0%(1)0% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
33 tayangan14 halaman
Partisipasi politik adalah keterlibatan masyarakat dalam proses politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Bentuk partisipasi politik di Indonesia berubah seiring perkembangan sistem politik, dari partisipasi terorganisir di era demokrasi liberal menjadi dimobilisasi di era Orde Baru, hingga meningkatnya partisipasi otonom pasca reformasi.
Partisipasi politik adalah keterlibatan masyarakat dalam proses politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Bentuk partisipasi politik di Indonesia berubah seiring perkembangan sistem politik, dari partisipasi terorganisir di era demokrasi liberal menjadi dimobilisasi di era Orde Baru, hingga meningkatnya partisipasi otonom pasca reformasi.
Partisipasi politik adalah keterlibatan masyarakat dalam proses politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Bentuk partisipasi politik di Indonesia berubah seiring perkembangan sistem politik, dari partisipasi terorganisir di era demokrasi liberal menjadi dimobilisasi di era Orde Baru, hingga meningkatnya partisipasi otonom pasca reformasi.
Partisipasi politik adalah keterlibatan masyarakat
dalam kegiatan2 politik dengan tujuan untuk mempengaruhi proses perumusan kebijakan pemerintah. Helbert McClosky mengemukakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan2 sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Partisipasi politik menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat2 negara dan atau tindakan yang diambil mereka. Namun Huntington dan Nelson berpendapat bahwa tindakan politik yang negatif (tidak legal) terkategori partisipasi politik. Dalam kerangka kerja sistem politik, tindakan masyarakat untuk melibatkan diri atau minimal mempengaruhi keputusan pemerintah merupakan realisasi dari fungsi input, yang menurut David Easton merupakan energi bagi bekerjanya sistem politik. Sifat partisipasi politik bisa individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, dan efektif atau tidak efektif. Anggota masyarakat yang terlibat dalam proses politik percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek mempengaruhi tindakan yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Inilah yang dinamakan political efficacy (kemanjuran politik). Namun ada juga warga yang acuh tak acuh terhadap masalah politik karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil, atau dianggap tidak perlu karena sudah puas dan percaya pada sistem. Ini yang disebut apatisme politik. Lipset berpendapat bahwa gejala apatisme bisa diartikan sebagai cermin stabilitas sistem politik. Sementara itu Galen A. Irwin mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu, perasaan puas terhadap sistem politik menyebabkan partisipasi yang lebih rendah. Ada juga warga yang tidak mau berpartisipasi karena curiga terhadap sikap, motif dan tindakan politik orang lain. Mereka beranggapan bahwa politik itu kotor dan para politisi tidak dapat dipercaya. Ini yang disebut sinisme politik. Perilaku orang yang berpartisipasi atau tidak tergantung dari motif atau keberadaan daya pendorong. Milbrath mengemukakan 4 faktor yang mendorong orang berpartisipasi dalam politik: 1. Adanya perangsang 2. Faktor karakteristik pribadi seseorang (berwatak sosial, peduli terhadap problem masyarakat). 3. Faktor karakter sosial seseorang menyangkut status sosial ekonomi. 4. Faktor situasi dan lingkungan politik. Tipe dan bentuk partisipasi politik McClosky, Almond, Nie, Verba berpendapat bahwa partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan yang bersifat sukarela saja, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak lain. Tetapi Huntington dan Nelson membagi partisipasi atas 2, yaitu partisipasi politik otonom (berdasarkan kesadaran sendiri) dan yang dimobilisasi (dorongan pihak lain). Philo C. Wasburn membagi partisipasi politik berdasarkan sarana partisipasi menurut pemerintah atau tidak, yaitu partisipasi politik umum dan partisipasi politik tidak umum. Partisipasi politik umum adalah tindakan politik melalui sarana atau jalur yang disediakan pemerintah; sedangkan partisipasi politik tidak umum adalah tindakan politik yang tidak melalui jalur yang disediakan pemerintah atau penguasa. Dari berbagai pendapat tentang bentuk-bentuk partisipasi politik sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu partisipasi politik konvensional (yang biasanya dilakukan di negara2 maju) dan partisipasi politik non konvensional (yang biasa dilakukan di negara2 berkembang karena tidak lancarnya sistem politik bekerja). Bentuk-bentuk partisipasi politik Konvensional Non-Konvensional 1. Pemberian suara (voting, pemilu) 1. Pengajuan petisi 2. Diskusi politik 2. Berdemonstrasi 3. Kegiatan kampanye 3. Mogok 4. Bergabung dengan parpol 4. Tindakan kekerasan politik thd harta benda (perusakan, pemboman, penjarahan, pembakaran) 5. Membentuk/bergabung dgn 5. Tindakan kekerasan politik thd kelompok kepentingan manusia (penculikan, teror, pembunuhan, 6. Komunikasi individual/ 6. Perang gerilya, revolusi kelompok dgn pejabat politik dan birokrasi 7. Kudeta Perkembangan Partisipasi Politik di Indonesia Tinggi rendahnya partisipasi politik di negara2 berkembang termasuk Indonesia, sangat ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan fasilitas2 yang memungkin- kan berlangsungnya partisipasi politik. Salah satu fasilitas adalah adanya suatu sistem komunikasi yang lancar dalam masyarakat dengan sistem politik. Pada masa demokrasi liberal, partisipasi politik yang bersifat sukarela lebih menonjol. Walaupun demikian, partisipasi politik masyarakat masih didorong oleh elit2 politik di tingkat atas. Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno mengambil alih kepemimpinan dan komando seluruh sendi politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan,sehingga mempersempit ruang kebebasan bagi publik untuk berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik yang dimobilisasi terlihat menonjol dalam era ini. Pada jaman orde baru, Soeharto justru lebih mempersempit ruang kebebasan untuk berpartisipasi dalam politik. Soeharto menghendaki agar tercipta stabilitas politik guna pembangunan ekonomi. Partisipasi politik justru diarahkan untuk memenangkan Golkar. Pada era pasca orde baru, kebebasan untuk berpartisipasi dalam politik kembali terbuka lebar. Masyarakat diberi kebebasan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Bahkan rakyat diberi kesempatan untuk ikut menentukan wakil2nya di parlemen, ikut memilih presiden dan wakil presiden, gubernur, kepala daerah secara langsung. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki sistem politik dari dalam. Ini yang dikenal sebagai reformasi. Dalam keadaan seperti ini tipe partisipasi yang dimobilisasi semakin berkurang dan partisipasi otonom semakin meningkat, walaupun diwarnai dengan isu politik uang dan motif pilihan yang kadang tidak rasional. Ada 4 alasan utama mengapa ada warga masyarakat yang tidak ikut berpartisipasi dalam politik (pemilu) di era reformasi dewasa ini: - Alasan politis (tidak ada kandidat atau parpol yg sesuai keinginan) - Alasan pragmatis (sibuk bekerja, lelah,malas) - Alasan teknis (tidak memiliki kelengkapan administrasi) - Alasan ideologis (tidak menyukai sistem politik yang berlaku, protes) Ciri khas partisipasi politik di Indonesia Partisipasi politik di Indonesia cenderung dimonopoli oleh elit politik, baik utk mengerahkan dukungan massa maupun untuk meredam partisipasi politik itu sendiri (ini terutama terjadi pada masa Orba). Setelah kejatuhan Soeharto, terjadi ledakan partisipasi. Hal ini terjadi ketika ‘kran’ partisipasi tiba2 dibuka setelah sekian lama sistem politik menutup ruang gerak masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik.