Anda di halaman 1dari 54

Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan

untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.[1] Partisipasi politik


dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus
ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela,
bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.[2]

Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia


Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related
to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal,
conventional, pacific, or contentious.[3] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi
pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal,
konvensional, damai, ataupun memaksa.

Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington


dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington
and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized
(dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada
dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan
partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan
(contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik
sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam
aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun
dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. 

Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki
pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik
warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik
Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis
atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi
Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia
Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political
Participation in Europe. [4] Warganegara di negara-negara Eropa Utara
(Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi
politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia,
Portugal, dan Yunani). 

Landasan Partisipasi Politik

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang


melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi
landasan partisipasi politik ini menjadi: [5]
1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan
pekerjaan yang serupa. 
2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras,
agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya)
berdekatan. 
4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi
formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan
kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh
interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya
membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang
dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak
sederajat.

Mode Partisipasi Politik

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik.
Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan
Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti
Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup
lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional
adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan
Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul
gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang
2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.

Bentuk Partisipasi Politik

Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi


politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud
nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson
membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

1. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan


umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan
bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha
mempengaruhi hasil pemilu; 
2. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi
pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka
tentang suatu isu; 
3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi,
baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah; 
4. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun
jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan 
5. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok
guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-
hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan
pemberontakan.

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah


menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak
membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk
partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman,
pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke
dalam kajian ini.

Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif


lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi
politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya
yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya, Thomas M.
Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi: (1)
Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi langsung. [6] Opini publik
adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen
pemilu.

Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif
politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam
bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi
langsung.

Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui
polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di
dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls,
random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.

Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka
untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak
memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden
bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian
tertentu dari populasi.

Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak.
Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah
minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya
adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama,
orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan
dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden
polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling.
Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup
kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan
sejenisnya).

Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu
pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah
menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.

Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode
kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai,
ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol,
bahkan kinerja pemerintah.

Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu
hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-
benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel). Untuk pembahasan
lengkap mengenai Pemilu silakan klik link: http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-
umum.html

Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen)
sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum. Plebisit
adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu.
Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan
eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan
mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang
otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah
referendum. 

Dimensi Subyektif Individu

Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh


terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi politik.
Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini hanya
akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political Efficacy.[7]

Political Disaffection. Political Disaffection adalah istilah yang mengacu


pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu
sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan
adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari
kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah
“videomalaise”.[7]

Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya berita-


berita politik, mereka mengalami keterasingan politik (political alienation).
Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur
politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan,
kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-
struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka.
Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa protes-
protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political
disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih
bentuk partisipasi yang sinis ini.

Political Efficacy. Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada


perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat
memiliki dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan individu atau
kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen
melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya
untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada
periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok
ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Efficacy ini.[8]

Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah Political Efficacy ini


adalah: 

1. “Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa
yang saya pikirkan.” 
2. "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana
orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana
pemerintah itu bertindak.” 
3. “Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana
pemerintah itu sebaiknya.” 
4. “Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa
dimengerti oleh orang seperti saya.” 

Political efficacy terbagi 2 yaitu external political efficacy dan internal


political efficacy. [9] External political efficacy ditujukan kepada sistem
politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3.
Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan politik yang
dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari
sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap bahwa
stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy rendah dan
tingkat external political efficacy tinggi.

http://setabasri01.blogspot.co.id/2009/02/partisipasi-politik.html

Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu
pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses
politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan
oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi
politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari
sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk
ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative
democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain
terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat
pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu
terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang
dengan konsep deliberative democracy.

Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan
yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin
politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi
masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-
masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor
utama pembuatan keputusan.

Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan
bisa dilihat dalam spektrum:

 Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
 Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para
pemimpin, tanpa bisa memengaruhinya.
 Rezim partisipatif - warga bisa memengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
 Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.

https://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi_politik
Pengertian Partisipasi Politik adalah Digunakannya teori partisipasi politik dalam proposal penelitian ini
adalah karena, tingkat partisipasi politik adalah faktor yang menentukan apakah Pemilu ataupun Pilkada
yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka tingkat
keberhasilan Pemilu ataupun Pilkada semakin tinggi.

Dalam analisa Modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan banyak dipelajari
terutama dalam hubungannya dengan Negara- negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai
partisipasi politik hanya memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan
berkembangnya demokrasi, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin berpartisipasi dalam
bidang politik khususnya dalam hal pengambilan keputusan- keputusan mengena-mengenai kebijakan
umum.Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2008. Hal 367

Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang
untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik.

Herbert McClosky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan- kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara
langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Miriam Budiarjo ibid.,

Berikut ini dikemukakan sejumlah “rambu-rambu” partisipasi politik: Ramlan Surbakti, Op.cit., hal. 141

 Pertama, partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga Negara biasa yang
dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Karena sikap dan orientasi
tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya.
 Kedua, kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi perilaku selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternative kebijakan umum, dan kegiatan
mendukung atau menentang keputusan  politik yang dibuat pemerintah.
 Ketiga, kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk
dalam konsep partisipasi politik.
 Keempat, kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu mempengaruhi
pemerintah dengan menggunakan perantara yang dapat meyakinkan pemerintah.
 Kelima, mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan seperti
ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap muka, dan menulis surat atau dengan
prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan, demonstrasi, mogok, kideta, revolusi, dll.
Di Negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik.
Dalam alam pikiran ini, tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan
memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya  tingkat
partisipasi juga menunjukkan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi. Dan
sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu Negara dianggap kurang baik karena menunjukkan
rendahnya perhatian warga terhadap masalah politik, selain itu rendahnya partisipasi politik  juga
menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa.

Partisipasi  sebagai  suatu  bentuk  kegiatan  dibedakan  atas  dua    bagian, yaitu: Ramlan surbakti, ibid.,
hal 143

1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output  dan input politik. Yang termasuk
dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul mengenai suatu kebijakan yang dibuat
pemerintah, menagjukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan
memilih pemimpin pemerintahan.
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada output politik. Pada masyarakat
yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.

Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori ini,  yaitu masyarakat yang
menganggap telah terjadinya  penyimpangan sistem politik dari apa yang telah mereka cita-citakan.
Kelompok tersebut disebut apatis (golput).

Kategori partisipasi politik menurut Milbrath adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan Gladiator meliputi:


o Memegang jabatan publik atau partai
o Menjadi calon pejabat
o Menghimpun dana politik
o Menjadi anggota aktif suatu partai
o Menyisihkan waktu untuk kampanye politik.
2. Kegiatan transisi meliputi :
o Mengikuti rapat atau pawai politik
o Memberi dukungan dana partai atau calon
o Jumpa pejabat publik atau pemimpin politik
3. Kegiatan monoton meliputi :
o Memakai symbol/identitas partai/organisasi politik
o Mengajak orang untuk memilih
o Menyelenggarakan diskusi politik
o Memberi suara
4. Kegiatan apatis/ masa bodoh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah :

1. Kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.
2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap pemimpinnya.

Berdasarkan  dua  faktor  tersebut,  terdapat  empat  tipe  partisipasi politik yaitu: Ramlan surbakti, ibid.,
hal 144

1. Partisipasi politik aktif jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang tinggi.
2. Partisipasi politik apatis jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.
3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah, sedangkan kepercayaan politiknya
tinggi.
4. Partisipasi politik militant radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan
politiknya rendah.

Pengertian Partisipasi Adalah politik dapat diartikan sebagai kegiatan sekolompok orang untuk ikut
dalam kegiatan politik. Kegiatan ini dapat    berupa memilih kepala daerah atau mempengaruhi
kebijakan pemerintah.  Menurut  Ramlan  Surbakti   :  Ibid. Hal.24

Partisipasi politik adalah keikut sertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang
menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya. Partisipasi politik dapat diartikan sebagai kegiatan
sekolompok orang untuk ikut dalam kegiatan politik. Kegiatan ini dapat berupa memilih kepala daerah
atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Hantington dan Nelson, (Dalam Partisipasi Politik
Di Negara Berkembang), partisipasi politik adalah kegiatan warga negara preman (private citizen), yang
bertujuan mempengaruhi keputusan pemerintah. Sedang Miriam Budiardjo mengartikan partisipasi
poltitik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta untuk ikut aktif dalam
kegiatan politik, yaitu dengan jalan memilih kepala daerah secara langsung maupun tidak, serta
mempengaruhi kebujakan pemerintah.

Definisi Partisipasi Politik


Herbert Mc.Klosky, menyatakan bahwa, partisipasi politik adalah kegiatan- kegiatan sukarela dari warga
masyarakat  melalui  mana  mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, secara
langsung, maupun tidak langsung, dan dalam proses pembentukan kebijakan umum. Norman H. Nie dan
Sidney Verba, menyatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal
yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi para pejabat-pejabat negara dan/
atau tindakan yang dilakukan oleh mereka.

Dilihat dari kegiatannya, partisipasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Partisipasi aktif. Partisipasi aktif dapat dilakukan dengan  pengajuan alternatif terhadap
kebijakan, mengajukan kritik, mengajukan petisi, dan sebagainya.
2. Sedangkan partisipasi pasif ditunjukkan dengan ketaatan dalam menerima segala sesuatu yang
menjadi keputusan pemerintah.
3. Selain itu ada masyarakat yang tidak menunjukkan sikap partisipasinya apakah secara pasif atau
aktif. Biasanya mereka beranggapan, bahwa sistem politik yanng ada tidak memenuhi harapan
mereka. Kelompok ini sering disebut sebagai golongan putih (golput).

Selain itu, partisipasi juga digolongkan sesuai dengan tingkatannya, yaitu :

1. Apatis, artinya tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap kegiatan politik, atau dengan kata
lain masa bodoh dengan yang namanya politik.
2. Spektator artinya, individu atau kelompok tersebut masih menaruh sikap perduli dengan
kegiatan politik, setidak-tidaknya masih ikut serta dalam menggunakan hak pilihnya, dalam
kegiatan pemilihan umum.
3. Sedangkan galdiator artinya, tingkatan partisipasi politik sampai pada tingkatan ikut serta dalam
proses politik.

Daftar Pustaka Makalah Partisipasi Politik

Share on:

Facebook Google+ Twitter

Related Articles :
 Pengehapusan Dwi Fungsi ABRI Pasca Orde Baru Dukungan Kritikan Atas
pelaksanaan ABRI Pasca Orde Baru - Ketika gelombang reformasi digulirkan para mahasiswa
tahun 1998, ABRI menjadi sasaran utama kaum reformis. Mes ...

 Sejarah Teknologi Nuklir IRAN di Dewan Keamanan PBB Resolusi dan Kontroversi
Sejarah Nuklir IRAN - Dalam peta perpolitikan global permasalahan tentang energi nuklir telah
menjadi perhatian yang serius khususnya ...

 Pengertian Teori Gerakan Sosial Definisi Sebagai Kekuatan Perubahan


dalam Politik menurut Para Ahli Pengertian Teori Gerakan Sosial adalah termasuk istilah baru
dalam kamus ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian di lingkungan yang sudah ...

 Pengertian Pemilihan Umum Fungsi Sistem Definisi Munurt para Ahlid dan
Undang Undang Pengertian Pemilihan Umum - Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat
dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan ...

 Pengertian Peranan Definisi Menurut Para Ahli Pengertian Peranan Adalah Peranan
berasal dari kata peran, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pemain.
Peran ...

http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-partisispasi-politik.html

Bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dilakukan melalui berbagai macam kegiatan


dan melalui berbagai wahana. Namun bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di
berbagai negara dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan
nonkonvensional, sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond.
Bentuk partisipasi politik menurut Gabriel Almond dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
bentuk konvensional dan bentuk nonkonvensional.
a. Bentuk konvensional
Bentuk konvensional antara lain:
1) dengan pemberian suara (voting),
2) dengan diskusi kelompok,
3) dengan kegiatan kampanye,
4) dengan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan,
5) dengan komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif,
6) dengan pengajuan petisi.
b. Bentuk nonkonvensional
Bentuk nonkonvensional antara lain:
1) dengan berdemonstrasi,
2) dengan konfrontasi,
3) dengan pemogokan,
4) tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman dan pembakaran,
5) tindak kekerasan politik manusia penculikan/pembunuhan,
6) dengan perang gerilya/revolusi.
Sedangkan Ramlan Surbakti menyatakan bahwa partisipasi politik warga negara
dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif.
a. Partisipasi aktif
Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan dan
pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan
bersama. Bentuk partisipasi aktif antara lain mengajukan usulan tentang suatu kebijakan,
mengajukan saran dan kritik tentang suatu kebijakan tertentu, dan ikut partai politik.
b. Partisipasi pasif
Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan
negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuan. Bentuk partisipasi
pasif antara lain menaati peraturan yang berlaku dan melaksanakan kebijakan pemerintah.
Menurut Huntington dan Nelson, bentuk kegiatan utama dalam partisipasi politik dibagi
menjadi lima bentuk, yaitu:
a. kegiatan pemilihan,
b. lobi,
c. kegiatan organisasi,
d. mencari koneksi,
e. tindakan kekerasan.
Dengan demikian, berbagai partisipasi politik warga negara dapat dilihat dari berbagai
kegiatan warga, yaitu:
a. Terbentuknya organisasi-organisasi maupun organisasi kemasyarakatan sebagai bagian
dari kegiatan sosial dan penyalur aspirasi rakyat.
b. Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi
input terhadap kebijakan pemerintah.
c. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya, baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif.
d. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan
output kepada pemerintah.
Aktivitas politik merupakan salah satu indikator terjaminnya kehidupan yang demokratis.
Jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tersalurkan melalui
kegiatan politik. Hanya saja, kegiatan politik yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan
nilai-nilai luhur Pancasila. Budaya politik yang dilakukan bangsa Indonesia harus dijiwai
nilai-nilai luhur Pancasila.

http://handikap60.blogspot.co.id/2013/03/bentuk-bentuk-partisipasi-politik.html
MAKALAH

Partisipasi Politik

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Politik

Dosen Pengampu:Dr. Suharno.

Disusun Oleh:

Haryo Wisnu Murti(13401244010)

JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi , sekaligus
merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang
dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Sslah satu kegiatan yang
menunjukan adanya partisipasi politik dalam sebuah negara adalah proses pemilihan umum.
Di negara-negara yang demokratis pemilihan umum merupakan alat untuk memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijaksaan pemerintah dan sistem
politik yang berlaku.Dengan hal ini pula, pemilihan umum tetaplah merupakan bentuk partisipasi
politik rakyat.Dalam pelaksanaannya, keputusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi
kehidupan warga negara. Dengan demikian, masyarakat tentu berhak ikut serta mempengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan itu. Bahkan tingkat partisipasi politik memiliki
hubungan erat dengan pertumbuhan sosial-ekonomi.Artinya dapat mendorong tingginya tingkat
partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat,
sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam partisipasi politiknya menunjukkan derajat
kepentingan mereka.

Munculnya orde yang membangun sistem politik dan tatanan kelembagaan secara konstitusional
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, memiliki pengaruh terhadap partisipasi politik
rakyat.Orde itu cenderung untuk menciptakan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi yang
mapan sebagi sarana dalamb melaksanakan pembangunan.Stabilitas politik dan stabilitas
ekonomi berusaha di ciptakan dan dipelihara sebagai modal bagi terciptanya kondisi untuk
membangun.

Modernisasi dan transformasi sosial tampaknya merupakan karakteristik pembangunan di


Indonesia. Tuntutan–tuntutan ke arah perkembangan cepat untuk mencapai target-target
pembangunan. Banyak orang yang masih mempertanyakan format partisipasi masyarakat ,
terutama yang berkaitan dengan partisipasi politik, ada semacam keraguan bahwa partisipasi
yang dilakukan bukanlah bentuk partisipasi politik yang sesungguhnya, tetapi hanyalah
partispasi semu ( pseudo paricipation ) Anggapan bahwa partisipasi itu karena mobilitas atau
dalam istilah Huntington ialah “partisipasi yang di mobilisasi” anggapan tersebut seringkali
mengambil contoh dalam mekanisme pemilihan umum lima tahunan, yang dipadang tidak
mencerminkan bentuk partisipasi politik yang sesungguhnya.

Untuk melihat hal itu, tampaknya perlu dipahami bagaimana format partisipasi politik di
beberapa negara berkembang yang menganut model pembangunan yang berbeda.Maka hal inilah
yang menarik penulis untuk melakukan kajian lebih mendalam mengenai partisipasi politik.

Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi pada latar belakang diatas, maka penulis memperoleh permasalahan yang
kemudian akan dijadikan sebagai bahan pembahasan sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan Partisipasi Politik?


2. Apakah Fungsi Partisipasi Politik?
3. Bagaimana bentuk-bentuk Partisipasi Politik serta faktor apa saja yang mempengaruhi
timbulnya Partisipasi Politik?
4. Bagaimana peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan
sosial-ekonomi pada negara berkembang?
 

Tujuan Penulisan

Sesuai rumusan masalah yang ada diatas, maka penulisan ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Pengertian Partisipasi Politik,


2. Fungsi Partisipasi Politik,
3. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik serta faktor apa saja yang mempengaruhi timbulnya
Partisipasi Politik,
4. Peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan sosial-ekonomi
pada negara berkembang

Manfaat Penulisan

Manfaat Teoritis

1.  Menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Sosiologi Politik khususnya


mengenai materi Partisipasi Politik, baik itu berkaitan dengan pengertian, bentuk, factor,
peran Warga Negara serta hubungan partisipasi politik dengan sosial-ekonomi dalam
negara berkembang.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi penulisan yang sejenis

Manfaat Praktis

1. Bagi masyarakat, penulisan ini dapat dijadikan sebagai koleksi bacaan dalam menambah
wawasan mengenai Sosiologi Politik khususnya Partisipasi Politik.
2. Bagi kalangan pendidik di Sekolah/Kampus, penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran dalam mata pelajaran/mata kuliah Sosiologi Politik dengan materi
Partisipasi Politik.
3. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta penulisan ini dapat menambah koleksi bacaan dalam
menambah wawasan.

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Partisipasi Politik

Secara etimologi Partisipasi berasal dari bahasa latin, yaitu pars yang berari bagian dan capere
yang berarti mengambil. Bila digabungkan maka dapat kita artikan “ mengambil “. Dalam
bahasa inggris,participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan.
Jadi partisipasi politik dapat kita artikan dengan mengambil bagian atau mengambil peranan
dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara ( Soeharno: 2004; 102).

Partisipasi merupakan aspek penting dalam demokrasi.Partisipasi politik adalah usaha


terorganisir oleh para warga negara untuk memlih pemimpin-pemimpin mereka dan
memengaruhi bentuk dan jalannya kebijakan umum. Usaha ini dilakukan akan tanggung jawab
dan kesadaran mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu Negara.
Sementara itu, Syarbaini mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pemimpin
Negara, atau upaya untuk memengaruhi kebiijakan pemerintah.

Dusseldorp (1981) mengartikan partisipasi sebagai kegiatan atau keadaan mengambil bagian
dalam suatu aktivitas untuk mencapai suatu kemanfaatan secara optimal. Devinisi lebih rinci
dikemukakan oleh Cohen Uphoff (1979), partisipasi sebagai keterlibatan dalam proses
pembuatan keputusan, pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan, dan mengevaluasi
program. Sementara itu Davis (1977), memberikan definisi partisipasi sebagai keterlibatan
mental dan emosi seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong dirinya untuk memberi
sumbangan bagi tercapainya tujuan dan membagi tanggung jawab diantara mereka(dalam
Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 65).

Partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson ( dalam Soeharno: 2004; 103) adalah kegiatan
politik warga negara preman ( private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh pemerintah. Dari pengertian partisipasi politok diatas maka Huntington dan
Nelson memberikan batasan mengenai partisipasi politik yaitu;

1. Partisipasi yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Hal-hal seperti


sikap dn perassaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
bentuk tindakan politik bukan terpisah dari tindakan politik.
2. Subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara preman
( Private Citizen) atau lebih tepatnya orang per orang dlam peranannya sebagai warga
negara biasa, bukan orang-orang profesional dibidang politik seperti pejabat pemerintah,
pejabat partai, calon politikus, lobbi professional.
3. Kegiatan partisipasi politik dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai
wewenang politik.
4. Mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu
mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.
5. Mencakup partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan, partisipasi otonom yaitu
kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah. Sedangkan partisipasi yang dimobilisasikan adalah
kegiatan politik yang dilakukan karena keinginan orang lain.

Miriam budiardjo memberikan batassan yang lebih luas mengenai partisipasi politik (dalam
Soeharno: 2004; 104), ia memandang bahwa partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau
kelompok untuk ikut secara aktif dalam kegiatan politik, misalnya dalam pemilihan pemimin
negara, mempengaruhi kebijaksanaan negara dan berbagai kegiatan lainnya.Di pihak lain
Budiarjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan
negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public
policy).Partisipasi politik yang demikian merupakan tindakan-tindakan yang berusaha
mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, terlepas apakah itu legal atau tidak. Dengan itu protes-
protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pemberontakan untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik (Sudjiono Sastroatmodjo,1995: 67-
79).

Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk, kita dapat membedakan jenis-jenis
perilaku perilaku yang berkaitan dengan partisipasi politik sebagai berikut;

1. Kegiatan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga menyangkut sumbangan-


sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam sebuah pemilihan, mencari dukungan bagi
seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
Ikut dalam pemungutan suara adalah jauh lebih meluas dibandingkan dengan bentuk-
bentuk partisipasi politik lainnya, dan oleh sebab itu factor-faktor yang berkaitan dengan
kejadian itu seringkali membedakannya dari jenis-jenis partisipasi lain, termasuk kegiatan
kampanye lainnya.
2. Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi
pejabat-pejabat pemerinah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang
menyangkut kepentingan orang banyak.
3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam sebuah
organisasi yang tujuan utama dan eksplisinya adalah mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah.
4. Mencari koneksi(Contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap
pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi satu
atau segelintir orang ( Samuel P. Huntington dan Joan Nelson: 1994; 16-17).

Sifat yang berseberanga dengan partisipasi politik adalah sikap Apatis( masa bodoh)secara
sederhana sekali bisa didefinisikan sebagai tidak punya minat atau tidak punnya perhatian
terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gajala pada umumnya atau pada khususnya. Dari sudut
pandang sosiologis, dapat diterapkan pada masyarakat secara umum atau hannya pada aspek-
aspek tertentu dari masyarakat. Karena itu, sejauh mengenai partisipasi politik, sifat yang paling
penting dari seorang yang apatis adalah kepasifanya atau tidak adanya kegiatan politik.

Morris Rosenberg mengsugestikan tiga alasan pokok untuk menerapkan apati politik.Kesimpulan
didasarkan pada satu seri wawancara yang tidak berstruktur yang mendalam.Alasan pertama
adalah konsekuensi yang di tanggung dari aktivitas politik. Hal itu dapat mengambil beberapa
bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai
aspek hidupnay. Alasan Rosenberg kedua adalah, bahwa individu dapatmenganggap aktivitas
politik sebagai sia-sia saja. Sebagai individu tunggal, dia mungkin merasa bahwa dia sama sekali
tidak mampu mempengaruhi jalannya peristiwa, dan bahawa kekuatan politik yang bersifat
bagaimanapun juga ada diluar control individu. Yang ketiga, seperti limbrath, roenberg
beranggapan, bahwa “memacu diri untuk bertindak” atau perangsang politik adalah faktor
penting untuk mendorong aktivitas politik, dengan tidak adannya perangsang sedemikian itu
dapat menambahkan perasaan apati( dalam Michael Rush dan Philip Althoff, 2008: 144-146).

Fungsi Partispasi Politik

Menurut Robert Lane ( dalam Rush dan Altohof dalm Suharno, 2004: 107) partisipasi politik
memiliki empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu yaitu;

1. Fungsi pertama sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi, partisipasi politik
seringkali muncul dalam bentuk upaya-upaya menjadikan arena politik untuk
memperlancar usaha ekonominya ataupun sebagai sarana untuk mencari keuntungan
material.
2. Fungsi kedua sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial,
yakni memenuhi kebutuhan akan harga diri, meningkatnya status sosial, dan merasa
terhormat karena dapat bergaul dengan pejabat-pejabat terkemuka dan penting. Pergaulan
yang luas dan bersama pejabat-pejabat itu pula yang mendorong partisispasi seseorang
untuk terlibat dalam aktivitas politik. Orang-orang yang demikian itu merasa puas bahwa
politik dapat memenuhi kebutuhan terhadap penyesuaian sosialnya.
3. Fungsi ketiga sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus, orang berpartisipasi
dalam politik karena politik dianggap dapat dijadikan sarana bagi pencapaian tujuan-
tujuan tertentu seperti untuk mendapatkan pekerjaan, mendapatkan proyek-proyek,
tender-tender, dan melicinkan karier bagi pejabatnya. Nilai-nilai khusus dan kepentingan
individu tersebut apabila tercapai, akan makin mendorong partisispasinya dalam politik.
Terlebih lagi bagi seseorang yang terjun dalam bidang politik, seringkali politik dijadikan
sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya.
4. Fungsi keempat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan
kebutuhan psikologi tertentu, yakni bahwa keterlibatannya dalam bidang politik untuk
memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuuhan psikologi tertentu, seperti
kepuasan batin, perasaan terhormat, merasa menjadi sosok yang penting dan dihargai
orang lain dan kepuasan-kepuasan atas target yang telah ditetapkan.

Menurut Arbit Sanit ( Dalam Sastroatmojo, 1995: 84-87) memandang ada tiga fungsi partisipasi
politik yaitu;

1. Pertama memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya


beserta sistem politik yang dibentuknya. Partisipasi politik ini sering terwujud dalam
bentuk pengiriman wakil-wakil atau utusan pendukung ke pusat pemerintahan,
pembuatan pernyataan yang isinya memberikan dukungan terhadap pemerintah, dan
pemilihan calon yang diusulkan oleh organisasi politik yang telah dibina dan
dilembagakan oleh penguasa tersebut.
2. Kedua partisipasi yang dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan
kekurangan pemerintah. Langkah itu dilakukan dengan harapan agar pemerintah
meninjau kembali, memperbaiki atau mengubah kelemahan tersebut. Partisipasi ini dapat
terlihat dalam bentuk membuat petisi, reolusi, aksi pemogokan, demonstrasi, dan aksi
protes.
3. Ketiga partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya
sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem
politik. Untuk mencapai tujuan seperti itu seringkali dilakukan pemogokan,
pembangkangan politik, huru-hara dan kudeta bersenjata.

Selain memiliki berbagai fungsi, partisipasi politik juga memiliki beberapa tugas yaitu;

1. Untuk mendorong program-program pemerintah, hal ini berarti bahwa peran serta
masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan program pemerintahan.
2. Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi
pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan,
3. Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan.

Untuk menyampaikan nilai-nilai, sikap-sikap, pandangan-pandangan, dan keyakinan-keyakinan


politik diperlukan sarana-sarana. Untuk itu selanjutnya Almond menyebutkan adanya enam
sarana (agen sosialisasi politik) yaitu keluarga, sekolah, kelompok bergaul atau bermain,
pekerjaan , media massa dan kontak-kontak politik langsung.

Bentuk-Bentuk Partispasi Politik

Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi politik, yang oleh
Almond dikatakan sebagai kegiatan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan.
Mengikuti organisasi biasanya dimaksudkan untuk turut serta mempengaruhi kebijakan
pemerintah dalam pengambilan keputusan(sudjiono sastroatmodjo,1995:74).

Apabila dilihat dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan maka menurut
Sastroatmojo (dalam Soeharno: 2004; 104) dapat dibagi menjadi partisipasi aktif dan partisipasi
pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu
kebijakan umum, mengajukan alternative kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah,
mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.Sedangkan artisipasi pasif
mencakup kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja
setiap keputusan pemerintah.

Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya maka menurut Milbart dan Goel (dalam
Soeharno: 2004; 104) membagi partisipasi politik dalam beberapa kategori yaitu;

1. Apatis ( masa bodoh) yaitunorang yang menarik diri dari aktivitas politik.
2. Spektator yaitu orang-orang yang paling tidak, pernah itkut dalam pemilihan umum.
3. Gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai
komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan
pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.
4. Pengeritik yaitu orang-orang yang berpartisipsi dalam bentuk yang tidak konvensional

Partisipasi politik apabila dipandang dari segi stratifikasi sosial maka menurut Goel dan Oslan
(dalam Suharno: 2004;105-106) terbagi atas beberapa hal yakni;
1. Pemimpin politik
2. Aktivitas politik
3. Komunikator, yaitu orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan
informasi politik kepada orang lain
4. Warga negara marginal yaitu orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik
5. Orang-orang yang terisolasi, yaitu orang-orang yang jarang melakukan kontak dengan
system politik

Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individu dan
kolektif.Individu adalah perorangan, sedangkan kolektif adalah kegiatan warga negara secara
serentak untuk memengaruhi penguasa. Partisipasi politik kolektif dibedakan menjadi dua, yaitu
partisipasi kolektif yang konvensional seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum dan
partisipasi kolektif yang tidak konvensional (agresif), seperti pemogokan yang tak sah,
menguasai bangunan umum, dan huru-hara. Selanjutnya, ppartisipasi politik kolektif secara
agresif dibedakan menjadi dua, yaitu aksi yang kuat dan aksi yang lemah.Aksi yang kuat dan
lemah tidak menunjukkan sifat yang baik dan yang buruk. Dalam hal ini, kegiatan politik dapat
dikategorikan kuat apabila memenuhi tiga kondisi berikut: bersifat antirezim, dalam arti
melanggar peraturan mengenai partisipasi politik yang normal (melanggar hukum), mampu
mengganggu fungsi pemmmerintahan, dan harus merupakan kegiatan kelompok yang dilakukan
oleh nonelit(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 72).

Aksi protes yang dibenarkan oleh hukum tidak termasuk ke dalam kategori partisipasi politik
agresif, seperti pemboikotan dan pemogokan buruh biasa tanpa tujuan-tujuan politik.Apabila
partisipasi politik yang agresif tidak mengandung kekerasan, kegiatan ini di sebut
pembangkangan warga Negara (civil disobedience), seperti penolakan wajib militer.Sebaliknya,
apabila kegiatan itu mengandung kekerasan disebut kekerasan politik (politik violence), seperti
pembunuhan politik. Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkkan sistem politik
demokrasi merupakan hak warga Negara, akan tetapi dalam kenyataan, presentase warga negara
yang berpartisipasi berbeda dari satu Negara kenegara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua
warga Negara ikut serta dalam proses politik(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012:
72).

Dilihat dari latar belakang yang memotivasi timbulnya partisipasi politik maka menurut
halington dan nelson( dalam suharno: 2004; 107) terbagi menjadi dua yaitu;

1. Partisipasi otonom, yaitu partisipasi politik yang didorong oleh keinginan pelakunya
sendiri untuk melakukan tindakan tersebut.
2. Partisipasi mobilisasi, yaitu partisipasi yang digerakkan atau diinginkan oleh orang lain,
bukan karena kesadaran atau keinginan pelakunya sendiri.

Cohen dan Uphoff(dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 66-67) membedakan empat
jenis partisipasi, yaitu

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan


Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ini terutama berkaitan dengan penentuan
alternatif tujuan dari suatu rencana pembanguan. Namun demikian dalam praktik bisa lebih luas
daripada sekedar itu. Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini sangat penting, karena
masyarakat menuntut untuk ikut menentukan arah dan orientasi pembangunan.

1. Partisipasi dalam pelaksanaan

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program merupakan kelanjutan dari rencana yang
telah disepakati sebelumnya, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, maupun
tujuan. Dalam tahap pelakanaan program, dibutuhkan keterlibatan berbagai unsur, khususnya
pemerintah sebagai fokus atau sumber utama pembangunan.

1. Partisipasi dalam mengambil manfaatan

Partisipasi ini tidak terlepas dari kualitas maupun kuantitas hasil pelaksanaan program yang bisa
dicapai. Dari segi kualitas, keberhasilan suatu program akan ditandai dengan adanya peningkatan
output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari seberapa basar presentase keberhasilan
suatu program yang dilaksanakan itu, apakah sudah sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

1. Partisipasi dalam evaluasi

partisipasi masyarakat dalam evaluasi ini berkaitan dengan masalah pelaksanaan program secara
menyeluruh. Partisipasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan program telah sesuai
dengan rencana yang ditetapkan atau ada penyimpangan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang


ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud
dengan kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Hal
ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan
pengetahuan seseorang ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah ialah penilaian seseorang
tentang lingkungan masyarakat dan politik dan menyangkut minat dan perhatian seseorang
terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Yang dimaksud dengan sikap dan
kepercayaan kepada pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat
dipengaruhi atau tidak.

Berdasarkan tinggi-rendahnya kedua faktor tersebut, Paige membagi partisipasi menjadi empat
tipe.Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang
tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif.Sebaliknya, apabila kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan
(apatis).Tipe partisipasi ketiga berupa militan radikal, yakni apabila kesadaaran politik tinggi,
tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Selanjutnya, apabila kesadaran politik
sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah tinggi, maka partisipasi ini disebut tidak
aktif (pasif) (dalam Basrowi, Sudikin dan Suko Susilo, 2012: 72-73).
.

Sebagai sebuah kegiatan tentu partisipasi politik memiliki banyak factor yang dapat
mempengaruhinya, menurut Surbakti( dalam Suharno,2004: 108) terdapat dua variabel yang
dapat memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang, dua
variable tersebut yaitu;

1. Aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajiban
sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapatkan
perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewaiban-kewajiban seperti
kewajiban dalam system politik, kewajiban kehidupan sosial dan kewajiban lainnya.
2. Menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasi terhadap pemerintah, baik terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.

Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dann bentuknya.Hal itu di
samping berkaitan dengan sistem politik, juga berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial
yang terjadi dalam masyarakat. Meluasnya partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal
yang menurut Weimer(dalam sudjiono sastroadmodjo, 1995: 89-90) disebutkan paling tidak
terdapat lima. Dari kelima hal yang dapat menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi
yang lebih luas dalam proses politik itu yang

1. Faktor yang pertama ialah modernitas. Modernitas di segala bidang berimplikasi pada
komersialisasi pertanian industrilisasi,meningkatnya arus urbanisas, peningatan
kemapuan baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa/ media
komunikasi secara lebih luas. Kemajuan itu berakibat pada partisipasi warga kota baru
seprti kaum buruh kaum pedangang, dan profesional untuk ikut serta mempengaruhi
kebijakan dan menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai bentuk
kesadaran bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya sendiri.
2. Faktor yang ke dua adalah terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial.
Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan
pekerja baru yang makin meluas dalam era industriliasi dan modernitas. Dari hal itu
muncul persoalan yaitu siapa ang berhak ikut serta dalam pembuatan keputusan-
keputusan politik yang berakhir membawa perubahan-perubahan dalam pola partisipasi
politik. Kelas menengah baru itu secara kritis menyuarakan kepentingan-kepentingan
masyarakat yang terkesan secara demokratis.
3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor
meluasnya partisipasi masyarakat. Ide-de baru seperti nasionalisme, liberalisme, dan
egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah penyebaran ide-ide itu dalam
seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang belum maju sekalipun
akan dapat menerima ide-ide politik tersebut secara cepat. Hal itu berimplikasi pada
tuntutan-tuntutan rakyat dalam ikut serta menentukan dan mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
4. Faktor ke empat ialah adanya konflik antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin
politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan seringkali untuk mencapai kemenangan
dilakukan dengan cara mencari dukungan masa. Dalam konteks ini mereka beranggapan
adalah sah apabila yang mereka lakukan demi kepentingan rakyat dan dalam upaya
memperjuangkan ide-ide partisipasi masa. Implikasinya adalah munculnya tuntutan
terhadap hak-hak rakyat, baik hak asasi manusia, keterbukaan, demokratisasi, maupun
isu-isu kebebasan pers. Dengan demikian pertentangan dan perjuangan kelas menengah
terhadap kaum bangsawan yang memegang kekuasaan mengakibatkan perluasaan hak
pilih rakyat.
5. Sebab kelima, menurut weimer ialah adanya keterlibatan pemerintah yang semakin
mmeluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasanya ruang lingkup
aktifitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisir
untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik. Hal tersebut
merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

Dalam konteks Indonesia Arbi Sanit( dalam Suharno, 2004:110) menyebutkan terdapat lima
factor yang mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia, yaitu;

1. Adanya kebebasan berkompetisi disegala bidang termasuk dibidang politik,


2. Adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka,
3. Adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri, sehingga organisasi masyarakat dan
partai politik dapat tumbuh dengan subur,
4. Adanya penyebaran sumber daya politik dalam masyarakat yang berupa kekayaan dalam
masyarakat,
5. Adanya distribusi kekuasaan dikalangan masyarakat sehingga tercipta suatu perimbangan
kekuatan.

Peran Warga Negara dalam Partisipasi Politik serta hubungannya dengan sosial-ekonomi pada
negara berkembang

Peran warga negara dalam negara nama lainnya adalah partisipasi politik. Karena yang menjadi
sasarannya adalah negara/pemerintah. Banyak sekali definisi partisipasi politik , tetapi jika
dianalisis, maka unsur-unsur partisipasi politik meliputi;

1. Pemeran: individu atau kelompok dari rakyat.


2. Bersifat sukarela: artinya berdasarkan kesadaran dari pemeran. Bukan karena
paksaan/penentu keputusan berasal dari luar dirinya. Yang terakhir ini dikenal dengan
mobilisasi politik.
3. Sasaran adalah penguasa/pemerintah.
4. Cara-cara yang ditempuh dapat berupa;
5. Legal atau illegal.
6. Teroganisir atau spontan.
7. Mantap atau sporadic.
8. Secara damai atau dengan kekerasan.
9. Efektif atau tidak efektif.
10. Pentingnya partisipasi politik, antara lain untuk;
11. Integrasi nasional
12. Pembentukan identitas nasional.
13. Loyalitas nasional.
14. Akselerasi keberhasilan pembangunan nasional.

Salah satu sarana untuk berpatisipasi adalah partai politik.Partai politik dapat dikatakan sebagai
sarana partisipasi politik dapat dikatakan sebagai sarana partisipasi politik yang terpenting.
Sebab partai politik terlibat langsung dalam proses konversi (pengolahan) kebijakasanaan politik
dan dalam menentukan seleksi terhadap pejabat-pejabat politik lewat pemilu. Sehingga upaya
mempengaruhi kebijaksanaan pembangunan nasional yang dilakukan oleh warga negara,
diharapkan akan lebih efektif dibandingkan sarana partisipasi politik yang lain ( Drs. Cholisin,
M.Si : 2013; 59-60).

Status sosial dan status ekonomi memiliki kontribusi yang penting dalam mempengaruhi tinggi
rendahnya partisipasi politik.Seseorang yang memiliki status ekonomi tinggi dipandang lebi
cenderung untuk berpartisipasi politik secara aktif, dibandingkan dengan yang status
ekonominya lebih rendah.

Didalam masyarakat-masyarakat yang berlainan, partisipasi politik dapat berakar dalam


landasan-landasan golongan yang berlainan.Terkecuali dalam hal mencari koneksi kebanyakan
partisipasi politik melibatkan sesuatu kolektifitas. Oleh sebab itu maka mungkin untuk
menganalisa partisipasi dari segi tipe-tipe organisasi politik yang berlainan dan digunakan untuk
menyelenggarakan partisipasi dan yang biasanya merupakan landasan yang lazim yaitu;

1. Kelas : perorangan denagn status sosial, pendapatan pekerjaan yang serupa.


2. Kelompok/ komunal : peroranganh dari ras, agama, bahasa atau etnisitas yang sama.
3. Lingkungan : perorangan yang secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu sama
lain.
4. Partai : perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama
dan berusaha untuk meraih atau mempertahankan control atas bidang-bidang eksekutuf
dan legislative pemerintahan., dan
5. Golongan : perorangan yang disatukan oleh interaksi yang terus menerus atau intens satu
sama lain, dan salah satu manifestasinya adalah pengelompokan patron-klien, artinya,
satu golongan yang melibatkan pertukaran manfaat-manfaat secara timbal balik diantara
perorangan yang mempunyai system status, kekayaan dan pegaruh yang tidak
sederajat( Samuel P. Huntington dan Joan Nelson: 1994; 21).

Hubungan antara pembangunan sosial-ekonomi dengan partisipasi politik adalah sebagai berikut;

1. Pertama : didalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung bervariasi


dengan status sosioekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi, berpenghasilan lebih
besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih partisipatif
daripada mereka yang miskin.
2. Kedua : pembangunan ekonomi dan sosial melibatkan ketegangan dan tekanan antar
kelompok sosial; kelompok-kelompok yang baru bermunculan; kelompok-kelompok
yang sudah mapan mulai terancam; dan kelompok-kelompok yang lebih rendah
menggunakan kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka.
3. Ketiga : perekonomian yang semakin kompleks menyebabkan bertambah banyaknya
organisasi dan perkumpulan serta meningkatnya jumlah orang yang terlibat dalam
kelompok-kelompok itu.
4. Keempat ; pembangunan ekonomi untuk sebagai memerlukan dan sebagian lagi
menghasilkan perluasan penting dari fungsi-fungsi pemerintah.
5. Kelima : modernisasi sosioekonomi biasanya berlangsung dalam bentuk pembangunan
nasional. Negara-negara merupakan wahana bagi modernisasi. Oleh karena itu, maka
bagi perorangan, hubungannya dengan negara menjadi sangat penting, dan identitasnya
sebagai bagian dari negaracenderung mengabaikan loyalitas lainnya( Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson: 1994; 60-61).

Partisipasi politik antara masyarakat didaerah perkotaan dan pedesaaan tentu berbeda, tingkat
partisipasi politik di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan,
maka hal ini merupakan akibat dari perbedaan status sosial, pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Partisipasi di negara berkembang: ketika kita mengetahui bahwa terdapat perbedaan yang
mencolok pada tingkat partiipasi di negara kaya dan negara yang miskin( dalam hal ini negar
berkembang dan negara tertinggal). Perbedaan tersebut dsebabkan oleh banyak factor
diantaranya bahwa orang-orang yang tertinggal biasanya tidak begiu berpartisipasi didalam
politik karena partisipasi bagi mereka dipandang tidak relevan dengan urusan mereka yang
pokok( pekerjaan, pangan dan bantuan medis) adanya beberapa hal yang menyebabkan perasaan
mengenai partisipasi tersebut berbeda adalah.

1. Pertama, orang yang tertinggal tidak memiliki sumber-sumber daya untuk berpartisipasi
secara efektif-informasi yang memadai , kontak-kontak yang tepat, uang dan seringkali
juga waktu.
2. Kedua di lapisan-lapisan berpenghasilan rendah orang sering terbagi-bagi menurut kas,
suku bangsa, agama atau bahasa juga dimana garis-garis pemisah itu tidak jelas. Orang
dapat mengadakan pembedaan-pembedaan atas dasar sekte, penghasilan, status atau
tempat tinggal yang yang hampir tidak tampak bagi orang luar.
3. Ketiga orang tertinggal cenderung beranggapan bahwa permohonan atau tekanan-tekanan
dari mereka, baik peorangan atau kolektif akan dianggap sepi atau ditolak oleh pihak
berwajib, dan sebagian besar dari anggapan tersebut seringkali benar ( Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson: 1994; 160-161).

Sistem demokrasi liberal membuka kemungkinan yang sangat besar dan bebas bagi terjadinya
persaingan bebas dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Seringkali
keputusan-keputusan yang telah ditetapkan secara spontan ditolak atau disetujui oleh
masyarakat. Masa merupakan elemen yang reaktif terhadap setiap perubahan keadaan sosial –
politik yang terjadi. Di samping itu adanya kebebasan berpolitik yang luas dan terbuka
memungkinkan munculnya banyak partai politik yang menyuarakan kepentingan – kepentingan
kelompok masyarakat dan tidak menutup kemungkinan menyuarakan kepentingan pribadi.
Sistem multi partai yang ada di satu sisi menampilkan dinamika politik masyarakat, di sisi lain
karena relatif belum dewasanya kesadaran politik rakyat dan sistem politik menyebabkan
instabilitas politik. Selain itu di sadari pula bahwa masa itu distribusi kekuasaan dan sumber-
sumber daya politik secara relatif ada di kalangan rakyat denagn pemusatan kekuasan yang
relatif kecil dan kekuasaan ekonimi yang tidak terpusat pada satu atau dua orang saja. Dengan
kondisi itu selain tidak terpusat pada perimbangan kekuatan politik, juga tidak adanya satu sektor
kekuatan politik yang disebabkan oleh sekelompok orang yang memiliki akses-akses ekonomi
sehingga sangat menentukan keputusan-keputusan politik.

Sementara itu, pada masa demokrasi terpimpin faktor-faktor yang ada sebelumnya hampir tidak
dapat diketemukan. Kenyataan itu tampak sekali dalam praktek-praktek politiknya. Sulit sekali
menemukan iklim persaingan politik, kebebasan, dan keterbukaaan politik dalam masa itu. Hal
tersebut di pengaruhi oleh adanya kepemipinan yang bermaksud mengarahkan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara bagi seluruh rakyat.

Partisipasi politik dalam pembangunan secara keseluruhan memiliki arti penting. Pertama
sebagai satu tujuan utama kaum elit politik dan kekuatan-kekuatan sosial dari perorangan yang
terlibat di dalam proses itu. Kedua, sebagi sarana kaum elit, kelompok-kelompok, dan
perorangan untuk mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka nilai tinggi. Ketiga, sebagi hasil
sampingan atau konsekuensi tercapainya tujua-tujuan lain bak oleh masyarakat secara
keseluruhan ,oleh kaum elit, kelompok-kelompok dan peseorangan dalam masyarakat.

Artinya partisipasi politik tetap diberi batasan, kerangka, dan arah untuk tetap menjamin
keapanan kekuasaan dan stabilitas nasional. Pembahasn dilakukan misal dengan melakuakan
pengawasan-pengawasan administrasi yyyang ketat dan tindakan-tindakan otokratif. Pengawasan
terhadap media massa dan komunikasi untuk senantisa bergerak secara vertkal melaui jalan-jalan
yang telah ditentukan. Disisi lain komunikasi horisontal dibatasi agar tidak berkembang menjadi
pendapat umum dalam masyarakat.

Partisispasi politik dalam pembangunan itu sendiri jarang ditetapkan sabagai tujuan, melainkan
dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan lian. Selain itu patisipasi politik itu juga merupakan efek
samping yang berjalan seiringan denagn tujuan pembangunan yang lain.

Berkaitan dengan pembangunan sosial ekonomi dengan partisipasi politik menyelaraskan koulsi
antara keduanya. Pertama, bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat cenderung berlainan
dengan dasar status ekonomi. Umumnya mereka memiliki tingkat pendidikan yang tinggi,
cenderung lebih berpartisipasi dari pada yang miskin dan tak berpendidikan ,dan memiliki
kualitas pekerjaan yang rendah.

Logikanya ialah bahwa pembangunan akan menghasilkan banyak orang yang berpendidika,
berpenghasilan relatif tinggi, dan status pekerjaan yang tinggi sehingga partisipasi politik
masyarakat cenderung maningkat.Kedua ialah bahwa pembangunan ekonomi dan sosial secara
tidak langsung telah meningkatkan keteganggan dan tekanan antara kelompok. Karena banyak
kelompok yang memasuki arena politik.Ketiga ialah berkembangnya ekonomi yang semakin
kompleks menyebabkan banyaknya organisasi dan perkumpulan sehingga melibatkan banyak
orang dan kelompok. Keempat, ialah pembangunan ekonomi di samping sebagai memerlukan
perluasan-perluasan penting dari fungsi-fungsi pemerintah, sebagaian yang lain bahkan
menghasilkan.

Dalam masyarakat maju perekonomiannya memerlukan lebih banyak promosi dengan retribusi
dengan pemerintah, berbeda dan yang terjadi pada masyarakat agraris. Artinya merea melihat
aliensi di dalamnya.Kelima, ialah modernisasi ekonomi yang biasanya berlangsung bentuk
pembangunan nasional. Seringkali orang perorang memiliki loyalitas terhadap negara cenderung
mengabaikan loyalitas lain. Ratinya kebudayaan dan pandangan politik negara mengesankan
sehingga memudahkan partisipasi politik.

Partispasi politik dengan tegas mempersoalkan bagaimana rakyat diajak ikut serta dalam proses
pengambillan keputusan politi. Dengan itu, setiap keputusan politik yang diambil oleh
suprastruktur politik, melaui proses konvensi, dikaitkan kembali dengan rakyat karena
melibatkan rakyat. Salah satu corak pembangunan yang barangakali sering diperhitungkan ialah
meningkatnya aspirasi masyarakat yang oleh Alfian sering disebut “revolusi Harapan’. Untuk itu
diperlukan sistem politik yang represif dan model pembangunan yang dapat menangkap
perkembangan aspirasi tersebut.

Dari sejarah politik Indonesia kritis partisipasi pada prinsipnya disebabkan beberapa hal.

1. Adanya logika formal yang menyatakan bahwa infrastruktur politik dibentuk tanpa
melibatkan keikutsertaan rakyat, sehingga setiap kebijaksanaan politik yang diambil oleh
suprastruktur politik sedikit banyak dirasakan sebagai kurang adanya ikatan batin denagn
sebagian rajyat.
2. Setiap keputusan suprastruktur harus mengikatkan dan dipaksakan.
3. Ketidakacuhan (apatis) yang tumbuh dan seringkali disusul dengan manifestasi ekstern
berupa separatisme dan demokrasi.
4. Adanya volume tuntutan yang tidak mendapatkan wadah yang cukup dalam suprastruktur
politik, sehingga banyak persoalan pembangunan yang tujuannya hendak
mengembangkan masyarakat menjadi terganggu.

Pola pembangunan cenderung meletakan titik berat pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan
sosial ekonomi akan cenderung mempertahankan stabilitas nasional sebai kondisi dasar guna
pencapaian sasaran itu. Pada model pembangunan tersebut, partisipasi diperlukan untuk
memberikan dukungan bagi terkesannya program-program pembangunan secara keseluruhan.
Partisipasi diarahkan dalam jalur-jalur dan mekanisme yang ditentukan oleh pemerintahan untuk
menjamin tetap berlangsung proses pembangunan.

Distrubusi partisipasi rakyat, meskipun dalam pemilihan umum sejak 1971 menunjukan
partisipasi yang benar, partisipasi dalam betuk lain perlu terus dikembangkan. Disamping untuk
mendukung proses pembangunan, hal itu juga untuk memberikan peran terhadap masyarakat
untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap pembangunan( Sudjiono Sastroadmodjo,1995: 98-
107).

 
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Partisipasi politik dapat kita artikan dengan mengambil bagian atau mengambil peranan dalam
aktivitas atau kegiatan politik suatu negara,partisipasi merupakan aspek penting dalam
demokrasi.Partisipasi politik adalah usaha terorganisir oleh para warga negara untuk memlih
pemimpin-pemimpin mereka dan memengaruhi bentuk dan jalannya kebijakan umum. Usaha ini
dilakukan akan tanggung jawab dan kesadaran mereka terhadap kehidupan bersama sebagai
suatu bangsa dalam suatu Negara.

Salah satu bentuk partisipasi politik adalah mengikuti kegiatan organisasi politik,Apabila dilihat
dari sudut pandang partisipasi politik sebagai suatu kegiatan maka dapat dibagi menjadi
partisipasi aktif dan partisipasi pasif, Ditinjau dari sudut pandang kadar dan jenis aktivitasnya
maka menurut Milbart dan Goel Apatis ,Spektator ,Gladiator, pengritik. Partisipasi politik juga
dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individu dan kolektif. Dilihat dari latar
belakang yang memotivasi timbulnya partisipasi politik maka menurut haltington dan
nelsonterbagi menjadi dua yaitu; Partisipasi otonom, Partisipasi mobilisasi,

Faktor-faktor yang diperkirakan memengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang


ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Myron Meiner
menjelaskan faktor-faktor penyebab masyarakat berkenaan berpartisipasi dalam politik, yaitu:

1. Akibat adanya modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan


masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2. Adanya perubahan-perubahan struktur kelas.
3. Adanya pengaruh kaum intelektual dan komunikasi masa modern.
4. Adanya konflik antar kelompok kepentingan politik
5. Adanya keterlibatan pemerintah meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan


yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan.

Status sosial dan status ekonomi memiliki kontribusi yang penting dalam mempengaruhi tinggi
rendahnya partisipasi politik.Seseorang yang memiliki status ekonomi tinggi dipandang lebi
cenderung untuk berpartisipasi politik secara aktif, dibandingkan dengan yang status
ekonominya lebih rendah.

Partisipasi politik antara masyarakat didaerah perkotaan dan pedesaaan tentu berbeda, tingkat
partisipasi politik di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan,
maka hal ini merupakan akibat dari perbedaan status sosial, pendidikan dan lapangan pekerjaan.

Saran
Penulis menyadari jika makalah ini masih jauh dari sempurna.Kesalahan ejaan, metodologi
penulisan dan pemilihan kata serta cakupan masalah yang masih kurang adalah diantara
kekurangan dalam makalah ini.Karena itu saran dan kritik membangun sangat kami butuhkan
dalam penyempurnaan makalah ini.

https://haryowisnumurti.wordpress.com/2015/05/01/makalah/

A.    Partisipasi Politik

Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara,
bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi
oleh negara ataupun partai yang berkuasa.

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation
in Developing Countries, memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga
termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek
prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap
melakukan partisipasi politik. Potret Indonesia

Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai
perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan
sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau
Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan,
seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media
and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss,
Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian
selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani). 
B.    Landasan Partisipasi Politik

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi
politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:

1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang
serupa. 
3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang
berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan
legislatif pemerintahan, dan 
5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus
antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas
orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.

C.    Mode Partisipasi Politik

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam
2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik
seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya
sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring
munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan
pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa
(students protest), dan terror.
D.    Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dilakukan melalui berbagai macam kegiatan

dan melalui berbagai wahana. Namun bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di

berbagai negara dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan

nonkonvensional, sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond.

Bentuk partisipasi politik menurut Gabriel Almond dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

bentuk konvensional dan bentuk nonkonvensional.

a. Bentuk konvensional

Bentuk konvensional antara lain:

1) dengan pemberian suara (voting),

2) dengan diskusi kelompok,

3) dengan kegiatan kampanye,

4) dengan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan,

5) dengan komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif,

6) dengan pengajuan petisi.

b. Bentuk nonkonvensional

Bentuk nonkonvensional antara lain:

1) dengan berdemonstrasi,

2) dengan konfrontasi,

3) dengan pemogokan,

4) tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman dan pembakaran,
5) tindak kekerasan politik manusia penculikan/pembunuhan,

6) dengan perang gerilya/revolusi.

Sedangkan Ramlan Surbakti menyatakan bahwa partisipasi politik warga negara

dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif.

a. Partisipasi aktif

Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan dan

pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan

bersama. Bentuk partisipasi aktif antara lain mengajukan usulan tentang suatu kebijakan,

mengajukan saran dan kritik tentang suatu kebijakan tertentu, dan ikut partai politik.

b. Partisipasi pasif

Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan

negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuan. Bentuk partisipasi

pasif antara lain menaati peraturan yang berlaku dan melaksanakan kebijakan pemerintah.

Menurut Huntington dan Nelson, bentuk kegiatan utama dalam partisipasi politik dibagi

menjadi lima bentuk, yaitu:

a. kegiatan pemilihan,

b. lobi,

c. kegiatan organisasi,

d. mencari koneksi,

e. tindakan kekerasan.

Dengan demikian, berbagai partisipasi politik warga negara dapat dilihat dari berbagai

kegiatan warga, yaitu:


a. Terbentuknya organisasi-organisasi maupun organisasi kemasyarakatan sebagai bagian

dari kegiatan sosial dan penyalur aspirasi rakyat.

b. Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi

input terhadap kebijakan pemerintah.

c. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan warga negara untuk menggunakan hak

pilihnya, baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif.

d. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan

output kepada pemerintah.

Aktivitas politik merupakan salah satu indikator terjaminnya kehidupan yang demokratis.

Jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tersalurkan melalui

kegiatan politik. Hanya saja, kegiatan politik yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan

nilai-nilai luhur Pancasila. Budaya politik yang dilakukan bangsa Indonesia harus dijiwai

nilai-nilai luhur Pancasila.

Dimensi Subyektif Individu

Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan
seseorang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk
kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political Efficacy.

Political Disaffection

Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau
kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan
adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson
selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.

Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka
mengalami keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan
terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman,
partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi
memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik
berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political disaffection tinggi,
maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini.

Political Efficacy. Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik
(partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan
individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-
ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak
menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau
kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Political Efficacy ini.

Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah Political Efficacy ini adalah: 

1. “Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.” 
2. "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa
berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.” 
3. “Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.” 
4. “Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti
saya.” 
Political efficacy terbagi 2 yaitu external political efficacy dan internal political efficacy. External political
efficacy ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1
dan 3. Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri
individu, yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik
menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat
external political efficacy tinggi.

http://chitie-khayatie.blogspot.co.id/2013/05/partisipasi-politik.html

contoh partisipasi politik

HUBUNGAN ANTARA AGRESI DENGAN PARTISIPASI POLITIK PADA MAHASISWA/I DI JAKARTA


Keadaan politik di Indonesia berlangsung dinamis. Hal tersebut dapat dilihat melalui kerjasama yang
dilakukan antara pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam menjalankan fungsi atau tugasnya
masing-masing. Dalam menjalankan fungsi atau tugas seperti menetapkan suatu kebijakan umum,
seringkali terjadi perbedaan pendapat. Oleh sebab itu, kebijakan umum yang diperdebatkan tersebut
tidak dengan mudah diloloskan oleh legislatif (sebagai pemegang kuasa untuk menetapkan undang-
undang), terutama kebijakan yang tidak pro dengan masyarakat. Pada kenyataannya, kebijakan atau
keputusan umum yang tidak pro dengan masyarakat muncul dalam kehidupan masyarakat dan harus
dilaksanakan. Kebijakan tersebut dirasakan merugikan dan tidak adil bagi masyarakat.Mahasiswa
sebagai bagian dari masyarakat juga merasakan adanya ketidakadilan akibat dari pelaksanaan suatu
kebijakan umum. Oleh karena itu, para mahasiswa merasa perlu ikut berpartisipasi dalam politik guna
mempengaruhi pemerintah mengenai pembuatan dan pelaksanaan suatu keputusan maupun kebijakan
umum. Partisipasi politik yang dilakukan oleh para mahasiswa terdiri dari dua macam, yaitu partisipasi
secara non violence (tanpa kekerasan) dan violence (dengan kekerasan). Contoh partisipasi secara non
violence adalah melakukan diskusi politik, menulis surat, mengajukan petisi, dan sebagainya. Kemudian,
contoh partisipasi politik secara violence adalah demonstrasi, huru-hara, aksi boikot, dan lain
sebagainya. Partisipasi politik yang sering tersorot dilakukan oleh para ahasiswa adalah partisipasi politik
secara violence, seperti demonstrasi. Para mahasiswa melakukan demonstrasi dengan tujuan supaya
aspirasi para mahasiswa tersebut segera didengar dan ditanggapi oleh pemerintah. Aksi demonstrasi
tersebut terkadang diwarnai dengan aksi kerusuhan. Para mahasiswa terlihat melakukan tindakan agresi
seperti melempari batu ke arah aparat keamanan, memaki pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dan
sebagainya.Tindakan agresi yang dilakukan oleh mahasiswa itu timbul sebagai salah satu bentuk
pelampiasan rasa frustasi terhadap pemerintah serta perwujudan partisipasi politik mahasiswa. Sebelum
mengeluarkan perilaku agresi, para mahasiswa memiliki kecenderungan berperilaku agresi (berupa
emosi) yang nantinya dapat disalurkan dalam perilaku agresi. Kecenderungan berperilaku agresi ini yang
dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan intensi atau niat yang dimiliki oleh ahasiswa mengenai
kemungkinan mahasiswa tersebut akan bertindak agresi. Hal ini juga sesuai dengan definisi agresi yang
menyatakan bahwa agresi merupakan sebuah intensi untuk melukai orang lain. Mahasiswa yang
memiliki tingkat agresi tinggi akan enyalurkan agresinya itu pada saat berpartisipasi politik. Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dan tergolong penelitian non eksperimental karena tidak dilakukan
manipulasi terhadap variabel-variabel di dalam penelitian ini. Penelitian ini bersifat korelasional yang
bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu variabel agresi dan variabel partisipasi
politik. Wawancara tak terstruktur juga dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui alasan subjek
tersebut berpartisipasi politik baik secara aktif maupun tidak aktif. Sampel yang digunakan saat uji coba
alat ukur agresi sebanyak 45 orang mahasiswa, sedangkan pada saat uji coba alat ukur partisipasi politik
sebanyak 160 orang mahasiswa. Pada saat penelitian, jumlah sampel yang digunakan adalah 89 orang
mahasiswa. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner, baik yang mengukur agresi maupun
partisipasi politik. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik statistik korelasi Pearson
Product Moment.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara agresi
dengan partisipasi politik pada mahasiswa/i di Jakarta. Hal ini karena mahasiswa belum tentu
menyalurkan agresinya dalam berpartisipasi politik. Mahasiswa mungkin akan lebih menyalurkan
agresinya ke dalam bentuk atau perilaku lain.Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan
berguna bagi banyak pihak. Kiranya penelitian ini juga dapat emberikan informasi khususnya bagi
mahasiswa mengenai agresi dan partisipasi politik pada mahasiswa/i di Jakarta.

PARTISIPASI POLITIK, PERILAKU KEKERASAN, DAN PENDIDIKAN POLITIK DI


INDONESIA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Oleh Prof. Dr.
Buchory Muh Sukemi, M.Pd. Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta Diucapkan pada Rapat Terbuka
Senat Universitas PGRI Yogyakarta Sabtu, 28 Maret 2009

Partisipasi Politik
Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi
politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan
oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi politik merupakan
aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara yang
kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya
ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta
mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara
relatif sangat rendah. Sementara itu di negara yang proses modernisasi politiknya telah berjalan
baik, maka tingkat partisipasi politik warganegara cenderung meningkat.

Mengacu pendapat Budiardjo (2003), Huntington dan Nelson (2001), pengertian partisipasi
politik mencakup: (a) kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tindakan politik, (b) dilakukan
oleh warganegara biasa dan bukan oleh pejabat pemerintah, (c) dimaksudkan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, (d) semua kegiatan untuk mempengaruhi
pemerintah terlepas tindakan itu efektif atau tidak, dan berhasil atau gagal, (e) dilakukan secara
langsung oleh pelakunya sendiri maupun secara tidak langsung melalui perantara.

Milbrarth dan Goel (1997) membedakan partisipasi politik menjadi empat kategori, yaitu (a)
apatis, artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik, (b) spektator,
artinya orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum, (c) gladiator,
yakni mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, seperti aktivis partai, pekerja
kampanye, dan aktivis masyarakat, dan (d) pengritik, yaitu partisipasi dalam bentuk non-
konvensional.

Di negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, partisipasi warganegara senantiasa


ditumbuhkembangkan dalam segala aspek kehidupan karena program pembangunan akan
berhasil jika didukung oleh partisipasi warganegara yang makin meluas. Untuk itu pembangunan
politik di Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas pendidikan politik, memantapkan etika
dan moral budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa, yaitu Pancasila, dan
meningkatkan pengetahuan dan wawasan warganegara tentang berbagai kewajiban dan haknya
sehingga mereka mampu dan mau berperan aktif dalam kegiatan politik.

Kendatipun para ahli sependapat bahwa jumlah orang yang mengikuti kegiatan yang tidak
intensif, yaitu tidak menyita waktu dan tidak atas prakarsa sendiri, seperti kegiatan berpartisipasi
dalam pemilihan umum biasanya cukup besar, namun ternyata fakta objektif menunjukkan
sebaliknya. Hal ini terjadi di Indonesia, yaitu tingkat partisipasi politik warganegara terutama
dalam menggunakan haknya pada pemilihan umum ternyata mengalami penurunan dari waktu ke
waktu, Dari pangalaman menyelenggarakan pemilu sejak Orde Baru, gejala ke arah tidak
menggunakan hak pilih (golput) mengalami kenaikan. Hal ini terbukti dari data tingkat
partisipasi warganegara dalam pemilihan umum dan yang golput sejak pemilihan umum tahun
1971 sampai dengan 2004 nampak bahwa jumlah partisipasi politik tertinggi selama pemilu sejak
era Orde Baru terjadi pada tahun 1971, yaitu mencapai 94 %, sedangkan yang golput 6 %. Hal
ini dapat dimengerti karena pemilu 1971 merupakan pemilu pertama era Orde Baru sehingga
masyarakat memiliki antusias yang sangat tinggi karena mereka berharap akan terjadi perubahan
yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisi ini ternyata mengalami
perubahan pada pemilu 1977, karena tingkat partisipasi menurun menjadi 90,6 % dan berarti
yang golput meningkat menjadi 9,4 %. Nampaknya ada kekecewaan dari sebagian masyarakat
karena mereka tidak merasakan ada perubahan sehingga mereka memilih untuk tidak
berpartisipasi dalam pemilu. Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada pemilu 1982, 1987,
1992, dan pemilu 1997 tingkat partisipasi politik makin menurun dan angka golput makin
meningkat.

Namun demikian, pada pemilu 1999 tingkat partisipasi warganegara Indonesia meningkat lagi
menjadi 93,3 % dan hanya 6,7 % yang golput. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu 1999
merupakan pemilu pertama era reformasi, sehingga warganegara kembali antusias berpartisipasi
dalam pemilu karena mereka berharap terjadi perubahan dalam kehidupan politik, seperti
demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia yang menjadi bagian dari tuntutan reformasi.
Namun pada pemilu 2004, lagi-lagi tingkat partisipasi warganegara dalam pemilu mengalami
penurunan 4,9 % menjadi 84, 4 %, berarti angka golput mengalami kenaikan menjadi 15, 6 %.
Warganegara nampaknya juga kecewa dengan pemilu sebelumnya yang diharapkan dapat
membawa perubahan di negara ini tetapi ternyata tidak terwujud.

Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan


Kekerasan merupakan salah satu kejahatan struktural yang paling berbahaya. Kekerasan yang
sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis yang dipakai dalam sistem sosial politik
(Haryatmoko, 2003). Secara sistematis bentuk kekerasan ini lazimnya diterapkan oleh penguasa
otoriter untuk menghadapi lawan politik, melemahkan oposisi, dan sejenisnya. Kekerasan
psikologis terkait dengan kekerasan negara atau kekerasan yang terlembagakan. Dinamakan
kekerasan yang terlembagakan karena kekerasan ini bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan
tetapi didukung oleh bangunan sistem sosial dan politik yang mendapat legitimasi dari sistem
nilai dan ideologi.

Di negara-negara dunia ke tiga pada umumnya, kekerasan yang dilembagakan ini memakan
korban, seperti kelompok minoritas dan kaum oposisi. Mereka yang dipandang musuh oleh
negara, yaitu kelompok yang tidak sesuai dengan politik penguasa maka secara sistematis akan
menjadi korban kekerasan ini. Kekerasan sebagai alat untuk memberikan hukuman bagi para
pelanggar kekuasaan atau tatanan sosial telah mengalami pergeseran makna karena kekerasan
menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Artinya kekerasan yang tidak boleh dilakukan
terhadap penguasa menjadi diperbolehkan terhadap rakyat biasa dan terhadap lawan politik dari
penguasa. Sementara itu dalam kekerasan structural, terdapat dialektika antara pelaku dengan
struktur. Penguasa cenderung mengatasnamakan hukum dan ketertiban untuk melegitimasi
perilaku kekerasan. Sementara pihak oposisi juga dapat melakukan kekerasan karena merupakan
reaksi atas ketidaksetujuannya terhadap kebijakan penguasa.

Perilaku kekerasan juga disebut dengan istilah agresi, yaitu untuk menggambarkan perilaku
destruktif yang sulit dikontrol, tidak hanya meliputi tindakan yang bersifat pisik, melainkan juga
mencakup kekerasan verbal, psikologis, dan simbolis, atau kombinasi dari berbagai aspek
tersebut. Pendapat ini didukung oleh Semin & Fiedler (1996), Berkowitz (1999), dan Suryabrata
(2000).

Teori perilaku kekerasan


Perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, yaitu (1) teori belajar
sosial, (2) teori insting, (3) teori kepribadian, (4) teori kognitif, dan (5) teori frustasi agresi.
Teori Belajar Sosial. Menurut Bandura (dalam Thalib, 2003) perilaku individu pada umumnya
dipelajari secara observasional melalui model, yaitu mengamati bagaimana suatu perilaku baru
dibentuk dan kemudian menjadi informasi penting dalam mengarahkan perilaku. Sebagian besar
perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas perilaku yang
ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model. Contoh kegiatan demonstrasi yang
dilanjutkan dengan tindakan anarkhis (membakar ban di tengah jalan, merobohkan pintu
gerbang, bentrok dengan aparat keamanan, dan sebagainya) dapat menjadi model perilaku
kekerasan bagi para demonstran.

Teori Insting. Teori Freud mengenai insting kerap mengundang kontroversi. Teori ini
menegaskan bahwa timbulnya perilaku kekerasan adalah karena insting, yaitu perwujudan
psikologis dari suatu sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir sehingga semua
orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan. Semula Freud mengemukakan
bahwa perilaku kekerasan itu berkaitan erat dengan energi libidoseksual, jika insting seksual ini
mengalami hambatan maka timbullah perilaku kekerasan. Selanjutnya Freud mengemukakan
dikotomi energi positif dan energi destruktif yang keduanya diduga memiliki dasar biologistik
yang harus terwujud dalam perilaku nyata. Jika energi destruktif mengarah ke pihak luar maka
menjadi pemicu perilaku kekerasan terhadap orang lain, sedangkan jika mengarah pada diri
sendiri maka dapat mendorong keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau perilaku bunuh diri.
Teori Kepribadian. Sifat-sifat kepribadian sebagai sifat internal berkorelasi dengan perilaku
kekerasan termasuk erosi kontrol internal terhadap sikap cepat marah (Ravinus dan Larimer,
2003). Anak yang mengalami gangguan seperti cepat marah dan mudah menyerang cenderung
mengembangkan pola perilaku kekerasan pada usia selanjutnya. Dengan demikian faktor
temperamen yang merupakan bagian dari komponen kepribadian berkaitan dengan perilaku
kekerasan.

Teori Kognitif. Konsep dasar teori kognitif mengacu pada kegiatan mental yang tidak dapat
diubah begitu saja dalam menjelaskan perilaku sosial dengan postulat yang sesungguhnya seperti
persepsi, pikiran, intensi, perencanaan, keterampilan, dan perasaan. Teori kognitif sosial
menekankan pentingnya interaksi resiprokal faktor-faktor individu sebagai penentu perilaku
kekerasan. Kecenderungan perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan mengacu pada teori
kognitif.
Teori Frustasi-Agresi. Terjadinya frustasi adalah jika seseorang tidak dapat memiliki sesuatu
yang diinginkan pada waktu orang tersebut benar-benar memerlukannya. Dollard et al (dalam
Wimbarti, 1996) berkeyakinan bahwa setiap tindakan agresi dan kekerasan pada akhirnya dapat
dilacak penyebabnya dalam kaitannya dengan frustasi. Frustasi merupakan salah satu faktor
penentu agresi dan kekerasan.

Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan di Indonesia


Selama Orde Baru berkuasa, jarang sekali dikaji mengenai politik yang menyinggung tentang
kemungkinan pemerintahan yang cenderung otoriter, ternyata memberikan kontribusi terhadap
ketertiban sosial karena dapat meredam kekerasan dalam masyarakat. Hal ini menurut Cribb
(2005) disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) sejak zaman penjajahan sudah muncul opini bahwa
masyarakat tradisional Indonesia adalah masyarakat yang damai. Belanda juga memberikan
gambaran tentang orang Jawa sebagai manusia yang paling lembut di muka bumi, (2)
berkembangnya ide bahwa Orde Baru merupakan suatu kekuatan untuk kedamaian sosial sebagai
lawan dari adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh para anggota PKI pada tahun 1965.
Hal ini berbeda dengan masa Orde Lama yang mengutamakan kehidupan politik sehingga politik
dianggap sebagai “panglima”.
Selanjutnya perilaku kekerasan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah terutama
saat kampanye dan setelah partai atau calonnya mengalami kekalahan, demonstrasi yang
berakhir dengan tindakan anarkhis, bentrokan antara kelompok yang setuju dan menolak
terhadap suatu kebijakan, perilaku kekerasan dalam persidangan baik dalam persidangan
lembaga legislatif maupun yudikatif dan berbagai peristiwa kekerasan lainnya menjadi
pemandangan yang biasa pada era reformasi ini.

Menurut Klinken (2005) perilaku kekerasan di Indonesia justru bermunculan pada saat bangsa
ini memasuki era reformasi. Bahkan daftar perilaku kekerasan pada era reformasi ini menjadi
lebih panjang dari masa sebelumnya. Masalah Timor Timur, Papua, dan Aceh adalah konflik
melawan Negara yang melahirkan banyak perilaku kekerasan pasca Orde Baru. Di samping itu
juga terjadi perilaku kekerasan di berbagai daerah seperti (a) Poso Sulawesi Tengah (1998-
2001), (b) Ambon dan Maluku Selatan (1999-2002), (c) Kalimantan Barat (1999-2001), (d)
Maluku Utara (1999-2001), Kalimantan Tengah (2001), dan yang masih sangat hangat segar
dalam ingatan kita, terjadi di Sumatera Utara (2009).
Perilaku kekerasan yang tejadi di Poso dan Kalimantan Tengah berkaitan dengan kontrol atas
kabupaten-kabupaten yang diatur dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru.
Perilaku kekerasan di Ambon terkait dengan persepsi mengenai ancaman dan kesempatan bagi
umat beragama di seputar kontrol atas Negara berkenaan dengan kegiatan pemilihan umum,
sedangkan perilaku kekerasan di Maluku Utara dan Kalimantan Barat berkaitan dengan
pembentukan provinsi dan kabupaten baru. Perilaku kekerasan yang menimbulkan kurban jiwa,
yaitu meninggalnya ketua DPRD Propinsi Sumatera Utara juga berkaitan dengan tuntutan
masyarakat untuk memaksakan kehendak dalam mewujudkan terbentuknya provinsi baru di
Tapanuli.

Reposisi Pendidikan Politik di Indonesia


Pada era reformasi ini, berbagai survey yang dilakukan oleh lembaga riset, menghasilkan
kesimpulan yang memprihatinkan kita semua, karena tingkat partisipasi warganegara dalam
memberikan suaranya pada pemilihan umum langsung cenderung mengalami penurunan. Hal ini
dapat dilihat dari tingginya tingkat golput dalam pemilihan presiden langsung untuk pertama
kalinya tahun 2004 yang mencapai angka 21, 67 % (tingkat partisipasi 78,33 %) pada putaran
pertama, kemudian naik lagi menjadi 23, 37 % (tingkat partisipasi menurun menjadi 76,63 %)
pada putaran ke dua. Kondisi ini terus mengalami kenaikan pada pemilihan kepala daerah
langsung di berbagai daerah yang terjadi akhir-akhir ini yang rata-rata mencapai angka 37 %,
berarti angka partisipasi warganegara menurun menjadi rata-rata hanya 63 %.

Kecenderungan peningkatan angka golput dan penurunan angka partisipasi warganegara dalam
menggunakan hak pilihnya, diprediksi juga akan terjadi pada pemilihan umum anggota legislatif
tahun 2009 yang tinggal 13 hari lagi. Pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 yang akan
datang, tidak ada jaminan bahwa partisipasi warganegara untuk menggunakan hak pilihnya akan
meningkat. Kendatipun Komisi Pemilihan Umum mengharapkan tingkat partisipasi warganegara
mencapai 80 %, namun diperkirakan angka tersebut juga tidak mudah untuk dicapai. Apabila hal
ini terjadi, maka patut disayangkan karena pemilu 2009 dinilai sebagai pemilu yang menentukan
menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, lebih demokratis, damai, dan
sejahtera. Betapa tidak, setelah pemilu 2004 dan 1999 melahirkan banyak wakil rakyat yang
kurang membela kepentingan rakyat karena lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan atau
golongan, maka pemilu 2009 harus dapat dijadikan wahana koreksi total dan pertaruhan apakah
kita akan terus mendapatkan wakil rakyat yang kemudian banyak yang korupsi dengan tidak mau
menggunakan hak pilih atau dengan sepenuh hati kita menggunakan hak pilih sehingga dapat
melahirkan wakil rakyat yang memiliki integritas, jujur, membela kepentingan rakyat, dan
bahkan amanah. Tentu saja keputusan berada di tangan kita semua.

Pada dasarnya, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan menurunnya
partisipasi warganegara dalam menggunakan hak pilihnya, yaitu (1) daftar pemilih tetap sering
tidak valid, (2) apa yang diperjuangkan oleh para wakil rakyat tidak mencerminkan aspirasi
mereka, (3) warganegara merasakan bahwa menggunakan hak pilih atau tidak, ternyata tidak ada
nilainya atas diri mereka, (4) munculnya apatisme warganegara yang merasa bahwa adanya
pemilu, partai politik, dan adanya foto-foto calon legislatif, tidak akan dapat merubah nasib
mereka (seperti yang disampaikan warga yang terkena Lumpur lapindo), (5) kurangnya
sosialisasi tentang sistem dan mekanisme pelaksanaan pemilu, (6) adanya pihak yang merasa
kecewa terhadap pemerintah, kemudian mengajak golput, (7) timbulnya kesadaran dan
rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya, akibatnya jika partai politik tidak mampu
mengajukan calon yang sesuai dengan kriteria mereka, maka mereka cenderung golput.

Untuk mengantisipasi dan memberi solusi terjadinya penurunan angka partisipasi warganegara
dalam menggunakan hak pilihnya, maka perlu ditingkatkan efektivitas pendidikan politik bagi
warganegara di Indonesia. Para ahli ilmu sosial menggunakan istilah pendidikan politik untuk
menunjukkan cara bagaimana anak-anak sebagai generasi muda diperkenalkan pada nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat, serta bagaimana mereka mempelajari peranan-peranan yang akan
dilakukan di masa mendatang jika kelak sudah dewasa (Sukemi, 2004). Pendidikan politik di
Indonesia adalah pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan kesadaran politik yang tinggi
bagi warganegara, sehingga mereka sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara termasuk kesadaran untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu mata pelajaran Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan
kelompok mata pelajaran yang memiliki misi seperti itu.

Dengan mengacu pada pendapat Apter (1985), Almond (1991)Rush dan Althof (1998), Surbakti
(1999), dan Sukemi (2004), pendidikan politik yang dapat membentuk sikap dan perilaku politik
warganegara dapat dilaksanakan melalui lembaga-lembaga berikut : (1) keluarga, (2) lembaga
pendidikan, (3) teman sebaya/sepergaulan/sepermainan/seprofesi (peergroup), (4) media massa,
dan (5) organisasi politik.

Pendidikan Politik melalui Keluarga. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam
kehidupan seseorang, sehingga menjadi lembaga yang pertama kali membentuk watak dan
kepribadian serta perilaku anak. Di lingkungan keluarga, orang tua berperan mengajarkan
anaknya untuk mengenal masyarakat, bangsa, dan negaranya selaras dengan nilai-nilai budaya
yang ada. Pendidikan Politik melalui Lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan mempunyai
misi untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai
bagi anak. Di lembaga pendidikan yang merupakan bentuk masyarakat kecil terdapat jaringan
kerja dari sejumlah komponen yang saling terkait, seperti guru, siswa, kepala sekolah,
administrator sekolah, dan supervisor (Sukemi, 2004).

Secara teoritik, jenjang pendidikan warganegara berpengaruh positif terhadap partisipasi politik
termasuk partisipasi dalam pemilihan umum, sebagaimana dikatakan oleh Warren (1991)
“….well educated citizens are more likely to vote than poorly educated sitizens”. Namun
demikian pada dataran praksis terjadi sebaliknya, artinya justru dalam kenyataannya
warganegara yang berpendidikan lebih tinggi cenderung tidak menggunakan haknya atau golput
dalam pemilihan umum.

Pendidikan Politik melalui Teman Sebaya/Sepergaulan/Sepermainan/ Seprofesi (peergroup).


Aristoteles mengemukakan bahwa manusia adalah insan politik (zoon politicon) sehingga
senantiasa merasa saling ketergantungan, keterkaitan, dan saling mempengaruhi satu sama lain
untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Salah satu kelompok sosial yang menjadi ajang
seseorang untuk hidup dengan orang lain adalah teman sebaya/sepergaulan/sepermainan/
seprofesi (peergroup). Unit sosial ini mempunyai peranan sebagai media pendidikan politik yang
selanjutnya dapat membentuk sikap dan partisipasi politik warganegara.
Pendidikan Politik melalui Media Massa. Di dalam kehidupan modern seperti sekarang ini,
manusia senantiasa melakukan komunikasi, baik secara langsung maupun melalui media.
Dengan komunikasi, manusia saling mempengaruhi sehingga dapat terbentuk wawasan dan
pengalaman yang serupa. Surat kabar, majalah, radio, film, telepon, dan televisi merupakan
media yang memungkinkan sumber informasi termasuk bidang politik dapat menjangkau audien
dalam jumlah besar dan tersebar luas.
Pendidikan Politik melalui Organisasi Politik atau Partai Politik. Yang dimaksud dengan
organisasi politik atau partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok
warganegara secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan
umum. Salah satu fungsi organisasi politik adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi
anggotanya dan warganegara pada umumnya.

Penutup
Partisipasi politik warganegara Indonesia terutama dalam memberikan hak suaranya pada
pemilihan umum sejak era orde baru, mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini
merupakan akumulasi dari kekecewaan yang dialami oleh warganegara karena pemilu yang
diharapkan merupakan wahana untuk mewujudkan perubahan dalam segala bidang kehidupan
menuju ke arah yang lebih baik, ternyata tidak kunjung tiba. Bahkan sebagian dari mereka
merasa dikhianati oleh perilaku para anggota legislatif yang kurang atau bahkan tidak
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Perilaku kekerasan merupakan fenomena yang mendominasi dalam melakukan partisipasi politik
di Indonesia. Hampir setiap saat terjadi bentrokan antara kelompok yang mendukung dan
menolak kebijakan pemerintah, juga maraknya demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi yang
berakhir adanya bentrokan dengan aparat disertai tindakan anarkhis. Bahkan perilaku kekerasan
juga memasuki ruang persidangan lembaga legislatif tingkat pusat dan daerah maupun dalam
persidangan lembaga yudikatif.
Jika dikaitkan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, sebenarnya perilaku kekerasan yang
akhir-akhir ini marak terjadi sama sekali tidak berakar pada budaya bangsa karena bangsa
Indonesia memiliki kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Falsafah hidup yang
mengutamakan kebersamaan, kekeluargan, gotong royong, tolong menolong, tenggang rasa, tepo
seliro, ramah tamah, pemaaf, musyawarah untuk mufakat, persatuan dan kesatuan, cinta tanah
air, dan toleransi merupakan karakteristik kepribadian yang sesuai dan berakar pada budaya
bangsa Indonesia.
Peningkatan partisipasi politik warga negara perlu diupayakan secara terus menerus dengan
tanpa diikuti oleh perilaku kekerasan. Berbagai upaya dapat ditempuh dengan pendidikan politik
baik melalui keluarga, lembaga pendidikan, media massa, peer group, dan organisasi politik. Di
samping itu juga perlu dilakukan reposisi dan refungsionalisasi lembaga pendidikan agar di
samping dapat berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni juga
mampu menanamkan nilai-nilai budaya yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Pendahuluan
Tulisan ini hendak mengangkat tentang rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat miskin dan
problematikanya. Hal ini penting, mengingat selama ini tingkat partisipasi rakyat miskin terutama di
Indonesia tergolong rendah, padahal jika dilihat dari jumlah, mereka tidak bisa dikatakan sedikit dan
bagaimanapun juga mereka tetap mempunyai hak politik yang sama dengan golongan lainnya. Dan
menurut saya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari budaya politik yang terlebih dahulu terbentuk dan juga
peran dari sistem dan aktor pemegang kekuasaan. Partisipasi politik kaum miskin merupakan proses
dimana anggota masyarakat miskin mampu membagi pandangan mereka dan menjadi bagian dari
proses pembuatan keputusan dan berbagai aktivitas perencanaan; kegiatan yang dilakukan masyarakat
miskin untuk dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Melalui proses ini kaum miskin berusaha
mempengaruhi pemegang kekuasaan dalam merumuskan inisiatif-inisiatif pembangunan, ketika
mengambil keputusan-keputusan dan menentukan sumber daya yang nantinya bisa mempengaruhi
mereka nantinya.

Di dalam pendekatan pembangunan yang terbaru partisipasi rakyat telah menjadi sarana yang
dianggap ampuh untuk menanggulangi persoalan-persoalan kemiskinan. Asumsi yang mendasari
pendekatan baru ini adalah bahwa pembangunan (termasuk di dalamnya penanggulangan kemiskinan)
akan berhasil bila masyarakat dilibatkan di dalam prosesnya. Untuk itu, berbagai upaya untuk membuka
dan menciptakan ruang-ruang publik perlu didukung. Di dalam arena publik itu, warga masyarakat
diharapkan dapat ikut menentukan keputusan-keputusan tentang cara mengendalikan dan mengakses
sumber daya kolektif yang tadinya didominasi oleh negara. Apakah inisiatif-inisiatif pembukaan ruang
bagi kaum miskin untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan (melalui inisiatif partisipatif) itu
telah mencapai tujuannya dan faktor apa yang bekerja mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan
dari tujuan tersebut?

Bentuk-bentuk Partisipasi Politik (Kaum Miskin)

Bentuk-bentuk partisipasi politik antara lain:

(1). Kegiatan pemilihan, mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye,
bekerja dama suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang
bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah jauh lebih
luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Walaupun demikian pemilihan
adalah salah satu bagian dari bentuk partisipasi, jadi tidak bisa dikatakan bahwa jika partisipasi
masyarakat dalam pemilihan atau pemungutan suara meningkat berarti bentuk-bentuk partisipasi
politik lainnya juga meningkat demikian juga sebaliknya.

(2). Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat
pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan –
keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
Contoh-contoh yang jelas adalah kegiatan yang ditujukan untuk menimbulkan dukungan bagi atau
oposisi terhadap, suatu usul legislative atau keputusan administrasif tertentu.

(3). Kegiatan organisasi, tujuan utama dan eksplisitnya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Organisasi ini dapat memusatkan usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang
sangat khusus atau pada masalah umum yang beraneka ragam. Menjadi anggota organisasi sudah
merupakan bentuk partisipasi politik tak peduli apakah orang yang bersangkutan ikut atau tidak
dalam upaya organisasi untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Keanggotan yang tidak aktif
dapat dianggap sebagai partisipasi melalui orang lain.

(4). Mencari koneksi ( contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-
pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang
atau segelintir orang.

(5). Tindak kekerasan (violence), upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah
dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.

Dari kelima bentuk-bentuk partisipasi politik diatas, ternyata tidak semua bisa dilakukan oleh kaum
miskin. Hanya dua bentuk partisipasi politik yang “bisa” mereka lakukan, yaitu kegiatan pemilihan dan
tindak kekerasan (violence).

Ruang Politik yang Membuka Partisipasi (Kaum Miskin)

Memang partisipasi politik bukanlah sesuatu yang ”given” melainkan sangat tergantung pada
keberadaan ruang yang membuka atau membatasi partisipasi. Sejauh ini ada tiga ruang politik yang
membuka partisipasi .
Popular Space : partisipasi yang dilakukan secara aktif oleh warga masyarakat, atau sering disebut
dengan “ruang rakyat” .

Invited Space : partisipasi yang dibuka secara lebar oleh sistem politik (parlemen maupun
pemerintah) dengan cara mengundang, membuka atau mendatangi warga. Secara konseptual
ini disebut dengan ruang yang disediakan atau diundang.

Deliberative Space : proses artikulasi yang dilakukan secara bersama dan aktif oleh sistem politik
(pemerintah dan parlemen) bersama segmen-segmen warga masyarakat, atau disebut dengan
“ruang musyawarah”. Deliberative space tentu juga berbasis pada kuatnya popular space dan
invited space.

Dari ketiga ruang partisipasi yang ada -secara ekstrim- tidak ada ruang yang mampu ditembus oleh kaum
miskin. Dalam Popular Space, kaum miskin relatif sulit untuk aktif berpartisipasi. Saya juga belum
melihat Invited Space yang ada mampu ditembus oleh kaum miskin, entah itu karena kesalahan
sistemnya atau implementasinya saja yang belum berhasil. Jika Popular Space dan Invited Space saja
tidak dapat digunakan kaum miskin, apalagi Deliberative Space.

Partisipasi Otonom dan Partisipasi Mobilisasi (Kaum Miskin)

Partisipasi otonom adalah partisipasi yang dilakukan oleh seseorang atas dasar minat, keinginan,
kesadaran pribadi serta memiliki tujuan tertentu untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah. Adanya sifat kesukarelaan dalam partisipasi ini tanpa adanya paksaan, ancaman, represif
maupun intimidasi dari pihak lain.

Sedangkan partisipasi yang dimobilisasikan adalah adanya pelaku utama (aktor utama) dibalik partisipan
yang sengaja menggerakkan mereka, kebanyakan dari para partisipan ini hanyalah mengikuti instruksi
dari para aktor tersebut.

Jika melihat keadaan selama ini, saya rasa partisipasi politik kaum miskin di Indonesia termasuk
dalam partisipasi yang dimobilisasikan. Jarang sekali yang termasuk dalam partisipasi otonom. Hal ini
dapat kita lihat misalnya dari kegiatan pemilihan, seperti pemilu atau pilkada. Kaum miskin biasanya
menjadi sasaran empuk bagi aktor politik yang berkepentingan untuk memenangkan pemilihan
tersebut., biasanya dengan instruksi yang disertai dengan kekerasan, intimidasi, ancaman ataupun
bayaran.

Apakah partisipasi yang dimobilisasikan yang dilakukan kaum miskin dianggap sebagai
partisipasi politik? Banyak orang beranggapan bahwa partisipasi politik hanya bisa terjadi bila rakyat
melakukannya secara sukarela atau otonom, tanpa paksaan dari pihak lain di luar dirinya. Dengan
kalimat lain, partisipasi politik identik dengan sistem politik demokratis. Pandangan seperti itu
melahirkan konsekuensi tidak diakuinya segala bentuk partisipasi politik dalam sistem politik yang tidak
demokratis. Maka tidaklah mengherankan jika Huntington juga sampai pada konklusi bahwa bahkan
dalam sistem demokrasi pun, partisipasi politik tetap saja tidak bisa sepenuhnya lepas dari unsur
manipulasi dan tekanan.

Argumen Teoritis

Partispasi warga negara (private citizen) bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan


keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan,
mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif
(Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1977:3).

Namun dalam kenyataanya di lapangan partisipasi masyarakat yang diharapkan guna memberi
masukan kepada pemerintah untuk merumuskan sebuah kebijakan justru sedikit sekali yang berasal dari
kaum miskin padahal di dalam implementasinya masyarakat miskinlah yang paling besar menerima
dampak dari sebuah kebijakan. Selama ini pemerintah terkesan sepihak dalam memformulasikan
sebuah kebijakan publik padahal dalam hal ini masyarakatlah yang lebih tahu bagaimana keadaan
mereka yang sesungguhnya. Tindakan semacam ini secara tidak langsung dapat memunculkan sikap
apatis masyarakat terhadap pemerintah. Adapun warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri
dalam partisipasi politik disebut apati (apaty). Hal ini terjadi karena beberapa sebab:

1. adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai
masalah politik.

2. adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah


tidak berhasil.
3. mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan
suatu tindakan yang lebih bermaanfaat.

Dalam beberapa kasus, tindakan apatis bukanlah masalah yang harus selalu di permasalahkan
karena tindakan acuh tak acuh dapat menjadi positif apabila memberikan fleksibilitas pada sistem politik
dibandingkan dengan masyarakat yang terlalu aktif sehingga menjurus pada pertikaian yang berlebihan.
Beberapa hal di atas adalah faktor-faktor internal yang ada di lingkup masyarakat sendiri dan yang
terjadi di indonesia sekarang adalah sebaliknya, kurangnya partisipasi masyarakat miskin cendrung
berasal dari faktor external yaitu kurangnya adanya ruang yang di berikan dari pihak pemerintahan
sebagai perumus sebuah kebijakan.

Dengan keadaan ekonomi yang begitu susah, didukung lagi dengan keadaan politik dan pemerintahan
kita yang semakin kacau dan semakin kapitalis ini, apakah mereka masih punya harapan untuk meminta
perlindungan dan penghidupan yang lebih layak kepada pemerintah dengan ikut aktif berpartisipasi
untuk mengisi ruang publik yang terbuka lebar saat ini? Menurut penelitian Samuel Huntington dan Joan
Nelson yang dilakukan di negara-negara berkembang menyimpulkan bahwa orang-orang miskin
biasanya tidak begitu antusias dalam berpartisipasi politik. Hal ini disebabkan karena :

1. pada umumnya, lingkup kegiatan pemerintah yang mempunyai relevansi langsung


dengan kebutuhan ataupun kepentingan rakyat miskin sangat terbatas. Contohnya
dalam pelayanan kesehatan ataupun program-program pekerjaan umum untuk
mengurangi penggangguran. Jikalau negara menyediakan pelayanan kesehatan, mereka
akan memberikan pelayanan dengan kualitas dan fasilitas yang sangat minim dan tidak
berkualitas.Dengan adanya keterbatasan lingkup ini maka usaha-usaha masyarakat
untuk mengadakan kontak baik secara perorangan maupun kelompok dengan badan-
badan pemerintahan untuk membantu mengatasi atau memenuhi kebutuhan mereka
yang mendesak dianggap tidak relevan lagi atau sangat tidak mungkin untuk dilakukan.
Dan menurut mereka (rakyat miskin) lebih tidak masuk akal lagi untuk melakukan
tindakan kolektif bersama dengan kaum miskin lainnya dalam upaya untuk
mempengaruhi pemerintah.

2. dengan adanya space yang sangat tidak mungkin untuk mereka akses agar dapat benar-
benar bisa mengartikualsikan kepentingannya kepada pemerintah dan pemerintah
benar-benar dapat mengapresiasi dan merealisasi keinginan mereka, maka mereka
malah lebih mengandalkan orang lain. Mereka lebih berpaling kepada anggota-anggota
keluarga atau tetangga mereka yang bisa membantu, pendeta atau pemuka-pemuka
agama lainnya, pemilik warung, tuan tanah, guru atau mungkin bisa siapa saja yang
lebih baik nasibnya dan mampu membantu mereka.

3. karena ketidaktahuan mereka, terutama rakyat miskin yang berada di daerah pedesaan.
Mereka mungkin tidak tahu bahwa ada kebijaksanaan dan program-program
pemerintah yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka, hal ini
dikarenakan karena adanya keterbatasan teknologi informatika untuk mengakses
informasi disana dan adanya keterbatasan pendidikan dan pengetahuan rakyat di
daerah pedesaan. Kita ketahui bahwa di kebanyakan daerah pedesaan pendidikan dan
perkembangan informasi berjalan sangat lamban dan apabila mereka mendapatkan
informasi, mereka mungkin juga tidak menyadari bahwa ada hubungan yang sangat
erat antara kepentingan-kepentingan mereka dengan kebijakan-kebijakan tertentu
yang dijalankan oleh pemerintah, seperti kurs mata uang asing, insentif perpajakan
yang mendorong inflasi yang semuanya itu memiliki dampak langsung atas kepentingan
mereka (rakyat miskin).

4. rakyat miskin tidak memiliki sumber-sumber daya untuk berpartisipasi secara aktif dan
efektif, informasi yang kurang memadai, tidak memiliki kontak-kontak yang tepat dan
seringkali juga waktu.

5. orang miskin cenderung untuk beranggapan bahwa permohonan-permohonan ataupun


tekanan-tekanan dari pihak mereka apakah yang dilakukan secara perorangan ataupun
kolektif, akan dianggap sepi atau ditolak oleh pemerintah dan anggapan itu sering kali
benar

Philipus M. Hadjon ( 1997: 4-5 ) mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan
dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat
dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan

Diskusi Kasus
Partisipasi Politik Kaum Miskin Sebelum dan Sesudah Reformasi

Kita ketahui bahwa sebelum reformasi, sistem politik yang berlangsung di Indonesia adalah
sistem politik yang tertutup, partisipasi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang remeh dan tidak
terlalu penting bagi pemerintah. Pemerintah selalu yakin bahwa dialah satu-satunya aktor yang benar-
benar tahu akan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Atas nama pembangunan dan kesejahteraan
yang ditafsirkan sepihak oleh pemerintah, kebijakan publik acapkali membawa malapetaka bagi
masyarakat karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Tidak
adanya ruang yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam proses
pembuatan kebijakan publik mengakibatkan kebijakan publik yang dibuat seringkali tidak sesuai dengan
kehendak dan kebutuhan rakyat.

Di masa lalu (Orde Baru), aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik
sangat terbatas dan hanya berkisar di lingkaran kecil elite birokrasi dan militer. Sehingga beragam
artikulasi kepentingan di luar birokrasi lebih banyak ditanggapi melalui proses klientelisme atau
penyerapan (absorsi) tanpa proses pelibatan aktor extra state. Dalam posisi seperti itu, masyarakat
hanya dibutuhkan apabila diundang (invited space) oleh birokrasi negara. Atau bahkan, lebih banyak
dilibatkan dalam kerangka mobilisasi dibandingkan partisipasi. Setelah reformasi digulirkan pada tahun
1998, aktor-aktor yang terlibat dalam proses politik semakin plural dan semarak. Kalau di masa lalu,
aktor politik yang dominan hanyalah birokrasi dan militer, maka saat ini aktor yang terlibat sangat
beragam dan tersegmentasi menurut garis profesi, kelas, kelompok, kepentingan dan lain-lain.

Dengan lahirnya reformasi, ada dua perubahan besar yang terjadi di Indonesia yaitu
demokratisasi dan desentralisasi. Dengan adanya demokrasi, tuntutan membuka ruang partisipasi yang
luas bagi masyarakat menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi. Dalam sistem politik demokratis,
perumusan kebijakan publik mensyaratkan hal-hal mendasar yang sebelumnya terabaikan, yaitu
melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembuatan kebijakan. Jika dalam sistem politik
tertutup dan otoriter (rejim orde baru) proses pembuatan kebijakan publik lebih beorientasi kepada
kepentingan negara (state oriented), maka dalam sistem politik terbuka dan demokratis ini proses
kebijakannya lebih diorientasikan untuk kepentingan masyarakat (society oriented). Kalau kita ingin
menjadikan demokrasi sebagai ruh perubahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara maka
keterlibatan dan keterwakilan publik dalam proses-proses kebijakan harus diperkuat karena demokrasi
dan good governance pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana mengejawantahkan kehendak dan
kebutuhan publik ke dalam kebijakan .

Apakah konsep demokrasi secara otomatis membawa perbaikan nasib rakyat miskin dan
partisipasi politik masyarakat miskin sudah tersalurkan??

saya rasa hal ini belum memberikan perubahan yang cukup signifikan. Buktinya, nyaris sepuluh
tahun kita menjalani era demokrasi, tapi faktanya nasib kaum miskin tetap saja merana. Petani, buruh,
buruh tani, pedagang kaki lima, pengusaha lemah, penganggur, justru makin hari kian sulit
mengusahakan penghidupannya.

Janji-janji parpol atau politisi yang pada dasarnya adalah ruang utama masyarakat miskin untuk
berpartisipasi dalam menyalurkan suara justru begitu meninabobokan kaum miskin selama kampanye,
seolah sah-sah saja jika tidak direalisasikan seusai pemilu. Elite politik lalu sibuk sendiri dengan agenda
pembagian jatah kursi, pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, ataupun program-program elitis
lainnya. Sedangkan kaum miskin dilupakan begitu saja, kecuali dengan sejumlah kecil program karikatif
seperti bantuan langsung tunai atau beras keluarga miskin (raskin) yang lebih terkait politik pencitraan
pemerintah belaka dan hampir tak berdampak pemberdayaan ekonomi rakyat miskin.

Melalui demokrasi, rakyat miskin secara politik memang berdaulat. Tapi tidak demikian dalam
lapangan ekonomi. Kaum penguasa memang leluasa memilih parpol atau wakilnya selama pemilu.
Namun begitu pemilu rampung, rakyat kecil harus menghadapi lagi kenyataan: nasib mereka tak juga
lebih baik.

Bahkan, tak sedikit kaum miskin yang justru merasakan, sesudah era demokrasi, nasibnya malah
lebih buruk: jadi korban PHK, diubah statusnya dari karyawan tetap menjadi buruh kontrak, menjadi
petani padi yang terus merugi, bangkrut karena kalah bersaing dengan usaha raksasa transnasional, atau
digusur lokasi usahanya demi ketertiban kota.

Di sini mestinya dipahami bahwa hidup sejahtera ialah salah satu hak asasi rakyat. Dengan
demikian, demokrasi ekonomi dengan sendirinya meniscayakan hak setiap rakyat untuk disejahterakan
kehidupannya oleh penyelenggara negara.

Proyeksi kedepan
Menurut Myron Wiener, ada dua faktor pendorong bagi menguatnya partisipasi politik.
Pertama, tumbuhnya angkatan kerja perkotaan yang bekerja di sektor industri yang mendorong
timbulnya organisasi buruh. Kedua, pertumbuhan komunikasi massa yaitu karena perkembangan
penduduk, transportasi, komunikasi antara pusat-pusat kota dan daerah terbelakang, penyebaran surat
kabar, penggunaan radio, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kesadaran anggota masyarakat
akan pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap tiap-tiap warga negara. Ada dua indikator dalam
menjelaskan pola partisipasi politik. Pertama, kesadaran politik yakni kesadaran seseorang akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara yang menyangkut pengetahuannya mengenai lingkungan
masyarakat dan politik serta menyangkut minat dan perhatiannya terhadap lingkungan masyarakat dan
politik tempat ia hidup. Kedua, kepercayaan politik yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah dan
sistem politik yang ada, apakah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Dengan
mengkorelasikan kesadaran politik dan kepercayaan politik itu, Paige kemudian membagi pola
partisipasi politik menjadi empat tipe:

1. Partisipasi politik dikatakan aktif apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan politiknya tinggi.

2. Partisipasi politik terlihat apatis jika tingkat kesadaran dan kepercayaan politik rendah.

3. Partisipasi politik cenderung militan-radikal apabila kesadaran politik tinggi, tetapi


kepercayaan politik rendah.

4. Partisipasi politik cenderung pasif jika kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan politik
tinggi.

Pola partisipasi politik yang ditunjukkan melalui kadar tinggi rendahnya kesadaran politik dan
kepercayaan politik seperti dikemukakan di atas, pada dasarnya ditentukan oleh setidak-tidaknya tiga
faktor utama, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan sistem. Dalam sistem negara
demokratis, partisipasi politik merupakan elemen yang penting. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan
tujuan-tujuan kolektif. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh
keyakinan bahwa melalui kegiatan itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurangnya diperhatikan
dan sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan yang berwenang yang diwujudkan dalan sebuah
keputusan. Masyarakat percaya bahwa kegiatan yang mereka lakukan mempunyai efek (political
efficacy).
Kesimpulan

bagi kebanyakan kaum miskin dalam kondisi-kondisi yang paling lazim, partisipasi politik, baik dulu
maupun sekarang secara objektif merupakan suatu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk
menanggulangi masalah-masalah mereka. Hasil survei yang dilakukan Huntington di beberapa negara
berkemabang mencerminkan hal itu, hanya sebagian kecil saja dari orang-orang yang berpenghasilan
dan berpendidikan rendah yang mempunyai minat dalam politik dan menganggap politik relevan dengan
urusan mereka dan mereka juga merasa bisa ikut mempengaruhi pemerintah dalam proses pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan.

Agar kaum miskin bisa berpartisipasi sesuai dengan semestinya, maka ada beberapa hal yang perlu
dilakukan, antara lain:

1) Ruang politik. Pemerintah harus mengembangkan struktur kesempatan politik yang mampu
memfasilitasi proses partisipasi agar bisa berjalan dan berkembang dengan optimal. Sistem
politik dan institusi publik yang ada harus memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh
kembangnya partisipasi

2) Ruang sosial. Partisipasi hanya bisa berjalan dengan baik apabila struktur sosial yang ada di dalam
masyarakat bersifat egaliter. Apabila masih kental nuansa patron-clientnya dan sangat elitis
maka dalam setiap pembuatan keputusan hanya melibatkan segelintir elite yang mereka
hormati dan tidak akan bersifat partisipatif (masyarakat dapat terlibat aktif). Para elite ini
sangat berpotensi dalam memobilisasikan massa atau mengatasnamakan rakyat untuk
menggolkan keinginan mereka.

3) Kesediaan dan kepercayaan. Disini dituntut adanya kesediaan dari pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah harus bersedia dalam memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk terlibat dna
mempengaruhi keputusan-keputusan yang ada dalam proses kebijakan. Jikalau belum ada
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi maka seyogyanya pemerintah bersedia membuka
ruang dan mekanisme yang memungkinkan partisipasi tersebut bisa tumbuh dan berkembang.
Selain itu juga adanya keharusan dari kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan yang ada. Kesediaan ini akan muncul jika kesadaran citizenship
(kesadaran nasional) akan pentingnya hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara sudah
mengakar dalam benak masyarakat. Tanpa adanya kesediaan masyarakat maka mustahil untuk
terjadi proses partisipasi karena hasrat publik merupakan input utama yang akan dikonversikan
menjadi kebijakan yang lebih responsif dan accountable.

4) Kemampuan, keleluasaan dan kesediaan yang ada harus didukung oleh kemampuan pemerintah
dan masyarakat (miskin) untuk mewujudkan nilai, prinsip dan mekanisme partisipasi.

http://pupoetri.blogspot.co.id/2011/10/contoh-partisipasi-politik.html

Anda mungkin juga menyukai