PENDAHULUAN
Istilah “sosiologi” dicuatkan oleh Auguste Comte (1768-1857), salah seorang pendiri disiplin
ilmu ini. Secara sederhana “sosiologi” berarti studi mengenai masyarakat, tetapi dalam prakteknya
“sosiologi” berarti studi mengenai masyarakat dipandang dari satu segi tertentu. Baik Comte
maupun Herbert Spencer (1820-1903) seorang pendiri lainnya, menekankan masyarakat sebagai
unit dasar dari analisa sosiologis, sedang bermacam-macam pelembagaan (seperti keluarga dan
lembaga-lembaga politik, ekonomi dan keagamaan) dan interelasi antara lembaga-lembaga itu
merupakan sub unit dari analisa. Maka dalam ikhtiar untuk memberikan penekanan pada konteks
kemasyarakatan, para sosiolog modern dengan berbagai cara dalam mendefinisikan sosiologi
sebagai suatu “ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial” “studi mengenai
interaksi-interaksi manusia dan interelasinya”. Karena itu pusat perhatian sosiologi ialah tingkah
laku manusia, namun tidak terkonsentrasikan pada tingkah laku individual dan tingkah laku
kolektifnya karena hal itu dianggap sebagai bidang psikiatri dan psikologi. Apa yang menjadi pusat
perhatian sosiologi adalah tingkah laku manusia baik yang individual maupun yang kolektif, namun
lebih banyak segi kolektifnnya dan relasinya dengan masyarakat. Dengan demikian sosiologi
merupakan studi mengenai tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
Kajian dari sosiologi politik adalah tingkah laku masyarakat secara individu maupun secara
kolektif dalam berpolitik. Partisipasi politik adalah bagian penting dalam kehidupan politik suatu
negara, terutama bagi negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, partisipasi politik
merupakan salah satu indikator utama. Artinya, suatu negara baru bisa disebut sebagai negara
demokrasi jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada
warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik sebaliknya, warga negara yang
bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat partisipasi politik yang cukup tinggi. Jika tidak,
maka kadar kedemokratisan negara tersebut masih diragukan. Masalah partisipasi politik bukan
hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara, melainkan lebih berkaitan dengan
sifat dan karakter masyarakat suatu negara dan pengaruh yang ditimbulkannya. Oleh karena itu,
partisipasi politik menjadi kajian penting dalam sosiologi politik, disamping juga menjadi kajian
ilmu politik. Dalam pembahasan ini partisipasi politik menjadi topik inti yang harus dipelajari
dengan sungguh-sungguh.
Atas dasar pemikiran tersebut, kelompok kami memberi judul makalah ini “PARTISIPASI
POLITIK”.
PEMBAHASAN
Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan
memilih pimpinan Negara dan, secara lagsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy).[1] Kegiatan ini mencakup kegiatan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying
dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan
sosial dengan direct action, dan sebagainya.
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (Miriam Budiardjo, 2007) disebutkan pula pengertian partisipasi
politik menurut beberapa tokoh.
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung,
dalam proses pembentukan kebijakan umum. (The term political participation will refer to those
voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formation of public policy).
Dalam hubungan dengan Negara-negara baru Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No
Easy Choice: Political Participation in Developing Countries member tafsiran yang lebih luas dengan
memasukan secara eksplisit tindakan illegal dan kekerasan.
Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud
untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau
kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal
atau illegal, efektif atau tidak efektif. (By political participation we mean activity by private citizens
designed to influence government decision making. Participation may be individual or collective,
organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or in
effective).
Di Negara- Negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada
di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan
serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk
pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan
politik yang abash oleh rakyat.
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi politik adalah kegiatan warga preman (private
citizen) yang bertujuan memengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintahan.
Michael Rush Philip Althoff, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai macam-macam
tingkatan di dalam sistem politik.
Kevin R. Hardwic, partisipasi politik memberi perhatian cara-cara warga negara berupaya
menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu
mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
Ramlan Surbakti partisipasi politik adalah keikut sertaan warga negara biasa dalam menentukan
segala keputusan menyangkut atau memengaruhi hidupnya. Sesuai dengan istilah partisipasi (politik)
berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam memengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Partisipasi politik adalah bagian penting dalam kehidupan politik semua negara, terutama bagi
negara yang mmenyebut dirinya sebagai negara demokrasi, partisipasi politik merupakan salah satu
indikator utama. Artinya, suatu negara baru bisa disebut sebagai negara demokrasi jika pemerintah
yang berkuasa memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk berpartisipasi
dalam kegiatan politik, sebaliknya warga negara yang bersangkutan juga harus memperlihatkan
tingkat partisipasi politik yang cukup tinnggi. Jika tidak, maka kadar kedemokratisan negara tersebut
masih diragukan
Masalah partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara,
melainkan sifat, watak atau karakter masyarakat suatu negara dan berpengaruh yang
ditimbulkannya. Oleh karena itu, partisipasi politik menjadi kajian penting dalam sosiologi politik,
disamping juga menjadi kajian ilmu politik.
Dari sisi tipologi, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif.
Yang termasuk kedalam partisipasi aktif: mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum yang
berlainan dengan kebijakan yanng dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk
meluruskan kebijakan, membayar pajak, dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kegiatan
yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang mentaati pemerintah,
menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan politik. Partisipasi politik aktif menunjukan
kegiatan yang berorientasi pada proses infut dan output politik, sedangkan partisipasi politik pasif
merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses output. Disamping itu, terdapat sejumlah
anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori partisipasi politik aktif maupun partisipasi
politik pasif. Kelompok ini muncul didasarkan pada pandangan mereka yang menganggap
masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan.
Mereka disebut sebagai kelompok apatis dan golongan putih (golput).
Tipologi partisipasi politik dapat pula didasarkan pada jumlah pelaku, yaitu individual dan kolektif.
Partisipasi politik individual ialah kegiatan warga negara secara perseorangan terlibat dalam
kehidupan politik. Adapun yang dimaksud partisipasi politik kolektif adalah kegiatan warga negara
secara serentak untuk memengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum.
Selanjutnya, partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua, yaitu partisifasi kolektif nonkonvensional
(agresif), seperti pemogokan yang sah, pembangkangan warga negara (civil disobedience), pemikiran
pembangunan umum, dan huru-hara. Partisipasi politik kolektif secara agresif dibedakan menjadi
dua, yaitu aksi yang kuat ddan aksi yang lemah, kedua aksi ini tidak menunjukan sifat yang baik atau
buruk. Kegiatan politik dapat dikategorikan kuat, menurut Douglas A. Hibbs, apabila memenuhi tiga
kondisiberikut: bersifat anti rezim dalam arti melanggara peraturan mengenai partisipasi politik yang
normal (melanggar hukum), menggangu fungsi pemerintahan, dan merupakan kegiatan kelompok
yang dilakukan oleh nonelit. Ini artinya aksi protes yang dibenarkan oleh hukum tidak termasuk
dalam kategori partisipasi politik agresif, apalagi partisipasi politik yang kuat secara agresif.
Berbicara partisipasi politik dari sisi model. Dari sisi ini, partisipasi politik apabila didasarkan pada
faktor kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik), dapat dibedakan
menjadi empat model.
Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan pada pemerintah yang tinggi,
partisipasi politik cenderung aktif.
Apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, partisipasi politik cenderung
pasif tertekan (apatis).
Apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan terhadap pemerintah rendah, partisipasi politik
cenderung militan-radikal.
Apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan terhadap pemirintah sangat tinggi,
partisipasi politik cenderung tidak akti (pasif).
Baik faktor kesadaran politik maupun faktor kepercayaan kepada pemerintah bukan
merupakan variabel atau faktor-faktor yang berdiri sendiri (variabel indevenden). Dengan kata lain,
tinggi rendah keduanya faktor itu dipengaruhi faktor lain, seperti status sosial dan status ekonomi,
afiliasi politik orang tua, dan pengalaman berorganisasi. Adapun hubungan faktor tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut. Setatus sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua, dan
pengalaman berorganisasi dikategorikan sebagai variabel pengaruh atau variabel independen.
Kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah dikategorikan sebagai variabel antara atau
intevening variables, kemudian, partisipasi politik dikategorikan sebagai variabel terpengaruh atau
variabel dependen.
2.3. Bentuk dan Hierarki Partisipasi politik
Bentuk dan hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep Rush dan Althoff,
secara berturut-turut adalah:
Untuk menganalisis tingkatan-tingkatan yang berpartisipasi politik, Samuel P. Huntington dan Joan
M. Nelson mengajukan dua kriteria penjelas:
Dilihat dari dua lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga negara yang melibatkan diri
dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik.
Intensitas, ukuran, jangka waktu, dan arti penting dari kegiatan khusus itu bagi sistem
politik.
Hubungan antara kedua kriteria ini cenderung diwujudkan dalam hubungan “berbanding terbalik”.
Lingkup partisipasi politik yang besar biasanya terjadi dalam intensitas yang kecil atau rendah,
misalnya partisipasi dalam pemilihan umum. Sebaliknya, jika lingkup partisipasi politik rendah atau
kecil, intensitasnya semakin tinggi, misalnya kegiatan para aktivis partai politik, pejabat partai politik,
kelompok penekan. Jadi, terjadi hubungan, “semakin luas ruang lingkup partisipasi politik semakin
rendah atau kecil intensitasnya. Sebaliknya, semakin kecil ruang lingkup partisipasi politik, maka
intensitasnya semakin tinggi”.
Merangkum berbagai bentuk partisipasi politik, Huntington dan Nelson (1994) mengklasifikasikan,
partisipasi politik dalam empat bentuk, menurutnya dari berbagai studi mengenai partisipasi politik
menggunakan berbagai klasifikasi yang berbeda-beda. akan tetapi, riset yang kebanyakan dilakukan
sekarang membedakan jenis-jenis perilaku dalam empat jenis berikut.
a. Kegiatan pemilihan yang mencakup pemberian suara, memberikan sumbangan untuk kampanye,
bekerja dalam kegiatan pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan
yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
b. Lobbying yang mencakup upaya-upaya, baik perorang maupun kelompok untuk melindungi
pejabat-pejabat pemerintahan atau pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi
keputusan-keputusan yang akan diambil.
Bila dilihat dari jumlah pelaku, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi berikut:
a. Partisipasi individual, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh orang perorang secara individual,
misalnya menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.
b. Partisipasi kolektif, yakni kegiatan politik yang dilakukan oleh sejumlah warga negara secara
serentak yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif ini di bagi lagi
menjadi dua, yaitu konvensional dan non-konvensional.
Tur Wahyudin (2008), membagi bentuk partisipasi politik berdasarkan tipe masyarakatnya seperti
berikut ini:
a. Masyarakat Primitif, dalam masyarakat primitif, kehidupan politik cenderung erat terintegrasi
dengan kegiatan masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu, partisipasi politik pada masyarakat ini
cenderung tinggi dan mungkin sulit untuk membedakannya dari kegiatan yang lain.
c. Masyarakat Totaliter, salah satu karakteristik paling penting dari masyarakat totaliter adalah
bahwa mereka berusaha mengontrol partisipasi dalam proses politik pada semua tingkatan.
Masyarakat Totaliter
Masyarakat Berkembang
Masyarakat Primitif
Sedikit
Aktivis
Petugas Kampanye, anggota aktif dari Partisipan Partai/Kel. Kepentingan, aktif dalam proyek-proyek
sosial
Partisipan
Menghadiri rapat umum, anggota partai/Kel. Kepentingan, usaha meyakinkan orang, memberikan
suara dalam pemilu, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik
Pengamat
Apolitis
Selain itu, bentuk partisipasi dapat diukur dengan sebuah gambar yang menunjukan hierarki yang
paling sederhana yang didasarkan atas taraf dan luasnya partisipasi. Setidaknya, gambar berikut ini
dapat menjelaskan suatu bentuk sekaligus hierarki partisipasi politik.
Apathi total
Hierarki yang dinyatakan pada gambar diatas dimaksudkan untuk memotret tingkatan
partisipasi politik dalam suatu kekuasaan dan untuk dapat diterapkan pada seluruh tipe sistem
politik. Definisi dari berbagai tingkatan gambar di atas, tentunya memiliki perbedaan antara satu dan
lainnya dengan melihat besar kecilnya suatu aktivitas terkait dengan politik.
· Votting
Apatis (Apathetic)
Klasifikasi partisipasi versi Milbarth tersebut menggunakan analogi permainan gulat di zaman roma
yang terkenal,yakni gladiator. Sebelumnya, ada tiga peran penting dalam permainan itu yakni :
Pemain
(Gladiators)
Transisi
(Transisi Activities)
Penonton
(Spectators)
5-7% populasi termasuk gladiators, yaitu orang yang sangat aktif dalam dunia politik.
Bagian terendah adalah mereka yang apatis. Mereka sebetulnya tidak termasuk dalam piramida
karena tidak mengikuti permainan tersebut. Namun demikian, agak sulit mengabaikan bentuk ini
mengingat dalam realitaas politik, kelompok itu emang eksis dan terkadang mebawa pengaruh
politik. Masih berkaitan
Masih berkaitan dengan partisipasi rutin, Barnes dan Kaase (1979) melakukan rincian sedikit
berbeda. Mereka melihat partisipasi rutin dalam konteks pemilu dan politik sehari-hari dalam bentuk
berikut:
Apabila dibandingkan, tampak bahwa sebagian besar dimensi versi Barnes dan Kaase sebetulnya
masuk dalam kategori penonton dalam versi Milbarth. Satu dimensi masuk kategori yang lebih
advance, yakni teransisi. Karena substansinya sama, kedua rincian itusebetulnya subsitutif, dalam
pengertian, tidak akan ada beda substansi bila kita mengambil versi Milbarth ataupun yang Barnes
dan kaase.
Berkenaan dengan beragamnya bentuk dan tingkatan partisipasi politik di atas, Gabriel A. Almond
membedakan partisipasi politik menjadi dua bentuk aksi, yaitu:
1. Partisipaasi politik konvensional, yaitu bentuk partisipasi politik yang “normal” dalam
demokrasi modern.
2. Partisipasi politik non-konvensional, yaitu kegiatan ilegal dan bahkan penuh kekerasan
(violence) dan revolusioner (Mochtar Mas’eod dan MacAndrew, 1995:48)
Konvensional
· Pemberian suara
· Diskusi politik
· Kegiatan kampanye
Non-Konvensional
· Pengajuan petisi
· Berdemontrasi/unjuk rasa
· Konfrontasi
· Mogok
· Perang gerilya
2.4.
Partisipasi berasal dari bahsa latin, yaitu pars yang artinya bagian dan capere (sipasi) yang artinya
memangambil. Bila dihubungkan “berarti mengambil bagian”. Dalam bahasa Inggris, participale atau
participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan
politik suatu negara.
Menurut Gabriel Almond (1999), partisipasi politik tidak hanya sebatas sebagai mengambil bagian
atau peranan dalam konteks kegiatan politik. Akan tetapi, menurutnya partisipasi politik selalu
diawali oleh adanya artikulasi kepentingan dimana seorang individu mampu mengontrol sumber
daya politik, seperti halnya seorang pemimpin partai politik atau seorang diktator militer. Peran
mereka sebagai aggregator politik (penggalang/penyatu dukungan) akan sangat menentukan bagi
bentuk partisipasi politik selanjutnya. Menurutnya negara besar memiliki bangunan organisasi yang
telah terspesialisasi dalam menyalurkan bentuk agregasi politik berikut kebijakan terkait
menghasilkan partai politik. Oleh karena itu, partisipasi politik menurut Gabriel Almond (1999),
terbagi kedalam tiga kategori.
Gaventa dan Valderama (2001) menyatakan, bahwa partisipasi politik melibatkan interaksi
perseorangan atau organisasi, biasanya partai politik, dengan negara. Karena itu, partisipasi politik
sering kali dihubungkan dengan demokrasi politik, perwakilan, dan partisipasi tak langsung.
Lanjutnya partisipasi politik diungkapkan dalam tindakan individu atau kelompok terorganisasi untuk
melakukan pemungutan suara, kampanye, protes, untuk mempengaruhi wakil-wakil pemerintahan.
Dengan demikian, Gaventa dan Valderama lebih melihat partisipasi politik sebagai orientasi pada
“mempengaruhi” dan “mendudukan wakil-wakil rakyat”.
Sebagai suatu tindakan atau aktivitas, baik secara individualmaupun kelompok, partisipasi
politik memiliki beberapa fungsi. Robert Lane (Rush dan Althoff, 2005) dalam studinya tentang
keterlibatan politik , menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu.
4. Sebagai sarana untuk memenuhi keutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis
tertentu.
Dari sisi lain, Arbit Sanit (Sastroatmodjo, 1995) memandang ada tiga fungsi partisipasi politik.
1. Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem
politik yang dibentuknya.
Partisipasi politik juga mempunyai fungsi bagi kepentingan pemerintahan. Untuk kepentingan
pemerintahan, partisipasi politik mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Untuk mendorong program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran serta
masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan program pemerintah.
3. Sebaga sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam
perencanaan dan pelaksanaan program-program pembanngunan.
Partisipasi politik sebagai suatu aktivitas, tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, banyak
pendapat yang menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik. Ada yang
menyorotinya dari dalam diri seseorang, dari luar dan ada yang menggabungkannya. Arnstein S.R
melihat bahwa partisipasi politik masyarakat didasarkan kepada faktor politik untuk menentukan
suatu produk akhir. Lebih rinci, ia menjelaskan faktor politik tersebut meliputi komunikasi politik,
kesadaran politik, pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan, dan kontrol
masyarakat terhadap kebijakan publik. Sedangkan menurut Frank Lindenfeld, faktor utama yang
mendorong seseorang berpartisipasi politik adalah kepuasan finansial. Dalam studinya, ia
menemukan bahwa status ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang merasa teralienasi dari
kehidupan politik, dan orang yang bersangkutanpun akan menjadi apatis. Menurutnya, hal ini tidak
terjadi pada orang yang memiliki kemapanan ekonomi.
Surbakti menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi
politik seseorang, pertama, aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak
dan kewajiban sebagai warga negara, misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat
perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial dan kewajiban-kewajiban, seperti kewajiban
dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial, dan kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut
bagaimanakah penilaian dan apresiasinya terhadap pemerintah, baik terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah menguraikan dari bab pembahasan diatas, maka kami memberi kesimpulan bahwa
partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari bentuk negara yang demokratis. Karena warga
negara dapat ikut serta dalam melakukan tindakan politik baik secara langsung ataupun tidak
langsung memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam kebijakan politik. Yang
mana bentuk partisipasi warga masyarakat itu berbeda-beda dan mempunyai hierarki-hierarki yang
membedakannya.
Terlepas dari itu semua, kita sebagai mahasiswa yang mempunyai fungsi sebagai Agent Social of
Change, Agent Social of Control, dan Agent Social of Value harus dapat mereaktualisasikannya
terhadap negara kita dengan melakukan partisipasi politik demi perubahan yang revolusioner.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Gatara, Said dan Said, Moh. Dzulkiah. 2007. Sosiologi Politik. Bandung. Pustaka Setia
Rush, Michael dan Althoff, Phillip. 2011. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers
William, Liddle. 1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru. Jakarta: Pustaka
Utama Grafitri