pemilihan distrik adalah sistem pemilihan dimana wilayah negara dibagi
dalam beberapa distrik pemilihan, dimana jumlah distrik sama dengan jumlah kursi
yang terdapat di parlemen. Setiap distrik pemilihan memilih satu orang wakil dari
calon-calon yang diajukan oleh partai politik atau peserta Pemilu. Karena itu, sistem ini
disebut “singel-member constituency” sehingga yang menjadi pemenang adalah yang
memiliki suara terbanyak dalam distrik tersebut. 24 Adapun sisi kelebihan dan
kekurangan dari sistem distrik ini, yaitu:
a. Hubungan antara pemilih dan wakilnya sangat dekat, karena itu partai-partai politik
tidak berani mencalonkan orang yang tidak popular dalam distrik tersebut.
Terpilihnya seorang wakil biasanya karena kualitas dan popularitasnya sehingga
popularitas partai pun ikut terangkat.
b. Sistem ini mendorong bersatunya partai politik, karena calon yang terpilih hanya
satu sehingga beberapa partai politik dipaksa bergabung untuk mencalonkan
seorang yang lebih popular dan berkualitas dari calon-calon lainnya.
c. Terjadinya penyederhanaan partai politik.
d. Organisasi penyelenggara pemilihan dengan sistem ini lebih sederhana, tidak perlu
memakai banyak orang untuk duduk dalam panitia pemilihan. Biaya lebih murah

22
Zainal Arifin Hoesein, Penataan Pemilih dalam Sistem Pemilihan Umum, Rajawali Pers, Depok, 2017,
hlm. 19.
23
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm.461.
24
Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi,
Kencana Media Grup, Jakarta, 2017, hlm. 47
dan perhitungan suara lebih singkat, karena tidak perlu menghitung sisa suara yang
terbuang.25
Adapun kekurangan sistem ini, yaitu:
a. Kemungkinan akan ada suara yang terbuang,
b. Menyulitkan partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas mempunyai
keterwakilan.
c. Terjadinya pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama dan tingkat kedua.
Dalam sistem pemilihan proporsional, wilayah negara meruapakan satu daerah
pemilihan. Akan tetapi, karena luasnya wilayah negara dan jumlah penduduk warga
negara yang banyak, maka wilayah tersebut dibagi atas dapil-dapil pemilihan
(misalnya, provinsi menjadi satu daerah pemilihan). Kepada daerah-daerah pemilihan
ini dibagikan sejumlah kursi untuk diperebutkan tergantung pada luas daerah pemilihan
dan jumlah penduduk, pertimbangan politik, dan sebagainya. Yang pasti akan ada lebih
dari satu kursi yang diperebutkan dan sisa suara dari daerah pemilihan tertentu tidak
dapat digabungkan dengan sisa suara di daerah pemilihan lain. Karena itu, sistem ini
disebut multi-member constituency. Adapun positif dan negatif dari system
proporsional ini, yaitu: (1) suara yang sangat terbuang sangatlah sedikit. (2) partai
politik kecil/minoritas, besar kemungkinan mendapat kursi di parlemen. Sedangkan segi
negatif dari sistem proporsional ini, antara lain:
a. Timbulnya partai-partai politik baru yang cenderung mempertajam perbedaan-
perbedaan yang ada dan oleh karena itu kurang terdorong untuk mencari
persamaan-persamaan.
b. Setiap calon terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai politik yang
mencalonkannya dan kurangnya loyalitas pada rakyat yang memilihnya.
c. Pemerintahan tidak stabil dikarenakan banyak partai politik yang mempersukar
jalannya pemerintahan, lebih-lebih dalam sistem pemerintahan parlementer karena
pembentukan pemerintah/kabinet harus didasarkan atas koalisi (kerja sama) anatar
dua partai politik atau lebih.
d. Terjadinya pencerminan pendapat yang salah pada tingkat pertama. 26

25
Ibid, hlm. 48
26
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pres, 2015, hlm. 47.
3. Fungsi Pemilihan Umum
Ada sejumlah fungsi pokok yang melekat pada pemilihan umum, antara lain
adalah fungsi pemilihan umum sebagai rekrutmen politik, dapat dipahami berkaitan
dengan negara-negara yang menganut paham demokrasi dipandang bahwa pemilihan
umum secara prinsipil sebagai sumber rekrutmen politik. Dengan memilih pemimpin atau
pejabat baik dalam bentuk konfirmasi terhadap kepemimpinan politik yang lama maupun
dengan penggantian pejabat baru dipandang sebagai fungsi pokok dalam pemilihan
umum. Pemerintah yang dipilih oleh rakyat dengan melalui proses pemilihan, maka tidak
diragukan bahwa pemilihan umum memang banyak terlibat dalam fungsi dan rekrutmen
politik.27
Pemilihan umum juga dianggap menjalankan fungsi legitimasi yakni dengan
membina hubungan atau dukungan publik bagi suatu rezime ataupun sebuah sistem
politik dan kepatuhan terhadap kebijakan serta regulasi lembaga-lembaga politik negara.
Dalam hubungan ini bahwa adanya stabilitas sosial politik dijadikan sebagai indikator
terhadap legitimasi, legitimasi juga ada kaitannya dengan atau merupakan hubungan
antara pemerintah (pemimpin) dan masyarakat (yang dipimpin). Maka oleh sebab itu
legitimasi adalah sikap masyarakat terhadap kewenangan, apakah masyarakat dapat
menerima ataukah mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan
keputusan yang mengikat masyarakat, maka kewenangan itu disebut terlegitimasi.28
Dari berbagai fungsi pemilihan umum diatas, penulis menyimpulkan sendiri
bahwa pemilihan umum itu berfungsi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan
menduduki suatu jabatan tertentu yang kemudian bertanggung jawab kepada para
pemilihnya yaitu rakyat yang telah memilihnya. Fungsi pemilihan umum yang lainnya
adalah sebagai penghubung partai politik terhadap pemerintahan, karena dalam pemilihan
calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik, maka apabila calon
presiden yang diusung oleh partai tersebut memenangkan pemilu, maka antara
pemerintah dan partai politik tersebut saling berhubungan.

4. Sistem Pemilu

27
P. Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012, hlm. 179
28
Ibid, hlm. 180
Sistem pemilu hakikatnya merupakan seperangkat metode yang mengatur warga
negara dalam memilih para wakilnya dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti
halnya parlemen. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa sistem pemilihan dapat
berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih dalam suatu kursi di
parlemen.29 Sistem pemilihan umum dapatlah dirumuskan sebagai sebuah instrumen
untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilihan umum ke dalam kursi-kursi
yang dimenangkan oleh partai atau calon.30
Menurut penulis, Sistem pemilu adalah tata cara yang digunakan untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang kemudian menempatakan suara rakyat yang telah memilih
tersebut menjadi wakil rakyat di parlemen ataupun dalam pemerintahan. Melalui sistem
pemilu, rakyat dapat mengetahui wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dan
juga dapat memilih wakil yang mereka inginkan sebagai perwakilan rakyat di parlemen.
Secara sederhana, sistem pemilu dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
sistem proporsional dan sistem nonproporsional. Tetapi, jika mencermati sistem pemilu
yang dipakai oleh negara-negara yang pernah menyelenggarakan pemilu, jumlah sistem
pemilu sebenarnya cukup banyak.31 Akan tetapi, pada umumnya, sistem pemilu berkisar
pada dua prinsip dasar, yaitu (1) satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya
disebut sistem pemilihan distrik, (2) satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil,
biasanya dinamakan sistem perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional.
a. Sistem Pluralitas-Mayoritas atau Sistem Distrik
Sistem pluralitas mayoritas mempunyai ciri utama yakni pembagian daerah
pemilihan yang berbasis distrik. Negara dibagi-bagi ke dalam distrik-distrik sesuai
dengan jumlah kursi yang di perebutkan. Karena basis pemilihan berdasarkan distrik,
maka sistem pluralitas-mayoritas ini biasa disebut dengan sistem distrik. Umumnya
sistem distrik hanya diwakili oleh seorang wakil tunggal. Karena perwakilan tunggal
ini, maka calon terpilih umumnya ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Dampak
dari penggunaan sistem ini adalah kecenderungan terbentuknya sistem dua partai.
Dengan demikian peluang paling besar yang dihasilkan melalui sistem distrik adalah

29
Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, hlm, 336
30
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm. 179
31
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010, hlm. 84.
sistem dua partai. Legitimasi wakil rakyat terpilih juga tinggi karena ditentukan
berdasarkan suara mayoritas, sehingga akuntabilitasnya lebih terjamin.32
b. Sistem Perwakilan Berimbang
Dalam sistem perwakilan berimbang, peran parpol sangat dominan. Baik
dalam proses pencalonan maupun dalam menentukan calon terpilih hingga saat
anggota terpilih bekerja di parlemen, peran sentral parpol ini sesuai dengan posisi
parpol sebagai pilar demokrasi. Melalui sistem ini parpol-parpol kecil diberikan
peluang untuk berkembang menjadi besar. Kaderisasi juga menjadi sangat penting
bagi parpol karena para kader harus mampu bersaing ketika memperjuangkan
kebijakan parpol saat di parlemen. Keenderungan sistem ini adalah anggota parlemen
lebih berorientasi ke tingkat nasional dibanding ke daerah pemilihannya.33
Berdasarkan Sistem pemilihan umum yang telah di paparkan diatas dapat
disimpulkan kembali oleh penulis bahwa terdapat dua sistem dalam pemilihan umum
yaitu ada yang dinamakan sistem distrik yang berarti rakyat memilih satu wakil dalam
suatu daerah tempat pemilihannya, dan ada juga yang dinamakan dengan sistem
proporsional yaitu rakyat memilih beberapa wakil di daerah tempat pemilihnya.
Adapun sistem pemilu yang digunakan pada pemilu 2019 yaitu sistem proporsional
terbuka.
Sistem proporsional terbuka yaitu pemilih dapat memberikan suaranya secara
langsung kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini pemilih memberikan suaranya
kepada partai, calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk
terpilih karena suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak calon yang
menjadi urutan teratas.34 Dalam artian lain, sistem proporsional terbuka yang
digunakan pada pemilu tahun 2019 yaitu memilih anggota legislatif berdasarkan suara
terbanyak. Artinya, siapa yang memiliki suara terbanyak dalam pemilu, mereka yang
berhak menjadi anggota legislative.35 Dalam penggunaan sistem proporsional terbuka,
berarti di dalam kertas suara pemilu terpampang nama calon legislatifnya selain nama

32
I Made Leo Wiratama, dkk, (ed.) Panduan Lengkap Pemilu 2019, Jakarta: Formappi, 2018, hlm. 11
33
Ibid, hlm. 16
34
Miriam Budiardjo,  Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005, hlm. 487.
35
Robertus Wardi, Sitem Pemilu Proporsional Terbuka Dinilai Sudah Tepat, Https://www.beritasatu.com di
akses pada 19 Maret 2022
partai politiknya, agar pemilih dapat mencoblos langsung nama calon legislatif yang
di inginkan.36

5. Lembaga Penyelenggara Pemilu


Pemilu yang demokratis setidaknya memiliki lima persyaratan. Pertama, Pemilu
harus bersifat kompetitif. Kedua, Pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Ketiga,
Pemilu haruslah inklusif. Keempat,pemilih harus diberi keleluasaan untuk
mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas,
tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Dan Kelima,
penyelenggara Pemilu yang tidak memihak dan independen. Dengan demikian,
keberhasilan dan kegagalan atas penyelenggaraan Pemilu sangat tergantung pada
bagaimana lembaga penyelenggara Pemilu bekerja secara objektif dan profesional pada
satu sisi. Pada saat yang bersamaan, hasil Pemilu juga sangat tergantung pada bagaimana
lembaga penyelenggara Pemilu ini apakah bekerja.37
Dengan demikian keberhasilan, dan kegagalan atas penyelenggaraan Pemilu
sangat tergantung kepada penyelenggara Pemilu bekerja secara objektif dan profesional
pada satu sisi pada saat bersamaan, hasil Pemilu juga sangat tergantung pada bagaimana
lembaga penyelenggara Pemilu ini apakah bekerja berdasarkan asas independent ataukah
bekerja secara tidak netral atau berpihak pada satu subjek tertentu Pemilu dan
penyelenggara Pemilu telah tercantum dalam konstitusi,yaitu pada bab VIIB Pasal 22E
perubahan ketiga UUD NRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, Pasal
22E antara lain mengandung ketentuan :
a. Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali
b. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden dan Anggota DPRD;
c. Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional
tetap dan mandiri.
Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut dapat dikatakan bahwa organisasi
penyelenggaraan Pemilu di indonesia adalah komisi pemilihan umum (KPU) yang
36
Lamhot Aritonang, Sudah Disahkan, Ini 5 Isu Krusial di UU Pemilu, Https://m.detik.com di akses pada 19
Maret 2022
37
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 207-208.
bersifat nasional tetap dan mandiri. Ini bermakna bahwa konstitusi indoensia telah
menyatakan sangat pentingnya eksistensi lembaga penyelenggara Pemilu, dan pada
akhirnya mengharuskan di bentuk KPU yang sifatnya nasional tetap dan mandiri yang
kemudian diberi beban tugas dan wewenang untuk menyeleggarakan Pemilu yang
demokratis. Dengan demikinan UUD NRI 1945 telah memberi posisi Lega
Konstitusional bagi KPU sebagai lembaga negara yang bertugas menyelenggarakan
Pemilu. 38
Penyelenggara Pemilu menurut UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu
sebagai berikut:

38
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana,
2010, hlm. 85.
a. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki
posisi strategis berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, dalam perjalanan politik
Indonesia, Penyelenggara Pemilu mempunyai dinamika sendiri. 39 Dalam suatu sitem
politik yang demokratis, kehadiran Pemilu yang bebas dan adil (free and fair) adalah satu
keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang di siapkan negara, seringkali
menggunakan system klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. 40
Oleh karena pentingnya posisi penyelenggara Pemilu, maka secara Konstitusional
eksistensinya diatur dalam UUD 1945. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa
pemilihan umum bersifat Nasional, tetap dan mandiri. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
memberi landasan hukum sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. 41
Menurut Pasal 6 Undang-Undang no 7 Tahun 2017. KPU terdiri atas : KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, KPPSLN. Dan menurut Pasal
7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

39
Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta, Fajar Media Press,
2011, Hlm. 42.
40
Nuruhuddin Hady, Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Setara Press, Malang, 2016, hlm 148.
41
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 221.
b. Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)
Undang-Undang no 7 Tahun 2017 menegaskan adanya wadah lain sebagai
penyelenggara Pemilu selain Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang dinamakan
dengan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Eksistensi Bawaslu yang juga
penyelenggara Pemilu selain KPU merupakan terjemahan dari ketentuan Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945 tentang istilah “Suatu Komisi Pemilihan Umum”.42
Menurut Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Bawaslu
sebagaimana dimaksud terdiri atas : Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN,
Pengawas TPS. Untuk menjamin suatu kualitas penyelenggaraan Pemilu agar sesuai
dengan asas-asas Pemilu dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
diperlukan adanya suatu pengawasan.43
c. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Untuk Pertama kali dalam sejarah penyelenggaraan Pemilu, bahwa Pemilu
tahun 2009 mengenai Kode Etik dan Dewan Kehormatan berdasakan ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Berubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu juga dibentuk berdasarkan desakan agar
Pemilu dapat diselenggarakan secara demokratis.44
Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan
dan atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota
KPU, anggoa KPU Provinsi, anggota, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu,
anggota Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota.

B. Apa itu rumusan masalah

42
Sodikin, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, Gramata Publishing, Bekasi, 2014, hlm 79
43
Ibid., Hlm 81
44
Ibid., Hlm 83
Tulisan singkat yg berisi pertanyaan tentang topic yang diangkat oleh
penulis, mengarah tujuan dari sebuah tulisan ilmiah, agar focus terhadap
pembahasan hal tertentu.

C. Latar belakang masalah?


Negara-negara demokratis memiliki karakteristik menerapkan prinsip
kedaulatan rakyat dan rakyat menempati posisi penting sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi.
Dimana di Indonesia untuk memilih pemimpinnya di Indonesia
menggunakan pemilihan umum (PEMILU).
Berdasarkan UUD no 7 tahun 2017 tentang pemilhan umum ada bebrapa
macam pelanggaran: pelanggaran kode etik, pelanggaran ADM, sengketa
proses pemilu, sengketa TUN pemilu,peselisihan hasil pemilu dan tindakan
pidana pemilu. Dari penelitian terdahulu memang sudah ada permasalahn
terkait pemilu ini,
Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong keinginan penulis untuk
mengkaji lebih lanjut terkait dengan masalah tersebut, sehingga penulis
memilih judul: “PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM
BERDASARKAN PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN
2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM”.

Keterkaitan antara dassolen dan dessein, substansinya:


Dassolen dan dassein itu tidak sama dasollem adalah peraturan hukum yg
bersifat umum sedangkan dessein adalah suatu peristiwa konkret yg terjadi
di masyarakat.
D. Rumusan masalah
1. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa pemilihan umum di
Indonesia?
2. Bagaimana konsep penyelesaian sengketa pemilihan umum yang ideal
di Indonesia

E. Kesimpulan:
Pelaksanaan penyelesaian sengketa pemilihan umum di Indonesia dapat diselesaikan oleh
Badan Pengawas Pemilu, Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi, bila
terjadi sengketa proses pemilihan umum dapat diselesaikan Badan Pengawas Pemilu dan
Peradilan Tata Usaha Negara, lain halnya dengan sengketa hasil pemilihan umum dapat
diselesaikan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut menunjukkan tidak terunifikasinya
lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara berkaitan dengan Pemilihan Umum,
sehingga secara kontekstual dapat memicu munculnya problematika yang berpangkal
pada adanya kerancuan koordinasi dan konsolidasi lembaga yang berwenang
menyelesaikan permasalahan Pemilihan Umum yang dikhawatirkan memberikan dampak
berupa tumpang tindih kewenangan kelembagaan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Konsep penyelesaian sengketa pemiihan umum yang ideal di Indonesia yaitu dengan
adanya konstruksi badan Peradilan Khusus Pemilihan Umum secara keseluruhan, dalam
hal ini Bawaslu sebagai Lembaga independent yang berfungsi sebagai pengawas pemilu
bisa dijadikan sebagai Lembaga peradilan khusus untuk menangani sengketa pemilu yang
berdiri sendiri dan terpisah sehingga dapat merapikan eksklusifitas penegakan hukum
Pemilihan Umum di Indonesia. Selain itu dalam hal pemeriksaan sengketa pemilu yang
terintegrasi berimplikasi pada adanya kesamaan pengetahuan yang komprehensif yang
menimbulkan kesinambungan dalam pemeriksaan dan penyelesaian satu sengketa dan
sengketa lainnya, serta menimbulkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan pemilu.
Dalam hal ini Bawaslu dapat mengambil contoh di negara Brazil yang menerapkan
peradilan khusus yang termasuk sistem yang paling efektif di dunia.
F. Teknik penulisan

Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini yang
dianalisis bukanlah data, tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat penelusuran dengan
metode sebagaimana disebutkan di atas. Analisis bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah setelah bahan-bahan hukum dikumpulkan, kemudian diolah dan
dianalisis dengan teknik penafsiran sistematis.
penafsiran sistematis.
Teknik penafsiran sistematis adalah upaya untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun
antara yang tidak sederajat.
Dimana daӏam рeneӏitian ini рenuӏis mengkaji permasalahan dalam penelitian ini yang
рenuӏis kaitkan dan menganaӏisis dengan mengaсu рada рeraturan рerundang-undangan
yang berӏaku sehingga diрerоӏeh reӏevansinya antara рutusan dengan nоrma-nоrma atau
рeraturan рerundang-undangan yang berӏaku khususnya terkait penyelesaian sengketa
proses pemilihan umum berdasarkan prespektif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum.

G.Saran apa
Bertitik tolak pada hasil penelitian dan kesimpulan, maka saran yang dapat penulis
sampaikan yaitu sebagai berikut:
1. Salah satu faktor penyebab lahirnya putusan perkara Pemilu yang tumpang tindih antar
lemabaga Peradilan adalah karena konstruksi UU Nomor i7 Tahun 2017 tentang Pemilu
menyediakan model penegakan sengketa proses Pemilu melalui berbagai lembaga
peradilan yakni PTUN, MA dan MK, bahkan lembaga non-pengadilan, yakni Bawaslu.
Untuk itu maka pemerintah selaku pembuat kebijkan teritama DPR dan Presiden perlu
untuk melakukan erevisi UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu terutama terkait dengan
penegakan hukum Pemilu agar tidak lagi memasukkan banyak pintu penegakan hukum
Pemilu, melainkan cukup satu satu pintu saja.
2. Guna tercapainya penyelesaian sengketa pemilihan umum yang ideal, Indonesia
hendakanya dalam rangka penyelesaian seluruh bentuk sengketa pemilu oleh satu badan
khusus sehingga terciptanaya efektivitas dan efisiensi. Dalam hal ini Indonesia
diharapkan mengadopsi penyelesaian sengketa pemilu yang dimiliki oleh Brazil, namun
tetap diadakannya KPU dan Bawaslu tanpa adanya kewenangan KPU dan Bawaslu untuk
menyelesaikan sengketa. Jika terdapat pihak yang merasa dirugikan maka dapat
mengajukan permohonan penyelesaian sengketa di pengadilan khusus pemilu yang
berwenang menyelesaikan atau memutus sengketa administrasi, hasil, dan tindak pidana.

H. Pedoman studi kasus? (inkrah atau sedang berjalan)


1. Putusan Pengadilan Nomor 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG

a. Alasan Guagatan

Penggugat adalah Ketua dan Sekretaris DPD Partai NasDem Kabupaten

Wonosobo. Secara Nasional Partai Nasdem adalah Partai yang resmi sebagai Peserta

Pemilu Tahun 2019 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang

Pemilihan Umum. Sehingga dengan demikian, Penggugat mempunyai legal standing

dalam gugatan tersebut.

Penggugat, pada tanggal 17 Juli 2018 telah mendaftarkan bakal calon Anggota

DPRD Kabupaten Wonosobo atas nama H. Maryadi, S.Pd. yang terdapat pada Dapil

Wonosobo 5, nomor urut 1 (satu) melalui Partai NasDem Kabupaten Wonosobo kepada

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonosobo, sebagai Calon Anggota DPRD

Kabupaten Wonosobo pada Pemilihan Umum tahun 2019. Hal mana, eksistensi yuridis

H. Maryadi, S.Pd sebagai Calon Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo telah masuk dan

tertulis dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo
berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonosobo Nomor:

151/PL.01.4-Kpt/3307/KPU-Kab/IX/2018.45

Sengketa ini berawal dari terbitnya Surat Keputusan Ketua Komisi Pemilihan

Umum Kabupaten Wonosobo (Tergugat) yang merupakan Surat Keputusan Tata Usaha

Negara berupa Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonosobo Nomor

076/PL.01.4-Kpt/3307/KPU-Kab/III/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan Penetapan

Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonosobo

pada Pemilihaan Umum Tahun 2019, tanggal 09 Maret 2019.

Terhadap Surat Keputusan Tergugat terdapat Cacat Prosedural dan Substantif

dengan alasan :

1) Dalam dictum Menimbang huruf c, Tergugat mendasarkan Pasal 285 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017, berbunyi “Putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280

dan Pasal 284 yang dikenai kepada Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD,

DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU

Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa :

a) Pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota dari daftar calon tetap; atau

b) Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota sebagai calon terpilih;

Tergugat telah salah dalam menafsirkan dan menerapkan Pasal 285 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2017, hal mana H. Maryadi, S.Pd yang Penggugat daftarkan sebagai

45
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
calon anggota DPRD Kabupaten Wonosobo bukanlah sebagai Pelaksana Kampanye

Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

2) Dictum Menimbang huruf d, Tergugat telah mendasarkan pada Putusan Pengadilan

Negeri Wonosobo Nomor 9/Pid.Sus/2019/PN Wsb tanggal 30 Januari 2019, hal mana

putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (inkracht van

gewisjde).46

3) Tergugat tidak teliti atas isi Putusan Pengadilan tersebut, terkait status hukum Calon

Legislatif atas nama H. Maryadi, S.Pd.yang Penggugat daftarkan sebagai calon

anggota DPRD Kabupaten Wonosobo yang pada pokoknya hanya dihukum dengan

Pidana Percobaan atau Tidak Menjalankan Pidana di dalam Penjara. Hal mana,

berdasarkan ketentuan Pasal 285 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum dan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan

Umum Nomor 20 Tahun 2018, sebagaimana telah diubah terakhir dalam Peraturan

Komisi Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 2018, serta ditegaskan dan diatur pada

angka 1 huruf b Surat Komisi Pemilihan Umum Nomor :

1275/PL.01.4-SD/06/KPU/X/2018, tanggal 15 Oktober 2018, tentang Pasca

Penetapan Daftar Calon Tetap. Hal mana, apabila Calon Legislatif melakukan tindak

Pidana lain dan sudah memiliki putusan pengadilan yang bersifat tetap, akan tetapi

Calon Legislatif tersebut menjalankan hukumannya diluar penjara, maka yang

bersangkutan seharusnya tidak dicoret dari Daftar Calon Tetap (DCT).

4) Bahwa berdasarkan alasan yuridis sebagaimana tersebut diatas, maka sudah

semestinya tidak dilakukan Pencoretan oleh KPU Kabupaten Wonosobo terhadap

Calon Legislatif atas nama H. Maryadi, S.Pd. yang terdapat pada dapil Wonosobo 5,
46
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
nomor urut 1 (satu) sebagai calon anggota DPRD Kabupaten Wonosobo, karena

berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Wonosobo H. Maryadi, S.Pd. hanya

menjalankan hukuman di Luar Penjara yaitu hukuman Percobaan.47

5) Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum

Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau Badan Hukum Perdata. Bahwa kekurangan yuridis (cacat yuridis) di

dalam pembuatan keputusan bisa terjadi karena:

a) Dwaling (salah perkiraan)

b) Dwang (paksaan)

c) Bedrog (penipuan)

Keputusan yang timbul karena mengandung unsur-unsur Cacat Yuridis Dan

Substantif di atas tidak lagi Merupakan Keputusan Yang Murni dikeluarkan dan oleh

karenanya kehadapan yang mulia Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang

c.q. Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo pada Pengadilan Tata Usaha Negara

Semarang untuk Di Batalkan atau setidak tidaknya Tidak Mempunyai Kekuatan

Hukum Yang Mengikat.48

Sebelum proses ini bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang

Penggugat telah mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu kepada

Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Wonosobo sesuai dengan kewenangannya yang

diatur dalam aturan perundang-undangan. Akan tetapi, upaya administrative tersebut

47
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
48
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
telah dinyatakan selesai karena Bawaslu Kabupetan Wonosobo berdasarkan Surat Edaran

dari Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia untuk tidak meregister setiap sengketa

sebagaimana di sebutkan di atas. Maka dengan demikian, biarlah Pengadilan Tata Usaha

Negara menyerahkan nasib Penggugat untuk mendapatkan keadilan yang baik.

Dengan demikian, keputusan Tergugat a quo dengan menerbitkan Surat

Keputusan Nomor 076/PL.01.4-Kpt/3307/KPU-Kab/III/2019 Tahun 2019 tentang

Perubahan Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Wonosobo pada Pemilihaan Umum Tahun 2019, tertanggal 09 Maret 2019

adalah bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana

amanat Pasal 53 Ayat (2) huruf a dan Ayat (3) UU RI No. 5 Tahun 1986, tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dan sebagaimana telah dirubah oleh UU RI No. 51 Tahun

2009, tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata

Usaha Negara.49

Begitu pula, keputusan Tergugat a quo dengan menerbitkan Surat Keputusan

Nomor 076/PL.01.4-Kpt/3307/KPU-Kab/III/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan

Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Wonosobo pada Pemilihaan Umum Tahun 2019, telah menimbulkan akibat hukum yang

sangat merugikan Penggugat, di mana hilangnya kepercayaan dari masyarakat khususnya

masyarakat pemilih pada Daerah Pemilihan di mana Calon Legislatif atas nama H.

Maryadi, S.Pd. yang Penggugat daftarkan ke KPU Kabupaten Wonosobo sebagai Calon

Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo dan tercatat dalam Daftar Calon Tetap Anggota

Dprd Kabupaten Wonosobo pada Pemilihan Umum Tahun 2019. Sehingga efek domino

tersebut berpengaruh pada asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana


49
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
ketentuan Pasal 53 Ayat (2) huruf b UU RI No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata

Usaha Negara dan sebagaimana telah dirubah oleh UU RI No. 51 Tahun 2009, tentang

Perubahan Kedua atas UU RI No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Keputusan Tergugat juga bertentangan dengan asas kepastian hukum, yakni suatu

asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan perundang-undangan, kepatutan,

ketelitian dan kehati-hatian serta keadilan dalam pembuatan kebijakan oleh

penyelenggara Negara sebagaimana penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-Undang

Repubblik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang

Bersih Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.50

b. Permohonan

Adapun permohonan Penggugat selaku Ketua dan Sekretaris DPD Partai NasDem

Kabupaten Wonosobo yaitu sebagai berikut:

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2) Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Wonosobo Nomor 076/PL.01.4-Kpt/3307/KPU-Kab/III/2019 Tahun 2019

tentang Perubahan Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten Wonosobo pada Pemilihaan Umum Tahun 2019, tanggal 09 Maret

2019.

3) Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Wonosobo Nomor 076/PL.01.4-Kpt/3307/KPU-Kab/III/2019 Tahun 2019

tentang Perubahan Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten Wonosobo pada Pemilihaan Umum Tahun 2019.

50
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
4) Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan tentang Penetapan Calon

Legislatif atas nama H. Maryadi, S.Pd. yang Penggugat daftarkan sebagai Calon

Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo dan dimasukan kedalam Daftar Calon Tetap

Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo.

5) Membebankan biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Tergugat.51

c. Putusan Hakim

Berdasarkan pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang

memberikan putusan sebagai berikut:

1) Menyatakan Eksepsi Tergugat tentang Kompetensi Absolut Pengadilan tidak

diterima.

2) Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.

3) Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 375.000,-

(Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah).

2. Putusan Pengadilan Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr

a. Dasar Gugatan

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok Tengah (Tergugat) dalam

mengeluarkan Surat Keputusan KPU Kabupaten Lombok Tengah Nomor 13/HK.04.1-

Kpt/5202/KPU-Kab./III/2019, tertanggal 6 Maret 2019 selanjutnya disebut Objek

Sengketa adalah bertindak berdasarkan kapasitasnya selaku Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut, “Badan atau

51
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan

pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku”.52

Surat Keputusan Tergugat merupakan Penetapan Tertulis (beschiking) yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum

berdasarkan peraturan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 butir (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara yaitu bersifat : Konkret Wujudnya tertulis, jelas karena nyata-nyata dibuat oleh

Tergugat, tidak abstrak tetapi berwujud Surat Keputusan yang tertulis dan secara konkrit

menegaskan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Lombok Tengah

Nomor 13/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./III/2019, tertanggal 6 Maret 2019. Individual

Secara tegas dan jelas keputusan (objek sengketa) tersebut ditujukan kepada Dewan

Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya Kabupaten Lombok Tengah. Final Surat

Keputusan Tergugat a quo sudah tidak memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau

instansi lainnya, sehingga sudah bersifat definitive dan sudah menimbulkan akibat

hukum.53

Objek Sengketa yang mencoret calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupeten Lombok Tengah atas nama Baiq Sumarni dari Partai Golongan Karya Daerah

Pemilihan Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar Calon Tetap (DCT)

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Tengah pada Pemilihan

Umum 2019, tertanggal 6 Maret 2019 dilakukan secara melawan hukum dan tanpa dasar

52
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
53
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
konstitusional oleh Tergugat adalah jelas dan terang telah merugikan Penggugat. Bahwa

Penggugat, selaku Calon Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah dari Partai

Golongan Karya Daerah Pemilihan Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar

Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok Tengah pada

Pemilihan Umum 2019 adalah sah berdasarkan keputusan KPU Kabupaten Lombok

Tengah, sangat dirugikan kepentingannya dengan diterbitkan Surat Keputusan Tergugat

tersebut, karena Surat Keputusan Tergugat (objek sengketa) menyebabkan kekacauan dan

mendatangkan political destruck dalam penyelenggaraan proses demokrasi di Kabupaten

Lombok Tengah.

Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Penggugat berhak untuk mengajukan gugatan pembatalan terhadap Surat

keputusan Tergugat a quo. Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara yang menyatakan: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan

gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan

Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau

tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.

Surat Keputusan Tergugat merupakan Surat Keputusan Administratif, karenanya

sesuai dengan Pasal 48 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, maka Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram berwenang untuk memeriksa,

memutuskan dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara ini.54

Keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor

13/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./III/2019 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok Tengah Nomor

34/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT)

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Pada Pemilihan Umum

Tahun 2019, batal demi hukum karena keputusan tersebut tidak didasarkan pada produk

hukum yang cacat hokum dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1) Keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor

13/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./III/2019 pada lampiran ke tiga tidak berdasarkan

hukum sebagaimana diatur pada Pasal 285 Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum;

2) Pasal 285 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi

”putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran

sebagaiman dimaksud dalam pasal 280 dan 284 yang dikenai pada pelaksana

kampanye pemilu DPR, DPD DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten yang berstatus

sebagai calon anggota DPR, DPD DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.

3) Sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota untuk mengambilkan

tindakan berupa:55

a) Pembatalan nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupten/kota dari

daftar calon tetap.

54
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
55
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
b) Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD

Kabupaten/kota sebagai calon terpilih.

4) Tergugat KPU Kabupaten Lombok Tengah telah keliru menerapkan Pasal 285

Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai dasar untuk

Mencoret calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok Tengah atas

nama BAIQ SUMARNI dari Partai Golongan Karya Daerah Pemilihan Lombok

Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Kabupaten Lombok Tengah pada Pemilihan Umum 2019,

tertanggal 6 Maret 2019;

5) Adressat norm atau maksud/tujuan penerapan Pasal 285 harus dengan adanya

pelanggaran atau putusan pengadilan bersifat kumulatif yaitu pasal 280 dan 284

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;56

6) Penerapan pasal 285 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

dalam penerapannya adalah suatu pasal yang bersifat kumulatif sedangakan Baiq

Sumarni berdasarkan amar Putusan Pengadilan Negeri Praya hanya melanggar pasal

280 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maksud

pelanggaran secara kumulatif dalam Undang-undang ini ialah kumulatif gabungan

penerapan pasal 280 dan pasal 284 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum sebagai syarat pencoretan atau pembatalan sebagai Calon Anggota

DPRD Kabupaten Lombok Tengah;

7) Seharusnya Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok Tengah harus mengkaji

secara imperatif terhadap pasal 285 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang

pemilihan umum sebgai dasar Keputusan Komisi Pemilihan Umun Kabupaten


56
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
Lombok Tengah Nomor 13/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./III/2019 Tentang

Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok

Tengah Nomor 34/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./IX/2018 Tentang Penetapan Daftar

Calon Tetap (DCT) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok

Tengah Pada Pemilihan Umum Tahun 2019 untuk melakukan pencoretan terhadap

pemohon dari daftar calon tetap;

Penting bagi Pemohon untuk sampaikan mengenai hak dipilih secara tersurat

diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (3),

Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi

setiap warga negaranya. Bahwa hak politik, memilih dan dipilih merupakan hak asasi.

Pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk

pelanggaran hak asasi warga Negara.57

Berdasarkan hal tersebut di atas Penggugat sebagai calon anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok Tengah atas nama Baiq Sumarni dari Partai

Golongan Karya Daerah Pemilihan Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar

Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Lombok Tengah pada

Pemilihan Umum 2019, tertanggal 6 Maret 2019 harus mendapatkan perlindungan

hukum dan hak politiknya sebagai calon Dewan Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok

Tengah.

Secara psikologi/sosiologis dan konstitusional Penggugat memiliki hak yang sama

dan implementasinya hak dan kewajibanpun dipilih, penjamin hak dipilih secara tersurat

dalam UUD 1945 mulai ayat (3). Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat

57
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
(2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945.

Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas.

Keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, secara jelas telah tidak memperhatikan dan bertentangan dengan Asas-asas

umum pemerintahan yang baik (The General Principles of Good Administration),

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) hurup b Undang-undang Nomor 9 Tahun

2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara.58

58
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
b. Tuntutan

Adapun permohonan Penggugat selaku calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupeten Lombok Tengah atas nama Baiq Sumarni dari Partai Golongan Karya Daerah

Pemilihan Lombok Tengah 3 yaitu sebagai berikut:

1) Mengabulkan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Obyek Sengketa;

2) Memerintahkan Tergugat untuk menunda pelaksanaan Surat Keputusan Tergugat

Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok Tengah Nomor

13/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./III/2019 Tentang Perubahan Kedua atas Keputusan

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok Tengah Nomor

34/HK.04.1-Kpt/5202/KPU-Kab./IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap

(DCT) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Tengah Pada

Pemilihan Umum Tahun 2019, tertanggal 6 Maret 2019 sampai adanya putusan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara ini.59

3) Menyatakan Batal atau Tidak Sah Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Lombok Tengah Nomor 13/HK.04.1-Kpt/5202/KPUKab./III/2019

Tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten

Lombok Tengah Nomor 34/HK.04.1-Kpt/5202/KPUKab./IX/2018 Tentang Penetapan

Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Lombok Tengah Pada Pemilihan Umum Tahun 2019, tertanggal 6 Maret 2019 (Objek

Sengketa);

4) Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Objek Sengketa;

5) Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan tentang penetapan kembali

Penggugat sebagai Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Lombok


59
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
Tengah atas nama BAIQ SUMARNI dari Partai Golongan Karya Daerah Pemilihan

Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar Calon Tetap (DCT) anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Lombok Tengah pada Pemilihan Umum 2019.

c. Putusan Hakim

Berdasarkan pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram

memberikan putusan sebagai berikut:

1) Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima (niet onvantkelijk verklaard);

2) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini

sejumlah Rp. 644.000,00 (enam ratus empat puluh empat ribu rupiah);60

60
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
3. Putusan Pengadilan Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN

a. Dasar Gugatan

Penggugat adalah Calon Anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah yang

dicalonkan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Maluku Daerah

Pemilihan Maluku Tengah 4. Pada tanggal 12 Mei 2019, sehari setelah Pleno PPK

Leihitu Penggugat Beserta Pengurus DPC Partai Demokrat Maluku Tengah melakukan

pemeriksaan terhadap hasil rekapitulasi tingkat PPK Kecamatan Leihitu yang

disandingkan dengan Model C1-DPRD Kab/Kota, yang telah disesuaikan dengan C1

Plano saat rekapitulasi tiap-tiap TPS di tingkat PPK. Penggugat Beserta Pengurus DPC

Partai Demokrat Maluku Tengah menemukan adanya pergeseran/pemindahan suara dari

calon anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah Daerah Pmilihan 4, Nomor Urut 7

Partai Perindo, pada Desa Hitu Mesing ke Partai Persatuan Pembangunan dan suara calon

No urut 4. Lamhita Pelu. Pergeseran suara dimaksud berdampak pada pengurangan suara

dari Partai Perindo dan terjadi Penambahan/ peningkatan perolehan suara pada Partai

Persatuan Pembangunan.61

Pelanggara administrasi tersebut merugikan penggugat untuk mendapatkan Kursi

DPRD kabupaten Maluku Tengah dalam proses Pemilihan Umum yang diselenggarakan,

dan perbuatan tersebut pelanggaran administrasi tersebut menimbulkan selisih angka

pada C1 kab/kota, yang menguntungkan Partai Persatuan Pembangunan dan merugikan

penggugat dan Partai Demokrat. Dengan perhitungan jika tidak terjadi pergeseran angka

dan pengelembungan suara kepada partai persatuan pembangunan, maka Partai Demokrat

berhak memperoleh kursi ke-7 (Tujuh) pada daerah pemilihan 4 Kabupaten Maluku

Tengah. Untuk DPRD Kabupaten Maluku Tengah periode 2019-2024.


61
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
Terhadap pelanggaran adminstrasi tersebut Syafii Boeng, SH selaku Pengurus

Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Maluku telah melaporkan Anggota

Panitia Pemilihan Kecamatan Leihitu selaku bawahan dari Tergugat ke Badan Pengawas

Pemilihan Umum Kabupaten Maluku Tengah ada tanggal 17 Mei 2019, karena diduga

melakukan pelanggaran Administrasi Pemilu yaitu melanggar tata cara, prosedur atau

mekanisme yang berkaitan dngan admnistrasi pelaksanaan Pemilu.62

Setelah Laporan dari Syafii Boeng, SH selaku Pengurus Dewan Pimpinan Cabang

Partai Demokrat Kabupaten Maluku diterima dan diperiksa oleh Badan Pengawas

Pemilihan Umum Kabupaten Maluku Tengah, maka dikeluarkannya Putusan Nomor

004/Adm/Bwsl-Malteng/Pemilu/V/2019, Tanggal 17 Juni 2019. Putusan Bawaslu

Kabupaten Maluku Tengah Nomor 004/Adm/Bwsl-Malteng/Pemilu/V 2019, Tanggal 17

Juni 2019, yang selanjutnya dikuatkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik

Indonesia Nomor 47/K/ADM/ BWSL/PEMILU/VI/2019, Tanggal 28 Juni 2019 yang

diajukan oleh Terlapor IV yaitu Said Patta, SPI yang adalah Calon Anggota DPRD dari

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan berdasarkan putusan Bawaslu tersebut, maka

Bawaslu Kabupaten Maluku Tengah telah menyurati Tergugat (KPU Kabupaten Maluku

Tengah) dengan Suratnya tanggal 06 Juli 2019, Nomor 119

Bawaslu-Malteng/HK.01.00/VI/2019, Perihal Tindak Lanjut Putusan Bawaslu Maluku

Tengah Dan Putusan Koreksi Bawaslu RI, tetapi Tergugat tidak menindaklanjutinya, pada

hal merupakan kewajibannya sebagimana dimaksud pasal 20 huruf j UU Nomor 7 Tahun

2017 Tentang Pemilu yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota berkewajiban melaksanakan

dengan segera putusan Bawaslu Kabupoaten/Kota”.

62
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
Berdasarkan putusan Bawaslu Kabupaten Maluku Tengah Nomor

004/Adm/Bwsl-Malteng/Pemilu/V 2019, Tanggal 17 Juni 2019 yang dikuatkan oleh

putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor

47/K/ADM/BWSL/PEMILU/VI/2019, Tanggal 28 Juni 2019, maka seharusnya Tergugat

menetapkan Penggugat sebagai Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Kabupaten Maluku Tengah Dapil Maluku Tengah 4 dari Partai Demokrat, bukan

menetapkan Said Patta, SPi sebagai Calon Terpilih Anggota DPRD dari Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 huruf j UU Nomor 7 Tahun

2017 Tentang Pemilu.63

Bawaslu Kabupaten Maluku Tengah telah menyurati Tergugat (KPU Kabupaten

Maluku Tengah) dengan Suratnya tanggal 06 Juli 2019, Nomor 119

Bawaslu-Malteng/HK.01.00/VI/2019, Perihal Tindak Lanjut Putusan Bawaslu Maluku

Tengah Dan Putusan Koreksi Bawaslu RI akan tetapi Tergugat sama sekali tidak

melakukan koreksi sehingga pada tanggal 05 Agustus 2019 pukul 11.21 WIB ketua DPC

Partai Demokrat Kabupaten Maluku Tengah mengajukan pengaduan dugaan pelanggaran

kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan ketua beserta anggota KPU kabupaten

Maluku tengah Kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia

(DKPP-RI) Dengan Pengaduan Nomor :284-P/L-DKPP/VIII/2019 dan sampai gugatan

ini diajukkan proses persidangan masi berlangsung pada Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPPRI).64

Dengan tidak ditetapkannya Penggugat sebagai Calon Terpilih Anggota Dewan

Perwakilan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Dapil Maluku Tengah 4 dari Partai

63
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
64
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
Demokrat oleh Tergugat berdasarkan Surat keputusan a quo kepada Penggugat adalah

melanggar Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) sebagaimana

dimaksud dalam pasal 3 huruf a Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 yaitu asas

Kepastian hukum yang adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan

Penyelenggara Negara artinya dengan adanya putusan Bawaslu Kabupaten Maluku

Tengah Nomor 004 / Adm / Bwsl-Malteng /Pemilu/V/2019, Tanggal 17 Juni 2019 yang

dikuatkan oleh putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor

47/K/Adm/Bwsl/Pemilu/VI/2019, Tanggal 28 Juni 2019, maka seharusnya Tergugat

menetapkan Penggugat sebagai Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Kabupaten Maluku Tengah Dapil Maluku Tengah 4 dari Partai Demokrat, bukan

menetapkan Said Patta, SPI sebagai Calon Terpilih Anggota DPRD dari Partai Persatuan

Pembangunan (PPP).

Oleh karena itu Keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan cacat administrasi, sehingga Surat

Keputusan Tergugat a quo yang tidak menetapkan Penggugat sebagai Calon Terpilih

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Maluku Tengah, akan tetapi menetapkan

Said Patta, SPI sebagai Calon Terpilih Anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah dari

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) harus dinyatakan batal dan tidak sah oleh

Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon Cq. Majelis Hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara ini.65

b. Tuntutan

65
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
Adapun permohonan Penggugat selaku Calon Anggota DPRD Kabupaten Maluku

Tengah yang dicalonkan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten

Maluku Daerah Pemilihan Maluku Tengah 4 yaitu sebagai berikut:

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2) Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten

Maluku Tengah Nomor 33/Pl.01.9-Kpt/8101/KPU-Kab/VIII/2019, Tentang

Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku

Tengah Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, Tanggal 13 Agustus 2019, pada

lampiran 4 (Empat) Daerah Pemilihan Maluku Tengah 4 dari Partai Persatuan

Pembangunan atas nama Said Patta.

3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Maluku Tengah Nomor 33/Pl.01.9-Kpt/8101/KPU-Kab/VIII/2019,

Tentang Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Maluku Tengah Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, Tanggal 13 Agustus 2019,

pada lampiran 4 (Empat) Daerah Pemilihan Maluku Tengah 4 dari Partai Persatuan

Pembangunan atas nama Said Patta.

4) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini.66

c. Putusan Hakim

Berdasarkan pertimbangannya, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku

memberikan putusan sebagai berikut:

1) Menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tentang Pengadilan Tata

Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili.

66
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
2) Menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima.

3) Menghukum Penggugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dalam

sengketa ini sejumlah Rp. 460.000,- (Empat ratus enam puluh ribu rupiah).67

67
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN

Anda mungkin juga menyukai