Anda di halaman 1dari 4

DEMOKRASI YANG BERPERSPEKTIF HAM DALAM SEBUAH PEMILIHAN

UMUM

DISUSUN OLEH:
BAGIR HASAN ELY

FAKULTAS HUKUM
PRODY ILMU HUKUM
DARUSSALAM
AMBON
2022
DEMOKRASI YANG BERPERSPEKTIF HAM DALAM SEBUAH PEMILIHAN
UMUM

Selesai sudah “Pesta Demokrasi” dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif dan pemilihan
presiden serta wakil presiden di Indonesia. Setiap lima tahun sekali, bangsa Indonesia mengadakan
“hajatan” besar bernama Pemilihan Umum. Kita harus bangga sebagai bangsa Indonesia, ajang
demokrasi ini merupakan yang terbesar di dunia. Kita menyelenggarakan Pemilu langsung untuk 240
juta orang warga negara, dengan geografis sebagai negara kepulauan dan tahun 2014 “Pesta
Demokrasi” telah berhasil dilewati oleh bangsa Indonesia, dimana untuk ke-sekian kalinya rakyat
Indonesia melaksanakan pemilihan umum dan pemilihan presiden serta wakil presiden. Pemilu
legislatif telah selesai pada tanggal 9 April 2014 dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia Tahun 2014 (Pilpres) pada tanggal 9 Juli 2014, dilaksanakan serentak di seluruh wilayah
Indonesia, harapannya bahwa pesta demokrasi tahun 2014 secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat menghasilkan wakil rakyat serta pemimpin yang
amanah, menghasilkan sebuah demokrasi yang merupakan “pesta rakyat” yang lebih baik dari
sebelumnya.

Dari situs wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa pengertian demokrasi adalah sebuah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang
semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah
hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui
perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan
setara. Sedangkan secara Bahasa Arti demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno
yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara biasanya dianggap sebagai contoh awal
dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini
telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan
dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh
pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan, oleh karena itu dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap
orang wajib tunduk dan patuh kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang, hal ini
dimaksudkan bahwa adanya peraturan perundangan-undangan tersebut adalah untuk menjamin
pengakuan dan kebebasan orang lain yang tidak melanggar nilai-nilai agama, hak orang lain serta
menjaga keamanan ketertiban umum dalam masyarakat demokrasi.
Kembali kepada “Pesta Demokrasi” yang berperspektif hak asasi manusia, bahwa keterlibatan
masyarakat dalam proses pemilu adalah merupakan hak-hak warga negara dalam pelaksanaan
demokrasi di bidang politik yang dimiliki oleh setiap warga negara, yang diakui dalam kedudukannya
sebagai warga yang sederajat. Oleh karena itu setiap warga negara mendapat hak ikut serta dalam
pemerintahan yaitu hak memilih dan dipilih, mendirikan organisasi atau partai politik, serta
mengajukan gugatan dan kritik atau saran.
Dalam menyonsong baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden-wakil presiden, banyak
cara dan himbauan dilakukan baik oleh pemerintah, organisasi pemerhati demokrasi, tokoh-tokoh
masyarakat, maupun simpatisan partai peserta pemilu menyuarakan agar masyarakat sebagai warga
negara menggunakan hak pilihnya, melalui iklan dan publikasi persuasif bersifat ajakan dan
himbauan, hingga yang bernada ”ancaman”. Ketika ajakan kepada masyarakat telah mengandung
bentuk intimidasi dan ancaman terhadap kebebasan pribadi dan hak orang lain dalam berpolitik, serta
membuat keresahan, mengganggu keamanan ketertiban umum, jelaslah bahwa terjadi pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Misalnya kita mungkin pernah membaca ataupun mendengar publikasi
atau perdebatan dalam sebuah media, dimana terdapat ajakan yang misalnya ada pernyataan: ”bila
Anda tidak menggunakan hak pilih, maka tidak berhak untuk protes selama lima tahun atas kinerja
penyelenggara negara.” Jelas bahwa hal tersebut adalah merupakan sebuah ancaman dan jelas
melanggar undang-undang dan hak asasi manusia.
Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi:
“WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.” Jelas kata yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”. Lebih tinggi
lagi, dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang
diamandemen tahun 1999-2002, juga tercantum hal senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak
memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak, jadi hak pilih
digunakan atau tdak adalah hak pemilihnya.
Dari sudut hukum, jelas sekali kalau memilih dan dipilih adalah hak. Pengecualian hanya bagi
mereka yang terkena hukuman pidana lebih dari lima tahun atau terbukti tidak setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga dari sudut pandang hak asasi manusia, bahwa ancaman
semacam tersebut di atas jelas melanggar hak dasar yaitu hak untuk hidup tanpa rasa takut dan hak
kebebasan berpendapat. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga negara, demikian juga hak
untuk berpendapat. Tidak ada hukum apa pun yang menyebutkan mereka yang memilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu lantas tidak boleh protes kepada penyelenggara negara.
Dalam harian Kompas, 3 Februari 2009, hal ini dipertegas oleh pernyataan Wakil Ketua Komnas
HAM Bidang Internal Ridha Saleh bahwa: “Setiap orang bebas menggunakan atau tidak
menggunakan hak pilihnya. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan melarang,
mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang tidak menggunakannya.”
Bahkan hak memilih tersebut tercantum secara resmi dalam UU No. 39/1999 tentang HAM, yaitu di
pasal 43 yang menyatakan: “Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilu”.
Pernyataan serupa juga terdapat dalam UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil
Politik, yaitu di pasal 25 yang berbunyi: “Hak setiap warga negara ikut serta dalam penyelenggaraan
urusan publik, untuk memilih dan dipilih”. Secara logika, hal tersebut sangat janggal. Sama saja misal
ada orang yang pada saat itu karena suatu hal tidak mau makan roti, lantas dilarang selama lima tahun
berikutnya orang tersebut tidak boleh makan roti, atau bahkan tidak boleh ikut protes jika pada
akhirnya roti tersebut menyebabkan keracunan bagi yang memakannya.
Jadi, pada dasarnya memilih dalam Pemilu itu adalah hak setiap warga Negara. Mau memilih
menggunakan hak pilihnya dengan “mencoblos” salah satu kontestan silahkan, ataupun memilih untuk
tidak memilih (tidak menggunakan hak pilihnya) juga silahkan. Menurut hematnya bahwa siapapun
yang berkepentingan akan suksesnya pelaksanaan pemilihan umum baik itu pemerintah, organisasi
pemerhati demokrasi, tokoh-tokoh masyarakat, maupun simpatisan partai peserta pemilu hendaknya
tidak melakukan himbauan-himbauan yang sifatnya menakut-nakuti atau bahkan membuat ancaman,
atau ajakan untuk “golput”, karena pada dasarnya memilih dalam Pemilu itu adalah hak setiap warga
Negara dan bukan kewajiban. Siapapun yang menakut-nakuti atau bahkan membuat ancaman, atau
ajakan untuk “golput”, jelas melanggar Undang-Undang dan hak asasi manusia.
Apapun hasil pelaksanaan pemilu, yang jelas bahwa hasil Pemilu yang jujur, adil dan bebas,
tanpa tekanan dan intimidasi merupakan wujud aspirasi dan kepentingan masyarakat akan hak sipil
dan politiknya untuk menghasilkan pemimpin yang terbaik dan orang-orang terbaik yang mewakili
jutaan rakyat Indonesia, di tingkat pusat maupun daerah sebagai wakil rakyat di DPR RI, DPRD dan
DPD.

Anda mungkin juga menyukai