3
Muntoha, “Demokrasi dan Negara Hukum”, Jurnal Hukum, Volume 16 Nomor 3, Juli, 2009, hlm:381
4
Syahrial Syarbaini, dkk, (ed.) Pengetahuan Dasar Ilmu Politik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 141
5
P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 177.
mengangkat eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. 6
Menurut Manuel Kaisiepeo dalam Bintar R. Saragih, menjelaskan bahwa pemilihan umum
merupaka sesuatu yang penting dalam menjalankan kekuasaan, karena disanalah penguasa
mendapatkan legitimasi atas kekuasaan tersebut.7
Pemilihan umum menjadi tanda dimana rakyat melaksanakan kedaulatannya secara
bebas dan merdeka dalam memilih siapa pun yang mereka inginkan, karena rakyat tidak
ingin menjadikan rezim yang ada selalu bercokol mempertahankan status quo nya dalam
jabatan pemerintahan sehingga menjadi kekhawatiran bagi rakyat yang ingin membangun
sistem demokrasi kemudian berubah berorientasi menjadi pemerintahan yang feodal. Maka
tidaklah berlebihan apabila Maurice Duverger mengatakan bahwa dimana ada pemilihan
yang merdeka dan bebas disitulah ada demokrasi. 8
Jika rakyat dikatakan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam suatu negara maka
sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan, rakyat berhak menentukan cara
penyelenggaraan pemerintahan serta menentukan tujuan yang hendak ingin dicapainya
dalam sebuah negara. Tentunya menjadi sulit apabila dalam praktek penyelenggaraan
ketatanegaraan semua rakyat menyatakan kehendaknya secara perorangan untuk
menentukan kebijakan yang akan dilakukan dalam pemerintahan. Apabila kita melihat
jumlah rakyat Indonesia yang jumlahnya jutaan terdiri dari keberagaman suku, agama,
etnis, tentulah menjadi tidak mungkin apabila secara perorangan melaksanakan
kebijakannya secara murni dalam pemerintahan. Sehingga dalam hal ini dibuatlah formula
bagaimana rakyat tetap dapat menentukan kehendaknya dengan cara dilakukan
melalui sistem perwakilan, yang dalam bahasa Jimly Asshiddiqqie sebagai
sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indirect
democracy).9
Walaupun pada prinsipnya pemilihan umum menjadi alat dalam
mewujudkan kedaulatan rakyat yang melibatkannya secara langsung, akan
6
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sitem Pemilihan Umum di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta, 2017, hlm 45.
7
Bintar R. Siragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta,
1998, hlm. 167
8
Ibid, hlm.169.
9
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 168.
tetapi pelaksanaan pemilu memiliki beberapa varian sistem dalam pelaksanaan
pemilihan umum. Adanya varian sistem yang berbeda-beda tersebut tidak
berarti pelaksanaan pemilihan umum mengabaikan prinsip utamanya yaitu
kedaulatan rakyat, akan tetapi tetap berpijak pada prinsip bahwa rakyat
sebagai pemilik kuasa yang mutlak dan bukan sesuatu yang kompromis. 10
10
Zainal Arifin Hoesein, Penataan Pemilih dalam Sistem Pemilihan Umum, Rajawali Pers, Depok, 2017,
hlm. 19.
11
Syahrial Syarbaini, dkk, (ed.) Pengetahuan Dasar Ilmu Politik. Bogor: Ghalia. Indonesia, 2011, hlm. 141
12
P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 177.
nurani rakyat, maka pelaksanaan pemilihan umum harus berpedoman kepada asas-asas
yang telah disepakati bersama.13
Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak
politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat
kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Adapun menurut Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, pemilu adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat
prinsipiil, karena dalam pelaksanaan hak asasi adalah suatu keharusan pemerintah untuk
melaksanakan pemilu. Sesuai asas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semua itu
dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Oleh karena itu pemilu adalah suatu
syarat yang mutlak bagi negara demokrasi untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.14
Dari beberapa penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pemilihan
umum itu sebagai suatu jalan yang dijadikan oleh warga negara untuk memilih seorang
pemimpin dan wakil pemimpin dalam mengurusi suatu Negara tersebut. dalam artian
bahwa rakyat dapat memilih langsung pemimpin yang nantinya akan memimpin rakyat-
rakyatnya dan sebagai pendengar aspirasi rakyat yang telah rakyat alami dan rasakan
sehingga dapat menjadi sebuah tanggungjawab pemimpin terhadap rakyatnya agar
rakyatnya menjadi sejahtera.
22
Zainal Arifin Hoesein, Penataan Pemilih dalam Sistem Pemilihan Umum, Rajawali Pers, Depok, 2017,
hlm. 19.
23
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm.461.
24
Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi,
Kencana Media Grup, Jakarta, 2017, hlm. 47
dan perhitungan suara lebih singkat, karena tidak perlu menghitung sisa suara yang
terbuang.25
Adapun kekurangan sistem ini, yaitu:
a. Kemungkinan akan ada suara yang terbuang,
b. Menyulitkan partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas mempunyai
keterwakilan.
c. Terjadinya pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama dan tingkat kedua.
Dalam sistem pemilihan proporsional, wilayah negara meruapakan satu daerah
pemilihan. Akan tetapi, karena luasnya wilayah negara dan jumlah penduduk warga
negara yang banyak, maka wilayah tersebut dibagi atas dapil-dapil pemilihan
(misalnya, provinsi menjadi satu daerah pemilihan). Kepada daerah-daerah pemilihan
ini dibagikan sejumlah kursi untuk diperebutkan tergantung pada luas daerah pemilihan
dan jumlah penduduk, pertimbangan politik, dan sebagainya. Yang pasti akan ada lebih
dari satu kursi yang diperebutkan dan sisa suara dari daerah pemilihan tertentu tidak
dapat digabungkan dengan sisa suara di daerah pemilihan lain. Karena itu, sistem ini
disebut multi-member constituency. Adapun positif dan negatif dari system
proporsional ini, yaitu: (1) suara yang sangat terbuang sangatlah sedikit. (2) partai
politik kecil/minoritas, besar kemungkinan mendapat kursi di parlemen. Sedangkan segi
negatif dari sistem proporsional ini, antara lain:
a. Timbulnya partai-partai politik baru yang cenderung mempertajam perbedaan-
perbedaan yang ada dan oleh karena itu kurang terdorong untuk mencari
persamaan-persamaan.
b. Setiap calon terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai politik yang
mencalonkannya dan kurangnya loyalitas pada rakyat yang memilihnya.
c. Pemerintahan tidak stabil dikarenakan banyak partai politik yang mempersukar
jalannya pemerintahan, lebih-lebih dalam sistem pemerintahan parlementer karena
pembentukan pemerintah/kabinet harus didasarkan atas koalisi (kerja sama) anatar
dua partai politik atau lebih.
d. Terjadinya pencerminan pendapat yang salah pada tingkat pertama. 26
25
Ibid, hlm. 48
26
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pres, 2015, hlm. 47.
3. Fungsi Pemilihan Umum
Ada sejumlah fungsi pokok yang melekat pada pemilihan umum, antara lain
adalah fungsi pemilihan umum sebagai rekrutmen politik, dapat dipahami berkaitan
dengan negara-negara yang menganut paham demokrasi dipandang bahwa pemilihan
umum secara prinsipil sebagai sumber rekrutmen politik. Dengan memilih pemimpin atau
pejabat baik dalam bentuk konfirmasi terhadap kepemimpinan politik yang lama maupun
dengan penggantian pejabat baru dipandang sebagai fungsi pokok dalam pemilihan
umum. Pemerintah yang dipilih oleh rakyat dengan melalui proses pemilihan, maka tidak
diragukan bahwa pemilihan umum memang banyak terlibat dalam fungsi dan rekrutmen
politik.27
Pemilihan umum juga dianggap menjalankan fungsi legitimasi yakni dengan
membina hubungan atau dukungan publik bagi suatu rezime ataupun sebuah sistem
politik dan kepatuhan terhadap kebijakan serta regulasi lembaga-lembaga politik negara.
Dalam hubungan ini bahwa adanya stabilitas sosial politik dijadikan sebagai indikator
terhadap legitimasi, legitimasi juga ada kaitannya dengan atau merupakan hubungan
antara pemerintah (pemimpin) dan masyarakat (yang dipimpin). Maka oleh sebab itu
legitimasi adalah sikap masyarakat terhadap kewenangan, apakah masyarakat dapat
menerima ataukah mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan
keputusan yang mengikat masyarakat, maka kewenangan itu disebut terlegitimasi.28
Dari berbagai fungsi pemilihan umum diatas, penulis menyimpulkan sendiri
bahwa pemilihan umum itu berfungsi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan
menduduki suatu jabatan tertentu yang kemudian bertanggung jawab kepada para
pemilihnya yaitu rakyat yang telah memilihnya. Fungsi pemilihan umum yang lainnya
adalah sebagai penghubung partai politik terhadap pemerintahan, karena dalam pemilihan
calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik, maka apabila calon
presiden yang diusung oleh partai tersebut memenangkan pemilu, maka antara
pemerintah dan partai politik tersebut saling berhubungan.
4. Sistem Pemilu
27
P. Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012, hlm. 179
28
Ibid, hlm. 180
Sistem pemilu hakikatnya merupakan seperangkat metode yang mengatur warga
negara dalam memilih para wakilnya dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti
halnya parlemen. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa sistem pemilihan dapat
berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih dalam suatu kursi di
parlemen.29 Sistem pemilihan umum dapatlah dirumuskan sebagai sebuah instrumen
untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilihan umum ke dalam kursi-kursi
yang dimenangkan oleh partai atau calon.30
Menurut penulis, Sistem pemilu adalah tata cara yang digunakan untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang kemudian menempatakan suara rakyat yang telah memilih
tersebut menjadi wakil rakyat di parlemen ataupun dalam pemerintahan. Melalui sistem
pemilu, rakyat dapat mengetahui wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dan
juga dapat memilih wakil yang mereka inginkan sebagai perwakilan rakyat di parlemen.
Secara sederhana, sistem pemilu dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
sistem proporsional dan sistem nonproporsional. Tetapi, jika mencermati sistem pemilu
yang dipakai oleh negara-negara yang pernah menyelenggarakan pemilu, jumlah sistem
pemilu sebenarnya cukup banyak.31 Akan tetapi, pada umumnya, sistem pemilu berkisar
pada dua prinsip dasar, yaitu (1) satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya
disebut sistem pemilihan distrik, (2) satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil,
biasanya dinamakan sistem perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional.
a. Sistem Pluralitas-Mayoritas atau Sistem Distrik
Sistem pluralitas mayoritas mempunyai ciri utama yakni pembagian daerah
pemilihan yang berbasis distrik. Negara dibagi-bagi ke dalam distrik-distrik sesuai
dengan jumlah kursi yang di perebutkan. Karena basis pemilihan berdasarkan distrik,
maka sistem pluralitas-mayoritas ini biasa disebut dengan sistem distrik. Umumnya
sistem distrik hanya diwakili oleh seorang wakil tunggal. Karena perwakilan tunggal
ini, maka calon terpilih umumnya ditentukan berdasarkan suara mayoritas. Dampak
dari penggunaan sistem ini adalah kecenderungan terbentuknya sistem dua partai.
Dengan demikian peluang paling besar yang dihasilkan melalui sistem distrik adalah
29
Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, hlm, 336
30
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm. 179
31
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010, hlm. 84.
sistem dua partai. Legitimasi wakil rakyat terpilih juga tinggi karena ditentukan
berdasarkan suara mayoritas, sehingga akuntabilitasnya lebih terjamin.32
b. Sistem Perwakilan Berimbang
Dalam sistem perwakilan berimbang, peran parpol sangat dominan. Baik
dalam proses pencalonan maupun dalam menentukan calon terpilih hingga saat
anggota terpilih bekerja di parlemen, peran sentral parpol ini sesuai dengan posisi
parpol sebagai pilar demokrasi. Melalui sistem ini parpol-parpol kecil diberikan
peluang untuk berkembang menjadi besar. Kaderisasi juga menjadi sangat penting
bagi parpol karena para kader harus mampu bersaing ketika memperjuangkan
kebijakan parpol saat di parlemen. Keenderungan sistem ini adalah anggota parlemen
lebih berorientasi ke tingkat nasional dibanding ke daerah pemilihannya.33
Berdasarkan Sistem pemilihan umum yang telah di paparkan diatas dapat
disimpulkan kembali oleh penulis bahwa terdapat dua sistem dalam pemilihan umum
yaitu ada yang dinamakan sistem distrik yang berarti rakyat memilih satu wakil dalam
suatu daerah tempat pemilihannya, dan ada juga yang dinamakan dengan sistem
proporsional yaitu rakyat memilih beberapa wakil di daerah tempat pemilihnya.
Adapun sistem pemilu yang digunakan pada pemilu 2019 yaitu sistem proporsional
terbuka.
Sistem proporsional terbuka yaitu pemilih dapat memberikan suaranya secara
langsung kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini pemilih memberikan suaranya
kepada partai, calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk
terpilih karena suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak calon yang
menjadi urutan teratas.34 Dalam artian lain, sistem proporsional terbuka yang
digunakan pada pemilu tahun 2019 yaitu memilih anggota legislatif berdasarkan suara
terbanyak. Artinya, siapa yang memiliki suara terbanyak dalam pemilu, mereka yang
berhak menjadi anggota legislative.35 Dalam penggunaan sistem proporsional terbuka,
berarti di dalam kertas suara pemilu terpampang nama calon legislatifnya selain nama
32
I Made Leo Wiratama, dkk, (ed.) Panduan Lengkap Pemilu 2019, Jakarta: Formappi, 2018, hlm. 11
33
Ibid, hlm. 16
34
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005, hlm. 487.
35
Robertus Wardi, Sitem Pemilu Proporsional Terbuka Dinilai Sudah Tepat, Https://www.beritasatu.com di
akses pada 19 Maret 2022
partai politiknya, agar pemilih dapat mencoblos langsung nama calon legislatif yang
di inginkan.36
38
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana,
2010, hlm. 85.
a. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki
posisi strategis berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, dalam perjalanan politik
Indonesia, Penyelenggara Pemilu mempunyai dinamika sendiri. 39 Dalam suatu sitem
politik yang demokratis, kehadiran Pemilu yang bebas dan adil (free and fair) adalah satu
keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang di siapkan negara, seringkali
menggunakan system klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. 40
Oleh karena pentingnya posisi penyelenggara Pemilu, maka secara Konstitusional
eksistensinya diatur dalam UUD 1945. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa
pemilihan umum bersifat Nasional, tetap dan mandiri. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
memberi landasan hukum sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. 41
Menurut Pasal 6 Undang-Undang no 7 Tahun 2017. KPU terdiri atas : KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, KPPSLN. Dan menurut Pasal
7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
39
Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta, Fajar Media Press,
2011, Hlm. 42.
40
Nuruhuddin Hady, Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Setara Press, Malang, 2016, hlm 148.
41
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 221.
b. Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)
Undang-Undang no 7 Tahun 2017 menegaskan adanya wadah lain sebagai
penyelenggara Pemilu selain Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang dinamakan
dengan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Eksistensi Bawaslu yang juga
penyelenggara Pemilu selain KPU merupakan terjemahan dari ketentuan Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945 tentang istilah “Suatu Komisi Pemilihan Umum”.42
Menurut Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Bawaslu
sebagaimana dimaksud terdiri atas : Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN,
Pengawas TPS. Untuk menjamin suatu kualitas penyelenggaraan Pemilu agar sesuai
dengan asas-asas Pemilu dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
diperlukan adanya suatu pengawasan.43
c. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Untuk Pertama kali dalam sejarah penyelenggaraan Pemilu, bahwa Pemilu
tahun 2009 mengenai Kode Etik dan Dewan Kehormatan berdasakan ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Berubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu juga dibentuk berdasarkan desakan agar
Pemilu dapat diselenggarakan secara demokratis.44
Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan
dan atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota
KPU, anggoa KPU Provinsi, anggota, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu,
anggota Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota.
42
Sodikin, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, Gramata Publishing, Bekasi, 2014, hlm 79
43
Ibid., Hlm 81
44
Ibid., Hlm 83
Tulisan singkat yg berisi pertanyaan tentang topic yang diangkat oleh
penulis, mengarah tujuan dari sebuah tulisan ilmiah, agar focus terhadap
pembahasan hal tertentu.
E. Kesimpulan:
Pelaksanaan penyelesaian sengketa pemilihan umum di Indonesia dapat diselesaikan oleh
Badan Pengawas Pemilu, Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi, bila
terjadi sengketa proses pemilihan umum dapat diselesaikan Badan Pengawas Pemilu dan
Peradilan Tata Usaha Negara, lain halnya dengan sengketa hasil pemilihan umum dapat
diselesaikan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut menunjukkan tidak terunifikasinya
lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara berkaitan dengan Pemilihan Umum,
sehingga secara kontekstual dapat memicu munculnya problematika yang berpangkal
pada adanya kerancuan koordinasi dan konsolidasi lembaga yang berwenang
menyelesaikan permasalahan Pemilihan Umum yang dikhawatirkan memberikan dampak
berupa tumpang tindih kewenangan kelembagaan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Konsep penyelesaian sengketa pemiihan umum yang ideal di Indonesia yaitu dengan
adanya konstruksi badan Peradilan Khusus Pemilihan Umum secara keseluruhan, dalam
hal ini Bawaslu sebagai Lembaga independent yang berfungsi sebagai pengawas pemilu
bisa dijadikan sebagai Lembaga peradilan khusus untuk menangani sengketa pemilu yang
berdiri sendiri dan terpisah sehingga dapat merapikan eksklusifitas penegakan hukum
Pemilihan Umum di Indonesia. Selain itu dalam hal pemeriksaan sengketa pemilu yang
terintegrasi berimplikasi pada adanya kesamaan pengetahuan yang komprehensif yang
menimbulkan kesinambungan dalam pemeriksaan dan penyelesaian satu sengketa dan
sengketa lainnya, serta menimbulkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan pemilu.
Dalam hal ini Bawaslu dapat mengambil contoh di negara Brazil yang menerapkan
peradilan khusus yang termasuk sistem yang paling efektif di dunia.
F. Teknik penulisan
Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini yang
dianalisis bukanlah data, tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat penelusuran dengan
metode sebagaimana disebutkan di atas. Analisis bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah setelah bahan-bahan hukum dikumpulkan, kemudian diolah dan
dianalisis dengan teknik penafsiran sistematis.
penafsiran sistematis.
Teknik penafsiran sistematis adalah upaya untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun
antara yang tidak sederajat.
Dimana daӏam рeneӏitian ini рenuӏis mengkaji permasalahan dalam penelitian ini yang
рenuӏis kaitkan dan menganaӏisis dengan mengaсu рada рeraturan рerundang-undangan
yang berӏaku sehingga diрerоӏeh reӏevansinya antara рutusan dengan nоrma-nоrma atau
рeraturan рerundang-undangan yang berӏaku khususnya terkait penyelesaian sengketa
proses pemilihan umum berdasarkan prespektif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum.
G.Saran apa
Bertitik tolak pada hasil penelitian dan kesimpulan, maka saran yang dapat penulis
sampaikan yaitu sebagai berikut:
1. Salah satu faktor penyebab lahirnya putusan perkara Pemilu yang tumpang tindih antar
lemabaga Peradilan adalah karena konstruksi UU Nomor i7 Tahun 2017 tentang Pemilu
menyediakan model penegakan sengketa proses Pemilu melalui berbagai lembaga
peradilan yakni PTUN, MA dan MK, bahkan lembaga non-pengadilan, yakni Bawaslu.
Untuk itu maka pemerintah selaku pembuat kebijkan teritama DPR dan Presiden perlu
untuk melakukan erevisi UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu terutama terkait dengan
penegakan hukum Pemilu agar tidak lagi memasukkan banyak pintu penegakan hukum
Pemilu, melainkan cukup satu satu pintu saja.
2. Guna tercapainya penyelesaian sengketa pemilihan umum yang ideal, Indonesia
hendakanya dalam rangka penyelesaian seluruh bentuk sengketa pemilu oleh satu badan
khusus sehingga terciptanaya efektivitas dan efisiensi. Dalam hal ini Indonesia
diharapkan mengadopsi penyelesaian sengketa pemilu yang dimiliki oleh Brazil, namun
tetap diadakannya KPU dan Bawaslu tanpa adanya kewenangan KPU dan Bawaslu untuk
menyelesaikan sengketa. Jika terdapat pihak yang merasa dirugikan maka dapat
mengajukan permohonan penyelesaian sengketa di pengadilan khusus pemilu yang
berwenang menyelesaikan atau memutus sengketa administrasi, hasil, dan tindak pidana.
a. Alasan Guagatan
Wonosobo. Secara Nasional Partai Nasdem adalah Partai yang resmi sebagai Peserta
Penggugat, pada tanggal 17 Juli 2018 telah mendaftarkan bakal calon Anggota
DPRD Kabupaten Wonosobo atas nama H. Maryadi, S.Pd. yang terdapat pada Dapil
Wonosobo 5, nomor urut 1 (satu) melalui Partai NasDem Kabupaten Wonosobo kepada
Kabupaten Wonosobo pada Pemilihan Umum tahun 2019. Hal mana, eksistensi yuridis
H. Maryadi, S.Pd sebagai Calon Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo telah masuk dan
tertulis dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo
berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonosobo Nomor:
151/PL.01.4-Kpt/3307/KPU-Kab/IX/2018.45
Sengketa ini berawal dari terbitnya Surat Keputusan Ketua Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Wonosobo (Tergugat) yang merupakan Surat Keputusan Tata Usaha
Negara berupa Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonosobo Nomor
Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonosobo
dengan alasan :
Undang Nomor 7 Tahun 2017, berbunyi “Putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280
dan Pasal 284 yang dikenai kepada Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU
a) Pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
b) Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Tergugat telah salah dalam menafsirkan dan menerapkan Pasal 285 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017, hal mana H. Maryadi, S.Pd yang Penggugat daftarkan sebagai
45
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
calon anggota DPRD Kabupaten Wonosobo bukanlah sebagai Pelaksana Kampanye
Negeri Wonosobo Nomor 9/Pid.Sus/2019/PN Wsb tanggal 30 Januari 2019, hal mana
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (inkracht van
gewisjde).46
3) Tergugat tidak teliti atas isi Putusan Pengadilan tersebut, terkait status hukum Calon
anggota DPRD Kabupaten Wonosobo yang pada pokoknya hanya dihukum dengan
Pidana Percobaan atau Tidak Menjalankan Pidana di dalam Penjara. Hal mana,
Pemilihan Umum dan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 20 Tahun 2018, sebagaimana telah diubah terakhir dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 2018, serta ditegaskan dan diatur pada
Penetapan Daftar Calon Tetap. Hal mana, apabila Calon Legislatif melakukan tindak
Pidana lain dan sudah memiliki putusan pengadilan yang bersifat tetap, akan tetapi
Calon Legislatif atas nama H. Maryadi, S.Pd. yang terdapat pada dapil Wonosobo 5,
46
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
nomor urut 1 (satu) sebagai calon anggota DPRD Kabupaten Wonosobo, karena
5) Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata. Bahwa kekurangan yuridis (cacat yuridis) di
b) Dwang (paksaan)
c) Bedrog (penipuan)
Substantif di atas tidak lagi Merupakan Keputusan Yang Murni dikeluarkan dan oleh
karenanya kehadapan yang mulia Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang
c.q. Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo pada Pengadilan Tata Usaha Negara
47
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
48
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
telah dinyatakan selesai karena Bawaslu Kabupetan Wonosobo berdasarkan Surat Edaran
dari Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia untuk tidak meregister setiap sengketa
sebagaimana di sebutkan di atas. Maka dengan demikian, biarlah Pengadilan Tata Usaha
Perubahan Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Wonosobo pada Pemilihaan Umum Tahun 2019, tertanggal 09 Maret 2019
amanat Pasal 53 Ayat (2) huruf a dan Ayat (3) UU RI No. 5 Tahun 1986, tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan sebagaimana telah dirubah oleh UU RI No. 51 Tahun
2009, tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.49
Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Wonosobo pada Pemilihaan Umum Tahun 2019, telah menimbulkan akibat hukum yang
masyarakat pemilih pada Daerah Pemilihan di mana Calon Legislatif atas nama H.
Maryadi, S.Pd. yang Penggugat daftarkan ke KPU Kabupaten Wonosobo sebagai Calon
Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo dan tercatat dalam Daftar Calon Tetap Anggota
Dprd Kabupaten Wonosobo pada Pemilihan Umum Tahun 2019. Sehingga efek domino
Usaha Negara dan sebagaimana telah dirubah oleh UU RI No. 51 Tahun 2009, tentang
Perubahan Kedua atas UU RI No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Keputusan Tergugat juga bertentangan dengan asas kepastian hukum, yakni suatu
b. Permohonan
Adapun permohonan Penggugat selaku Ketua dan Sekretaris DPD Partai NasDem
2) Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum
tentang Perubahan Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Wonosobo pada Pemilihaan Umum Tahun 2019, tanggal 09 Maret
2019.
tentang Perubahan Penetapan Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
50
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
4) Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan tentang Penetapan Calon
Legislatif atas nama H. Maryadi, S.Pd. yang Penggugat daftarkan sebagai Calon
Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo dan dimasukan kedalam Daftar Calon Tetap
c. Putusan Hakim
diterima.
3) Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 375.000,-
a. Dasar Gugatan
Sengketa adalah bertindak berdasarkan kapasitasnya selaku Badan atau Pejabat Tata
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut, “Badan atau
51
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No: 14/G/SPPU/2019/PTUN.SMG
Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
berdasarkan peraturan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 butir (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yaitu bersifat : Konkret Wujudnya tertulis, jelas karena nyata-nyata dibuat oleh
Tergugat, tidak abstrak tetapi berwujud Surat Keputusan yang tertulis dan secara konkrit
Secara tegas dan jelas keputusan (objek sengketa) tersebut ditujukan kepada Dewan
Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya Kabupaten Lombok Tengah. Final Surat
Keputusan Tergugat a quo sudah tidak memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau
instansi lainnya, sehingga sudah bersifat definitive dan sudah menimbulkan akibat
hukum.53
Kabupeten Lombok Tengah atas nama Baiq Sumarni dari Partai Golongan Karya Daerah
Pemilihan Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar Calon Tetap (DCT)
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Tengah pada Pemilihan
Umum 2019, tertanggal 6 Maret 2019 dilakukan secara melawan hukum dan tanpa dasar
52
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
53
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
konstitusional oleh Tergugat adalah jelas dan terang telah merugikan Penggugat. Bahwa
Penggugat, selaku Calon Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah dari Partai
Golongan Karya Daerah Pemilihan Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar
Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok Tengah pada
Pemilihan Umum 2019 adalah sah berdasarkan keputusan KPU Kabupaten Lombok
tersebut, karena Surat Keputusan Tergugat (objek sengketa) menyebabkan kekacauan dan
Lombok Tengah.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
keputusan Tergugat a quo. Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang menyatakan: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
sesuai dengan Pasal 48 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, maka Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram berwenang untuk memeriksa,
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Pada Pemilihan Umum
Tahun 2019, batal demi hukum karena keputusan tersebut tidak didasarkan pada produk
hukum sebagaimana diatur pada Pasal 285 Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum;
2) Pasal 285 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi
sebagaiman dimaksud dalam pasal 280 dan 284 yang dikenai pada pelaksana
kampanye pemilu DPR, DPD DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten yang berstatus
sebagai calon anggota DPR, DPD DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
tindakan berupa:55
a) Pembatalan nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupten/kota dari
54
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
55
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
b) Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
4) Tergugat KPU Kabupaten Lombok Tengah telah keliru menerapkan Pasal 285
Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai dasar untuk
Mencoret calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok Tengah atas
nama BAIQ SUMARNI dari Partai Golongan Karya Daerah Pemilihan Lombok
Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan
5) Adressat norm atau maksud/tujuan penerapan Pasal 285 harus dengan adanya
pelanggaran atau putusan pengadilan bersifat kumulatif yaitu pasal 280 dan 284
6) Penerapan pasal 285 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
dalam penerapannya adalah suatu pasal yang bersifat kumulatif sedangakan Baiq
Sumarni berdasarkan amar Putusan Pengadilan Negeri Praya hanya melanggar pasal
penerapan pasal 280 dan pasal 284 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum sebagai syarat pencoretan atau pembatalan sebagai Calon Anggota
secara imperatif terhadap pasal 285 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Calon Tetap (DCT) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok
Tengah Pada Pemilihan Umum Tahun 2019 untuk melakukan pencoretan terhadap
Penting bagi Pemohon untuk sampaikan mengenai hak dipilih secara tersurat
diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (3),
Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi
setiap warga negaranya. Bahwa hak politik, memilih dan dipilih merupakan hak asasi.
Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok Tengah atas nama Baiq Sumarni dari Partai
Golongan Karya Daerah Pemilihan Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar
Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Lombok Tengah pada
hukum dan hak politiknya sebagai calon Dewan Perwakilan Rakyat Kabupeten Lombok
Tengah.
dan implementasinya hak dan kewajibanpun dipilih, penjamin hak dipilih secara tersurat
dalam UUD 1945 mulai ayat (3). Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat
57
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
(2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, secara jelas telah tidak memperhatikan dan bertentangan dengan Asas-asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) hurup b Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
58
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
b. Tuntutan
Kabupeten Lombok Tengah atas nama Baiq Sumarni dari Partai Golongan Karya Daerah
(DCT) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Tengah Pada
Pemilihan Umum Tahun 2019, tertanggal 6 Maret 2019 sampai adanya putusan yang
3) Menyatakan Batal atau Tidak Sah Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Lombok Tengah Pada Pemilihan Umum Tahun 2019, tertanggal 6 Maret 2019 (Objek
Sengketa);
Lombok Tengah 3 dengan nomor urut 8 pada Daftar Calon Tetap (DCT) anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Lombok Tengah pada Pemilihan Umum 2019.
c. Putusan Hakim
2) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini
sejumlah Rp. 644.000,00 (enam ratus empat puluh empat ribu rupiah);60
60
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram Nomor 22/G/SPPU/2019/PTUN.Mtr
3. Putusan Pengadilan Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
a. Dasar Gugatan
dicalonkan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Maluku Daerah
Pemilihan Maluku Tengah 4. Pada tanggal 12 Mei 2019, sehari setelah Pleno PPK
Leihitu Penggugat Beserta Pengurus DPC Partai Demokrat Maluku Tengah melakukan
Plano saat rekapitulasi tiap-tiap TPS di tingkat PPK. Penggugat Beserta Pengurus DPC
calon anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah Daerah Pmilihan 4, Nomor Urut 7
Partai Perindo, pada Desa Hitu Mesing ke Partai Persatuan Pembangunan dan suara calon
No urut 4. Lamhita Pelu. Pergeseran suara dimaksud berdampak pada pengurangan suara
dari Partai Perindo dan terjadi Penambahan/ peningkatan perolehan suara pada Partai
Persatuan Pembangunan.61
DPRD kabupaten Maluku Tengah dalam proses Pemilihan Umum yang diselenggarakan,
penggugat dan Partai Demokrat. Dengan perhitungan jika tidak terjadi pergeseran angka
dan pengelembungan suara kepada partai persatuan pembangunan, maka Partai Demokrat
berhak memperoleh kursi ke-7 (Tujuh) pada daerah pemilihan 4 Kabupaten Maluku
Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Maluku telah melaporkan Anggota
Panitia Pemilihan Kecamatan Leihitu selaku bawahan dari Tergugat ke Badan Pengawas
Pemilihan Umum Kabupaten Maluku Tengah ada tanggal 17 Mei 2019, karena diduga
melakukan pelanggaran Administrasi Pemilu yaitu melanggar tata cara, prosedur atau
Setelah Laporan dari Syafii Boeng, SH selaku Pengurus Dewan Pimpinan Cabang
Partai Demokrat Kabupaten Maluku diterima dan diperiksa oleh Badan Pengawas
Juni 2019, yang selanjutnya dikuatkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
diajukan oleh Terlapor IV yaitu Said Patta, SPI yang adalah Calon Anggota DPRD dari
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan berdasarkan putusan Bawaslu tersebut, maka
Bawaslu Kabupaten Maluku Tengah telah menyurati Tergugat (KPU Kabupaten Maluku
Tengah Dan Putusan Koreksi Bawaslu RI, tetapi Tergugat tidak menindaklanjutinya, pada
62
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
Berdasarkan putusan Bawaslu Kabupaten Maluku Tengah Nomor
Kabupaten Maluku Tengah Dapil Maluku Tengah 4 dari Partai Demokrat, bukan
menetapkan Said Patta, SPi sebagai Calon Terpilih Anggota DPRD dari Partai Persatuan
Tengah Dan Putusan Koreksi Bawaslu RI akan tetapi Tergugat sama sekali tidak
melakukan koreksi sehingga pada tanggal 05 Agustus 2019 pukul 11.21 WIB ketua DPC
kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan ketua beserta anggota KPU kabupaten
Perwakilan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Dapil Maluku Tengah 4 dari Partai
63
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
64
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
Demokrat oleh Tergugat berdasarkan Surat keputusan a quo kepada Penggugat adalah
dimaksud dalam pasal 3 huruf a Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 yaitu asas
Kepastian hukum yang adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
Tengah Nomor 004 / Adm / Bwsl-Malteng /Pemilu/V/2019, Tanggal 17 Juni 2019 yang
dikuatkan oleh putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor
Kabupaten Maluku Tengah Dapil Maluku Tengah 4 dari Partai Demokrat, bukan
menetapkan Said Patta, SPI sebagai Calon Terpilih Anggota DPRD dari Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Oleh karena itu Keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat bertentangan dengan
Keputusan Tergugat a quo yang tidak menetapkan Penggugat sebagai Calon Terpilih
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Maluku Tengah, akan tetapi menetapkan
Said Patta, SPI sebagai Calon Terpilih Anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah dari
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) harus dinyatakan batal dan tidak sah oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon Cq. Majelis Hakim yang memeriksa dan
b. Tuntutan
65
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
Adapun permohonan Penggugat selaku Calon Anggota DPRD Kabupaten Maluku
Tengah yang dicalonkan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten
2) Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Tengah Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, Tanggal 13 Agustus 2019, pada
Maluku Tengah Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, Tanggal 13 Agustus 2019,
pada lampiran 4 (Empat) Daerah Pemilihan Maluku Tengah 4 dari Partai Persatuan
c. Putusan Hakim
66
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN
2) Menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima.
3) Menghukum Penggugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dalam
sengketa ini sejumlah Rp. 460.000,- (Empat ratus enam puluh ribu rupiah).67
67
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Maluku Nomor 30/G/2019/PTUN.ABN