Anda di halaman 1dari 108

Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |1

KEBEBASAN MEMILIH TANPA INTERVENSI


(SUATU TINJAUAN KEKERASAN PEMILU DI ACEH)





ERLANDA JULIANSYAH PUTRA






FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2014


Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak untuk memilih dan dipilih merupakan serangkaian hak yang
dilindungi dan diakui keberadaannya di dalam Konstitusi Negara
Republik Indonesia, hak ini juga menegaskan seseorang tersebut
harus terbebas dari segala bentuk intervensi, intimidasi, dan segala
tindakan kekerasan yang menimbulkan rasa takut untuk menyalurkan
haknya dalam memilih dan dipilih dalam setiap proses pemilu, hal ini
dapat dilihat didalam Pasal 28C ayat 2 ,Pasal 28I ayat 1 dan ayat 5
Undang Undang Dasar 1945
1
, yang pada intinya memberikan
perlindungan kepada setiap warga negara untuk dapat
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat , bangsa dan negara serta berhak memperoleh hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

1
Penjabaran mengenai Hak Asasi Manusia dapat dilihat di dalam Pasal 28 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasca Amandemen dengan penjelasan Pasal
28C ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28I ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, dan Pasal 28I ayat (5) Untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |3

nurani, serta hak untuk meneggakkan dan melindungi hak asasi
manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Hak memilih juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999, yaitu ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1).
Yang menjadi dasar hukum bagi setiap warga negara Indonesia untuk
memiliki kebebasan dalam ikut serta menentukan wakil-wakil mereka
baik untuk duduk dalam lembaga legislatif maupun dijadikan sebagai
pimpinan lembaga eksekutif, yang dilakukan melalui pemilihan umum.
Robert a. Dahl dalam bukunya yang berjudul Participation and
Opposition menyebutkan ada 8 (delapan) hal yang harus dipenuhi
agar tercapai demokrasi, yaitu:
2
pertama, kebebasan untuk
berorganisasi, kedua, kebebasan untuk memilih, ketiga, hak untuk
memilih, keempat, prasyarat untuk sarana perkantoran, kelima, hak
untuk berpolitik, keenam, hak untuk mendapatkan informasi,
ketujuh,pemilihan yang bebas dan adil, kedelapan, kepentingan untuk
membuat kebijakan pemerintah.
Demokrasi dipahami sebagai pengertian dari kedaulatan rakyat,
3

kedaulatan tersebut merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi

2
Robert A. Dahl, Polyarchy:Participation and Opposition (New Heaven: Yale University
Press, 1977). Lihat juga John D. May, Defining Democraty: A Bid For Coherence and
Consensus, Political Studies 26, No. 1 (march 1978).
3
Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandemen Keempat Tahun 2002, GBHN
(TAP MPR-RI Nomor IV/MPR/1999), 1999-2004, TAP-TAP MPR Tahun 2000, (Bandung:
Pustaka Setia), hlm. 119.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |4

setiap pemerintah.
4
Kadaulatan rakyat juga mengandung arti bahwa
yang berkuasa adalah rakyat, negara atau pemerintah hanyalah
sebagai sarana dalam mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut.
Rakyat sendiri terdiri dari individu, kelompok-kelompok masyarakat
dan pemerintahan atau sebagian dari rakyat yang memiliki otoritas
oleh rakyat secara keseluruhan. Asas dari demokrasi sebagaimana
terkandung di dalam pengertiannya tidak terjadi perubahan dalam
sejarah ketatanegaraan, yaitu sistem pemerintahan negara dipegang
oleh rakyat atau setidak-tidaknya rakyat diikutsertakan di dalam
pembicaraan masalah-masalah pemerintahan negara.
5

Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya
sistem politik demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain adalah
untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara
memilih wakil-wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat. Kesemuanya
itu dilakukan dalam rangka mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan
ketatanegaraan. Dalam Pemilihan Umum tercakup dua macam hak
pilih, yaitu:
- Hak pilih aktif atau sering dikenal sebagai Hak untuk memilih; dan

4
Jimly Asshiddiqie. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia. (Jakarta: PT. Achtiar Baru Van Hoeve,1994), hlm.11.
5
Abdul bari Azed. Sistem-sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran. (Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2000), hlm.3.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |5

- Hak pilih pasif, yaitu hak untuk dipilih menjadi Anggota Badan
Perwakilan Rakyat.
Menurut Henry B. Mayo dengan adanya Pemilihan Umum maka
salah satu nilai demokrasi dapat terwujud, artinya terjadi perpindahan
kekuasaan negara dari pemegang yang lama kepada pemegang yang
baru secara damai.
6
Namun hal ini sepertinya berbanding terbalik
dengan realita pelaksanaan pemilu di provinsi aceh, pelaksanaan
pemilu di aceh meninggalkan beragam tabir kelam bagi pelaksanaan
demokratisasi terutama pelaksanaan pemilu 2014, setidaknya dalam
kurun waktu tiga bulan terakhir mulai dari januari sampai dengan
maret 2014 tindakan kekerasan bernuansa politik meningkat drastis.
Tercatat 5 orang tewas, 19 orang terluka akibat penganiayaan, dan
puluhan harta benda, termasuk perusakan dan pembakaran atribut
partai. Kerugian nyawa dan harta benda ini diakibatkan oleh sejumlah
tindakan kekerasan, seperti; penembakan, penganiayaan,
pengrusakan, pembakaran, pelemparan bom molotov, intimidasi, dan
teror.
7


6
Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta,
1986,hlm. 61
7
Laporan Serangkaian Kekerasan dan Penembakan di Aceh Menjelang Pemilu 2014 di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dihimpun dari berbagai sumber baik media masa
maupun elektronik.

Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |6

Apabila kita merujuk pada ketentuan Pasal 1 butir 6 UU. No. 39
Tahun 1999 Tetang Hak Asasi Manusia menyatakan :
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak
mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.

Yang artinya apabila dikaitkan dengan prilaku kekerasan yang terjadi
di Aceh sebelum pelaksanaan pemilihan umum dapat dikatakan
sebagai salah satu perbuatan pelanggaran Hak Asasi Manusi yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang secara sengaja melakukan
perbuatan melawan hukum dengan mengurangi, menghalangi,
membatasi atau mencabut hak asasi manusia yang dalam hal ini
adalah hak memilih secara politik.
Gesekan politik ini tentu akan memperbesar peluang terjadinya
pelanggaran pemilu. tindakan ini sangat tidak sejalan dengan tujuan
penyelenggaraan pemilu. Pemilu sebagai sarana perpindahan
kekuasaan mestinya dijalankan dengan jalan damai. Rakyat diberikan
ruang untuk mengekspresikan kedaulatannya dengan rasa aman dan
nyaman sesuai dengan pertimbangan politiknya masing-masing
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis
ingin memberikan identifikasi dan kajian secara kritis terhadap
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |7

permasalahan tersebut dengan memberikan tinjuan kepada hak pilih
masyarakat aceh dalam pelaksanaan pemilihan umum tahun 2014.

B. Identifikasi Masalah
1. Apakah yang melatar belakangi intervensi, dan intimidasi terhadap
masyarakat aceh dalam memempergunakan hak pilihnya?
2. Bagaimana implikasi dari intervensi, dan intimidasi tersebut terhadap
pelaksanaan demokratisasi di aceh?
3. Bagaimanakah solusi terbaik bagi penyelesaian permasalahan hak
pilih yang demokratis di aceh?

C. Maksud dan Tujuan
Makalah ini mempunyai maksud dan tujuan untuk :
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya intervensi, dan intimidasi
terhadap masyarakat aceh dalam mempergunakan hak pilihnya.
2. Untuk mengetahui implikasi dan yang ditimbulkan dari intervensi dan
intimidasi tersebut terhadap pelaksanaan demokratisasi di aceh.
3. Untuk memberikan solusi terbaik bagi penyelesaian permasalahan
hak pilih yang demokratis di aceh.
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah hak asasi manusia
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |8


D. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas,
maka hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut
1. secara akademis, dapat memberikan landasan teori mengenai Hak
Pilih serta perlindungannya di dalam Hak Asasi Manusia terkait
pelaksanaan pemilihan umum .
2. Secara Praktis, dari hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dan masukan bagi masyarakat pada umumnya
dan civitas akademis khususnya mengenai perlindungan hak pilih
masyarakat aceh yang terbebas dari bentuk intimidasi dan intervensi
serta segala bentuk kekerasan dalam pelaksanaan pemilihan umum.


E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep
legis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-
lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsep ini juga
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |9

memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom,
tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.
8


2. Sumber Data
Penelitian dengan pendekatan yang bersifat yuridis normatif akan
dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer
9
dan bahan
hukum sekunder,
10
dengan melakukan analia data secara deduktif
dengan sifat penelitian deskriptif.

3. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penulisan makalah
ini, maka pengumpulan data akan dilakukan dengan cara mengumpul,
mengkaji, dan mengolah secara sistimatis bahan-bahan kepustakaan
serta dokumen-dokumen yang berkaitan. Data sekunder baik yang
menyangkut bahan hukum primer dan sekunder diperoleh dari bahan

8
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988, hal. 11.
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Edisi 1, Cet. V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-14. Lihat juga Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian
Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979),
hal.29.
10
Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan
primer, yang antara lain mencakup: (a) abstrak; (b) indeks; (c) bibliografi; (d) penerbitan
pemerintah; dan (e) bahan acuan lainnya. Ibid.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |10

pustaka.
11
Data tersebut disusun secara sistematis, sehingga
diperoleh gambaran relatif lengkap dari klasifikasi secara kualitatif

F. Sistematika Penulisan
Penulisan Makalah ini dibagi dalam empat bab yang dimaksdukan
agar mudah dipahami, antara lain :
Pada BAB I dengan judul Pendahuluan berisikan mengenai latar
belakang masalah, ruang lingkup dan tujuan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan
Pada BAB II dengan judul Tinjauan Umum Mengenai Pengertian dan
Sejarah HAM, Konsep Negara Hukum, Teori Demokrasi, dan Teori
Partisipasi dan Teori Konflik. Dalam BAB ini akan dijelaskan mengenai
tinjauan teoritis dengan penguraian tentang pengertian dan sejarah
HAM serta penjabaran mengenai konsep negara hukum, teori
demokrasi dan teori partisipasi.
Pada BAB III dengan judul Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi
berisikan mengenai Identitas Politik Lokal di Aceh, Partai Politik Lokal
Sebagai Upaya Perjuangan Identitas Politik, Latar Belakang
Intervensi dan Intimidasi Hak Pilih Masyarakat Aceh, Implikasi Dari
Intervensi dan Intimidasi Terhadap Pelaksanaan Demokrasi di Aceh,

11
Ibid.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |11

dan Solusi Terbaik Bagi Penyelesaian Permasalahan Hak Pilih Yang
Demokratis di Aceh.
Pada BAB IV dengan Judul Penutup berisikan mengenai kesimpulan
(konklusi) hasil analisis dan memberikan masukan terhadap hak pilih
masyarakat aceh tanpa intervensi dan intimidasi.

















Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |12


BAB II
LANDASAN TEORITIS
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGERTIAN DAN SEJARAH HAM,
KONSEP NEGARA HUKUM, TEORI DEMOKRASI, TEORI
PARTISIPASI DAN TEORI KONFLIK

A. Pengertian dan Sejarah HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri
setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan
tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
12
Asal-usul gagasan mengenai
hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati yang dikenal
melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. John
Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati.
Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi
munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris,
Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.
Gagasan hak-hak asasi manusia pada awalnya berkaitan
dengan kelas-kelas menengah. Melawan tuntutan-tuntutan asal-usul
derajat kebangsawanan serta hak-hak istimewa tradisional, kaum

12
Moh. Yasir Alimi,, Advokasi Hak-hak perempuan membela hak mewujudkan perubahan,
LKIS 1999, Hal 13
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |13

borjuis yang menanjak di Eropa modern awal mengajukan tuntutan-
tuntutan politis yang didasarkan pada persamaan kodrati manusia
serta hak-hak kodrati yang tak dapat dipindahtangankan.
Persetujuan Internasional tentang hak-hak asasi manusia telah
diselesaikan dalam bulan Desember 1966. Bersama dengan Deklarasi
Universal, piagam-piagam itu mewakili suatu pernyataan berwibawa
tentang hak-hak asasi manusia yang diakui secara Internasional.
Sebagai bagian dari bangsa-bangsa yang beradab dan sebagai
anggota PBB, bangsa Indonesia perlu mengkaji berbagai keputusan
PBB mengenai HAM. Setiap bangsa tidak dapat menutup mata
terhadap fenomena maraknya isu Internasional mengenai HAM, tidak
terkecuali bangsa dan pemerintah Indonesia.
Mulai tahun 1990-an, persoalan hak-hak asasi manusia (HAM)
semakin marak di Indonesia. Hal ini ditandai dengan semakin
meningkatnya tuntutan anggota masyarakat, baik individual maupun
kolektif terhadap pelanggaran HAM yang dialaminya. Secara umum,
apa yang dinamakan HAM adalah hak pokok atau hak dasar, yaitu
hak yang bersifat fundamental, sehingga keberadaannya merupakan
suatu keharusan, tidak dapat diganggu gugat, bahkan harus
dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman,
hambatan, dan gangguan dari manusia lainnya.

Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |14


Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah
droits de lhomme dalam bahasa Perancis yang berarti hak manusia,
atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam bahasa
Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya
dipergunakan istilah hak-hak asasi, yang merupakan terjemahan dari
basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrechten dalam bahasa
Belanda. Sebagian orang menyebutkannya dengan istilah hak-hak
fundamental, sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam
bahasa Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa Belanda. Di
Amerika Serikat, di samping dipergunakan istilah human rights,
dipakai juga istilah civil rights.
13

Dalam pengertian universal, HAM diartikan sebagai hak
kebebasan dasar manusia yang secara alamiah melekat pada diri
manusia, dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup secara wajar
sebagai manusia. Sementara itu, dalam buku ABC, Teaching of
Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB, HAM didefinisikan sebagai
hak-hak yang melekat secara kodrati pada manusia, dan tanpa itu
tidak dapat hidup layaknya seorang manusia (those rights which are
inherent in our nature and without which we cannot live a human
being).

13
Ramdlon Naning, Cita dan Citra HAM di Indonesia, LKUI, Jakarta, 1983,hlm. 7.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |15



Terhadap pengertian HAM itu sendiri, terdapat beberapa batasan
yang berbeda-beda, meskipun pada intinya mengandung makna yang
sama. Miriam Budiardjo mendefinisikan hak asasi sebagai hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat.
14
Miriam menambahkan, secara umum diyakini bahwa
beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras,
atau jenis kelamin, dan oleh karena itu bersifat asasi serta universal.
Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus memperoleh
kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Gunawan Setiardja mendefinisikan HAM sebagai hak-hak yang
melekat yang dimiliki manusia sebagai manusia.
15

Dan apabila ditinjau secara obyektif, Gunawan Setiardja
menyatakan bahwa HAM merupakan kewenangan yang melekat pada
manusia sebagai manusia, yang harus diakui dan dihormati oleh
pemerintah. Oleh karenanya, HAM apabila ditinjau secara obyektif

14
Miriam Budiardjo, 1994, HAM di Indonesia. Karangan dalam Esei Pembangunan Politik,
Situasi Global, dan HAM di Indonesia, PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, 1994, hlm. 429.
15
Gunawan Setiardja, HAM Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993,
hlm. 73.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |16

berhubungan dengan kodrat manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang berbudi, sehingga landasan HAM ada dua, yaitu:
1. Landasan yang langsung dan pertama : kodrat manusia.
2. Landasan yang kedua dan yang lebih dalam : Tuhan sendiri
yang menciptakan manusia
16

Dalam tahap perkembangannya sekarang, pemantauan dan
penegakan HAM telah didukung oleh perangkat yang lengkap, yang
meliputi instrumen dan mekanisme HAM Internasional, regional dan
nasional, yang saling menunjang satu sama lain. Negara yang
mengabaikan kenyataan ini akan berada pada posisi yang tidak
menguntungkan dalam hubungan luar negerinya, padahal hubungan
luar negeri ini semakin lama semakin penting dalam abad 21
mendatang. Kondisi penghayatan dan penegakan HAM di Indonesia
masih belum memuaskan karena berbagai faktor, yang pada
hakekatnya bermuara pada masalah sentral, yaitu belum adanya
interpretasi kolektif yang padu (uniform collective interpretation) antara
anggota masyarakat, baik yang bergerak di lingkungan infrastruktur,
suprastruktur maupun transtruktur. Yang lebih memprihatinkan lagi
adalah adanya kecenderungan beberapa kelompok anggota
masyarakat untuk berfikir secara dikhotomis (dichotomy thinking)

16
Gunawan Setiardja, 1993, hlm. 74.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |17

seperti Sipil ABRI, Infra Suprastruktur, penguasa masyarakat,
dan sebagainya, yang membahayakan integrasi nasional.
17


B. Konsep Negara Hukum
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari
sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus
berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena
itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara
hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah
perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir
dan berkembangnya konsepsi negara hukum.
18

Selain itu pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah
sangat tua, jauh lebih tua dari usia ilmu negara ataupun ilmu
kenegaraan itu sendiri
19
dan pemikiran tentang negara hukum
merupakan gagasan modern yang multiperspektif dan selalu aktual.
20

Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat
hukum dan kenegaraan gagasan mengenai negara hukum sudah

17
Muladi, Pemasyarakatan HAM Melalui Pendidikan Formal, Makalah Lokakarya Nasional II
HAM, Deplu KOMNAS, Jakarta, 1994.
18
S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
No. 9 Vol 4-1997, hlm. 9.
19
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta, 2001, hlm. 25.
20
A.Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,Elsam, 2004, hlm. 48.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |18

berkembang semenjak 1800 SM.
21
Akar terjauh mengenai
perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa
yunani kuno. Menurut Jimly Ashidiqie gagasan kedaulatan rakyat
tumbuh dan berkembang dari tradisi romawi, sedangkan tradisi yunani
kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum.
22
Pada masa
yunani kuno pemikiran mengenai negara hukum dikembangkan oleh
para filosof besar yunani kuno seperti Plato
23
(429-347 SM) dan
Aristoteles
24
(384-322 SM). Dalam bukunya politicos yang dihasilkan
dalam penghujung hidupnya, Plato (429-347 SM) menguraikan
bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada
dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan
; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan
yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.
25

Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 SM)
adalah Negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan

21
J.J Von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta, 1988, hlm.
7.
22
Jimly Ashidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 11.
23
Plato (429-347 SM) adalah murid Socrates (469-399 SM) dilahirkan pada tanggal 29 Mei
429 SM di Athena. Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Politik dan
Hukum. Diantara karyanya yang termasyur adalah Politea (tentang negara), Politicos
(tentang ahli negara),dan Nomoi (tentang Undang-Undang).
24
Aristoteles (384-322 SM) berasal dari Stageira. Dia adalah murid Plato (429-347 SM).
Aristoteles banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Logika, Polik, dan Hukum.
Karyanya yang termasyur dalam bidang Filsafat Hukum adalah Ethica dan Politica.
25
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum ; Problematika Ketertiban Yang Adil, Grasindo,
Jakarta,2004, hlm 36-37.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |19

kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai
dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susilah kepada setiap
manusia agar dia menjadi warga negara yang baik. Dan bagi
Aristoteles (384-322 SM) yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia yang sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan
penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan
saja.
26

Montesquieu mengatakan bahwa fungsi Negara hukum harus
dipisahkan dalam 3 (tiga) kekuasaan lembaga Negara dikenal dengan
nama Trias Politika, yaitu :
1. Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang.
2. Kekuasaan Yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan
yang memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para
warga.
3. Kekuasaan Eksekutif, yang melaksanakan undang-undang,
memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan Negara-
negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan lain-
lain.
27


26
Moh. Kusnardi dan Harmailiy Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN
FH UI dan Sinar Bakti, 1988, hlm. 153.
27
Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1983, hlm. 25.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |20

Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum
lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolute para raja.
Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, dell I,
tahun 1949, hlm. 383, dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat,
istilah negara hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang
negara hukum itu tumbuh di eropa sudah hidup dalam abad tujuh
belas. Gagasan itu tumbuh di inggris dan merupakan latar belakang
dari Glorius Revolution 1688 M. gagasan itu timbul sebagai reaksi
terhadap kerajaan yang absolute, dan dirumuskan dalam piagam yang
terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan
kebebasan dari pada kawula negara serta peraturan pengganti raja di
inggris.
Di Indonesia istilah Negara Hukum sering diterjemahkan
Rechsstaat atau The Rule of Law. Paham Rechtsstaat pada dasarnya
bertumpu pada sistem Hukum Eropa Kontinental. Ide tentang
Rechsstaat mulai popular pada abad XVII sebagai akibat dari situasi
sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja.
28
Paham
Rechsstaat dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat
Kontinental seperti Imanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius

28
Padmo Wahjono, Perkembangan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989, hlm. 30.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |21

Stahl.
29
Sedangkan paham The Rule of Law mulai dikenal setelah
Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction
to Study of The Law of The Constitution. Paham The Rule of Law
bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law
System.
30
Adapun ciri-ciri Rechsstaat adalah :
1. Adanya Undang Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan negara;
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ciri-ciri diatas menunjukan bahwa ide sentral Rechsstaat adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang
bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang
Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap
asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan
untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam dalam satu tangan
yang sangat cendrung pada penyalahgunaan kekuasaan yang berarti
pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan.
31


29
Miram Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.
57.
30
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia; Sebuah Studi Tentang
Prinsip-prinsipnya, Penerapannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972, hlm. 72.
31
Nimatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2005, hlm. 73.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |22

Ciri-ciri Rechsstaat tersebut juga melekat pada Indonesia
sebagai sebuah Negara Hukum. Ketentuan bahwa Indonesia adalah
Negara Hukum tidak dapat dilepaskan dari pembukaan Undang
Undang Dasar 1945 sebagai cita negara hukum, kemudian ditentukan
pada batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 (sebelum
diamandemen)
32

Alinea I pembukaan UUD 1945 mengandung kata Perikeadilan :
dalam alinea II terdapat kata adil ; dalam alinea II terdapat kata
Indonesia ; dalam alinea IV terdapat kata Keadilan sosial dan kata
kemanusian yang adil. semua istilah tersebut merujuk pada pengertian
negara hukum, karena salah satu tujuan negara hukum adalah
mencapai keadilan.
33

A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari The Rule of Law
sebagai berikut:
34

1. Supremasi absolute atau predominasi dari regular law untuk
menantang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan
kesewenang-wenangan, prerogative atau discretionary authority yang
luas dari pemerintah.

32
Iriyanto A. Baso Ence,Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi,Alumni, Bandung, 2008, hlm. 33.
33
Ibid
34
Nimatul Huda, Hukum Tata Negara..op.cit, hlm.74.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |23

2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari
semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan
oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada
diatas hukum ; tidak ada peradilan administrasi negara.
3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-
hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham
kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan
membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai
hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.
Begitu eratnya hubungan antara paham negara hukum dan
kerakyatan sehingga ada sebutan negara hukum yang demokratis
atau democratische rechtsstaat. Dalam kaitannya dengan negara
hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum,
selain masalah kesejahtraan rakyat.
35







35
Ibid., hlm. 76.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |24

C. Teori Demokrasi
Pemerintah demokrasi telah berkembang dari Yunani
Kuno,dengan perdebatan-perdebatan saat itu oleh kalangan tokoh-
tokoh filsuf diantaranya Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas,
Polybius dan Cicero. Socrates memiliki gagasan tentang bentuk
pemerintahan (negara ) yang dicita-citakannya, yaitu negara
demokrasi, yang menyatakan bahwa negara yang yang
dicitacitakannya tidak hanya melayani kebutuhan penguasa, tetapi
negara yang berkeadilan bagi warga masyarakat (umum).
36

Perkembangan pemerintahan demokrasi dalam suatu negara lebih
lanjut mempengaruhi pemikiran Plato.
Menurut pendapat filsuf Plato dan Aristoteles, mengelompokkan
pemerintahan demokrasi yaitu pemerintahan yang yang dicita-citakan
dan pemerintahan yang korup. Perbedaan yang lain terletak pada
penggunaan kreteria masing-masing dengan menggunakan indikator
kualitatif dan kuantitatif. Pemerintahan demokrasi menurut Plato
menganut pada indikator pemerintahan kualitatif yaitu pada kualitas
pendidikan dan moral pemimpin, sedangkan oleh Aristoteles
berdasarkan pada jumlah orang yang memimpin dan untuk

36
Syahran Basah ,Ilmu Negara, Pengantar Metode dan Sejarah Perkembangan,PT. Citra
Adya Bhakti, Bandung .,19992, hlm. 86.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |25

kepentingan beberapa orang.
37
Hendry B. Mayo
38
dalam Mirian
Budiardjo menyebutkan sebagai berikut :
A democratic political system is one in which publik policies are
made on a majority basis, by representatives subject to effective
popular control at periodic elections which are conducted on the
principle of political equality and ander conditions of political
freedom.( bahwa sistem politik yang demokratis ialah dimana
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil
yang diawasi secara efektif oleh wakil rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjamin kebebasan politik ).

Sistem demokrasi menurut pandangan Henry B. Mayo
39
dalam
Mirian Budiardjo bahwa, demokrasi sebagai sistem politik , tidak
hanya merupakan sistem pemerintahan , tetapi juga gaya hidup serta
tata masyarakat tertentu , yang karena itu juga mengandung unsur-
unsur moril dan beberapa nilai (values), yang pelaksanaannya sesuai
dengan perkembangan sejarah serta budaya politik masingmasing.
Nilai-nilai dalam demokrasi menurut Henry B.Mayo sebagai berikut:
40

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
(institutionalized peacepul settlement of conflict). Dalam setiap
perselisihan yang terjadi diupayakan dilakukan secara kompromi,
konsensus atau mufakat, apabila tidak tercapai maka dapat dicarikan
jalan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan dari luar untuk

37
Plato dan Aristoteles dalam Syachran Basah, Ibid, hlm. 56 57.
38
Henry B. Mayo dalam Mirian Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, PT Gramdia, Jakarta,
1981, hlm. 61.
39
Ibid, hlm.62.
40
Ibid , hlm. 62-63.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |26

memaksakan sehingga tercapai kompromi atau mufakat. Pemerintah
dapat mempergunakan persuasi (persuasion) serta paksaan
(coercion).
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a chaning
society). Dalam system social di masyarakat terjadi
perubahanperubahan social, sehingga pemerintah harus
menyesuaikan kebijaksaannya sesuai dengan perubahan-perubahan
untuk mencegah adanya sistem diktatur.
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly
succession of rules). Penyelenggaraan pergantian pimpinan melalui
demokrasi, tidak dengan keturunan atau coup d`etat.
4. Membatasai pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of
coercion). Mengikut sertakan golongan-golongan minoritas dalam
diskusi-diskusi secara terbuka dan kreatif , sehingga merasa turut
bertanggungjawab.
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman
(diversity). Dalam masyarakat pasti adanya keanekaragaman
berpendapat, bertingkah laku, sehingga diperlukan terselenggaranya
masyarakat terbuka (open social) serta kebebasan-kebebasan politik
(political liberties). Demokrasi disebut sebagai gaya hidup (way of life),
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |27

sehingga keanekaragaman perlu dijaga untuk menciptakan persatuan
dan integrasi.
6. Menjamin tegaknya keadilan. Dalam demokrasi tentu adanya
golongan-golongan terbesar mewakili dalam lembaga perwakilan,
tentu golongan lain merasa diperlakukan tidak adil. Dengan demikian
diperlukan keadilan yang relatif (relative justice) lebih bersifat keadilan
dalam jangka panjang.

Nilai-nilai hukum dalam demokrasi disebutkan oleh W.Friedmann
, sebagai berikut:
...the essential legal values of modern democracy. The first is
the recognition of individual personality, whose development is
protected by individual right. Of these rights those are the most
essential which protect the essential personel faculties and spiritual
values. Those which protect material conditions of existence rank
lower and are subject to changing conditions of society. Freedom of
worship and thought ranks higher than freedom of property.Individual
right is balanced by responsibility towards ones`s fellow citizens and
legal responsibility for one`s acts. Democracy, secondely. demands
legal protection for equel opportunity of development, regardless of
personel, racial or national distinction; but the latter postulate is as yet
severely limited by the organization of mankind in national states
.Democracy further enjoins the law to ensure to the individual the
possibility of participation in government , through adequate
representation and direct responsibility. It finally demands a system of
law which puts no individuals or classes above the law, guarantees its
administration without distinction of persons and expresses the
principle that everyone counts for one in legal rules.





Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |28


Terjemahan bebasnya sebagai berikut :
Nilai-nilai hukum yang essensial demokrasi modern, Pertama:
Pengakuan dari individu yang perkembangannya yang dilindungi oleh
hak-hak individu. Dari hak-hak ini yang paling penting adalah
melindungi kemudahan-kemudahan pribadi yang essensial dan nilai-
nilai spiritual . Mereka melindungi syarat-syarat material bagi
keberadaan tingkatan yang lebih rendah dan tergantung pada
keadaan masyarakat yang berubah-ubah. Kebebasan beribadah dan
berfikir adalah tingkatan yang lebih tinggi dari kebebasan hak untuk
memiliki. Hak-hak individu adalah seimbang dengan tanggungjawab
terhadap sesama warga masyarakat dan tanggungjawab hukum atas
perbuatan. Kedua, demokrasi menuntut perlindungan hukum bagi
kesempatan yang sama untuk pengembangan, dengan mengabaikan
perbedaan pribadi, ras atau kebangsaan; akan tetapi yang disebut
teakhir mandalilkan bahwa hingga kini sangat dibatasi oleh organisasi
manusia di Negara nasional. Selain dari itu, ketiga, demokrasi
menyeluruh untuk menjamin individu yang mungkin dapat berperan
serta dalam pemerintahan, melalui perwakilan yang layak dan
tanggung jawab langsung. Akhirnya, keempat demokrasi menuntut
sistem hukum yang tidak menempatkan individu atau golongan diatas
hukum, menjamin administrasi tanpa perbedaan antara sesama
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |29

manusia dan menetapkan prinsip bahwa setiap orang dihitung satu
dalam hukum.
Menurut W.Friedmann tersebut diatas, dapat disebutkan bahwa
nilai-nilai hukum dalam demokrasi modern yakni: Pertama; adanya
perlindungan hukum atas hak-hak individu masyarakat. Kedua;
kesempatan yang sama untuk pengembangan, dengan mengabaikan
perbedaan pribadi, ras atau kebangsaan. Ketiga; berperan serta
dalam pemerintahan baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan. Keempat ; hukum berlaku bagi semua golongan tanpa
membedakan-bedakan dalam suatu negara. Sedangkan menurut
Robert A.Dahl dalam M.Budairi Idjehar yang dikutif oleh H.S Tisnanta
dihimpun oleh Muladi
41
menyebutkan prinsip dalam sistem demokrasi
yang pada intinya yakni persamaan hak, partisipasi efektif dalam
pengambilan keputusan baik keputusan politik maupun birokrasi,
pengawasan oleh rakyat terhadap keputusan-keputusan yang telah
diambil bersama, dan kedaulatan berada seluruh rakyat.
Demokrasi dalam kerangka pemerintahan daerah dan
desentralisasi dari sejak dulu oleh para pendiri negara indonesia
antara lain Mohammad Hatta dan Soepomo, meletakkan dasar

41
Robert A.Dahl dikutif HS. Tisnanta , Partisipasi Publik Sebagai Hak Asasi Warga Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dalam Muladi : Editor, HAM, Hakekat ,Konsep dan
Implemantasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005
hlm. 76.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |30

kedaulatan rakyat sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan.
Menurut Moh.Hatta disebutkan bahwa dasar kedaulatan rakyat, yakni
hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk
pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di
desa dan di daerah. Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai
badan perwakilan sendiri seperti gemeenteraad, provinciale raad...
42

Menurut pendapat Soepomo yang tidak berbeda dengan Moh
Hatta, bahwa Soepomo menuntut agar politik pembangunan Negara
Indonesia disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia.
Bentuk Negara Indonesia harus diungkapkan semangat kebatinan
bangsa Indonesia, yaitu hasrat rakyat akan persatuan, maka ia
secara konsekwen mendukung desentralisasi.
43

Dalam prinsip-prinsip demokrasi yang terbentuk dari asas
desentralisasi mengarahkan kepentingan daerah dilaksanakan oleh
pemerintah daerah sendiridalam mengurus pada hak dan
kewenangan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang demokrasi. Pemerintahan daerah yang demokrasi terlaksana
dengan adanya partisipasi masyarakat didalam menentukan pemimpin

42
Mohammad Hatta, Kearah Indonesia Merdeka (1932), dalam Kumpulan Karangan Jilid I,
Bulan Bintang , Jakarta, 1976, hlm. 103.
43
Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 13 14.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |31

di daerah serta mengawasai jalannya kegiatan pembangunan daerah
yang dilaksanakan oleh kepala daerah sebagai pemerintah daerah.

Pada dasarnya negara demokrasi, secara normative terikat
dengan indikator sistem politik demokratis yang oleh Robert Dahl
meliputi hal-hal sebagi berikut:
44

1. Control over governmental decision about policy is constitutionally
vested in elected officials
2. Elected official are chosen and peacefully removed in relatively
frequent fair. Free election in which coercion is quite limited
3. Practically all adults have the rights to vote in these elections
4. Most adults have the rights to run for public offices for which candidate
run in these election
5. citizen have an effectively enforced rights to freedom of expression,
particularly political expression, including criticism of the officials, the
conduct of the government, the prevailing political, economic, and
social system, and dominant ideology
6. They also have aces to alternative sources of information that are note
monopolized by government or any other single group
7. Finally they have and effectively enforced right to form and join
autonomous associations, including political parties and interest group
that attempt to influence the government by competing in elections
and by other peaceful means

Secara umum, Robert A Dahl menggarisbawahi bahwa dalam
system politik yang demokratis, kontrol terhadap pemerintah dalam
membuat keputusan tidak bisa diabaikan, pemerintah harus dilipih
secara teratur melalu pemeilihan yang adil, terbuka dan ada
pembatasan terhadap tindakan yang bersifat pemaksaan, terdapat

44
Indikator-indikator tersebut dikemukakan oleh Robert A Dahl, sebagaimana dikutip oleh
Affan Gafar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, cet ke II, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 2000 hlm.7
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |32

hak memilih dan hak dipih bagi warga negara yang telah memenuhi
syarat (dewasa), termasuk pula hak warga negara untuk
mengekspressikan kebebasan politiknya, ternasuk mengkritik aparat
kekuasaan negara, ada akses untuk memanfaatkan sumbersumber
infornasi alternatif yang tidak dimonopoli oleh pemerintah atau
kelompok tertentu, lalu pada akhirnya, semua warga negara
mempunyai hak yang sama untuk membentuk dan bergabung ke
dalam kelompok-kelompok yang otonom, termasuk bergabung dalam
partai-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan yang
bertujuan mempengaruhi pemerintah.
Selanjutnya Michael Saward mengemukakan bahwa
demokratisasi sebuah system memerlukan beberapa kondisi minimal
seperti jaminan basic freedom (freedom of speech an d expression,
freedom of movement, freedom of association, rights to equal
treatment under the law); citizenship and participation; administrative
code; publicity and social rights.
45

Sebuah sistem politik yang demokratis akhirnya menjadi pilihan
walaupun memerlukan sejumlah prasyarat dan prasyarat tersebut
tidak mudah untuk dipenuhi karena sejumlah faktor seperti tingkat
pendidikan warga masyarakat, tingkat pendidikan dan kesadaran

45
Michael Saward, Democratic Theory and Indices Of Democratization dalam David
Beetham (edt) Defining and Measuring Democrcy, Sage Publication,Ltd London, 1994, hlm
16-17.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |33

politik masyarakat, komitmen penyelenggara kekuasaan untuk
menciptakan system poltik yang demokratis, sampai pada factor
adanya peraturan hukum yang dapat menjadi instrument bagi
pelaksanaan sistem politik demokratis.
Secara teoritik, Diomond, Linz, dan Lipset mengartikan
demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang mempunyai 3
(tiga) syarat, yaitu :
46

1. Kompetisi yang sungguh-sungguh meluas diantara individuindividu
dan kelompok-kelompok organisasi untuk memperebutkan jabatan-
jabatan pemerintahan yang memiliki kekuasaan efektif, pada jangka
waktu yang reguler, dan tidak melibatkaan penggunaan daya paksa.
2. Partisipasi yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam
pemilihan pemimpin atau pembuatan kebijakan
3. Kebebasan politik dan sipil, yaitu kebebasan berbicara kebebasan
pers, kebebesan membentuk dan bergabung ke dalam organisasi,
yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik.





46
Mohtar Masoed, Negara, Kapital, dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994, hlm
10-11
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |34


D. Teori Partisipasi
Partisipasi rakyat dalam pemerintahan demokratis sebagai
syarat dalam sistem politik. Demokrasi pada sistem pemerintahan
diartikan pemerintahan dari rakyat. Keikutsertaan rakyat dalam
pemerintahan demokrasi dapat dilihat dengan keberadaan partai
politik yang menjadi pilar demokrasi, kelompok masyarakat dan/atau
abentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi
kemasyarakatan (Ormas) maupun organisasi non pemerintah (NGO).
Dalam sistem demokrasi pada penyelenggaraan pemerintahan
dilaksanakan baik secara langsung maupun secara tidak langsung
melalui perwakilan.
Pada negara modern penyelenggaraan pemerintahan demokrasi
pada umumnya dilaksanakan secara demokrasi perwakilan. Namun
perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa dengan sistem
demokrasi perwakilan mengakibatkan masyarakat masih merasakan
tidak terwakili. Proses pengambilan keputusan pemerintahan hanya
melalui perwakilan sebagai wakil rakyat dalam pemerintahan.
Kenyataannya keputusan dalam melaksanakan pemerintahan
menimbulkan kekecewaan dan perasaan keberatan atas kebijakan
pemerintah serta merugikan kepentingan masyarakat, sehingga
kewenangan pemerintah berada diatas dari pada kedaulatan rakyat
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |35

sebagai pemilik kewenangan.Lembaga dewan perwakilan rakyat
belum mampu untuk membawa aspirasi rakyat didalam menentukan
kebijakan pemerintah pada setiap pengambilan keputusan-keputusan
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus melibatkan
masyarakat secara langsung. Kelebihan yang telah dimiliki oleh
pemerintahan dalam sistem demokrasi tersebut harus memberikan
ruang gerak bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah
kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintahan.
Partisipasi adalah upaya mendorong setiap warga negara untuk
mepergunakan hak menyampaikan pendapatnya dalam proses
pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi dimaksud
untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan
aspirasi rakyat , sehingga dapat mengantisipasi berbagai isu yang
ada, pemerintah menyediakan saluran komunikasi agar rakyat dapat
menyalurkan partisi aktifnya.
47

Pemerintah daerah sebagai lembaga publik berkewajiban untuk
memberikan kesempatan bagi semua komponen masyarakat
berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah. Dalam

47
Adi Sujatno, Moral dan Etika Kepemimpinan Merupakan Landasan ke Arah
Kepemerintahan yang Baik (Good Goverment ), Team 4 AS, Jakarta, 2009, hlm. 40.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |36

proses pengambilan kebijakan pemerintah, pemerintah
berkepentingan agar setiap keputusan yang diambil pemerintah tidak
akan menimbulkan permasalahan baru yaitu ketidaktaatan warga
negara atau masyarakat dalam melaksanakan setiap kebijakan
pemerintah. Wujud partisipasi masyarakat oleh pemerintah dilakukan
melalui sarana media masa baik elektronik maupun media masa
cetak, termasuk melakukan temu wicara dengan masyarakat di
daerah. Begitu pula melalui keaktifan masyarakat untuk menyalurkan
partisipasnya melalui kotak saran, maupun bersurat langsung kepada
lembaga pemerintahan.
Proses partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan
akan sangat ditentukan oleh kualitas hubungan antara pemerintah dan
warga masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki
kekuasaan yang lebih superior harus dengan tulus ikhlas membuka
ruang gerak dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk ikut dalam
penentuan kebijakan. Perhatian partisipasi dalam keikutsertaan bagi
warga masyarakat pada pemerintahan dalam pengambilan keputusan
telah menjadi bagian dunia internasional. United Nation Development
Program (UNDP) dalam Adi Sujatno
48
, menyebutkan bahwa
partisipasi adalah setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam
proses pengambilan keputusan dan memiliki kebebasan berpendapat

48
Ibid, hlm. 50.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |37

dan berserikat secara konstruktif. Menurut M. Budairi Idjehar yang
dikutif oleh H.S.Tisnanta dalam Muladi
49
, mengemukakan
kesempatan bagi partisipasi rakyat melalui lembaga-lembaga dalam
masyarakat dengan syarat yakni : kebebasan untuk membentuk dan
bergabung dalam organisasi; kebebasan untuk mengemukakan
pendapat; hak untuk memilih dalam pemilihan umum; hak untuk
menduduki jabatan politik; hak para pemimpin untuk bersaing
memproleh dukungan suara; tersedia sumber-sumber informasi
alternatif; terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur;
dan adnya lembagalembaga yang menjamin agar kebijakan publik
tergantung pada suara dalam pemilihan umum dan cara-cara
penyampaikan pendapat.
Proses syarat partisipasi rakyat seperti yang dikemukan oleh M.
Budairi Idjehar, maka dapat disebutkan bahwa partisipasi rakyat
dalam sistem pemerintahan demokrasi meliputi : kebebasan untuk
membentuk dan bergabung dalam organisasi, kebebasan
mengungkapkan pendapat, tersedianya sumber-sumber informasi
alternatif dan tersedianya cara-cara penyampaian pendapat, karena
melalui ini partisipasi rakyat dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Dengan partisipasi dari warga masyarakat mengandung
makna partisipasi yang tidak dipaksa atau atas kesadaran sendiri

49
M.Budairi Idjehar dikutif HS Tisnanta dalam Muladi Editor , Op Cit. hlm. 78.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |38

melalui berbagai sumber penyaluran informasi sehingga partisipasi
masyarakat memiliki nilai moral dan etika. Nilai moral dan etika setiap
partisipasi bersifat positip, karena keikutsertaan warga masyarakat
dalam pemerintah, maka warga masyarakat telah melakukan hak
politiknya.Sedangkan menurut Siti Sundari Rangkuti yang dikutif oleh
Yuliandri dalam Radian Salman,dkk
50
pada intinya dinyatakan, bahwa
peran serta seorang, kelompok orang (LSM) atau badan hukum
merupakan konsekuensi dari hak yang dapat dilaksanakan untuk
mengambil bagian prosedur administratif seperti inspraak, public
hearing, public inquiry dan sebagainya sebagai langkah efisiensi serta
kualitas pengambilan keputusan.
R.B.Gibson dalam Yuliandri, secara singkat disebutkan bahwa
pelaksanaan partisipasi publik bagi semua warga masyarakat, tidak
hanya sebagai konsumen kepuasan (consumems of satisfaction),
tetapi diberikan dorongan pengungkapan dan pengembangan diri (self
expression and development), baik secara bersamasama (collective
life) dalam menyeimbangkan kepentingan pribadi (individual interests)
dengan kepentingan bersama (social interests) dan keputusan
menyertakan warga masyarakat sehingga terwujud pemerintahan

50
Siti Sundari Rangkuti dalam Yuliandri, Membentuk Undang Undang yang
Berkelanjutan,Editor Radian Salman ,dkk, ,2008,Dinamika Perkembangan Hulum Tata
Negara dan Hukum Lingkungan ,Edisi khusus Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti
Siti Sundari Rangkuti, Airlangga University Press, Surabaya,hlm. 292.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |39

demokratis (democratic goverments) dan masyarakat demokratis
(democratic societies).
Pemerintahan merupakan suatu proses politik didalam upaya
untuk mencapai kesejahteraan bagi semua masyarakat. Joan Nelson
dalam M.R Khirul Muluk
51
mengemukakan bahwa partisipasi politis
dibagi dalam dua hal. Pertama, partisipasi horisontal yang melibatkan
warga secara kolektif untuk mempengaruhi keputusan kebijakan
kebijakan. Kedua, partisipasi vertikal yang terjadi ketika anggota
masyarakat mengembangkan hubungan tertentu dengan kelompok elit
dan pejabat yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Partisipati warga masyarakat dalam pemerintahan demokratis
sebagai wujud nyata dari elit berkuasa dalam mengimplementasi
kedaulatan rakyat yang memiliki wewenang baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun keikutsertaan masyarakat dalam pemerintahan.
Kebijakan pemerintah yang diambil melalui partisipasi masyarakat
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun atas partisipasi
masyarakat dengan kesadarannya baik secara individual maupun
kelompok mencerminkan nilai moral untuk mewujudkan sense of
belonging dan sense of responbility dalam pemerintahan. Sense of
belonging masyarakat menimbulkan kesadaran untuk mentaati dan

51
M.R Khairul Muluk , Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayu Media Publishing,
Malang, 2006, hlm. 47.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |40

melaksanakan setiap kebijakan pemerintah. Sedangkan sense of
responbility berdampak setiap kebijakan pemerintah yang dilakukan,
masyarakat memiliki perasaan ikut bertanggungjawab.
Munir Fuady hubungan partisipasi rakyat dalam wilayah
pemerintahan dan demokrasi dalam sistem demokrasi adanya unsur-
unsur sebagai berikut :
1. Pemahaman yang jelas oleh warga negara tentang berbagai hal yang
perlu diketahui;
2. Adanya wadah tempat para warga negara dan masyarakat sipil (civil
society) mendiskusikan berbagai hal secara cerdas;
3. Partisipasi yang efektif bagi warga negara dalam proses pengambilan
keputusan;
4. Kontrol akhir terhadap putusan-putusan politik harus tetap berada di
tangan rakyat; dan
5. Kekuatan publik yang impersonal, yakni yang senantiasa dibatasi oleh
hukum, dengan pusat otoritas yang beraneka ragam.
52

Penyelenggaraan partisipasi masyarakat dapat dilaksanakan
sesuai dengan unsur-unsur pembentuknya. Berdasarkan pendapat
Munir Fuady diatas, yang merupakan unsur dari partisipasi
masyarakat yakni; pemahaman yang jelas oleh warga negara tentang
berbagai hal yang perlu diketahui, adanya wadah tempat para warga

52
Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 37
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |41

negara dan masyarakat sipil (civil society) mendiskusikan berbagai hal
secara cerdas, dan kontrol akhir terhadap putusan-putusan politik
harus tetap berada di tangan rakyat. Karena salah satu unsur tersebut
tidak ada, maka partisipasi masyarakat tidak akan terwujud.
Partisipasi memerlukan suatu pemahaman yang jelas dalam hal
tertentu bagi masyarakat, sehingga partisipasi yang disampaikan
secara cerdas, kritis dan bermanfaat bagi masyarakat. Penyaluran
partisipasi masyarakat diperlukan sarana dan prasarana baik secara
elektronik maupun media masa serta secara konvensional melalui
kotak saran. Penyampaian patisipasi masyarakat dapat dilakukan
secara langsung kepada pemerintah melalui temu wicara dari para elit
yang berkuasa pada pemerintahan maupun lembaga perwakilan
rakyat yang sah dengan melalui wakil rakyat sebagai manifestasi
rakyat yang terwakili. Sedangkan partisipasi masyarakat dalam wujud
serta diperlukan partisipasi yang efektif bagi warga negara dan
masyarakat sipil (civil society) dan kekuatan publik yang impersonel,
yakni yang senantiasa dibatasi oleh hukum dengan pusat otoritas
yang beraneka ragam.Karena bentuk partisipasi masyarakat secara
vertikal maupun horinsontal telah sesuai dengan sasaran dan tujuan
terhadap program pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Pemerintah daerah mewujudkan rencana pembangunan daerah
melalui proses bottom up yakni dengan musyawarah pembangunan
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |42

desa, kecamatan dilanjutkan kabupaten dan provinsi. Proses
pembangunan dimaksud diperoleh melalui pendataan dan usulan
setiap wilayah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat
yang berdasarkan atas kebutuhan dan kepentingannya sehingga
pengambilan kebijakan keputusan berdasarkan atas partisipasi aktif
dari masyarakat melalui musyawarah untuk melaksanakan demokrasi.
Munir Fuady mengutif pendapat Rousseau bahwa partisipasi
rakyat dalam proses demokrasi dapat diartikan partisipasi dalam
membuat suatu keputusan
53
Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 , Pasal 28 E Ayat (3) disebutkan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. Dengan demikian maka, kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dalam
pemerintahan demokratis merupakan suatu hak. Sebagai warga
negara yang baik dan bertanggungjawab seharusnya menggunakan
haknya dengan sebaik-baiknya sebagai rasa untuk membangun
bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah telah memberikan hak konstitusional bagi warga negara
untuk menyampaikan pendapat atau berpartisipasi dalam proses
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.


53
Ibid, hlm. 41.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |43

E. Teori Konflik
Konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan,
seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik
mengandung pengertian benturan, seperti perbedaan pendapat,
persaingan, dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok
dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau
kelompok dengan pemerintah. Sehingga, ada konflik yang berwujud
kekerasan dan ada pula konflik yang tak berwujud kekerasan.
54

Konflik adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana seseorang
individu atau kelompok dalam mencapai tujuan maka individu atau
kelompok akan mengalami kehancuran, sedang yang lain menilai
bahwa konflik merupakan sebuah proses sosial dimana individu-
individu atau kelompk individu berusaha memenuhi tujuannya dengan
jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.
55

14Menurut Soerjono Soekanto Konflik adalah Proses sosialisasi
dimana orang perorang atau kelompok manusia berusaha memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman
atau kekerasan.
56

Perselisihan atau konflik dapat berlangsung antar individu-
individu, kumpulan-kumpulan atau antar individu dengan kumpulan.

54
Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik , Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana, 1999, hlm.75
55
Slamet Santosa, Dinamika Kelompok Jakarta, Bumi Aksara, 1999, hlm. 32
56
Soerjono Soekanto Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta, Graha Grafindo : 1999, hlm. 68 .
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |44

Bagaimanapun konflik baik yang bersifat antara kelompok maupun
intra kelompok, selalu ada ditempat hidup orang bersama. Konflik
disebut unsur interaksi yang penting, dan tidak sama sekali tidak boleh
dikatakan selalu tidak baik atau memecah belah dan merusak, justru
konflik dapat menyumbangkan banyak pada kelestarian kelompok dan
memepererat hubungan antar anggotanya.
57

Setiap sistem politik terutama sistem politik demokrasi penuh
kompetisi dan sangat dimungkinkan adanya perbedaan kepentingan,
rivalitas, dan konflik-konflik. Hal ini merupakan realitas sosial yang
terjadi di tengah masyarakat modern, karena masing-masing
mempunyai interest, tujuan yang mungkin saling bertentangan. Maka
konflik dalam ilmu politik sering diterjemakhkan sebagai oposisi,
interaksi yang antagonistis atau pertentangan, benturan antar macam-
macam paham, perselisihan kurang mufakat, pergesekan,
perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang.
58

Konflik dapat berlangsung pada setiap tingkat dalam struktur
organisasi dan ditengah masyarakat karena memperbutkan sumber
yang sama, baik mengenai kekuasaan, kekayaan, kesempatan atau
kehormatan, boleh jadi muncul disharmonisasi, disintegrasi dan
disorganisasi masyarakat yang mengandung banyak konflik baik

57
Ibid
58
Rahman Arifin, Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural Fungsional Surabaya, SIC
2002, hlm. 184
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |45

tertutup maupun terbuka. Pada masyarakat yang telah memiliki
konsensus dasar, tujuan negara dan mekanisme pengaturan konflik
tidak akan berujung pada kekerasan tetapi masih dalam batas yang
wajar seperti unjuk rasa, pemogokan, pengajuan petisi dan polemik
melalui media massa ataupun perdebatan melalui forum-forum
tertentu.
Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa konflik terjadi dalam
masyarakat karena adanya distribusi kewenangan yang tak merata
sehingga bertambah kewenangan pada suatu pihak akan dengan
sendirinya mengurangi kewenangan pihak lain. Oleh karena itu para
penganut teori konflik ini berkeyakinan bahwa konflik merupakan
gejala serba hadir, gejala yang melekat pada masyarakat itu sendiri,
karena ia melekat pada masyarkat itu sendiri, maka konflik tidak akan
dapat dilenyapkan, yang dapat dilakukan oleh manusia anggota
masyarakat adalah mengatur konflik itu agar konflik yang terjadi antar
kekuatan sosial dan politik tidak berlangsung secara kekerasan.
59

Menurut Paul Conn : Konflik merupakan gejala serba-hadir
dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara. Konflik
pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum
conflict) dan konflik menang-menang (non-zerosumconflict). Konflik
menang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga

59
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik ,Jakarta , PT.Gramedia Widiasarana : 1999, hlm.20 .
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |46

tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik. Sedangkan konflik menang-menang
adalah situasi konflik dimana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama
sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut.
Yang dipertaruhkan dalam situasi konflik biasanya bukan hal-hal yang
prinsipil, tetapi bukan pula hal yang penting.
60

Konflik dalam suatu masyarakat dan negara sangat diperlukan.
Hal itu karena konflik atau perbedaan baik pendapat, aspirasi, maupun
ide dapat memeperkaya gagasan yang berlainan dan bervariasi
merupakan sumber inovasi, perubahan dan kemajuan, apabila
berbedaan itu dapat dikelola melalui mekanisme yang baik. Dengan
demikian konflik dapat berfungsi sebagai sumber perubahan kearah
kemajuan, seperti yang dikemukakan oleh dahrendorf bahwa, konflik
mempunyai fungsi sebagai pengintegrasi masyarkat dan sumber
perubahan.
61

Selain sebagai sumber perubahan, konflik juga berfungsi untuk
menghilangkan unsur-unsur pengganggu dalam suatu hubungan.
Dalam hal ini Lewis Cozer berpendapat bahwa konflik dapat berfungsi
sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang

60
Ibid, hlm. 158.
61
Ramlan Surbakti,Op.cit,hal.76
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |47

bertentangan yang mempunyai fungsi sebagai stabilisator dan
komponen pemersatu hubungan.
Fisher, dkk menyebutkan ada beberapa alat bantu untuk
menganalisis situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik.
Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas,
ketegangan dan kekerasan yang berbeda, tahapan-tahapan ini adalah
: (1) Pra-Konfik : merupakan periode dimana terdapat suatu
ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga
timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun
salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi
konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara
beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak satu
sama lain. (2) Konfrontasi : pada saat ini konflik mejadi semakin
terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin
para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku
konfrontatif lainnya. (3) Krisis : ini merupakan puncak konflik ketika
ketegangan dan kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala
besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua
pihak terbunuh. Komunitas normal diantara kedua pihak kemungkinan
putus pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan
menentang pihak lainnya. (4) Akibat : kedua pihak mungkin setuju
bernegoisasi dengan atau tanpa perantara. Satu pihak yang
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |48

mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin
akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian. (5)
Pasca-konflik : akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri
berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan
mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan
masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka saling
bertentangan
62

Menurut Wallase dan Alison, teori konflik kepentingan memiliki
tiga asumsi utama yang saling berhubungan : (a) Manusia memiliki
kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk
merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu, (b) Power bukanlah
sekedar barang langka dan terbagi secara tidak merata sebagai
sumber konflik, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat
memaksa (coercive). Sebagian menguasai sumber, sedangkan yang
lainnya tidak memperoleh sama sekali, (c) Ideologi dan nilai-nilai
dipandangnya sebagai senjata yang dipergunakan oleh berbagai
kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka
masing-masing. Oleh sebab itu pada umumnya penyebab munculnya
konflik kepentingan sebagai berikut: (1) perbedaan kebutuhan, nilai,
dan tujuan, (2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh,

62
Fisher, R. Fractionating conflict. Dalam R. Fisher, ed. International conflict and behavioral
science: the craigville papers. New York, 1964, Basic Books.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |49

ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan (3) persaingan. Ketika
kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah
sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu
penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan
akan muncul.
63


















63
Robbin Stephen P, 1978. Administrative Process : Integrating theory and practice, New Delhi
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |50


BAB III
PEMBAHASAN
KEBEBASAN MEMILIH TANPA INTERVENSI

A. identitas Politik Lokal di Aceh
Donald L. Morowitz (1998), Pakar Universitas Duke,
mendifinisikan, Politik Identitas adalah pemberian garis yang tegas
untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan di
tolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat
dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta
merta tampak bersifat permanen, politik identitas dimakanai sebagai
politik perbedaan.
64

Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya
Geertz dan Masalah Kesukuan,menyebutkan bahwa : Politik
Identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika
dengan sebutan kami bagi orang asli yang menghendaki kekuasaan
dan mereka bagi orang pendatang yang harus melepaskan
kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan

64
Dalam jurnal Mohtar Haboddin, yang berjudul Menguatnya Politik Identitas di Ranah
Lokal, Jurnal Studi Pemerintahan ,2012. Hlm. 112
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |51

alat manipulasi-alat untuk menggalang politik guna memenuhi
kepentingan ekonomi dan politiknya.
65

Pemahaman ini berimplikasi pada kecendrungan untuk :
Pertama, ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atau
dasar hak-hak sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun sosial
budaya, kedua, demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang
menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan, Ketiga, kesetian yang
kuat terhadap etnistas yang dimilikinya.
66

Menguatnya politik identitas di Indonesia di dasari oleh muatan
etnisitas,agama, dan ideologi politik, RMS (Republik Maluku Selatan),
GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan GPM (Gerakan Papua Merdeka),
sebagai contoh perwujudan dari kegelisahan etnis-etnis ini terhadap
politik sentralistik Jakarta yang dirasa sangat tidak adil, khususnya
bagi Aceh dan Papua.
Membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit
karena secara terus menerus dicampur-adukan secara politis terkait
dengan tedensi ideologis untuk membuat hukum sebagai keadilan.
Jika hukum dan keadilan identik, jika hanya aturan sosial yang disebut
hukum adalah adil, yang berarti justifikasi moral. Tedensi
mengindentikan hukum dan keadilan adalah tedensi untuk

65
Ibid
66
Ibid
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |52

menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tedensi dan
cara politik, bukan tedensi ilmu pengetahuan.
67

Apabila kita mengkaji sejarah mengenai Konflik aceh yang
memakan waktu lebih dari 30 tahun, maka kita akan melihat ada
beberapa persoalan yang dituntut oleh masyarakat aceh dalam
mempertahankan identitas politiknya dalam bernegara. Awal mula
konflik aceh timbul dari ketidak percayaan akan keadilan yang telah di
janjikan oleh presiden pertama Indonesia soekarno, yang dimana
pada saat itu aceh bersedia tunduk kepada Indonesia dan presiden
soekarno dengan persyaratan aceh harus mendapatkan keistimewaan
menjalankan syariat islam secara kaffah.
Tuntutan tersebut akhirnya melahirkan suatu pemberontakan
Darul Islam yang dikomandoi langsung Daud Beureueh yang ketika itu
menjabat sebagai gubernur aceh.
68
Daud Bereueh menyatakan
bahwa aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia yang
dideklarasikan oleh Kartosuwiryo di jawa barat, namun akhirnya
rencana tersebut berhasil ditumpaskan oleh pemerintah Indonesia
pada masa itu.

67
Jimly Asshidiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi
Press, 2006, hlm.17.
68
Lembaga riset dan survey IAIN-Ar-Raniry Darussalam, Dalam Laporan Penelitian PUSA
Terhadap Reformasi di Aceh, Banda Aceh, 1978, hlm. 71.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |53

Alasan Soekarno tidak mengizinkan penerapan syariat Islam di
Aceh karena beliau khawatir daerah-daerah lain juga akan ikut
menuntut syariat Islam dan memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Soekarno lebih memilih konsep nasionalis. Menurutnya nasionalis
lebih dapat menyatukan berbagai perbedaan seperti suku, agama,
ras, dan etnis yang ada di Indonesia.
Pada masa orde baru, perlawanan pemberontakan untuk
kemerdekaan berlanjut, pada tahun 1976 Hasan Tiro (anggota dari
delegasi Indonesia untuk PBB di New York) kembali ke aceh dan
membentuk Gerakan Aceh Merdeka sebagai upaya melepaskan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia hal ini dilandasi oleh
kekecewaan masyarakat aceh terhadap upaya eksplorasi hasil alam
yang dilakukan pemerintah Indonesia yang tidak dapat dirasakan
manfaatnya secara langsung bagi masyarakat aceh.
69

Gerakan Aceh Merdeka diplokamirkan pada 4 Desember 1976,
disebuah camp yang bertepatan di Bukit Cokan, pedalaman
kecamatan tiro, Pidie.
70
Hasan Tiro menulis sebuah tulisan tentang
Demokrasi untuk Indonesia (1958). Pandangan Hasan Tiro di
antaranya adalah :

69
Antje Missbach, Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh Suatu Gambaran Tentang Konflik
Separatis di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2012, hlm.16.
70
Nazarudin,Syamsudin Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta,Gramedia, 1989, hlm. 26.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |54

1. Pancasila bukan filsafat, suatu ideologi yang hidup dalam masyarakat
indonesia.Oleh karena itu ia berpendapat bahwa Islamlah yang
dijadikan filsafat atau ideologi negara.
2. Menolak bentuk ketatanegaraan Indonesia yang unitaris, karena
bentuk itu menimbulkan dominasi suku. Ia lebih memilih negara
federal yang pembagian daerahnya berdasarkan suku bangsa.
71

Pada masa Soeharto GAM dipandang sebagai Gerakan
Pengacau Keamanan (GPK), sehingga harus dibasmi, karena itu tidak
ada refrensi pada masa pemerintahan Soeharto untuk melakukan
upaya integrasi politik bagi kelompok ini. Pendekatan militer
menyebabkan terjadinya kekerasan pada DOM 1989-1998 di Aceh.
Penghilangan orang, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, justru
menjadi anti tesis dari proses integrasi politik selama masa Orba.
Akibat penyelesaian yang tidak tuntas dimasa lalu dan kegagalan
pendekatan dalam menangani separatisme tersebut.
72

Pada tanggal 7 Agustus 1998 Jendral Wiranto sebagai
Menhankam/Panglima TNI mengumumkan secara resmi pencabutan
DOM di Aceh, namun kondisi aceh semakin hari semakin sulit.
73

Masyarakat aceh pada saat itu menghendaki adanya referendum bagi

71
Tiro, Hasan Mohammad, Demokrasi Untuk Indonesia. Jakarta, Teplok Press,1999, hlm. 6-
10.
72
Sulaiman. M.Isa. Aceh Merdeka Ideologi Kepemimpinan, dan Gerakan, Jakarta, Pustaka Al-
Kuasar, hlm. 111-115.
73
Ibid
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |55

aceh seperti yang diberikan B.J. Habibie dalam menyelesaikan kasus
Timor Timur, namun tuntutan itu tidak mendapatkan tanggapan oleh
pemerintah. B.J. Habibie pada masa itu memberikan formulasi bagi
masyarakat aceh dengan memberikan syariat islam secara khusus di
Aceh yang dituangkan pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 yang
meengatur ke istimewaan Aceh. Pasal 1 menyebutkan bahwa
keistimewaan Aceh adalah kewenangan khusus untuk
menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran
ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pada masa Presiden Megawati menjabat sebagai Presiden,
gagasan pemberian otonomi khusus akhirnya diundangkan melalui
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan syariat islam, selanjutnya menerbitkan inpres
yang berisi enam langkah instruksi untuk menyelesaikan Aceh secara
konfrehensif di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan ketertiban
masyarakat, dan keamanan
74
namun tetap tidak mendapatkan hasil
yang memuaskan.
Baru pada tahun 2005 ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih
sebagai Presiden Republik Indonesia, pemerintahan tersebut berhasil
mendapatkan kesepakatan damai yang di fasilitasi oleh Crisis

74
Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh,
Suara Bebas, Jakarta, 2006, hlm. 62.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |56

Management Initiatif (CMI) yang dipimpin oleh mantan Presiden
Finlandia Martti Ahtisaari yang menghasilkan sebuah Nota
Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang
ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005 antara Pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

B. Partai Politik Lokal Sebagai Upaya Perjuangan Identitas Politik
Pendekatan diplomasi dalam penyelesaian konflik Aceh kembali
digunakan oleh pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
yang dipilih melalui pemilihan secara langsung pada tahun 2004,
dengan melakukan pembicaraan informal dengan pihak GAM.
Pembicaraan informal yang berlangsung sejak akhir Januari
hingga Mei 2005 difasilitasi oleh Crisis Managemant Initiatif (CMI),
sebuah lembaga internasional yang dipimpin mantan Presiden
Firlandia Martti Ahtisaari. Rangkaian pembicaraan ini berlangsung
empat tahap antara delegasi Pemerintah RI dan GAM di luar kota
Heksinki ini akhirnya menghasilkan sebuah Nota Kesepahaman atau
Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada
tanggal 15 Agustus 2005.



Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |57

Dalam pembukaan MoU disebutkan bahwa :
.......Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik
Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi
semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga
pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses
yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi
Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan
penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan
pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember
2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang
terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan
prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi ....
(Pembukaan dalam Nota Kesepahaman antara RI-GAM).
75

Kutipan di atas mengilustrasikan tekad kedua belah pihak,
Republik Indonesia maupun GAM untuk menyelesaikan konflik Aceh
secara bermartabat. MoU Heksinki adalah suatu terobosan yang
dilakukan oleh pihak RI dan GAM sebagai salah satu proses

75
Sumber : diambil dari terjemahan resmi yang telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM.
hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam
bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Firlandia 15 Agustus 2005.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |58

transformasi konflik yang amat mendasar, dari konflik yang bernuansa
kekerasan menjadi perjuangan politik melalui kerangka demokrasi.

Untuk mencapai itu, proses transformasi akan dilakukan,
sebagaimana tercermin dalam isi nota kesepahaman melalui :
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; partisipasi politik (adanya
partai lokal); ekonomi; peraturan perundang-undangan; hak asasi
manusia (HAM),hingga masalah amnesti dan reintegrasi ke dalam
masyarakat.
76

Partai Politik Lokal bukanlah hal yang baru dalam sejarah
ketatanegaraan di Indonesia, Keinginan membentuk partai politik lokal
sudah terdengar sejak awal reformasi. Setidaknya keinginan itu
didasari pengalaman kehadiran partai politik lokal dalam Pemilihan
Umum 1955. Artinya, dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan
Indonesia, partai politik lokal bukan sesuatu yang ahistoris. Buktinya,
berkaca pada hasil Pemilihan Umum 1955, Herbert Feith membagi
empat kelompok partai politik yang mendapatkan suara di DPR dan

76
MoU Heksinki terdiri atas tiga bagian, yaitu : (1) penyelenggaraan pemerintahan Aceh,
yang mengatur tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan di
Aceh, pengaturan partisipasi di bidang politik, hak-hak ekonomi bagi Aceh, dan
pembentukan peraturan perundang-undangan ; (2) penyelesaian pelanggaran hak asasi
manusia (HAM); dan (3) amnesti dan reintegrasi mantan anggota GAM dan tahanan politik
ke dalam masyarakat serta pengaturan keamanan, pembentukan Misi Monitoring Aceh, dan
mekanisme penyelesaian perselisihan dalam tahap implementasi kesepakatan di lapangan.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |59

Konstituante, yakni partai besar, menengah, kelompok kecil yang
bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah.
77

Kelompok terakhir ini, menurut Feith, bisa dikategorikan partai
atau kelompok yang bersifat kedaerahan dan kesukuan. Misalnya
munculnya Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka,
Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng
di Jawa Barat. Tidak hanya itu, di daerah lain ada Gerinda di
Yogyakarta dan Partai Persatuan Daya di Kalimantan Barat.
78

Adanya perubahan pola perjuangan dari bentuk perlawanan
bersenjata menjadi gerakan politik membawa dampak yang cukup
besar di internal GAM. Pimpinan GAM membentuk Majelis Nasional
sebagai badan yang berwenang untuk mengurusi politik da Komite
Peralihan Aceh (KPA) untuk memantau proses demobilisasi dan
reintegrasi mantan kombatan..
Salah satu butir kesepakatan dalam kesepakatan damai Helsinki
adalah partai lokal.Butir 1.2.1. (Partisipasi Politik) MoU Helsinki
tertulis:

Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak
penendatangan Nota Kesepahaman ini, pemerintah RI menyepakati

77
Saldi Isra,Partai Politik Lokal, http://www.tempo.co diakses hari Selasa, Tanggal 01 April
2014 jam 15.14 WIB
78
Ibid
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |60

dan akan memfasilitasi pembentukan partai politik yang berbasis di
Aceh yang memenuhi persyaratan Nasional. Memahami aspirasi
masyarakat Aceh untuk partai politik lokal, Pemerintahan RI dalam
tempo satu tahun, atau paling lambat18 bulan sejak penandatangan
Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum
untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi
dengan DPR. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu
akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.
Produk hukum sebagai implementasi butir di atas adalah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2007 tentang partai
politik lokal di Aceh. Secara teoritis, partai politik berperan sebagai
sarana untuk mengoperasionalkan fungsi-fungsi politik, seperti
sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi
kepentingan politik masyarakat. Fungsi-fungsi ini terkait dengan
kedudukan partai politik sebagai salah satu penghuni sistem politik.
Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota,masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |61

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
79

Secara teoritis, partai politik berperan sebagai sarana untuk
mengoperasionalkan
fungsi-fungsi politik, seperti sosialisasi politik, rekrutmen politik,
artikulasi dan agregasi kepentingan politik masyarakat. Fungsi-fungsi
ini terkait dengan kedudukan partai politik sebagai salah satu
penghuni sistem politik. Sistem politik sendiri menurut pendfkatan
Fungsional Estonian terdiri dari dua sub sistem yaitu, infrastruktur
politik dan suprastruktur politik. Dalam pengertian sederhana,
infrastruktur politik merupakan suasana kehidupan politik di tingkat
masyarakat yang mencerminkan dinamika organisasi sosial politik di
luar pemerintahan. Sementara suprastruktur politik merupakan
suasana kehidupan politik di dalam pemerintahan dan berkaitan
dengan peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan.
80

Kehidupan yang demokratis sendiri menurut Urofsky ditandai
dengan adanya pemilihan pimpinan secara bebas oleh warga negara
dan terbuka dan jujur.
81
Oleh Karena itu pilkada langsung Aceh selain

79
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
80
Partai local dan masa depan Partai Nasional http//www.acehistitut.org/m_rizwan_,
diakses hari Kamis, Tanggal 03 April 2014 jam 10.19 WIB
81
Urofsky, Melvin. Prinsip-prinsip dasar Demokrasi dalam politik, demokrasi dan
managemen komunikasi.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |62

membawa angin demokrasi bagi masyarakat Aceh, juga menambah
pengalaman politik luar biasa yang bisa dicapai setelah sekian lama
hidup dalam konflik.
Pada tahun 2006 dilakukan Pemilihan Kepala Daerah untuk
pertama kalinya setelah pasca kesepakatan damai 2005, Pemilihan
Kepala Daerah diselenggarakan pada tanggal 11 Desember 2006
serentak dengan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/Kota di 19 dari
21 kabupaten/kota se-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berbeda
dengan Pilkada lainnya di Indonesia yang diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Pilkada di NAD
diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nanggroe
Aceh Darussalam. Hal lain yang membedakan Pilkada NAD adalah
Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah boleh diikuti oleh calon
independen.Data KIP NAD menunjukkan, jumlah pemilih Pilkada NAD
tercatat 2.632.935 orang, yang tersebar di 21 kabupaten/kota; yang
memilih di 8.471 Tempat Pemungutan Suara.
82
Pilkada ini
menghasilkan pasangan idependen Irwandi-Nazar yang dimotori oleh
para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka dan aktivis SIRA.
Pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah No. 22 Tahun 2007 mengeluarkan aturan khusus

Yogyakarta, Galang Press, tahun 2002.
82
Hasil Pemilukada Aceh 2006, www.KIP-Aceh.go.id , diakses pada hari Kamis, Tanggal 03
April 2014 jam 10.25 WIB
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |63

mengenai pembentukan partai politik lokal, sehingga pada tahun 2007
ada 12 partai lokal yang lolos verifikasi tingkat provinsi.
83
Namun
kemudian haya 6 partai lokal yang lolos verifikasi tingkat pusat
menjadi peserta pemilu 2009, adapun partai tersebut antara lain,
Partai Aceh, Partai Rakyat Aceh,Partai Suara Independen Rakyat
Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Atjeh, dan Partai
Daulat Aceh.
84

Di dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006 terdapat
pengaturan khusus mengenai partai politik lokal yang memperlihatkan
kedudukan politik identitas dalam suatu partai politik lokal di aceh,
Pasal 77 ayat (2) tentang Asas,Tujuan dan Fungsi yang menyebutkan
Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang
mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan
masyarakat Aceh. Artinya apabila kita mengkaji bunyi dari pasal
tersebut maka jelas terlihat adanya penegasan ciri dari partai politik
lokal yang memiliki cerminan aspirasi yang berbeda, yang dimana ciri
tersebut mengarahkan pada identitas politik dari partai lokal masing-
masing.


83
12-Parlok-Disahkan, www.waspada.com.., diakses pada hari Kamis, Tanggal 03 April 2014
jam 10.25 WIB
84
Hasil verifikasi faktual KPU Pusat, www.KPU.go.id diakses pada hari Kamis, Tanggal 04
April 2014 jam 11.00 WIB.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |64

Pada tahun 2009, perolehan suara partai lokal sangat signifikan
hal ini dibuktikan dengan unggulnya suara partai lokal terutama Partai
Aceh (PA) yang menjadi motor penggerak politik mantan kombatan
GAM di aceh, partai aceh berhasil meraih 36 kursi dari 69 kursi yang
diperebutkan di DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), perolehan
suara yang lain disusul oleh Partai Demokrat, Golkar, PAN,PPP,PKS,
dan beberapa partai kecil lainya.
Perubahan pola pergerakan mantan anggota Gerakan Aceh
Merdeka yang sebelumnya menuntut perjuangan kemerdekaan aceh
sudah mentransformasikan diri menjadi kekuatan politik yang baru
bagi demokratisasi di aceh. Hal yang paling mendasari dari tuntutan
politik identitas gerakan ini adalah menjadikan aceh sebagai daerah
pelaksanaan syariat islam secara kaffah, maka tidak heran kiranya
beberapa aturan peraturan daerah (perda) atau yang di kenal dengan
sebutan qanun di aceh lebih memprioritaskan produk hukum yang
bernafaskan keislaman.
Politik identitas yang diperjuangkan oleh para mantan kombatan
melalui partai politik lokal sebagai salah satu upaya untuk dapat
memperjuangkan eksistensi keberadaan suatu kelompok masyarakat
yang menginginkan adanya aturan khusus didaerah, di sisi lain
dengan adanya partai politik lokal setidaknya dapat meredam upaya
pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikarenakan
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |65

aspirasi yang ingin diperjuangkan bukan melalui perjuangan senjata,
melainkan perjuangan aspirasi masyarakat melalui sistem politik di
aceh.
Bendera Aceh dan Lembaga Wali Nanggroe misalnya, wujud
dari upaya partai aceh dalam memperjuangkan politik identitas, yang
sampai saat ini masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat
aceh. Hal ini membuktikan politik identitas tidak hanya terbatas pada
konsepsi ideologi, etnis, dan agama melainkan telah
tertransformasikan dengan kepentingan golongan elite yang ada di
daerah.

C. Latar Belakang Intervensi Dan Intimidasi Hak Pilih Masyarakat
Aceh
Intervensi dan intimidasi terhadap hak pilih masyarakat aceh
ditandai dengan adanya gesekan konflik politik, yang terjadi diantara
partai politik lokal dan nasional, konflik ini dilatarbelakangi oleh tiga
indikator
85
, indikator yang pertama adanya perpecahan secara
ideologi yang dipahami oleh para mantan kombatan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan membentuk partai politik lokal yang

85
Tiga indikator tersebut merupakan pemahaman penulis dalam menyimpulkan peristiwa di
aceh berdasarkan beberapa bahan masukan seperti media masa baik cetak dan elektronik
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |66

didonominasi oleh para mantan kombatan yang terdiri dari dua partai
politik lokal yakni, Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh.
86

Indikator yang kedua, adanya persaingan politik yang tidak sehat
diantara kedua partai politik tersebut dengan melakukan serangkaian
kegiatan intervensi, intimidasi, kekerasan hingga pembunuhan yang
bertujuan untuk memberikan legitimasi kedudukan secara politik
terhadap kedua partai politik lokal tersebut, indikator ketiga, adalah
keterlibatan pihak ketiga seperti organisasi masyarakat (ormas) yang
memiliki latar belakang ideologi yang berbeda dengan para mantan
kombatan dan adanya dugaan orang tidak dikenal dalam keterlibatan
konflik politik di aceh.
Ted Gur menjelaskan munculnya perilaku politik kekerasan
sebagai akibat dari kondisi psikologis deprivasi relatif. Menurutnya,
Relative Deprivation is a discrepancy between value expectations
and capabilities with respect to any collective deprivation.
Kesenjangan ini dipicu oleh ledakan kemarahan tertentu atau yang
disebutnya sebagai dipengaruhi discontent anger rage. Perilaku
politik kekerasan yang berkembang terkait pemilu, dapat menjadi

86
Ada tiga partai politik lokal aceh yang menjadi peserta pemilu 2014 yaitu, Partai Aceh,
Partai Nasional Aceh, dan Partai Daulat Aceh, dan 12 Partai Nasional yang terdiri dari Partai
Nasdem, Partai kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtra, Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrati, Partai Amanat
Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Bulan Bintang,
dan Partai Keadilan Persatuan Indonesia.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |67

indikator tentang rendahnya kapasitas sistem politik untuk mengolah
berbagai tuntutan yang muncul agar menjadi kebijakan yang
otoritatif. Salah satu nilai dari demokrasi yang penting ditegakkan
dalam melahirkan kapasitas sistem politik semacam itu adalah
proses penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berlaku adil bagi
setiap pihak, terutama terhadap peserta (free and fair election).
Robert Dahl
87
(1985) menyebutkan tentang pentingnya
kemampuan untuk melakukan proses sirkulasi kepemimpinan di
tingkat elit yang berlangsung secara damai dan jauh dari cara-cara
kekerasan atau manipulatif . Secara umum, kondisi Aceh pasca MoU
Helsinki pada 15 Agustus 2005 sebenarnya berkembang positif
sehingga membuka harapan bagi kondisi lebih baik dibandingkan
dengan sebelumnya. Trauma kekerasan diupayakan untuk ditangani,
tanpa melupakan catatan sejarah kelam yang pernah terjadi agar
dijadikan pelajaran di masa mendatang, realitas yang terjadi di satu
pihak, konflik vertical yang terjadi antara mantan kombatan GAM
dengan pihak TNI/Polri memang mengalami penurunan yang sangat
drastis. Tetapi dilain pihak, konflik antar-sesama masyarakat justru
cendrung meningkat, dan hal ini sudah diawali sejak adanya
persaingan antar kelompok-kelompok tertentu yang menganggap

87
Robert A. Dahl, Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (terjemahan), Jakarta,
Rajawali Press, 1985.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |68

pembagian dana reintegrasi tidak dilakukan secara adil, konflik yang
terus berlarut-larut, meskipun terjadi secara sporadis, telah membawa
implikasi tersendiri pada saat momentum pilkada 2012 lalu dan
menjelang pemilu 2014.
Keberadan MoU tersebut menjadi landasan bagi penerbitan
Intruksi Presiden No. 15 Tahun 2005, perintah atau Direktif
Menkopolhukam No. DIRDIR-67/Menko/ Polhukam/12/2005 tentang
Optimalisasi Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI
dan GAM serta SK Gubernur NAD No. 330/032/2006 tanggal 11
Februari 2006 yang kemudian diubah melalui SK Gubernur NAD No.
330/213/2006 tanggal 19 Juni 2006 tentang Pembentukan Badan
Reintegrasi Damai Aceh (BRA), yang sumber dananya berasal dari
APBD, APBN, dan lembaga atau negara donor asing. Dalam
pelaksanaan muncul anggapan ketidakadilan atas pembagian dana
reintegrasi.
Keberadaan lembaga pengelola dana reintegrasi secara ad hoc,
justru dimanfaatkan bagi kelompok-kelompok mantan kombatan
yang memiliki akses ke pemerintahan. Akibatnya, terdapat
ketidakpercayaan dan bahkan persaingan di antara mereka. Padahal,
awalnya setelah MoU tersebut, keberadaan Forum Bersama
Perdamaian atau Forbes Damai, di mana terdapat unsur dari
pemerintah, mantan GAM, dan unsur dari donatur internasional,
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |69

adalah memperlancar program-program rekonstruksi Aceh. Metode
kerjanya yang fleksibel justru dianggap dapat terhindar dari sistem
pengadministrasian yang terlalu kaku dan konvensional.
Kenyataannya, anggapan ketidakadilan dana reintegrasi,
semakin tercermin dalam perpecahan yang terjadi pada internal
Partai Aceh. Perpecahan melahirkan sempalan Partai Aceh yang
didirikan mantan gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama sejumlah
mantan GAM. Sempalan ini bernama Partai Nasional Aceh, yang
didaftarkan ke Kanwil Kemenkumham di Banda Aceh, 24 April 2012.
Tragisnya, pengelolaan persaingan antar-elit mantan GAM, tidak
berjalan baik dan justru memicu konflik terbuka antara-mereka. Hal ini
tampak pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gebernur Aceh tahun 2012
yang diwarnai pertikaian menjurus pada konflik horizontal. Saat itu,
terdapat dua kubu yang bersebrangan pertama yaitu, kubu Irwandi
Yusuf dan Muhyan yunan yang maju sebagai calon gubernur dan
wakil gubernur melalui jalur independen. Kedua, yaitu, kubu Partai
Aceh yang mengusung Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Majunya
kedua mantan elit GAM dalam pilkada dianggap mengulang sejarah
konflik Aceh. Saat itu, insiden demi insiden terus terjadi dalam
keseharian, mulai dari pemukulan, pembakaran, dan penembakran
mobil, hingga pembunuhan.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |70

Persaingan diinternal GAM dalam konteks partai-partai yang
didirikannya ini cendrung berkepanjangan dan meluas. Ketatnya
persaingan juga terjadi di antara partai-partai lainnya di lingkup
nasional dalam pemilu anggota legislative 2014. Ironisnya, ketatnya
persaingan tidak dibarengi dengan nilai fairness dalam demokrasi,
sehingga berujung pada munculnya ledakan aksi-aksi prilaku politik
kekerasan. Padahal, MoU Helsinki pada awalnya juga diarahkan
dalam proses transformasi kelompok-kelompok bersenjata pada
kekuatan politik partai bersaing secara demokratis. Ironisnya, benih-
benih awal transformasi kelompok-kelompok tersebut, termasuk
dikalangan GAM, sudah berkembang sejak pemilu presiden (pilpres)
tahun 2004 meskipun pilpres ini merupakan pilpres secara langsung
oleh rakyat yang pertama kali dalam sejarah.
Kekerasan dan intimidasi serta intervensi terhadap hak politik
dalam menentukan pilihan sudah mulai terlihat semenjak dimulainya
jadwal tahapan hingga tiga bulan sebelum proses pemilihan,
berdasarkan data yang penulis himpun dari berbagai media baik cetak
dan elektronik terdapat 36 peristiwa kekerasan yang mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa, dan pidato/orasi yang menimbulkan permusuhan
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |71

diantara para pihak yang memiliki kepentingan politik di aceh, adapun
peristiwa tersebut sebagai berikut :
88


A. Kekerasan Menjelang Pemilu 2014 di Aceh
i. Peristiwa Januari 2014
1. 10 Januari 2014, penganiayaan terhadap seorang kader PNA oleh
OTK saat memasang atribut kampanye di Ujong Banda Sakti,
Lhokseumawe.
2. Pada 15 Januari 2014, Ramli [kader PNA] dihajar oleh kader PA
hingga mengalami luka parah dibagian kening dan pipi. Ramli dianiaya
karena menurunkan bendera PA didaerah Desa Kuala Cangkoi,
Kecamatan Lapang, Aceh Utara.
3. Tanggal 19 Januari 2014, sebuah mobil pribadi milik M. Azmuni, Caleg
PA untuk DPRA dibakar oleh OTK di kawasan Desa Meunasah Mee,
Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara.
4. Perusakan Posko pemenangan pemilu milik PNA di Desa Keude
Karieng Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara, Sabtu 25 Januari

88
Data tersebut penulis peroleh dari pemberitaan media cetak dan elektronik mengenai
kekerasan dan intimidasi hingga pembunuhan dalam kurun waktu tiga bulan sebelum
pemilihan umum yang dillaksanakan pada tanggal 9 april 2014
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |72

2014 malam. Pelaku perusakan dilakukan oleh sekelompok pria yang
menggunakan mobil berstiker Caleg PA.
5. 25 Januari 2014, ratusan bendera PNA dilintasan jalan nasional,
kawasan Blang Peuria, Kecamatan Samudera, Aceh Utara juga
dirampas OTK.
6. Jufrizal, yang memasang bendera PNA di jalan dikawasan Panggoi,
Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, dianiaya oleh sekelompok
orang pada 29 Januari 2014. Akibat penganiayaan, Jufrizal sempat
pingsan dan harus dirawat di rumah sakit.
ii. Peristiwa Februari 2014
1. Pada 6 Februari 2014, Yuwaini [47], ketua DPC PNA yang dituduh
menurunkan bendera PA tewas dianiaya oleh Abu Dun dan Zulkifli
Jamal dikawasan Desa Beuregang, kecamatan Kuta Makmur,
Kabupaten Aceh Utara. Abu Dun tercatat sebagai ketua Satuan Tugas
[Satgas] PA kemukiman Beureghang, kecamatan Kuta Makmur.
2. Pada 6 Februari 2014, terjadi pembakaran mobil milik Zulkifli alias
Ayah Pasee Panglima Sagoe KPA [Komite Peralihan Aceh] wilayah
Murtahda, di Desa Serba Jaman, Tang Luas, Aceh Utara. Pelaku yang
belum diketahui identitasnya menjalankan aksinya sekitar pukul 4.30.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |73

3. Pada 16 Februari 2014, dua OTK menggunakan senjata laras panjang
memberondong Posko pemenangan Zubir HT calon legislatif DPRK
Aceh Utara dari Partai Nasional Demokrat di Jalan Line Exxon Mobil,
Desa Kunyet Mule, Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara. Pelaku juga
menganiaya dua tim sukses dengan cara ditendang dikepala,
dirahang dan dipunggung.
4. Rumah Husaini, Caleg DPRK Aceh Utara dari Partai Nasdem,
dilempar bom Molotov oleh OTK sekitar pukul 02.30, 21 Februari
2014. Kejadian terjadi di Desa Nibong, Kecamatan Meurah Mulia,
Aceh Utara.
5. Pada 26 Februari 2014, Ilyas SyafiI [kader PNA] dikeroyok oleh lima
kader PA yang menggenderai mobil milik Agustina, Caleg DPRK
Lhokseumawe dari PA. Ramli dipukul saat sedang memasang baliho
baliho di Jalan Samudra, Kampung Jawa, Kecamatan Banda Sakti,
Kota Lhokseumawe.
6. Pada 26 Februari 2014, terjadi pengrusakan mobil jenis avanza milik
Agustina, Caleg DPRK Lhokseumawe dari PA dikawasan kampung
Hagu Selatan, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Pelaku diduga
sebanyak enam orang membawa parang dan samurai. Disinyalir
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |74

pengrusakan buntut dari kasus penganiayaan terhadap Ilyas Syafii
[kader PNA].
7. Sebuah mobil jenis panther Pick up milik Iswandi Caleg PDI P
Perjuangan dibakar OTK dikawasan Desa Seuneubok Baroe
Kecamatan Manyak Payed di Bakar OTK, pada Rabu dini hari, 26
Februari 2014.
8. Sebuah mobil pribadi jenis sedan milik Razuan, Wakil Sekretaris
Jenderal DPP PDA [Partai Damai Aceh] dan Caleg DPRA dibakar oleh
OTK didepan poskonya di Gampong Pantee Raja, Kecamatan Pasie
Raja, Aceh Selatan. Insiden pembakaran terjadi sekitar pukul 04,
tanggal 28 Februari 2014.
9. 28 Februari 2014, seorang kader PA meludahi anggota Panwaslu
Aceh Tamiang, Saiful Alam, SE, di Karang Baru, Aceh Tamiang

iii. Peristiwa Maret 2014
1. Pada 1 Maret 2014, seorang anggota Satgas PA, Taufiq alias
Banggala, dikeroyok oleh 3 orang pemuda di Gampong Geudot,
Jangka Bireun.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |75

2. Pada 2 Maret 2014, sejumlah atribut kampanye milik partai PNA, PA,
PKS, PAN, Nasdem, Golkar, dan PPP dirusak oleh OTK di Blang
Dalam Tunong, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.
3. Pada 2 Maret 2014, Faisal [40], Calon Legislatif untuk Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten [DPRK] Aceh Selatan dari PNA tewas
diberondong peluru jenis senapan AK 47 saat mengendarai mobil
pribadinya dikawasan Gunung Gunteng Mancang, Kecamatan
Meukek, Aceh Selatan. Sejauh ini polisi belum dapat mengindentifikasi
identitas pelaku.
4. Pada 5 Maret 2014 tepatnya di Desa Moncrang, Kanot dan Meucat,
Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara terjadi pengerusakan dan
pembakaran terhadap Bendera serta baliho Partai Aceh.
5. Pada 5 Maret 2014, sebuah posko pemenangan milik PNA dibakar
oleh OTK di Alue Awe, Kecamatan Geuredong Pasee, Aceh Utara.
6. Pada 5 Maret 2014. Pembakaran posko pemenangan milik Partai
Nasdem di Alue Awe, Kecamatan Geuredong Pasee, Aceh Utara.
7. Pada 5 Maret 2014 terjadi pembakaran Kantor Dewan Pimpinan
Gampong Partai Aceh (DPG-PA) Meunasah Manyang, kecamatan
Muara Dua, Lhokseumawe.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |76

8. Pada 5 Maret 2014, Muntasir seorang caleg dari PNA melakukan
pengerusakan sejumlah atribut kampanye milik PA di Meunasah
Kanot, Syamtalira Aron, Aceh Utara.
9. Pada 5 Maret 2014, sejumlah kader PA melakukan pengerusakan
atribut kampanye milik PNA di Simpang Meulieng, Syamtalira, Aceh
Utara. Selain itu, dua orang jurnalis juga diintimidasi oleh sejumlah
kader PA tersebut.
10. Pada 7 Maret 2014, seorang Kader PNA, Mundirsyah alias Robert,
diserang oleh sejumlah Kader PA di Supeung Kecamatan Tanah
Luas, Kabupaten, Aceh Utara. Selain itu Kader PA juga merusak
rumah korban
11. Pada 7 Maret 2014, seorang Sekjen PNA, Sofyan, mengalami
penganiayaan oleh sejumlah orang yang diduga Kader PA di Blang
Bidok Kecamatan Tanah Luas
12. Pada 7 Maret 2014, seorang anggota Tim sukses PNA, Rusli alias
Lukhen, dianiaya oleh sejumlah orang yang diduga merupakan kader
PA, di Meunasah Nga Kecamatan Lhoksukon.
13. Pada 7 Maret 2014, sebuah Posko pemenangan milik Partai Gerindra,
dibakar oleh OTK di Lhok Keutapang Kecamatan Tangse, Pidie.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |77

14. Pada 8 Maret 2014, sebuah Posko milik PNA, dirusak oleh OTK di
Nibong, Aceh Utara.
15. Pada 10 Maret 2014, sejumlah rombongan kendaraan milik anggota
PA mengalami bocor ban akibat terkena ranjau paku di Meunasah
Keh, Kecamatan Nibong, Aceh Utara. Diduga ranjau tersebut sengaja
disebar oleh OTK
16. Pada tanggal 11 Maret 2014 tepatnya pukul 20.15 WIB, sebuah
Kantor Dewan Pimpinan Sagoe Partai Aceh (DPS-PA) Luengbata
Banda Aceh, dilempari granat jenis Nanas oleh OTK dan
menyebabkan beberapa bagian kaca kantor tersebut pecah.
17. Pada 13 Maret 2014, OTK melakukan pelemparan bom molotov
terhadap sebuah rumah milik kader PA, Abubakar Abdullah, di Jalan
Darussalam Lhokseumawe.
18. Salah satu kader Partai Nasional Aceh atas nama Darmuni (38 Tahun)
diculik oleh lima pria dikawasan Tunong Krueng Kecamatan Paya
Bakong kabupaten Aceh Utara, kejadian tersebut terjadi pada tanggal
14 Maret 2014 tepatnya pukul 23.45 WIB.
19. Pada 14 Maret 2014, sejumlah OTK melakukan pengerusakan dan
penganiayaan terhadap sejumlah rombongan kader PNA di Simpang
Kandang, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |78

20. Pada tanggal 15 Maret 2014, sekitar pukul 19.10 WIB sebuah Kantor
Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasional Aceh (DPW PNA)
Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) di Desa Guhang, Kecamatan
Blangpidie, ditembak oleh OTK, namun tidak ada korban jiwa dalam
kejadian tersebut.
21. Seorang Caleg partai NASDEM diculik oleh OTK pada tanggal 15
Maret 2014, tepatnya pukul 02.00 WIB di Gampong Matang
Seulimeng, Kecamatan Langsa Barat, korban atas nama Muslim alias
Cut Lem diculik dan dianiaya oleh pelaku, selain itu korban juga
dimasukkkan kedalam karung goni dalam keadaan tangan dan kaki
terikat.
22. Pada 18 Maret 2014, sejumlah massa dari PETA dan LMP melakukan
penyerangan terhadap sebuah kantor dan pengerusakan atribut
kampanye milik PA di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
23. Pada 18 Maret 2014, pasca penyerangan PETA dan LMP, sejumlah
jurnalis mengaku mengalami intimidasi melalui sms yang dikirm oleh
OTK di Takengon, Aceh Tengah
24. Pada 18 Maret 2014, sejumlah atribut kampanye dan Posko milik
kader PDIP, Ir Tagore, yang juga merupakan pengurus PETA, dirusak
oleh Kader PA dan Forkab di Bener Meriah.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |79

25. Pada 19 Maret 2014, sebuah Posko pemenangan milik PA dirusak
oleh OTK di Gampong Payabujok Seuleumak, Kec Langsa Baro, Kota
Langsa
26. Pada tanggal 21 Maret 2014 seorang kader Partai Aceh bernama
Ahmad Syuib (25 Tahun) ditembak oleh OTK saat pulang dari acara
kampanye, tepatnya di Desa Ulee Pulo Kecamatan Dewantara
Kabupaten Aceh Utara pada pukul 19.30 WIB.
27. Pada 21 Maret 2014, paska penembakan iring-iringan mobil
kampanye PA, 2 orang satgas PNA dikeroyok oleh sejumlah orang
yang diduga merupakan Kader PA di Simpang Unimal, Dewantara,
Aceh Utara.
28. Pada 21 Maret 2014, selain itu sebuah rumah milik seorang kader
PNA juga dirusak oleh Kader PA di Lancang Barat, Kecamatan
Dewantara, Kabupaten Aceh Utara
29. Dua orang Satgas PNA atas nama Armiya (24 tahun) dan Tauhid (25
tahun) dikeroyok oleh massa di sehingga babak belur, kejadian
tersebut terjadi pada tanggal 21 Maret 2014 disebuah warung.
30. Pada 22 Maret 2014, kembali sebuah rumah milik satgas PNA juga
dirusak oleh sejumlah kader PA.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |80

31. Pada 25 Maret 2014: Seorang anggota Panitia Pemungut Suara
dianiaya oleh Kader PA di Kumbang Unoe, Kecamatan Glumpang
Baro, Pidie.
32. Pada 26 Maret 2014, seorang Kader PNA, Syamsul Bahri, dianiaya
oleh OTK di Teupin Mane, Juli, Bireun.
33. Pada tanggal 28 Maret 2014 tepatnya pukul 12.02 WIB, seorang
Caleg DPRA Dapil 6 Langsa dari partai PAN atas nama Muliadi alias
Radja, mengalami luka akibat penganiayaan yang dilakukan aleh 20
pemuda di Dusun Teupin Kule, Desa Sineubok Rambong, Idi Rayeuk,
Aceh Timur.
34. Puluhan bendera partai politik dan spanduk milik Caleg PA di wilayah
Aceh Utara dirusak oleh OTK. Selain itu, sebuah mobil minibus tim
sukses milik Caleg PA juga dibakar oleh OTK.
35. Pada tanggal 28 Maret 2013 sekitar pukul 20.00 WIB, sebuah rumah
milik seorang Timses PNA atas nama Safrudin (48 Tahun) yang
terletak di jalan Imam Bonjol Desa Seuneubok Meulaboh Aceh Barat
dibakar oleh OTK.
36. Senin Tanggal 31 Maret 2014 sekitar pukul 21.30 WIB, tepatnya di
Simpang Kuburan Cina (simpang Buket Teukuh), Desa Geulanggang
Teungoh, Kecamatan Kota Juang Bireuen, sebuah Mobil Kijang
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |81

Innova warna hitam BK 1216 HQ berstiker Partai Aceh ditembaki oleh
OTK, sehingga menyebabkan 3 orang meninggal dan 2 orang lainnya
mengalami luka. Korban meninggal adalah Juwaini (29 Tahun),
Khairul Anwar (1,5 Tahun), Azirawati (28 Tahun), sedangkan yang
mengalami luka adalah Ainsyah (60 Tahun) dan Misrawati (25 Tahun).

b. Pidato / Orasi Menyebar Kebencian dan Permusuhan
1. Bupati Aceh Utara, H. Muhammad Thaib, mengharamkan beras gratis
untuk yang tidak dukung Partai Aceh untuk pemenangan di Pemilu
2014 ini, "Saya tegaskan, bahwa mulai detik ini juga yang bukan kader
Partai Aceh atau yang tidak dukung Partai Aceh, maka haram terima
beras gratis. Pernyataan tersebut disampaikan pada acara kampanye
perdana di lapangan Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara pada
tanggal 18 Maret 2014.
2. Pada tanggal 24 Maret bertempat di Lapangan Kecamatan Tanah
Pasir Kabupaten Cahe Utara, Ketua DPRK Lhokseumawe, Saifuddin
Yunus atau Pon Pang mengeluarkan pernyataan bahwa "Partai Aceh
wajib dipilih, jika tidak maka orang yang tidak pilih PA akan kita usir
dari bumi Aceh ini." Selain itu Juru Bicara Partai Aceh Pusat Fachrur
Razi M.IP. Dirinya menyebutkan bahwa dua partai lokal selain Partai
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |82

Aceh adalah partai yang tidak miliki ayah dan ibu. "Siapa sich
mereka? Kedua partai lokal itu padahal tidak diakui oleh dunia
internasional, kecuali PA. Dua parlok tersebut yakni PNA dan PDA
bagaikan partai yang tidak miliki ayah dan ibu." Selain itu, Jubir PA
juga menyatakan bahwa "Siapa yang tidak mau pilih PA? Silahkan
keluar dari Aceh. Perlu diketahui, jika PA menang pada pemilu 2014
ini, maka akan ditempatkan di Aceh kantor perwakilan PBB, CMI, dan
Uni Eropa. Ketiganya itu nantinya akan bertugas memantau
perkembangan kondisi di Aceh, segala persoalan ataupun kinerja, kita
akan laporkan ke pihak internasional, bukan lagi ke Indonesia."
3. Pada tanggal 30 Maret 2014, bertempat di stadion TM. Djafar Julok
Aceh Timur, Ketua DPW Partai Aceh Kabupaten Aceh Timur, Syahrul
Bin Syamaun yang juga Wakil Bupati Aceh Timur menyatakan bahwa
"Bila partai Aceh kalah, maka diharamkan partai lain menang di Aceh."

Apabila merujuk pada indikator grafik maka kita akan melihat ada
lima jenis tindakan kekerasan dalam kurun waktu tiga bulan sebelum
pemilihan umum, hal ini penulis sajikan dalam table grafik berikut :
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |83



Table Grafik. 1.a.

Dari penjelasan table grafik 1.a terlihat ada lima jenis tindakan
kekerasan politik di aceh sebelum pelaksanaan pemilihan umum
yaitu; pengrusakan, penembakan, penganiayaan, intimidasi, hingga
penculikan. Keseluruhan peristiwa tersebut menimbulkan pola
kekerasan politik yang signifikan dalam kurun waktu tiga bulan, hal ini
29
6
7
2
12
Jenis-Jenis Tindakan Dalam
Kekerasan Politik di Aceh
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |84

dapat dilihat dari pola kekerasan yang penulis sajikan di dalam Table
Grafik berikut ini;

Table Grafik 1.b
Selain pola kekerasan diatas, sasaran dan korban kekerasan
politikpun hampir merata terjadi di aceh, baik partai politik lokal dan
Penembak
Pengerusa
Pelempar
Perusakan
Perusakan
Penganiay
Bom
Intimidasi
Penembak
Penculika
3
13
1
6
6
12
3
4
5
2
Pola Kekerasan Politik
Yang Terjadi di Aceh
Januari s/d Maret 2014


P
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |85

nasional hingga korban sipil yang merupakan simpatisan dari partai
politik lokal di aceh hal ini dapat dilihat di table ketiga;

Table 1.c
Sehingga dari keseluruhan rangkaian kekerasan di aceh
meinimbulkan kondisi korban yang berbeda-beda pula, setidaknya ada
5 orang menjadi korban tewas, 19 orang korban luka, dan 31 orang
menjadi korban yang dirugikan secara materi dan psikologis, lihat
table grafik berikut ini:

Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |86



Table Grafik 1.d.
Keseluruhan peristiwa di atas tentu saja akan berdampak pada
ketakutan politik yang dialami masyarakat Aceh, dan berdampak pada
hak politik masyarakat Aceh dalam memilih dan dipilihi dalam konteks
pesta demokrasi di Aceh. Dalam pandangan Robert A. Dahl dalam
9%
35%
56%
Kondisi Korban
Kekerasan Politik di
Aceh
Tewas
Luka
Lainnya
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |87

karyanya yang lain, hak pilih sebagai faktor penting dalam pemilu
demokratis dapat diukur minimal dengan 4 (empat) nilai.
89
Pertama,
inculisiveness, artinya setiap orang yang sudah dewasa harus
diikutkan dalam pemilu. Kedua, equal vote, artinya setiap suara
mempunyai hak dan nilai yang sama. Ketiga, effective partisipation,
artinya setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan
pilihannya. Keempat, enlightned understanding, artinya dalam rangka
mengekspresikan pilihan politik secara akurat setiap orang
mempunyai pemahanan dan kemampuan yang kuat untuk
memutuskan pilihannya. Hal ini sejalan dengan pendapat IDEA
(Institute for Democracy and Electoral Assistance) yang menyatakan
bahwa adanya pengakuan terhadap hak pilih universal harus diadopsi
dalam kerangka hukum untuk menjamin pemilu yang demokratis.
90

Pada dasarnya hak memilih telah mendapatkan pengakuan
secara yuridis di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia,
berdasarkan ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dinyatakan
bahwa Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-
Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan

89
Robert A. Dahl, Procedural Democracy, dalam P. Laslett & J. Fishkin (Eds.), Philosophy,
Politics, and Society. (New Haven: Yale University Press, 1979), hlm. 97-133.
90
IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali
Kerangka Hukum Pemilu, (Jakarta: IDEA, 2002), hlm. 39-47.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |88

serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis. Berdasarkan ketentuan Pasal 28 I ayat (2)
UUD 1945 di atas, jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan
yang demikian ini mengacu pada ketentuan pasal tersebut harus
diatur dalam undang-undang, artinya tanpa adanya pengaturan
tentang pembatasan tersebut berdasarkan undang-undang maka tidak
dimungkinkan dilakukan adanya pembatasan terhadap pelaksanaan
hak dan kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga
negara Indonesia. Kerangka hukum yang demikian ini perlu untuk
dipahami secara bersama dalam rangka memaknai hak yang telah
diakui dan diatur secara hukum di Indonesia. Kondisi demikian
tersebut di atas, apabila mengacu pada ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
menunjukkan adanya bentuk pelanggaran hukum terhadap jaminan
hak memilih yang melekat pada warga negara Indonesia. Menurut
ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
dinyatakan bahwa Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politiknya. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dinyatakan bahwa Setiap
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |89

warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Kedua ketentuan pasal di atas jelas menunjukkan adanya
jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia itu
sendiri untuk melaksanakan hak memilihnya. Adanya ruang untuk
melakukan pembatasan terhadap hak yang melekat pada setiap orang
dan warga negara Indonesia sebagimana dikemukakan di atas,
melahirkan pengaturan bahwa hak memilih tersebut dimungkinkan
untuk tidak melekat pada semua warga negara Indonesia. Artinya, hak
memilih tersebut diberikan pembatasan-pembatasan sehingga warga
negara yang diberikan jaminan untuk memiliki hak memilih tersebut
benar-benar merupakan warga negara yang telah memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.
Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dinyatakan bahwa Pemilih adalah Warga
Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |90

atau lebih atau sudah/pernah kawin. Lebih lanjut menurut ketentuan
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, diketahui bahwa:
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah
genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah
kawin mempunyai hak memilih;
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih. Penegasan
pembatasan sebagaimana disebutkan Pasal 19 ayat (2) di atas, lebih
lanjut menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
semakin dipertegas, yaitu dinyatakan bahwa Untuk dapat
menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar
sebagai pemilih. Penegasan pengaturan yang demikian ini
menunjukkan adanya pembatasan yang tegas terhadap hak memilih
yang telah diakui dan diatur sebagaimana termasuk dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dengan pembatasan sebagaimana
dikemukakan di atas, ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, dilakukan melalui
undang-undang, adalah dapat dibenarkan secara konstitusional.
Sehingga apabila Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dalam
mengatur pelaksanaan jaminan adanya hak memilih dari warga
negara Indonesia memberikan pembatasan-pembatasan yang
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |91

berkaitan dengan persyaratan yang ditentukan bagi warga negara
Indonesia dapat mempergunakan hak memilih tersebut, maka
pengaturan pembatasan yang demikian tersebut dapat dibenarkan
secara konstitusional. Sehingga apabilla kita bandingkan dengan
peristiwa kekerasan yang terjadi di aceh sangat bertentangan dengan
proses pembatasan hak pilih yang dilindungi di dalam konstitusi
Republik Indonesia yang disertai intimidasi dan intervensi secara
politik

D. Implikasi Dari Intervensi dan Intimidasi Terhadap Pelaksanaan
Demokrasi di Aceh
Implikasi dari intervensi dan intimidasi terhadap hak pilih dan
dipilih adalah pada tingkat partisipasi masyarakat dalam menentukan
pilihannya dan tingkat ketakutan secara politik, Partisipasi dipahami
sebagai upaya mendorong setiap warga negara untuk mepergunakan
hak menyampaikan pendapatnya dalam proses pengambilan
keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Partisipasi dimaksud untuk
menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi
rakyat , sehingga dapat mengantisipasi berbagai isu yang ada,
pemerintah menyediakan saluran komunikasi agar rakyat dapat
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |92

menyalurkan partisi aktifnya melalui prosesi pemilu, sehingga apabila
partisipasi disini mengalami intervensi dan intimidasi maka brdampak
pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam menentukan pilihan
politiknya.

Isbandi menerangkan bahwa partisipasi dimaknai sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah
dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan, dan pengambilan
keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah,
pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat
dalam proses perubahan yang terjadi.
91
Mikkelsen mengklasifikasikan
partisipasi dalam lima pengertian, yaitu:
92

a. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek
tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan;
b. Partisipasi adalah pemekaaan (membuat peka) pihak masyarakat
untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk
menanggapi proyek-proyek pembangunan;
c. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam
perubahan yang ditentukannya sendiri;

91
Isbandi Rukminto Adi, 2007, Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari
Pemikiran Menuju Penerapan. FISIP UI Press: Depok, Hlm. 27.
92
Mikkelsen, Britha, 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan: Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Hlm. 64
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |93

d. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti
bahwa orang atau kelompok yang terkait mengambil inisiatif dan
menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
e. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,
kehidupan, dan lingkungan mereka.
Miriam Budiardjo mendefinisikan partisipasi dalam bidang politik
sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih
pimpinan negara, serta secara langsung atau tidak langsung
memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
93
Menguatkan
pengertian itu, Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of
the Social Science menyebutkan, partisipasi politik adalah kegiatan-
kegiatan sukarela dari warga masyarakat, melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara
langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan
umum.
94
Berdasarkan pengertian tersebut, partisipasi bisa dilakukan
dalam bentuk apapun untuk memengaruhi kebijakan pemerintahan,
yang dilakukan sebagai bentuk kesadaran masyarakat secara aktif
dan sukarela.

93
Miriam Budiardjo. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1998.
Hlm. 1.
94
Hetifah Sj. Sumarto, 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. Hlm. xxv.
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |94

Pada dasarnya pemilu dapat dikatakan sebagai bentuk
partisipasi politik dimana warga negara yang bertindak sebagai pribadi
atau perseorangan, dapat mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif,
terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
95

Pelaksanaan pemilu di aceh yang disertai dengan tindakan intimidasi
dan kekerasan tentunya dapat mempengaruhi partisipasi publik dalam
menentukan pilihannya.
Apabila ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia maka menurut
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa ketentuan HAM di dalam UUD
1945 setelah perubahan terdapat di dalam 37 butir ketentuan yang
diklasifikasi ke dalam empat kelompok,
96
yaitu:
Pertama, kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil
yang meliputi:
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
kehidupannya;
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat kemanusiaan;

95
Miriam Budiardjo, loc.cit.
96
Jimly Asshiddiqie, Op.cit. hal 86-88
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |95

c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk
perbudakan;
d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya;
e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran,
dan hati nurani;
f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum;
g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan
hukum dan pemerintahan;
h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut;
i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
j. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
k. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah
negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan
diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |96

Kelompok kedua adalah hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya
yang meliputi:
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan
tulisan;
b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam
rangka lembaga perwakilan rakyat;
c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-
jabatan publik;
d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan
yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan
mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang
berkeadilan;
f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang
dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan
pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi;
i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan
dan pengajaran;
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |97

j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
k. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-
hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan
tingkat peradaban bangsa-bangsa;
l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari
kebudayaan nasional;
m. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat
menurut kepercayaannya itu.

Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan
yang meliputi:
a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial,
termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di
lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai
kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |98

c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang
dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi
oleh hukum;
d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan
perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi
pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
e. Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam
pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan kekayaan alam;
f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan
sehat;
g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat
sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan yang sah.

Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab
negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |99

dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk
memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama,
moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis;
c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen
dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan
kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Apabila kita merujuk pada pandangan Jimly Asshidiqie maka
dapat dikatakan pelaksanaan pemilu di aceh yang disertai dengan
tindakan kekerasan tersebut tergolong perbuatan yang melangggar
prinsip hak asasi manusia sebagai mana yang dimaksudkan di dalam
katagori kelompok kedua mengenai hak politik, ekonomi, sosial, dan
budaya, utamanya pada huruf a dan b , yang menyatakan Setiap
warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan, dan Setiap
warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga
perwakilan rakyat hal ini jelas bertentangan dengan spirit penegakan
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |100

Hak Asasi Manusia yang dicantumkan di dalam Konstitusi Negara
Republik Indonesia di dalam Pasal 28 UUD 1945

E. Solusi Terbaik Bagi Penyelesaian Permasalahan Hak Pilih yang
Demokratis di Aceh
Partisipati masyarakat Aceh dalam pemerintahan demokratis
merupakan wujud nyata dari implementasi kedaulatan rakyat
keikutsertaan masyarakat dalam pemerintahan merupakan bagian dari
partisipasi masyarakat baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
atas partisipasi masyarakat dengan kesadarannya secara individual
maupun kelompok mencerminkan nilai moral untuk mewujudkan
sense of belonging dan sense of responbility dalam pemerintahan.
Sense of belonging masyarakat menimbulkan kesadaran untuk
mentaati dan melaksanakan setiap kebijakan pemerintah. Sedangkan
sense of responbility berdampak setiap kebijakan pemerintah yang
dilakukan, masyarakat memiliki perasaan ikut bertanggungjawab.
Untuk itu diperlukan suatu solusi untuk dapat mewadahi setiap
hak yang berkaitan dengan partisipasi masyrakat aceh, Secara
koersif, ketegasan atas penanganan secara hukum terhadap berbagai
perilaku politik kekerasan menjelang pemilu 2014, sudah harus
dilakukan secara konsisten. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di Pasal 293 menyebutkan: Setiap
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |101

orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau
dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat
pendaftaran Pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai
Pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah). Sedangkan terkaitan
tahapan kampanye, di Pasal 275 UU No. 8 Tahun 2012 menyebutkan:
Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu
jalannya Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah).
Sementara itu, secara preventif, dalam rangka mencegah
terjadinya bentrokan, KPU sudah mencoba mengantisipasinya,
terutama ketika nanti masa kampanye yang bersifat pengerahan
massa atau rapat umum. Antisipasi tersebut, adalah dengan
membuat pemetaan zonasi kampanye pemilu yang diharapkan
bermanfaat untuk mencegah pertemuan secara masif antar massa
pendukung dan sangat berpotensi menyulut bentrokan fisik.
Penyelenggaraan pemilu menjadi ujian tersendiri bagi
demokrasi di Indonesia, karena situasi persingan antar kandidat dan
partai bukan tidak mungkin melahirkan kondisi psikologis politik
deprivasi relatif. Kondisi psikologi politik demikian sebagai penyebab
Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |102

terjadinya seseorang atau kelompok orang menempuh jalan dalam
mencapai tujuannya. Pilihan melakukan aksi kekerasan didorong
oleh kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapainya dengan
ketersediaan jalan yang ada dalam rangka mewujudkan tujuan
tersebut.
Artinya kedua bentuk penyelesaian di atas merupakan solusi
kongkrit atas perlindungan hak memilih dan dipilih di provinsi aceh,
sehingga setiap masyarakat aceh dapat terlindungi secara hukum atas
hak-hak politiknya.













Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |103

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya
sistem politik demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain adalah
untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara
memilih wakil-wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat. Salah satu
upaya untuk mewujudkan pemilu adalah dengan mempergunakan hak
pilih, hak pilih adalah hak yang mendapatkan pengakuan secara
yuridis di dalam konstitusi negara republik Indonesia, hak ini juga
dilindungi di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, untuk itu hak ini harus secara bebas terlepas dari
segala bentuk intimidasi dan intervensi yang mengarahkan pada
kepentingan politik tertentu.
Kekerasan pemilu yang terjadi sebelum pemilihan umum di
provinsi aceh, mengindikasikan adanya suatu tekanan intervensi dan
intimidasi terhadap hak pilih yang seyogyanya menjadi hak dasar
dalam menentukan pilihan kepada calon legislatif yang terdapat di
Aceh, untuk itu segala bentuk tindakan kekerasan tersebut haruslah
dihindari guna menegakkan semangat demokrasi di provinsi Aceh.


Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |104

B. SARAN
Kekerasan politik yang terjadi di aceh harus mendapatkan
perhatian serius bagi pemerintah terutama dengan melakukan
tindakan koersif dan preventif dengan melibatkan seluruh elemen
yang terlibat didalam kontestasi pemilihan umum, dengan melakukan
kesepakatan pakta integritas untuk mendukung pemilihan umum yang
demokratis di Aceh.















Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |105

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU DAN JURNAL
Abdul bari Azed. Sistem-sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan
Pemikiran. (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2000.
A.Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,Elsam, 2004
Adi Sujatno, Moral dan Etika Kepemimpinan Merupakan Landasan ke
Arah Kepemerintahan yang Baik (Good Goverment ), Team 4
AS, Jakarta, 2009
Antje Missbach, Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh Suatu Gambaran
Tentang Konflik Separatis di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit
Ombak, 2012
Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang
wakil rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum ; Problematika Ketertiban
Yang Adil, Grasindo, Jakarta,2004
Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah
Filosofis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995
Gunawan Setiardja, HAM Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius,
Yogyakarta, 1993
Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Gramedia, Jakarta, 198
Henry B. Mayo dalam Mirian Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, PT
Gramdia, Jakarta, 1981
Iriyanto A. Baso Ence,Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi,Alumni, Bandung, 2008
Jimly Asshiddiqie. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT. Achtiar Baru Van
Hoeve,1994

Jimly Ashidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1994
Jimly Asshidiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Jakarta, Konstitusi Press, 2006

J.J Von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan,
Jakarta, 1988

Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |106

Moh. Yasir Alimi,, Advokasi Hak-hak perempuan membela hak
mewujudkan perubahan, LKIS 1999
Miriam Budiardjo, 1994, HAM di Indonesia. Karangan dalam Esei
Pembangunan Politik, Situasi Global, dan HAM di Indonesia,
PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, 1994
Moh. Kusnardi dan Harmailiy Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988
Miram Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1998
Mohammad Hatta, Kearah Indonesia Merdeka (1932), dalam Kumpulan
Karangan Jilid I, Bulan Bintang , Jakarta, 1976
Michael Saward, Democratic Theory and Indices Of Democratization
dalam David Beetham (edt) Defining and Measuring Democrcy,
Sage Publication,Ltd London, 1994
Mohtar Masoed, Negara, Kapital, dan Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1994
M.R Khairul Muluk , Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayu
Media Publishing, Malang, 2006

Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung,
2010

Miriam Budiardjo. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,1998
Nimatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Press, Jakarta,
2005

Nazarudin,Syamsudin Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta,Gramedia,
1989
Padmo Wahjono, Perkembangan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co,
Jakarta, 1989
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia;
Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya Oleh
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu,
Surabaya, 1972
Robert A. Dahl, Polyarchy:Participation and Opposition (New Heaven:
Yale University Press, 1977
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1988
Ramdlon Naning, Cita dan Citra HAM di Indonesia, LKUI, Jakarta, 1983
Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1983

Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |107

Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik , Jakarta : PT. Gramedia
Widiasarana, 1999

Rahman Arifin, Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural
Fungsional Surabaya, SIC 2002

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik ,Jakarta , PT.Gramedia
Widiasarana : 1999
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001
S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum
Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4-1997
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945,
FH UII Press, Yogyakarta, 2001
Syahran Basah ,Ilmu Negara, Pengantar Metode dan Sejarah
Perkembangan,PT. Citra Adya Bhakti, Bandung ,19992

Slamet Santosa, Dinamika Kelompok Jakarta, Bumi Aksara, 1999

Soerjono Soekanto Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta, Graha Grafindo :
1999
Tiro, Hasan Mohammad, Demokrasi Untuk Indonesia. Jakarta, Teplok
Press,1999



















Kebebasan Memilih Tanpa Intervensi |108


B. INTERNET
Saldi Isra,Partai Politik Lokal, http://www.tempo.co diakses hari Selasa,
Tanggal 01 April 2014 jam 15.14 WIB


Partai local dan masa depan Partai Nasional
http//www.acehistitut.org/m_rizwan_, diakses hari Kamis,
Tanggal 03 April 2014 jam 10.19 WIB

Hasil Pemilukada Aceh 2006, www.KIP-Aceh.go.id , diakses pada hari
Kamis, Tanggal 03 April 2014 jam 10.25 WIB

12-Parlok-Disahkan, www.waspada.com.., diakses pada hari Kamis,
Tanggal 03 April 2014 jam 10.25 WIB


Hasil verifikasi faktual KPU Pusat, www.KPU.go.id diakses pada hari
Kamis, Tanggal 04 April 2014 jam 11.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai