Anda di halaman 1dari 19

PERTEMUAN 4

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN BIROKRASI

A. PIHAK-PIHAK YANG BERPARTISIPASI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN


PUBLIK

Partisipasi Masyarakat

Sebenarnya konsep atau istilah partisipasi sudah sangat sering dan lama dikenal dalam
berbagai literatur keilmuan. Namun sebagai konsep dan praktek operasional ia baru mulai
dibicarakan sejak tahun 1970-an, yaitu ketika beberapa lembaga internasional mempro-
mosikan praktek partisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Ada beber-
apa bentuk atau jenis partisipasi, terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan
masyarakat yang demokratis, antara lain:

1) Partisipasi politik dan


2) Partisipasi sosial.

Partisipasi Politik sering diartikan sebagai hubungan interaksi perseorangan atau or-
ganisasi, biasanya partai politik, dengan negara. Karena itu partisipasi politik seringkali di-
hubungkan dengan demokrasi politik, perwakilan, dan partisipasi tak langsung. Sedangkan
Partisipasi Sosial sering diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam proyekproyek pem-
bangunan. Model partisipasi ini seringkali dipergunakan selama rezim orde baru berkuasa.
Dengan kata lain, partisipasi sosial seringkali diartikan sebagai terlibatnya masyarakat untuk
ikut gotong royong dalam proyek pembangunan negara yang bersifat swadaya masyarakat,
meskipun dalam praksisnya partisipasi selalu diartikan sebagai kewajiban masyarakat untuk
membantu pemerintah dan bukan sebagai hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapat
bantuan dari pemerintah. Sebenarnya, partisipasi sosial lebih tepat diartikan sebagai upaya
terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga pengatur
dalam keadaan sosial tertentu oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang
dikesampingkan dalam fungsi pengawasan.

Dalam pengertian ini, partisipasi ditempatkan di luar negara atau lembaga-lembaga


formal pemerintahan. Karena sifatnya yang berada di luar lembaga negara atau lembaga for-
mal pemerintahan, konsep ini dapat disebut sebagai partisipasi sosial. Selain itu, partisipasi
ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary
pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus
proyek pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencaan, pelaksanaan, sampai pemantauan
dan evaluasi program. Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Kebijakan Publik Salah
satu persyaratan agar ada ketertiban sosial dalam proses pengambilan kebijakan publik den-
gan melibatkan peran serta kekuatan politik masyarakat adalah terjadinya penguatan
masyarakat warga (civil society) .

Dalam pengertian yang luas munculnya masyarakat warga ini ditandai dengan civil-
ity, yaitu ketertiban sosial yang terjadi bukan karena paksaan dari the power holder tetapi
karena kebutuhan masyarakat luas. Penguatan masyarakat warga merupakan faktor yang mut-
lak dalam proses pengambilan kebijakan publik yang melibatkan segenap lapisan sosial. Ada
dua pola yang dapat dilakukan dalam rangka menggalang partisipasi masyarakat untuk pem-
buatan kebijakan publik di era demokratisasi seperti yang sedang bergulir di tanah air akhir-
akhir ini, yaitu partisispasi tidak langsung, seperti partisipasi melaui media massa (cetak dan
elektronik), dan partisipasi langsung dengan menggunakan struktur-struktur mediasi.
Meskipun harus diakui bahwa pola-pola partisipasi ini masing-masing memiliki keunggulan
dan kelemahan.

Di sisi lain Partisipasi dapat pula dibedakan menjadi partisipasi manipulasi (bersifat
manipulatif) dan partisipasi konsultatif. Partisipasi dikatakan bersifat manipulatif karena pe-
merintah memberikan informasi yang keliru kepada publik. Namun Suhirman menyatakan
bahwa para praktisi umumnya menerima konsep bahwa manipulasi pada dasarnya bukanlah
partisipasi . Partisipasi bersifat konsultatif adalah partisipasi dimana pemerintah meminta
saran dan kritik pada sebelum keputusan ditetapkan. Sayangnya konsultasi ini sering kali
hanya bersifat formalitas atau untuk diperalat melegitimasi belaka. Karena pada kenyataan-
nya saran dan kritik masyarakat tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengam-
bilan keputusan.

1.Partispasi Tidak Langsung

Partisipasi melalui media massa termasuk bentuk partisipasi tidak langsung. Media
komunikasi secara prinsip terbagi menjadi dua bentuk yaitu, media cetak (koran, majalah,
tabloid, dan sebagainya) dan elektronik (radio, televisi, internet, dan sebagainya). Kedua ben-
tuk media komunikasi tersebut sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi komunikasi
yang secara terselubung memilki kepentingan ekspansif untuk memperluas wilayah-wilayah
komunikasi, mengaitkan budaya-budaya, mengikat berbagai kepentingan dan space binding
culture . Namun harus diakui bahwa kemajuan teknologi komunikasi telah memperluas peran
masyarakat dalam partisipasi pilitik. Proses-proses politik tidak lagi hanya sekadar melalui
diskusi langsung yang terikat oleh dimensi ruang, tetapi juga tidak terikat oleh dimensi
waktu. Di tanah air juga sering diselenggarakan diskusi publik melalui talk show di radio
maupun televisi yang bersifat interaktif.

Hal ini jelas ini merupakan sebuah proses politik yang dimediasi oleh teknologi ko-
munikasi elektronik. Sistim politik demokrasi memperoleh dukungan dengan perkembangan
teknologi komunikasi karena proses politik dapat dipindahkan dari ruang publik fisik ruang
publik cetak dan elektronik yang kemudian menghasilkan fenomena online politic. Perluasan
ruang publik akibat kemajuan teknologi komunikasi tersebut dapat dipandang sebagai salah
satu cara untuk semakin mengefisienkan lembaga-lembaga politik guna mendukung
demokrasi. Persoalan yang paling mendasar adalah akses ke media cetak dan elektronik yang
tidak dimiliki secara seimbang oleh setiap warga masyarakat dapat mengakibatkan distorsi
dalam pengambilan kebijakan publik.

Ketidakseimbangan ini bersumber pada problem kemiskinan dan iliterasi sebagian


warga yang bila tidak diatasi akan menjadi sumber masalah politik. Maka tidak ada cara lain
selain mendistribusikan sarana-sarana pendukung teknologi komunikasi secara memadai agar
semua lapisan masyarakat dapat mengaksesnya sehingga dapat terlibat dalam setiap pembu-
atan kebijakan publik.

2..Partisipasi Langsung

Partisipasi langsung didefinisikan sebagai partisipasi yang melibatkan banyak orang


yang memanfaatkan ruang publik fisik untuk tujuan artikulasi kepentingan. Partisipasi lang-
sung dapat berupa partisipasi yang menempati ruang publik fisik seperti gedung DPR, Balai
Pertemuan, Lapangan terbuka, dan lain-lain. Salah satu contohnya adalah dengar pendapat
yang dilakukan antar warga masyarakat dengan pihak eksekutif atau legislatif di gedung DPR
dalam rangka mencapai kesepakatan atas suatu kebijakan tertentu.

Di era reformasi partisipasi langsung frekuensinya cenderung meningkat karena


orang, lapisan, atau kelompok sosial tidak lagi memiliki hambatan dalam mengekspresikan
kepentingannya. Meskipun demikian partisipasi langsung ini tidak dapat berjalan spontan se-
bab biasanya dipengaruhi atau diorganisir oleh figur-figur yang memiliki kemampuan dalam
mempengaruhi orang lain atau person-person yang memiliki kharisma yang besar. Kelema-
hannya adalah bahwa partisipasi langsung dapat terjadi manipulasi kepentingan pribadi, figur
kharismatis atas kepentingan bersama yang mengatasnamakan publik. Partisipasi langsung
yang melibatkan warga masyarakat di ruang publik selain untuk memberi masukan kepada
eksekutif dan legislatif dalam mengambil kebijakan juga dapat digunakan untuk melakukan
tekanantekanan politik terhadap kedua lembaga tersebut. Tekanan-tekanan itu dapat berupa
permintaan sekelompok orang untuk merealisasikan kepentingan mereka, mengevaluasi kebi-
jakan tertentu atau membatalkan undang-undang, dan lain-lain.

Pada umumnya partisipasi langsung yang menggunakan pengerahan massa bertujuan


untuk melakukan unjuk rasa diorganisir olerh organisasi sosial atau politik. Oleh karena itu
tidak jarang terjadi bias-bias kepentingan organisasi tertentu atau politisasi kepentingan pub-
lik untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Di era reformasi fenomena unjuk
rasa dengan menggunakan kekuatan massa merupakan hal yang biasa. Persoalannya adalah
kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan, kemiskinan yang parah dan institusi negara
yang tidak kokok (korupsi yang menjamur) akan membuat distorsi dalam proses partisipasi
publik secara langsung. Akhir-akhir ini telah terbukti bahwa demonstrasidemonstrasi yang di-
lakukan dengan melibatkan banyak orang jauh dari sikap volunter karena didanai oleh fihak-
fihak yang mempunyai kepentingan. Fenomena politk uang ini merupakan konsekuensi dari
lemahnya penegakan hukum dan akan sangat mengganggu dalam proses pendewasaan
demokrasi. Oleh karena itu demokrasi harus diproteksi oleh kebijakan publik agar tidak men-
garah pada anarkisme. Salah satunya adalah dengan cara perbaikan ekonomi, pemerataan dan
keadilan.

B.KARAKTERISTIK DAN SISTEM KEBIJAKAN PEMERINTAH

1.Pengertian dan Istilah Kebijakan

Istilah kebijakan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris”Policy”yang


dibedakan dari kata kebijaksanaan (Wisdom) maupun kebajikan (virtues). Menurut Irfan Is-
lamy (1999), kebijaksanaan berasal dari kata”Wisdom” adalah tindakan yang memerlukan
pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh dan mendalam. Sementara kebijakan adalah tin-
dakan mencakup aturan-aturan yang terdapat didalam suatu kebijaksanaan. M.Solly Lubis
(2007) mengatakan Wisdom dalam arti kebijaksanaan atau kearifan adalah pemikiran/pertim-
bangan yang mendalam untuk menjadi dasar (landasan) bagi perumusan kebijakan. Kebi-
jakan (policy) adalah seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam
rangka memilih tujuan dan cara untuk pencapaian tujuan. Keban (2008), melihat kebijak-
sanaan sebagai suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang atau
sebaliknya, berdasarkan alasanalasan tertentu, seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan
gawat, dsb. Sedangkan kebijakan menunjukan adanya serangkaian alternatif yang dipilih
berdasarkan prinsipprinsip tertentu.

2.Isu Kebijakan Pemerintahan

Suatu kebijakan pemerintahan pasti mempunyai kandungan atau isi tertentu. Hooger-
werf (1997), menyebutkan lima hal sebagai isi kebijakan itu, yakni ; masalah kebijakan, azas,
norma dan tujuan kebijakan sarana-sarana kebijakan, aktivitas kebijakan, urutan waktu dan
kecepatan kebijakan. Kelima isi itu diuraikan sebagai berikut : 1. Masalah Kebijakan Suatu
masyarakat ditandai antara lain oleh masalah-masalahnya. Masalah-masalah itu ada yang
telah lama terdapat dalam masyarakat, ada pula yang baru muncul. Munculnya masalah-
masalah dalam masyarakat karena adanya kejadian-kejadian (peristiwa- peristiwa) tertentu
dan berpengaruh pada orang-orang secara berbeda-beda. Untuk mendapatkan dan memec-
ahkan secara tepat suatu masalah ternyata tidak begitu sederhana. Suatu masalah mungkin da-
pat dipecahkan, tetapi akan muncul pula masalahmasalah yang lain.

Darsono mengartikan masalah sebagai ketidakpuasan antara suatu ukuran (asas,


norma, tujuan) dan suatu gambaran dan suatu keadaan yang sedang berlangsung atau diperki-
rakan akan terjadi. Jones mendefinisikan masalah sebagai kebutuhan-kebutuhan atau keti-
dakpuasan yang harus diatasi atau dipecahkan. Kedua pendapat ini biarpun memiliki perbe-
daan tertentu dalam tekanannya. Tetapi terdapat pula kesamaanya, bahwa masalah adalah
ketidakpuasan akan suatu keadaan yang harus diatasi atau dipecahkan. Lebih lanjut dite-
gaskan Jones bahwa masalahmasalah dalam masyarakat itu tidak harus semuanya menjadi
masalah umum. Hanya masalah tertentu saja baru dapat dijadikan masalah umum (public
problem) yakni masalah masyarakat yang mempunyai akibat yang luas termasuk akibat-aki-
batnya mengenai orang-orang atau banyak orang yang secara langsung tidak terlibat dan
mendapat perhatian dari Pemerintah.

Dan untuk memecahkan kemudian dirumuskan dan ditetapkan menjadi kebijakan ne-
gara atau disebut pula kebijakan pemerintah. ini berarti suatu kebijakan pemerintah adalah
semacam jawaban atas suatu masalah masyarakat yang memperoleh perhatian dari pemerin-
tah. Menurut Hoogerwerf, suatu kebijakan pemerintahan merupakan suatu upaya untuk
memecahkan, mengurangi atau mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan
tindakan yang terarah. Beberapa contoh seperti ; Pengotoran lingkungan, pengangguran, ke-
langkaan energi, keamanan lalu lintas, kesehatan rakyat, perumahan, pengajaran dan Jaminan
sosial, serta lain-lain merupakan petunjuk dan sekian banyak masalah yang terdapat dalam
masyarakat tersebut. Azas, Norma, dan Tujuan Kebijakan Isi suatu kebijakan menyangkut
pula ukuran. Ukuran berpengaruh terhadap pilihan nengenai tujuan, sarana dan waktu dari se-
buah kebijakan. Ukuran dapat diuraikan sebagai batu ujian untuk menilai keadaan yang
sedang berlangsung, keadaan yang diharapkan, dan jalan mengalihkan keadaan yang berlang-
sung kepada keadaan yang diharapkan. Ukuran itu mencakup azas dan norma yang dikan-
dung suatu kebijakan. Azas adalah aturan tingkah laku secara umum.

Norma adalah aturan tingkat laku yang lebih khas. Azas terpenting yang terdapat
dalam suatu kebijakan pemerintah seperti; Azas kebebasan, persamaan, solidaritas, keadilan,
toleransi dan demokrasi. Azas-azaz. Ini mempunyai isi yang umum. Azas persamaan umpa-
manya dapat diuraikan sebagai paham bahwa hal yang sama harus diperlakukan dengan cara
yang sama pula . Norma lebih khas, misalnya norma yang diambil dari azas persamaan,
bahwa pria dan wanita harus menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Norma
dapat berhubungan dengan kualitas . Namun norma inipun dinyatakan bukan dengan angka
pedoman (kualitas). Azas dan norma kebijakan itu harus dibedakan dan tujuan kebijakan. Tu-
juan kebijakan adalah keinginan dan kebutuhan rakyat banyak (masyarakat) yang hendak di-
wujudkan melalui pelaksanaan kebijakan itu. Ia lebih dari suatu mimpi indah. Suatu kebji-
akan pada umumnya tidak hanya mempunyai suatu tujuan melainkan mempunyai sekelom-
pok tujuan

. Kelompok tujuan dari suatu kebijakan dianggap jelas, jika telah ditentukan urutan
prioritasnya. Hoogerwerf membagi tujuan suatu kebijakan pemerintah terdiri atas : (a) tujuan
utama, (b) tujuan antara, (c) tujuan sampingan, dan (d) tujuan akhir. Tujuan utama adalah tu-
juan kebijakan yang oleh aktor (pemerintah) diangap lebih penting dari tujuan-tujuan lainya.
Jadi suatu tujuan utama kebijakan mempunyai prioritas terhadap tujuan-tujuan lain bagi ak-
tornya. Tujuan antara suatu kebijakan adalah suatu tujuan yang oleh aktornya berusaha men-
capai dengan maksud mencapai tujuan yang lebih jauh (tujuan akhir). Suatu tujuan sampin-
gan adalah tujuan yang oleh aktornya dianggap kurang penting, atau ia mempunyai prioritas
yang lebih rendah dari pada tujuan utama bagi aktornya. Tujuan antara menjadi sarana bagi
tujuan utama untuk mencapai tujuan akhir, ia adalah sarana yang terwujud. Kemudian tujuan
akhir suatu kebijakan adalah bahwa aktornya berusaha mencapainya setelah mencapai satu
atau lebih tujuan lain (tujuan antara).
Untuk membantu memahami perbedaan pengertian dari keempat jenis tujuan kebi-
jakan itu, ditampilkan sebuah contoh ; suatu pemerintah negara sedang berperang dengan pe-
merintah negara lain, masalah yang dihadapi umpamanya ; perang segera dihentikan. Tin-
dakan segera diambil adalah memilih genjatan senjata, dan melakukan perundingan dengan
negara lawan itu guna mengakhiri perang agar dicapai perdamaian diantara kedua belah pi-
hak. Disini perdamaian sebagai tujuan akhir, genjatan senjata sebagai tujuan utama, perundin-
gan sebagai tujuan antara, dan menghindari bertambah banyak korban perang merupakan tu-
juan sampingan, dan contoh lainnya. Akhirnya, tujuan-tujuan penting dari kebijakan pemerin-
tahan umumnya adalah memelihara ketertiban umum, (negara sebagai stabilisator), melancar-
kan perkembangan masyarakat dalam berbaga hal (negara sebagai perangsang, stimulator),
menyesuaikan beberapa aktifitas (negara sebagai koordinator), memperuntuk dan membagi
berbagai materi dan sumber (negara sebagai pembagi, allokator). 3. Sarana-sarana kebi-
jakan

Sarana kebijakan adalah segala sesuatu yang dipergunakan atau dapat. dipergunakan
oleh aktor (pemerintah) untuk memperlancar tercapainya tujuan atau tujuan-tujuan dari kebi-
jakan yang ditetapkannya. Sarana kebijakan mempunyai hubungannya dengan tujuan kebi-
jakan. Dalam praktek, sesudah menetapkan .tujuan suatu kebijakan dalam bidang tertentu
oleh pemerintah baru menetapkan sarana-sarana yang sesuai untuk mewujudkan tujuan-tu-
juan kebijakan itu. Sarana-sarana yang di pergunakan dalam sebuah kebijakan dapat be-
ranekaragam. Hoogerwerf menyebutkan pula sarana-sarana yang bersifat yuridis pemerinta-
han yang terbagi atas tiga golongan yang berbeda-beda, yaitu :

1) Sarana untuk pengaturan aktivitas-aktivitas warga negara seperti undang-undang, ke-


tentuan-ketentuan administrasi dan sanksi-sanksi,
2) Sarana untuk pengaturan hubungan antara. pemerintah dan yang diperintah, seperti ;
perlindungan hukum antara lain ; naik banding, apel administrative dan pengadilan
administrative, perlindungan kepentingankepentingan antara lain ; partisipasi dan
keterbukaan,
3) Sarana untuk pengatur tindakan-tindakan dan dan hubungan antara badan-badan pe-
merintah, antara lain ; Pengawasan, Perencanaan berjangka dan analisa-analisa kebi-
jakan. Bahwa ukuran sarana kebijakan dapat dibagi-bagi sesuai segi pandangannya
misalnya sarana musyawarah berbeda dengan sarana paksaan dan kekerasan, sarana
perang tidak sama dengan sarana damai. dan sebagainya.
Dalam penggunaan saranasarana untuk kebijakan, harus di perhatikan keseimbangan-
nya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan. Jadi dengan sarana yang cocok
dapat memungkinkan tercapainya tujuan kebijakan dengan baik. Jika sarana yang dipilih ter-
lalu berat atau terlalu ringan, maka tidak akan dicapai tujuan dan kebijakan yang telah dite-
tapkan. Aktivitas kebijakan Perkataan berusaha yang muncul didalam definisi kebijakan
mengambarkan tentang pilihan oleh pemerintah, meliputi pendapat dan tingkah laku untuk
mencapai tujuantujuan melalui sarana-sarana yang di pilih dari urutan waktu yang di pilih
tingkah laku (aktifitas) yang menjadi bagian dari usaha. Usaha penggunaan sarana-sarana
yang dipilih untuk mencapai tujuan berdasarkan urutan waktu yang dipilih.

Penggunaan ini biasanya berlangsung dalam proses penyelenggaraan kebijakan atau


pelaksanaan (implementasi) kebijakan. Contoh dari pelaksanaan kebijakan adalah pemberian
subsidi atas izin dan pemungutan pajak serta lain-lainnya. Pelaksanaan kebijakan harus
dibedakan dengan mobilisasi dan alokasi sarana. Mobilisasi sarana adalah penyediaan sarana
untuk pelaksanaan kebijakan, umpamanya terjadi dengan pungutan pajak, penyitaan, pembe-
lian, penyewaan, pinjaman, memperoleh simpati, memperoleh bantuan dan memperluas
pengetahuan. Sedangkan alokasi adalah penunjukan dari kuantitas (pedoman angka) tertentu
dan sarana tertentu untuk suatu tujuan tertentu. Suatu alat penting bagi alokasi sarana (keuan-
gan) adalah anggaran. Aktifitas kebijakan dapat, pula berupa gerak pengawasan, penilaian,
dan pelaporan atas perkembangan pelaksanaan kebijakan berdasarkan urutan waktu dan tu-
juan-tujuan yang dipilih .

Jenis-Jenis Model Kebijakan Pemerintahan

Upaya perumusan kebijakan pemerintahan telah dikembangkan para ahli politik


melalui berbagai macam jenis model sesuai dengan kerangka berpikir pembuat model terse-
but. Berdasarkan tipologi model kebijakan dari Thomas R.Dye,Nicholas Henry mengelom-
pokkan tipologi model kebijakan itu menjadi dua klasifikasi besar, yaitu (1) kebijakan negara
dianalisis dari sudut proses, lebih bersifat”deskriptif” yaitu mencoba menggambarkan
bagaimana kebijakan negara itu dibuat, diantarannya model; kelembagaan, elite-massa,
kelompok, proses dan sistem, (2) kebijakan negara dianalisis dari sudut hasil dan akibat
(efeknya), lebih bersifat”pres kriptif ” yaitu menunjukkan cara-cara untuk meningkatkan
mutu/kualitas isi, hasil dan akibat dari kebijakan negara, diantaranya model ; rasional-kom-
prehensif , inkremental., dan mixed scanning. Uraian ide pokok jenis-jenis model kebijakan
pemerintahan negara sebagai berikut.. Model Kelembagaan (Institutional) Kebijakan Sebagai
Hasil Dari Lembaga Model ini merupakan model tradisional dalam proses pembuatan kebi-
jakan negara. Fokus perhatian model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah. Hal ini
karena kegiatan-kegiatan politik, termasuk pembuatan kebijakan negara berpusat pada lemba-
galembaga pemerintah seperti lembaga; legislatif, eksekutif, yudikatif; pada pemerintahan
pusat (nasional), regional dan lokal. Ide pokok model ini bahwa kebijakan negara merupakan
hasil dari kerja lembaga-lembaga pemerintahan.

Kebijakan negara secara otoritatif dirumuskan,disahkan dan dilaksanakan pada lem-


baga-lembaga pemerintah tersebut. Terdapat hubungan yang kuat sekali antara kebijakan ne-
gara dengan lembagalembaga pemerintah tersebut, karena suatu kebijakan tidak dapat men-
jadi kebijakan negara kalau ia tidak dirumuskan, disyahkan dan dilaksanakan oleh lembaga
pemerintahan. Menurut Dye, lembaga-lembaga pemerintahan itu memberikan kebijakan ne-
gara dalam tiga karakteristik yaitu ; (1) Lembaga Pemerintah memberikan pengesahan (legiti-
masi) terhadap kebijakan-kebijakan negara sebagai kewajiban-kewajiban hukum yang harus
ditaati/dilaksanakan oleh semua warga negara. (2) Kebijakan negara itu bersifat universal
dalam arti bahwa hanya kebijakan-kebijakan negara yang dapat disebarluaskan pada seluruh
warga negara, dan kebijakan-kebijakan yang lain (bukan negara) hanya mencapai bagian ke-
cil dari anggota masyarakat. (3) Hanya pemerintah yang memegang hak monopoli untuk
memaksakan secara sah kebijakan-kebijakannya pada anggota masyarakat, sehingga ia dapat
memberikan sanksi pada mereka yang tidak mentaatinya.

Secara tradisional model institusional ini biasanya menggambarkan tentang struktur


organisasi, tugas-tugas dan fungsi-fungsi pejabat organisasi, serta mekanisme organisasi,
tetapi sayangnya kurang membuat analisa tentang hubungan antara lembaga-lembaga pemer-
intahan itu dengan kebijakan negara. Padahal hubungan antara lembaga-lembaga pemerinta-
han itu berpengaruh terhadap isi kebijakan negara. Kekurangan dari model institusional ini
telah diperbaiki dengan timbulnya model institusional baru (neo-institutionalme) dengan
tekanan pada peranan lembaga-lembaga politik dalam proses perumusan kebijakan negara,
tetapi lebih difokuskan pada pembuatan ramalan-ramalan teoritis tentang bagaimana hubun-
gan antara perbagai macam kebijakan negara dengan semua level pemerintahan.

B.MENGAJUKAN PERMASALAHAN KE PEMERINTAHAN

Masuknya era globalisasi seperti saat ini telah memperluas ruang informasi yang
harus diberikan pemerintah kepada masyarakat. Dengan semakin terbukanya ruang informasi
yang harus disediakan pemerintah, maka pola komunikasi dua arah antara pemerintah dan
masyarakat harus tersusun melalui sebuah sistem yang baik. Hal ini dilakukan untuk memini-
malisir gesekan akibat perbedaan pemahaman atas informasi yang tersampaikan.

Terbukanya ruang informasi tersebut juga berimplikasi pada transparansi pemerintah


dalam membuat sebuah aturan atau kebijakan. Sementara itu, sebagai bentuk kepedulian
masyarakat terhadap langkah-langkah yang diambil pemerintah, baik dalam bentuk pen-
gawasan pelaksanaan kebijakan, maupun laporan masyarakat terhadap suatu tindak pelang-
garan bisa disampaikan melalui layanan pengaduan.

Pengaduan tersebut marupakan bagian dari pelayanan publik, di mana masyarakat da-
pat menyampaikan keluhan maupun saran perbaikan terhadap pelayanan yang diberikan.
Berbagai pelayanan publik memang kerap kali dirasa masih memiliki kekurangan, bahkan
sampai gagal berfungsi.Namun masyarakat juga acap kali enggan untuk melaporkan apa yang
menjadi kekurangan atau kendala yang dihadapi dengan berbagai alasan seperti waktu yang
terlalu lama untuk bisa menyampaikan pengaduan. Hal ini lah yang kemudian disoroti pemer-
intah untuk meningkatkan kepedulain masyarakat terhadap perbaikan pelayanan publik
melalui perbaikan sistem pengaduan.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB),


yang dalam hal ini bertugas untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan administrasi pe-
merintahan, termasuk di dalamnya mengelola pengaduan aparatur dan masyarakat, telah dia-
manatkan untuk menjalankan fungsi tersebut oleh Peraturan Menteri PANRB No. 3 Tahun
2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PANRB.Peraturan yang telah ditetap-
kan per tanggal 31 Maret 2016 lalu tersebut, pada pasal 113-121 menyatakan bahwa tugas
bidang pengaduan adalah melaksanakan pengolahan dan analisis pengaduan masyarakat, pen-
erapan kebijakan ASN, serta pengaduan penyelenggaraan administrasi pemerintahan, berikut
pemantauan dan evaluasi tindak lanjutnya.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, fungsi yang diselenggarakan adalah menyiapkan


bahan pelaksanaan pengolahan dan analisis serta pemantauan dan evaluasi tindak lanjut pen-
gaduan masyarakat, pengaduan penerapan kebijakan ASN, serta pengaduan penyelenggaraan
administrasi pemerintahan.Pengaduan masyarakat dapat disampaikan lewat berbagai jalur,
antara lain melalui surat yang ditujukan kepada Kantor Kementerian PANRB, melalui Kotak
Pos 5000, ataupun melalui aplikasi LAPOR!
Untuk mengelola pengaduan masyarakat tersebut, acuan yang digunakan adalah Per-
aturan Menteri Negara PAN Nomor PER/05/M.PAN/4/2009 Tertanggal 7 April 2009 Ten-
tang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat bagi Instansi Pemerintah. Di
dalamnya dijelaskan mengenai etika dalam menangani pengaduan masyarakat, bagaimana pe-
natausahaan dan pembuktian pengaduan, hasil penanganan, dan koordinasi penanganan pen-
gaduan masyarakat.Hal terpenting dalam mengelola pengaduan masyarakat adalah ke-
cepatannya dalam merespons dan menindaklanjuti suatu pengaduan, dan ini merupakan cer-
minan dari baik buruknya unit pelayanan pengaduan di suatu instansi.

Indikator keberhasilan yang ideal dari suatu unit layanan pengaduan adalah jika jum-
lah pengaduan semakin berkurang. Namun menilik kebiasaan warga Negara Indonesia yang
cepat sekali complain jika merasa ada satu hal yang menurutnya tidak sesuai dengan yang se-
harusnya, maka berkurangnya jumlah pengaduan merupakan hal yang agak sulit dicapai. Se-
lama ada kehidupan, selama itu pula akan terus ada complain dan pengaduan, sesuai dengan
fitrah manusia, yang merupakan tempatnya salah dan lupa.Oleh karena itu, indikator yang da-
pat diukur dari keberhasilan suatu unit pengaduan adalah apabila jumlah pengaduan yang
direspons lebih besar daripada jumlah pengaduan yang masuk setiap harinya. Hal ini menun-
tut adanya kecepatan yang luar biasa dari para petugasnya untuk melakukan analisis dan
telaahan serta penyaluran.

Berkaca pada penjelasan di atas, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan


merespons antara lain adalah dukungan pimpinan, dukungan sumber daya manusia, serta
dukungan sarana dan prasarana.Dukungan pimpinan yang telah ada di Kementerian PANRB
merupakan modal awal terselenggaranya pengelolaan pengaduan yang baik. Pimpinan yang
berkomitmen untuk selalu merespons semua pengaduan dengan cepat sangat membantu ter-
salurkannya suatu laporan pengaduan ke APIP terkait untuk segera dilakukan penelitian akan
kebenaran isi pengaduan. Selanjutnya, komitmen pimpinan untuk selalu memantau tindak
lanjut suatu pengaduan juga akan membantu cepatnya proses penyelesaian suatu pengaduan.

Selain itu, personil yang secara kuantitas mencukupi dan secara kualitas menguasai
alur proses pengelolaan pengaduan akan sangat membantu cepatnya proses penyaluran suatu
pengaduan. Kecukupan kuantitas juga harus diikuti dengan komitmen pegawai terkait untuk
berjibaku dengan tetek bengek urusan pengelolaan pengaduan, bukan hanya sekedar untuk
penempatan belaka, terlebih jika lebih banyak berurusan dengan tugas di luar urusan pengad-
uan. Akan lebih baik lagi jika para pegawai fokus pada masalah proses analisis dan telaahan
pengaduan, tanpa terlalu banyak dibebani dengan tugas tambahan yang menyita waktu.

Kemajuan teknologi digital juga tidak bisa dikesampingkan. Dukungan sarana dan
prasarana memungkinkan terciptanya proses pengelolaan pengaduan dengan lebih canggih,
yaitu dengan menggunakan aplikasi, terutama aplikasi yang web-based, sehingga dapat diker-
jakan tidak hanya di kantor dan hanya di satu perangkat komputer saja, tapi bisa diakses dan
di-update oleh semua petugas di bidang pengaduan. Hal ini dapat meningkatkan kecepatan
proses karena tidak hanya tergantung pada satu orang operator saja. Namun di sisi lain, se-
mua kegiatan ini tak dapat dilakukan jika tidak ada dukungan anggaran dan dana yang
memadai, baik untuk pengadaan server maupun untuk menyempurnakan aplikasi yang sudah
ada. Selain itu, sarana berupa gudang penyimpanan arsip dan dokumen juga sangat dibu-
tuhkan untuk menunjang tertib administrasi pendokumentasian.

Proses selanjutnya dari pengelolaan pengaduan adalah menunggu tanggapan dari unit
terkait yang diadukan oleh pelapor. Walaupun merupakan faktor eksternal yang berada di
luar kendali bidang pengaduan, namun bukan berarti kita bisa berlepas tangan di sini. Jika in-
gin suatu kasus selesai dengan tuntas, maka bidang pengaduan harus proaktif melakukan pe-
mantauan dan evaluasi terhadap APIP terkait. Untuk itu, diperlukan kerjasama dan koordinasi
yang baik dengan seluruh APIP, baik di lingkungan Kementerian maupun Pemerintah
Daerah.

PERTEMUAN 5
MODEL ANALISIS DALAM KEBIJAKAN PEMERINTAH

A.MANFAAT MODEL-MODEL DALAM KEBIJAKAN PEMERINTAH

Konsep Model Kebijakan Publik

 Model digunakan karena adanya eksistensi masalah publik yang kompleks. Model =
pengganti kenyataan.
 Model adalah representasi sederhana mengenai aspek – aspek yang terpilih dari suatu
kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu.
 Model kebijakan dinyatakan dalam bentuk konsep/teori, diagram, grafik atau per-
samaan matematis.

Karakteristik Model Kebijakan Publik

 Sederhana dan jelas


 Ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan (precise).
 Menolong untuk pengkomunikasian (communicable)
 Usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik (manageble)
 Memberika penjelasan dan memprediksi konsekuensi

Bentuk – Bentuk Model Kebijakan Publik

 Model kelembagaan
 Model kelompok
 Model elit
 Model rasional
 Model incremental
 Model sistem

1.Model Kelembagaan

Dalam proses pembuatan kebijakan model ini masih merupajan model tradisional, di-
mana fokus model ini terletak pada struktur organisasi pemerintahan. Jadi yang sangat
berpengaruh di dalam model ini hanyalah lembaga-lembaga pemerintah dari tingkat pusat
atau daerah, sedang. Adapun aktor eksternal pada model ini seperti media massa, kelompok
think-thank (LSM, Kelompok budayawan, kelompok mahasiswa, cendikiawan, tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain,) serta masyarakat hanya berfungsi memberikan pen-
garuh dalam batas kewenangannya. Jadi kebijakan yang telah dibuat akan dijalankan dahulu
oleh aktor internal, yaitu lembaga-lembaga pemerintahan   tersebut.

Contoh kasus :

Di kota salatiga, belasan pedagang ayam yang biasa mangkal di jalan taman pahlawan sekitar
eks pertokoan hasil, mendatangi komisi II DPRD kota salatiga, pertemuan tersebut dalam
rangka audiensi dan dihadiri Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM yang
mana dinas tersebutlah yang mengurusi aktivitas pedagang di pasar. Para pedagang men-
gungkapkan keluh kesahnya kegiatan berjualan di tempat mereka mangkal dengan menan-
gantongi perizinan usaha, sementara aktivitas mereka tidak diakui secara sah oleh dinas
terkait. Para pedagang tersebut meminta agar tetap dapat berjualan di pinggir jalan Taman
Pahlawan dekat eks pertokoan hasil, karena memiliki izin usaha. Namun permintaan peda-
gang tersebut tidak disetujui oleh Disperindagkop, sebab pasar sudah ditata berdasarkan
lokasi jenis dagangan, yang mana kebijakan pemerintah setempat telah membangun pasar –
pasar tersebut untuk pedagang ayam, daging, dan lain sebagainya, di daerah pasar raya.

2.Model Kelompok

Pada model ini pemerintah membuat kebijakan karena adanya tekanan dari berbagai
kelompok. Kebijakan publik merupakan hasil perimbangan (equilibrium) dari berbagai
tekanan kepada pemerintah, dari berbagai kelompok kepentngan. Besar kecil tingkat pen-
garuh dari suatu kelompok kepentingan ditentukan oleh jumla anggotanya, harta kekayaan-
nya, kekuatan, dan kebaikan organisasi, kepemimpinan, hubungannya yang erat dengan pem-
buat keputusan, kohesi intern para anggotanya.

Contoh kasus :

Pemerintah kabupaten kebumen, melalui bupati KH. M.Nashirudin Al Mansyur menyatakan


status “qou”, yakni kembali pada keadaan semula atas permasalahan tanah dinas penelitian
pengembangan (Dislitbang) TNI AD dengan Masyarakat wilayah Urut Sewu Kebumen.
Artinya penggunaan lahan untuk kegiatan dilaksanakan seperti sebelum ada
permasalahan.”TNI dapat melaksanakan latihan seperti sedia kala. Sedangkan para petani
melaksanakan kegiatan bercocok tanam,” selanjutnya penyelesaian permasalahan tanah se-
lanjutnya akan diadakan peninjauan dilapangan oleh TNI, Pemerintah Daerah, serta
masyarakat. Hal itu dalam rangka penentuan batas kepemilikan tanah (suara merdeka).

3.Model Elit

Model ini menggambarkan pembuatan kebijakan publik dalam bentuk piramida, di-
mana masyarakat berada pada tingkat paling bawah, elit pada ujung piramida dan aktor inter-
nal birokrasi pembuat kebijakan publik (dalam hal ini pemerintah) berada ditengah – tengah
antara masyarakat dan elit.

Masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini ten-
tang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas. Sementara
birokrat/administrator hanya menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari
atas ke bawah. Elit politik selalu ingin mempertahankan status quo, maka kebijakannya men-
jadi konservatif. Perubahan kebijakan bersifat trial and error yang hanya mengubah atau
memperbaiki kebijakan sebelumnya.

Contoh kasus :

Salah satu kasus dari model elit yaitu kebijakan yang di buat oleh pemerintah untuk mengetas
atau mengurangi kemiskinan, yang di sebut Bantuan Langsung Tunai atau BLT. Kebijakan
ini bisa dikatakan kebijakan yang trial & eror, karena dalam kenyataan penerapannya kebi-
jakan ini tidak mempengaruhi apa – apa. Uang yang harusnya diterima oleh masyarakat yang
kurang mampu justru dipotong di sana – sini oleh berbagai oknum dan berbagai alasan. Oleh
karena itu kelanjutan kebijakan ini tidak diteruskan.

4.Model Rasional

Model rasional adalah model yang mana di dalam pengambilan keputusan melalui
prosedurnya akan mengajak pada pilihan alternatif yang paling efisien dari pencapaian tujuan
kebijakan, yang ditekankan pada penerapan rasionalisme dan positifisme.

Contoh kasus :
Pada saat bulan puasa tahun 2009 kemarin harga gula pasir di pasar jawa tengah, khususnya
di semarang melambung tinggi, dengan melihat kondisi tersebut maka pemerintah provinsi
jawa tengah melakukan kebijakan untuk melakukan “operasi pasar”, sehingga memberikan
alternatif kepada masyarakat yang merasa dirugikan atas kenaikan harga tersebut untuk mem-
beli gula pasir di pasar yang disediakan pemprov tersebut, tentu saja masyarakat sangat
merasakan dampak dari kebijakan tersebut,karena perbedaan yang signifikan antara harga
gula pasir di pasar milik pemprov dan di pasar – pasar.

5.Model Incremental

Model incremental adalah pembuatan kebijakan yang melalui proses politisi dimana didalam-
nya ada tawar menawar dan kompromi untuk kepentingan para pembuat keputusan sendiri.

Contoh kasus :

Pemerintah berencana menaikkan gaji presiden, menteri, dan para pejabat negara pada tahun
2001. Kebijakan ini diberlakukan untuk menyesuaikan kebutuhan dan kinerja para pejabat
negara. Melalui Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara instrumen yang akan
dijadikan dasar untuk mengatur kenaikan gaji tersebut telah disiapkan. Namun penentuan be-
sarnya nominal gaji akan ditentukan oleh Departemen Keuangan, adapun beberapa pertim-
bangan yang dijadikan dasar kenaikan gaji presiden, menteri, dan para pejabat negara yakni,
kenaikan gaji berkala yang sudah sejak lama tidak diberikan kepada presiden dan pejabat ne-
gara. Sejak lima tahun lalu, gaji presiden dan pejabat negara tidak pernah mengalami ke-
naikan padahal kebutuhan semakin meningkat, selain itu kenaikan juga dipertimbangkan dari
kinerja masing – msing pejabat negara. Karena itu kemneg telah menyusun pedoman
berdasarkan kinerja.

6.Model Sistem

Pendekatan sistem diperkenalkan oleh David Easton yang melakukan analogi dengan


sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara organisme
dengan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan dan perubahan hidup yang
relatif stabil. Ini kemudian dianalogikan dengan kehidupan sistem politik.
Model ini didasarkan pada konsep – konsep kekuatan – kekuatan lingkungan, sosial,
politik, ekonomi, kebudayaan, geografis, dan sebagainya yang ada disekitarnya. Kebijakan
publik merupakan hasil (output) dari sistem politik. Kebijakan model ini juga melihat dari
tuntutan – tuntutan, dukungan, masukan yang selanjutnya diubah menjadi kebijakan punlik
yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat. Intinya sistem politik berfungsi mengubah
inputs menjadi outputs.

Contoh kasus :

Setelah batik mendapat sertifikat dari UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia, kini pe-
merintah membuat kebijakan untuk mendaftarkan angklung ke UNESCO agar alat musik
khas daerah tersebut tidak diklaim oleh pihak lain. Melalui tahap verifikasi akan terbukti
bahwa angklung sangat berperan dalam kelangsungan suku bangsa khususnya di Indonesia,
jika lolos verifikasi, UNESCO akan mengeluarkan sertifikat dan angklung akan diakui seba-
gai warisan asli budaya asli Indonesia. Kesenian dan kebudayaan jawa barat yang berbahan
dasar bambu tengah dihadapkan pada percepatan dunia industri yang membutuhkan inovasi
dan kreativitas. Sepanjang 2008, angklung juga berfungsi sebagai alat promosi budaya den-
gan berbagai inovasi dalam seni pertunjukkan. Angklung telah menjadi salah satu kekuatan
diplomasi budaya serta komunikasi nonverbal lintas sektoral yang cukup efektif. Bermain
musik bambu juga bermain dengan menggunakan rasa, yang menimbulkan kepekaan dan sol-
idaritas yang menciptakan harmoni sehingga perlu ditanamkan di kalangan generasi pelajar
Indonesia. Dengan begitu sangat pantaslah pemerintah mengambil kebijakan untuk mendaf-
tarkan angklung sebagai salah satu warisan budaya asli Indonesia, yang mana bangsa ini
memiliki solidaritas dan kepekaan yang tinggi.

B.MODEL INSTITUSIONAL

Model Institusional merupakan model tradisional dalam proses pembuatan kebijakan


di mana fokus model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah. Kegiatan-kegiatan poli-
tik berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah yai-tu lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif pada pemerintahan pusat (nasional), regional, dan lokal

Kebijakan publik dirumuskan dan dilaksanakan oleh lembaga-


lembaga pemerintah tersebut. Terdapat hubungan yang kuat sekali antara kebijakan publik
dengan lembaga-lembaga pemerintah. Suatu keputusan dari pemilihan alternatif pemecahan
masalah tidak dapat menjadi kebijakan publik tanpa keputusan tersebut dirumuskan, disahkan
dan dilaksanakan terlebih dahulu oleh lembaga pemerintahan.
Menurut Thomas R. Dye, alasan terjadinya hubungan yang kuat sekali
antara kebijakan publik dengan lembaga-lembaga pemerintah, karena lembaga-
lembaga pemerintahan tersebut mempunyai tiga (3) kewenangan yang tidak dimiliki
lembaga-lembaga lain di luar lembaga pemerintahan, yaitu:
1) Lembaga pemerintah berwenang memberikan pengesahan (legitimasi)
terhadap kebijakan publik, ini berarti kebijakan publik merupakan kewajiban-
kewajiban hukum yang harus ditaati/dilaksanakan oleh semua warga negara.
2) Lembaga pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberi sifat universal
kepada kebijakan publik, artinya kebijakan publik dapat disebarluaskan dan berlaku
pada seluruh warga negara atau kelompok sasaran kebijakan publik tersebut.
Hanya pemerintah yang memegang hak monopoli untuk memaksakan secara
sah kebijakan publik pada anggota masyarakat, sehingga ia dapat memberikan sanksi
pada mereka yang tidak menaatinya.
Pada perkembangan terakhir model ini telah muncul dalam bentuk "model institu-
sional baru‟ (neo-institusionalisme) dengan "tambahan‟ tekanan pada peranan lembaga lem-
baga politik dalam proses perumusan kebijakan publik yang lebih difokuskan pada pembu-
atan ramalan-ramalan tentang bagaimana hubungan antara pelbagai macam kebijakan publik
dengan semua level pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

S. A. Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, 1989


Hoogerwerf , Ilmu Pemerintahan, Erlangga, Jakarta, 1978
Oberlin Silalahi, Beberapa Aspek Kebijakan Negara, Liberty Yogyakarta, 1989.
Charles E. Lindblom, Proses Penetapan kebijaksanaan, Edisi Kedua Penerjemah Ardin
Syamsudin, Erlangga, Jakarta, 1986.
M. Solly Lubis , Kebijakan Publik, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2007.
Y.T.Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu, Edisi 2,
Penerbit Gava Media, Yogyakarta,2008.

Anda mungkin juga menyukai