Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tiada henti-hentinya bila kita membahas tentang politik, apalagi di era
globalisasi seperti sekarang ini. Globalisasi membawa dampak yang sangat berpengaruh
dalam politik di Indonesia. Seperti yang kita tahu Indonesia merupakan negara yang
demokratis, oleh karena itu partisipasi masyarakat, utamanya dalam politik sangat
diperlukan untuk membentuk suatu pemerintahan. Suatu bentuk partisipasi yang agak
mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum
antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya
dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih. Salah satu permasalahan
yang cukup fenomenal di dalam pemilihan umum yaitu adanya Golongan Putih yang
kerap disebut “GOLPUT”.
“GOLPUT” merupakan kata yang tak asing lagi di telinag masyarakat. Bahkan
sekarang jumlah Warga Negara yang melakukan GOLPUT menurut lembaga survey
semakin meningkat. Hal ini diakibatkan banyak faktor dan sampai saat ini banyak solusi
yang telah dilakukan tetapi dalam kenyataannya jumlah orang yang melakukan
GOLPUT masih saja terus meningkat. Bila hal ini terus terjadi, tidak menutup
kemungkinan akan mengantarkan Negara ini ke dalam kehancuran.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dari politik, partisipasi politik, pemilu dan golput?
2. Apa penyebab terjadinya golput?
3. Bagaimana solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi terjadinya golput?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari politik, partisipasi politik, pemilu dan golput
2. Mengetahui penyebab terjadinya golput
3. Dapat memberikan solusi untuk mengatasi terjadinya golput

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

“Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu” (Ramlan Surbakti, 1991).
“Politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai tekhnik
menjalankan kekuasaan” (F. Isjwara, 1995). “Politik adalah aktivitas perilaku atau
proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat” (Kartini Kartono, 1996).
Menurut definisi di atas dapat disimpulkan bahwa politik merupakan salah satu sarana
interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun
program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan keinginan-keinginan
masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai dengan baik.
Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang
penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama pada hubungannya
dengan negara-negara yang sedang berkembang.
Apakah yang dinamakan partisipasi politik itu? Sebagai definisi umum dapat
dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih
pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Kegiatan ini mencakup kegiatan seperti memberikan suara dalam pemilihan
umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai, mengadakan hubungan
dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Untuk lebih
jelasnya, dibawah ini disajikan pendapat beberapa sarjana.
“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat
melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara
langsung dan tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum” (The term
“political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a

2
society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of
public policy). Herbert McClosky (1972 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 2)
“Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit
banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau
tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka” (By political participation we refer to
those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at
influencing the selection of governmental personnel and/or the action they take).
Norman H. Nie dan Sidney Verba (1975 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 2)
“Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan,
mantap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak
efektif” (By political participation we mean activity by private citizens designed to
influence government decision-making. Participation may be individual or collective,
organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal,
effective or ineffective). Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1977 dalam Miriam
Budiardjo, 1998: 3)
Di negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah
kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk
menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan
orang-orang yang akan memegang tumpuk pimpinan. Anggota masyarakat yang
berpartisipasi dalam proses politik misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain,
terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan
tersalur dan mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan mereka yang
berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dalam Negara demokratis,
umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi mesyarakat, lebih baik. Sebaliknya,
tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang
baik, karena diartikan bahwa warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah
kenegaraan. Lagi pula, dikhawatirkan bahwa jika berbagai pendapat kurang mendapat
kesempatan untuk dikemukakan, pimpinan negara akan kurang tanggap terhadap

3
kebutuhan dan aspirasi masyarakat dan cenderung untuk melayani kepentingan
kelompok saja.
Suatu bentuk partisipasi yang agak mudah untuk diukur intensitasnya adalah
perilaku warga negara dalam pemilihan umum antara lain melalui perhitungan
persentase orang yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah warga
negara yang berhak memilih.
Pemilihan umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk
sistem kekuatan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan
yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar negara. Kekuasaan yang lahir dengan
pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan
dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat oleh rakyat, menurut sistem
permusyawaratan perwakilan. Pemerintahan dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu,
setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama yaitu, lewat pemilu kita dapat menguji hak-
hak politik rakyat secara keseluruhan. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap
terjadinya proses rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari
pemilihan umum kita menginginkan adanya pergantian kekuasaan dari figur-figur
pejabat publik yang lebih baik.
Diadakan pemilihan umum itu tidak sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk
duduk dalam lembaga permusyawaratan atau perwakilan saja, dan juga tidak memilih
wakil-wakil rakyat untuk menyusun negara baru dengan dasar falsafah negara baru,
tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawakan isi hati nurani
rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan
Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada proklamasi 17
Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat.
Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku
memilih (voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David
Moon mengatakan ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-
voting yaitu: pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan
karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih
tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir
memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007). Istilah golput muncul pertama kali

4
menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak
memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo
Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi
tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104). Golput menurut
Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan
pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan bahwa golput
adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan,
sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai
golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa
di percaya, ngapain repot- repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn
Wahid, dkk, 2009; 1). Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih
memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih.
Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau
tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput
menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu
gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi
kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka,
memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan
hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan
penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara
kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit ; 1992) Jadi berdasarkan hal di atas,
golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang
jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang
berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti
jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput.
Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar
memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua
golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok
itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna,
baik di sengaja maupun tidak. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas
empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis

5
tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke
tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya
dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar
sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik,
penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya
pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa
perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya
pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena
alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N.
Fathah). Sedangkan menurut Novel Ali(1999;22)., di Indonesia terdapat dua kelompok
golput Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak
mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan
ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke
tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah
kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas
partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi
politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu
atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik
mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki
kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi
juga pada tingkat evaluasi.

Tinjauan Penelitian Sebelumnya


Banyak kajian penelitian sebelumnya yang membahas tentang perilaku
masyarakat yang tidak memilih. Salah satunya dilakaukan Tauchid Dwijayanto dengan
judul penelitian Fenomena Golput Pada Pilgub Jateng 2008-2013 (Studi Kasus
Masyarakat Golput Kota Semarang) Berdasarkan hasil penelitianan yang dilakukan oleh

6
Tauchid Dwijayanto ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput
dalam Pilgub Jateng 2008-2013 di Kota Semarang yaitu:
1. Masih lemahnya sosialisasi tentang Pilgub Jawa Tengah. Dari temuan penelitian
tersebut di tegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota
Semarang serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan masih sangat kecil
peranannya dalam rangka mensosialisasikan pengetahuan tentang pelakasanaan
Pemilihan Gubernur Jawa Tengah.
2. Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. Tauchid Dwijayanto mengatakan
bahwa maka mayoritas responden lebih memilih untuk bekerja dari pada datang ke TPS
memberikan suara, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih bekerja
dari pada hilang pengasilannya dari pada hadir di TPS yang berdampak pada
berkurangnya penghasilan, sementara tuntutan ekonomi keluarga semakin kuat.
3. Sikap apatisme terhadap pemilihan gubernur. Hasil temuan penelitian Tauchid
Dwijayanto mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap bahwa dengan
dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan membawa perubahan apapun baik terhadap
provinsi maupun kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini
hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Peneliti lain yang membahas tentang fenomoena golput adalah Efniwati,
penelitiannya berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Hak Pilih pada
Pemilihan Presiden 2009 di Kota Dumai (Studi Kasus di Kecamatan Dumai Timur dan
Kecamatan Sei. Sembilan). Temuan kajian Efniwati yang dilakukan di dua kelurahan di
Kota Dumai untuk perilaku masyarakat tidak memilih menunjukkan ada dua faktor
yang kuat mempengaruhi masyarakat. Faktor pekerjaan responden adalah faktor yang
paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya di
Kelurahan Sukajadi yaitu sebesar 16,9%, sedangkan di Kelurahan Bangsal Aceh faktor
lokasi TPS (X12) adalah foktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk
tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2009 yaitu sebesar 15,9%.
Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat
atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif.
Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi
seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan

7
sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada
waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan,
harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan
atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena
tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada
sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak
menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak
memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa
perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya
(Eriyanto ; 2007).

8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. PENGERTIAN
Politik merupakan salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah
dengan masyarakat sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah
sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat
dicapai dengan baik.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara
dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pemilihan umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk
sistem kekuatan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan
yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar negara.
Golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan
yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.

3.2. ANALISA PENYEBAB GOLPUT


Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada
perbedaan pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena
golput. Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada
karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu;
dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas
keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.
Merujuk pedapat Arbi Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu
Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua , menusuk bagian putih dari

9
kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak
menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok
golput awam dan kelompok golput pilihan. Secara lebih detail diuraikan oleh Eep
Saefulloh Fatah golput teknis, golput teknis-politis golput politis dan golput ideologis.
Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga
yang menyebabkan terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih
mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil
temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor
pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan
mengapa pemilih golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau
ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.
Berangkat dari penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang
menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana
dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih
dan faktor ekternal. Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk
tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan
ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya.

1. Faktor Internal
Tabel di atas menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang
mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan
pekerjaan pemilih.
a. Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis
yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih.
Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan
yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi
itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan
hak pilihnya.
Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal
yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala yang

10
serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang membuat
pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi yang seperti yang
penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir adalah permasalahan yang
sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke
TPS. Seperti ada keperluan keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan.
Pada kasus-kasus seperti ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa
mensiasatinya, yaitu dengan cara mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih
terlebih dahulu baru melakukan aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.
Pemilih golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak
mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan
kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui
dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan
itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin
yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik
pula.
b. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan
pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah
orang yang tidak memilih. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun
2014 dari 183,0 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor
pertanian yaitu 38,97 juta orang (34,00 persen), disusul sektor perdagangan
sebesar 24,83 juta orang (21,66 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar
18,42 juta orang (16,07 persen).
Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor
informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak
dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak
bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani
harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk
meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti
membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh
dari TPS.

11
Maka dalam pemahaman penulis faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada
faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini
dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang
penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.

2. Faktor Eksternal
Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak
menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini menurut
pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.
a. Faktor Administratif
Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi
yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak
terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas
kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak
bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak
terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya
masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai
pemilih. Jika kondisi yang seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan
tergabung kedalam kategori golput.
Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah
permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika
masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih
Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan
membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah
tinggal 6 bulan di satu tempat.
b. Sosialisasi
Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat
penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas
pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota,

12
gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan
yang lebih kecil RT/ RW.
Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya
meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama
pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada
Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai
politik, pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di
Aceh serta pemilu 2014 diikuti 12 partai politik nasional dan 3 partai lokal Aceh.
Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut
yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara
pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru
hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus
memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah
pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara
menandai.
c. Faktor Politik
Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik
masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan
dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa
perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak
menggunakan hak pilihnya.
Banyak yang mengira bahwa orang-orang yang memilih golput adalah
sekelompok orang yang kurang memiliki kepedulian pada kehidupan bangsa. Padahal
bukan itu sebenarnya yang ada di hati mereka. Pada beberapa pemilihan pemimpin
terdahulu mereka bersikap skeptis karena memandang bahwa tidak akan ada bedanya
siapapun yang memimpin suatu daerah karena ketidaktersediaan calon pemimpin yang
akan mampu memberikan perubahan. Setiap calon hanyalah orang-orang berkualitas
sama. Janji-janji yang dilontarkan luar biasa muluk sehingga secara logika susah dicerna
akal bagaimana cara mereka akan memenuhinya nanti. Bagi pemimpin model ini yang
penting terpilih dulu, soal janji pikir belakangan. Semua mengklaim bahwa mereka

13
adalah yang terbaik tanpa didukung bukti nyata. Tidak memiliki semangat menentang
arus besar kapitalisme dan keberpihakan kepada perekonomina rakyat kecil.
Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya
memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat
enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian
politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati
masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini
meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan
memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi
partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada
pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya.
Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal
partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi
lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap
partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap
mengedepankan etika politik (fatsoen).
Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di
sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara
mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan
melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada
mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan
lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang seperti
penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan
hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui
tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang
baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
Masyarakat yang sudah putus asa dan kecewa dengan pemerintah, mungkin
dengan alasan karena pemerintah yang lembek atau tidak tegas, kinerja buruk dan
banyak hal lain yang bisa dijadikan mindset untuk kecewa dengan pemerintah. Dalam
Islam, putus asa adalah dosa. Memang pemerintah banyak masalah, akan tetapi mereka

14
tetap bekerja untuk lebih baik dari hari ke hari. Bayangkan apabila masyarakat Golput
semua, siapa yang memegang pemerintahan selanjutnya???. Pemegangnya tetap
pemerintah yang lama dan akibatnya pasti akan muncul konflik bersaudara karena tidak
adanya pemimpin yang dapat diandalkan, kemudian selanjutnya militerlah yang menjadi
pemimpin, apakah masyarakat mau kita dalam kondisi caos seperti di Mesir dan daerah
lain???. Betapa kondisi saat ini lebih baik dari pada kondisi apabila Indonesia caos???.
Mungkin masyarakat yang membanggakan Golput pikirannya tidak sampai kepada hal
ini/kondisi ini, untuk itu saya mengajak mereka untuk berpikir lebih cerdas dalam
memandang masalah.
Partai yang tidak lolos verifikasi mengajak rakyat untuk golput.Apakah partai
tersebut partai yang sudah bener 100%??? Artinya kalau tidak ada partai itu maka
negara atau pemerintahan ini hancur atau tidak beres???, Menurut saya partai seperti itu
adalah partai sampah, menghasut masyarakat untuk kepentingan sendiri. Seperti cerita
anak kecil yang ngambek tidak dibelikan mainan, dan dia tidak bisa menerima alasan
dengan cerdas, artinya partai ini partai yang diisi oleh orang-orang yang tidak cerdas,
apakah anda mau memilih, apabila di 2019 mereka lolos verifikasi???
Sekumpulan atau segolongan masyarakat yang keinginannya tidak terpenuhi,
dan mereka mengancam akan golput apabila tidak dipenuhi. Seperti anak kecil yang
mengancam mamanya untuk tidak mau makan apabila tidak dibelikan mainan yang
dimintanya, merengek-rengek dan menangis. Anak tersebut tidak bisa diajak berbicara
dengan cara cerdas, menerima alasan (mungkin) orang tuanya sedang tidak punya uang
atau memiliki halangan lainnya.
Dalam hal ini, mereka bisa mengajak masyarakat lainnya untuk berdemo, dengan
membayar beberapa uang per hari per orang. Bayangkan seribu orang berdemo di depan
Istana Presiden selama 6 hari, (@Rp.50.000 per orang per hari X 10.000 Orang, X 6
hari), maka dengan hanya Rp.3.000.000.000,- dampaknya dapat menggagalkan pemilu
yang anggaranya 47 T, dan karena gagal akibat pemilu dianggap tidak memenuhi syarat
maka pemilu akan diulang lagi dengan dana yang kurang lebih sama. Golput atau
tidaknya masyarakat, tidak akan mengurangi anggaran biaya yang dikeluarkan dalam
sebuah proses pemilihan baik pilkada atau pemilu. Hal ini justru akan membuat biaya
yang dikeluarkan negara menjadi mubazir, terutama biaya pengadaan sarana dan

15
prasarananya. Kemudian semakin banyak golput akan membuat hasil pemilihan
semakin tidak akurat dan memperbesar peluang diadakannya pemilihan ulang. Artinya
akan diperlukan biaya tambahan yang cukup besar untuk mengadakan pemilihan ulang.
Biaya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membantu rakyat miskin baik untuk
biaya pendidikan dan kesehatan akan habis digunakan untuk membiayai sebuah
pemilihan ulang.
Masyarakat yang menganggap bahwa Golput merupakan bentuk sikap protes
kepada negara atau pemerintah. Ingat ada atau tidak ada suara dari si Golput, tetap akan
ada pemenang dan pemerintahan tetap akan berjalan, dan sikap protes ini sama sekali
tidak akan berpengaruh apapun, kecuali bagi orang yang sengaja melahirkan atau
menciptakan mindset golput karena alasan-alasan pribadi/golongan (mungkin beberapa
alasan diatas).
Partai politik secara fungsional berperan sebagai sarana pendidikan
politik,sosialisasi politik dan artikulasi kepentingan.Namun,jelang pemilihan umum
2014 peran-peran konseptual itu,ini jelas tidak sesederhana seperti yang masyarakat
pikirkan karena partai politik saat ini dihadapkan dengan kenyataan pemilih yang lebih
cenderung memilih karena berapa besar bantuan yang bakal mereka terima dari calon
legislatif yang diusung partai politik.Dan fakta politik pada pemilihan umum 2009 tidak
sedikit modal finansial yang dikeluarkan calon legislative. Partai politik dihadapkan
dengan fenomena politisi yang berkualitas tapi tidak punya finansial yang kuat dan
politisi yang punya modal kuat tapi tidak berkualitas.Disinilah fleksibilitas politik itu
dimainkan,dan penulis berharap kedua hal itu bisa bersinergi dengan baik.
Pemilihan umum dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa
dipisahkan.pemilihan umum membutuhkan partai politik sebagai pesertanya.sedangkan
partai politik membutuhkan pemilihan umum sebagai sarana memilih wakil-wakilnya
yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
Dewasa ini partai politik seakan tidak berjalan dengan fungsinya bahkan
menyimpang hal ini berdampak dalam pemihan umum yang bisa jadi membuat rakyat
pesimis dikarenakan sejumlah kasus dugaan korupsi yang menyeret nama kader-kader
partai besar.sebut saja politisi Partai Demokrat yaitu M Nazarudin,Angelina
Sondakh,Hartati Murdaya dan ketua umum Anas urbaningrum,dari Golkar ada

16
Zulkarnaen Djabar yang tersandung kasus korupsi pengadaan Al Quran,ada juga mantan
presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi tersangka kasus
dugaan suap impor daging sapi.Perilaku korup para politisi ini membuat pilu pemilih
menjelang pemilihan umum tahun 2014 yang dikhawatirkan membuat masyarakat
malas menggunakan hak pilihnya dan menjadi golongan putih atau golput.
Tingkat partisipasi rakyat dalam setiap pemilu memiliki kecenderungan
menurun ternyata tidak mendorong partai politik untuk memperbaiki kinerjanya,kasus
korupsi yang menimpa kader salah satu partai poliik bisa jadi berdampak buruk ke
partai lain yang kadernya tidak terjerat kasus korupsi karena respon masyrakat yang
mengenaralisasi semua partai politik korupsi dan tinggal nunggu giliran kebongkar.
Hanya ada dua pilihan yang akan terjadi terkait meerosotnya moral partai dan
hubungannya dengan partisipasi pemilu.pertama adalah para pemilih golput atau akan
pindah ke lain hati dalam arti partai politik tapi kemungkinan ini kecil karena
kekecewaan terhadap partai politik yang berpesan anti korupsi yang ternyata korupsi
menimbulkan sifat apatisme terhadap semua parpol.

Alasan Utama yang diangkat untuk GOLPUT:


1. Pemerintah tidak becus mengurus pemerintahan
Dinegara (umumnya negara berkembang) manapun permasalahan
pemerintahan tetap ada, coba hitung jumlah kasus pemerintah daerah
kabupaten/kota/propinsi, berapa jumlah yang pemerintah yang bermasalah dan yang
tidak bermasalah???.
2. Pemimpin/pejabat banyak yang korup
Dinegara berkembang manapun korupsi tetap ada, orang yang bejat tetap ada,
peluang tersebut yang harus diminimumkan dengan penegakan hukum yang tegas, dan
masyarakat memilih orang dengan tepat.
3. Partai banyak yang bermasalah dengan hukum

17
Bukan partai yang bermasalah, tetapi orang yang mengisi dan itu tidak semua,
ingat tidak semua, makanya mulai sekarang cerdaslah dalam memilih, jangan mau
memilih hanya karena uang Rp.50.000 atau Rp.100.000.

3.3. SOLUSI
Golput dalam pemilu perlu diminimalisir dengan memahami akar
permasalahan yang menyebabkan. Jika golput disebabkan kurangnya sosialisasi yang
dilakukan pihak penyelenggara dan pemberikan pendidikan politik oleh setiap partai
politik, maka diperlukan langkah bijak dari para politisi dan KPU untuk terus
melakukan sosialisasi pendidikan politik. Peningkatan jumlah golput jenis ini dalam
pemilihan umum sebaiknya dapat menjadi bahan interospeksi bagi partai politik dan
KPU, untuk bisa memperbaiki setiap tahapan pemilihan mulai pendataan pemilih
hingga sosialisasi.
Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para
petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk
mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk
mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah
berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis
agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya
di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas
pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi
adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu
Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan
penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif.
Golput jika alasannya hanya karena faktor malas atau tingkat kesibukan dalam
beraktivitas, maka tingkat kesadaran akan tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan
perlu diberikan. Kelompok jenis ini adalah kelompok a-politis yang perlu disadarkan.
Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka
menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi masyarakat yang jauh
dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor
kunci mengurangi angka golput.

18
Golput karena merasa calon pemimpin yang ada, dianggap kurang kredibel
juga akan merugi. Karena dengan golput seperti ini akan terpilih calon pemimpin yang
tidak diinginkan, jika karena calon yang ada mengobral janji yang muluk-muluk yang
tidak mungkin direalisasikan sudah tentu partai politik bisa memperbaiki recruitment
kadernya.
Golput jika karena tidak ada yang bayar, atau mencoblos karena membela yang
bayar. Na’udzubillah…wana’udzubillah. Ampunilah kami Ya Tuhan dan semoga kita
semua adalah orang yang beriman. Amiin.
Masyarakat yang merasa tidak ada pilihan pemimpin yang bagus yang dapat
dipilih, atau tidak ada yang sesuai dengan keinginan masyarakat, sehingga mereka
merasa tidak ada artinya memilih siapapun.Ingat tidak ada yang sempurna di dunia ini,
apabila kita fokus pada kejelekan orang maka yang tampak adalah kejelekannya saja,
dan sama sekali orang tersebut tidak ada kebaikannya sama sekali. Kita harus cerdas
dalam berpikir, kemungkinan kejelekan-kejelekan calon tersebut sengaja dihembuskan
oleh lawan-lawan pilihnya. Cobalah berpikir, anda pun apabila menjadi pemimpin
belum tentu menjadi pemimpin yang baik, apalagi yang terbaik??? Mungkin juga calon
yang ikut adalah calon atau orang yang tidak kita kenal sebelumnya, maka solusinya
adalah segera carilah referensi tentang orang-orang tersebut. Cara mudahnya, misalnya
ada dua calon si “a” dan si “b”, maka tanyakan kepada pendukung si “b” tentang
kejelekan dan kebaikan si “a”, dan sebaliknya tanyakan kepada pendukung si “a”,
tentang kebaikan dan kejelekan si “b”, insyaallah anda akan mendapatkan jawaban yang
lebih obyektif dan adil. Coba belajarlah berpikir dari kondisi keterbatasan yang telah
ada, diantara pilihan-pilihan tersebut pasti ada yang menjadi pemimpin yang terpilih
untuk memimpin,maka berpikirlah untuk berpikir dari pada si “a”, lebih baik si”b”, dan
dari pada si “b” lebih baik si “c”, maka putuskanlah yang terbaik bagi anda??? itu
adalah cara berpikir dalam manajemen resiko, kita berusaha meminimalkan resiko,
bukan menghilangkan resiko, karena kita harus sadar bahwa siapapun dan apapun usaha
kita tetap ada resiko.
Ada beberapa hal yang harus masyarakat kawal jelang setahun pemilihan
umum 2014 nanti dikelar. Pertama,partai poltik, masyrakat harus mampu mendorong
partai politik agar tidak mencalonkan politisi busuk menjadi calon legislatif dan

19
diharapkan partai politik mencalonkan orang-orang yang punya moralitas dan integritas
sebagai calon legislatifnya atau caleg berkualitas. Kedua, menjadi pemilih
cerdas,menjadi pemilih cerdas pada pemilihan umum 2014 nanti bukanlah pilihan tapi
sudah menjadi suatu keseharusan. Kita bisa lihat bagaimana pada pemilihan umum 2009
yang lalu kita dengan mudah terbuai oleh janji-janji politik para politisi tanpa melihat
apa yang telah mereka perbuat hari ini selain kunjungan kerja keluar daerah dan luar
negeri, yang menyakitkan sebagian dari mereka juga jarang turun kemasyarakat
sehingga tidak mampu menghasilkan aturan-aturan yang berpihak terhadap masyarakat.
Kini sudah saatnya kita menjadi pemilih cerdas yang mampu memilah sebelum
memilih.
Inilah saat yang tepat bagi kaum golput untuk mengambil peran. Saatnya untuk
menunjukkan bahwa orang-orang yang dulu memilih golput pada dasarnya memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan bangsa. Golput umumnya didominasi oleh
orang-orang yang memiliki sikap kritis di atas rata-rata. Bagi mereka pemilihan
pemimpin suatu wilayah harus menghasilkan perubahan positif. Tanpa harapan itu lebih
baik mereka tidur di rumah dari pada membuang-buang energi dan secara tidak
langsung malah ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan suatu daerah akibat salah
memilih pemimpin.
Bagi mereka memilih seorang pemimpin bukanlah tindakan main-main.
Sesering apapun iklan di televisi, sekotor apapun tembok-tembok di seluruh kota dia
kotori dengan gambarnya, selebar apapun baliho yang dia pasang tidak akan bisa
mempengaruhi persepsi mereka terhadap seseorang. Mereka adalah orang-orang yang
berpikir logis dan hanya percaya jika ada bukti, bukan janji apalagi promosi. Golongan
ini menuntut bahwa seorang calon pemimpin harus memenuhi kriteria:
1. Prestasinya sudah terbukti dan diakui secara nasional maupun intenasional, bukan
terkenal karena karbitan.
2. Dicintai oleh sebagian besar rakyatnya, bukan dicaci apalagi dimusuhi.
3. Program kerjanya logis dan terbukti pernah sukses diterapkan, bukan hanya janji-janji
muluk yang kemudian dilupakan.

20
4. Kisah suksesnya sudah sering muncul di media masa jauh sebelum pemilihan
dilakukan, bukan merupakan iklan dadakan yang dibuat tergesa-gesa untuk keperluan
kampanye.

21
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Angka masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus
meningkat. Dari pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang
membuat orang tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan
faktor internal serta faktor ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik.
Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka golput. Harus ada upaya
yang maksimal untuk meminimalisir meningkatnya angka masyarakat yang tidak
memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari
legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah
tingkat kepercayaan rakyat.

4.2 SARAN
Diharapkan pemerintah yang memiliki wewenang dapat mempelajari seluruh
kondisi sedikitnya terbahas pada makalah ini dan memberikan solusi tepat untuk
kemajuan negara. Peran pemerintah juga harus didukung oleh kesadaran masyarakat
dalam kehidupan berdemokrasi.

Terus lakukan perubahan demi kemajuan bersama. Tindakan yang dilakukan


pemerintah untuk mencapai perubahan harus tetap diperjuangkan bersama. Maka akan
terjadilah Kesejahteraan Demokrasi yang sesuai dengan prinsip “DARI RAKYAT,
OLEH RAKYAT, UNTUK RAKYAT”.

22
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1986
(Selasa, 6 November 2018)
Kansil, C.S.T Drs. S.H, Memilih dan Dipilih, Pradnya Paramita, Jakarta 1986 (Selasa, 6
November 2018)
http://pcnukebumen.wordpress.com/2010/05/31/golongan-putih-golput-dalam-
perspektif-fiqh-siyasah/ (Selasa, 6 November 2018)
http://politik.kompasiana.com/2012/07/08/kala-para-pendekar-golongan-putih-turun-
gunung-476275.html (Selasa, 6 November 2018)
http://politik.kompasiana.com/2013/02/26/pilunya-jelang-pemilu-2014-538333.html
JURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU-KOREKSI-last_57_66 (Selasa, 6 November
2018)
www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo.../wcms_346599.pdf (Selasa,
6 November 2018) (Selasa, 6 November 2018)

23

Anda mungkin juga menyukai