Anda di halaman 1dari 19

KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan Publik Yang Pro Publik


Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan wacana yang paling
mengemuka pada era reformasi saat ini. Gencarnya tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya
pengetahuan masyarakat dan juga pengaruh tuntutan globalisasi yang tidak dapat dihindari. Untuk
mewujudkan Good Governence maka diperlukan tiga pilar (domain), yaitu state (negara atau
pemerintah), private sector (sektor swasta) dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan
menjalankan fungsinya masing-masing secara sinergis. Dengan demikian semakin terbuka kesempatan
yang makin luas untuk membudayakan demokratisasi dengan memperkuat pemberdayaan masyarakat
sipil (civil society). Hal ini dapat mengubah secara substansial dan fundamental pola hubungan politik
agar semakin bercorak egaliter. Pemberdayaan masyarakat sipil atau bisa juga disebut dengan partisipasi
masyarakat dapat terjadi apabila ada demokrasi, sehingga terjadi perubahan pandangan masyarakat
terhadap partisipasi itu sendiri. Masyarakat tidak lagi memandang partisipasi sebagai sebuah kesempatan
yang diberikan karena kemurahan hati pemerintah. Masyarakat akan lebih menghargai partisipasi sebagai
suatu layanan dasar dan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari keberadaan masyarakat itu sendiri.
Dengan kesadaran dan pemahaman perlunya melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan
kebijakan, maka kepentingan masyarakat perlu dikedepankan. Pada “titik awal” berlangsungnya
pembuatan kebijakan, keterlibatan masyarakat dapat diwujudkan dengan keterlibatan mereka pada
penyusunan perencanaan kebijakan. Dengan keterlibatan masyarakat pada tahap ini dapat dijaring aspirasi
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga kebijakan yang akan dilaksanakan dapat
dirancang sesuai kebutuhan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan kebijakan
juga diperlukan. Masyarakat bisa terbilat secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan
kebijakan. Keterlibatan secara langsung dapat diartikan bahwa anggota masyarakat “physically” ikut
terjun dalam pelaksanaan kebijakan, sedangkan keterlibatan secara tidak langsung dapat diartikan bahwa
anggota masyarakat tidak terjun secara physically dalam pelaksanaan kebijakan tetapi secara insidentil
memberikan masukan dan melakukan monitoring terhadap pelaksanaannya.
Pada “titik akhir” atau lebih tepatnya pada periode setelah kebijakan dijalankan, keterlibatan
masyarakat tidak kalah penting dengan keterlibatan pada periode-periode sebelumnya. Pada periode ini
masyarakat selain dapat mengenyam hasil-hasil kebijakan, masyarakat dapat pula ikut “menjaga” hasil-
hasil kebijakan tersebut. Selain itu masyarakat dapat mengevaluasi pelaksanaan kebijakan yang akan
dapat dimanfaatkan sebagai dasar pemberian saran atau usulan bagi rencana pembuatan kebijakan
berikutnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan


Dalam banyak hal kita sering kali menjumpai kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah tidak
sesuai atau kurang memperhatikan kepentingan publik. Sehingga dalam implementasinya tidak mendapat
respon dari masyarakat. sehingga banyak menimbulkan penolakan dan bahkan perlawaan yang pada
akhirnya dapat menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Secara umum terdapat beberapa kesalahan yang
sering dilakukan oleh pembuat kebijakan dalam menetapkan kebijakan publik, diantaranya :
1. Berfikir sempit dan hanya membuat kebijakan yang hanya menekankan pada kepentingan jangka
pendek atau kepentingan salah satu aspek saja;
2. Terlalu menyederhanakan masalah yang dihadapi ;
3. Tidak ada keinginan untuk melakukan uji coba terhadap kebijakan yang akan ditetapkan ;
4. Mengasumsikan bahwa masa yang akan datang hanya mengulang masa lalu atau hanya bersifat
rutinitas saja ;
5. Terlalu menggantungkan kebijakan pada pengalaman satu orang saja ;
6. Keengganan dalam mengambil keputusan ; dan ;
7. Membuat kebijakan hanya berdasarkan prasangka atau kira-kira.
Kebijakan publik merupakan refleksi dari segala tindakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
Pemerintah baik pusat maupun Daerah, di mana dampak dari aktivitas tersebut menjangkau atau
dirasakan oleh masyarakat. Sebagai implikasinya adalah adanya suatu bentuk pilihan tindakan pemerintah
yang dialokasikan kepada seluruh masyarakat dengan sifat mengikat, punya tujuan tertentu, serta
berorientasi pada pemenuhan kepentingan rakyat. Di dalamnya terdapat aktivitas yang saling terkait,
yakni: policy problem, policy alternatives, policy actions, policy autcomes dan policy performance.
Hubungan antar kelima aktivitas itu berdimensi diametrikal dan bersifat siklikal yang secara umum
dikenal sebagai policy formulation (menentukan masalah dan memahami alternatif yang ada); policy
implementation (melaksanakan alternatif yang ditetapkan); policy evaluation (menentukan kinerja, serta
dampak yang dihasilkan).
Dalam proses kebijakan di Indonesia, negara memainkan peranan yang sangat dominan. Dalam
berbagai kesempatan pemerintah telah membuktikan diri mempunyai dua kemampuan sekaligus, oleh
karenanya pemerintah bisa mengisolasi proses kebijakan publik dari pengaruh aktor-aktor di luarnya.
Kemampuan itu juga didukung oleh latar belakang sistem politik Indonesia yang bercirikan beureaucratic
polity (Karl D. Djakson), patrimonial (Benedict Andersen), dan sentralisme birokrasi otoritarian atau
otoritarianisme politik (Dwight Y.King). Hal ini menyebabkan dalam mengambil/menentukan kebijakan,
pembuat kebijakan publik kurang memperhatikan kepentingan publik.
Dalam sistem seperti itu, birokrasi mendominasi hampir setiap tahapan proses kebijakan publik.
Kekuasaan pemerintah memegang peranan penting dalam proses formulasi kebijakan publik, sementara
masyarakat baru dilibatkan dalam proses implementasinya saja. Hal ini terjadi karena kuatnya pengaruh
birokrasi dan disisi lain menunjukkan lemahnya posisi masyarakat, sehingga kebijakan yang ditetapkan
lebih banyak didasarkan pada pertimbangan efisiensi dari pada untuk kepentingan masyarakat.

Rekomendasi
Kebijakan publik merupakan hasil dari serangkaian proses politik yang menyoal beberapa
pilihan. Oleh karena itu, dalam setiap pembicaraan mengenai kebijakan publik selalu menyoal multiple
decisions dan multiple decision makers yang efektivitasnya sangat ditentukan oleh diterima atau tidaknya
ide kebijakan tersebut dalam bingkai norma dan ide pada tataran masyarakat. Pada bagian akhir tulisan ini
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kebijakan publik antara lain :
1. Kebijakan publik yang dibuat adalah untuk kepentingan publik atau untuk memecahkan masalah-
masalah publik sehingga kebijakan yang dibuat juga harus memperhatikan kepentingan publik yaitu
dengan cara melibatkan publik itu sendiri.
2. Pembuat kebijakan harus menyadari bahwa kebijakan yang dibuat bukan semata-mata merupakan
tanggung jawab kerja kepada atasan yang lebih tinggi, tetapi lebih daripada itu kebijakan juga akan
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Oleh sebab itu kebijakan yang dibuat juga harus memperhatikan
nilai-nilai teologis dan nilai-nilai fundamental kemanusiaan.
3. Para perencana kebijakan harus memandang jabatan sebagai pembuatan kebijakan (policy maker)
sebagai amanah, sehingga dalam setiap pembuatan kebijakan harus tetap istiqamah dengan tetap
mempertikan nilai-nilai rasional, arif dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Empat Tahap Yang Harus Diperhatikan Terkait Kebijakan Publik
Kebijakan publik menyangkut hajat hidup orang banyak. Kebijakan publik merupakan hukum
atau aturan sebagai antisipasi atau solusi atas semua isu atau masalah yang berkembang dimasyarakat
yang membutuhkan keterlibatan pemerintah. Peran serta masyarakat secara menyeluruh dalam
merumuskan kebijakan publik akan berdampak pada terciptanya rasa keadilan, ketertiban, kedamaian
karena mengakomodir segala kepentingan masyarakat.
Manfaat keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik misalnya akan membentuk
perilaku atau budaya demokrasi, masyarakat sadar hukum, masyarakat yang bermoral dan berakhlak
mulia, membentuk masyarakat madani yang terikat pada nilai-nilai yang disepakati bersama.
Kekuatan kebijakan publik mengikat semua kompenen masyarakat tergantung bagaimana kebijakan
tersebut berproses. Olehnya itu, ada empat tahap yang harus di perhatikan oleh pemerintah terkait produk
kebijakan publik.
1. Isu atau masalah publik
Lingkup isu atau masalah harus menyangkut masalah orang banyak atau masalah keselamatan
bersama. Biasanya masalah atau isu yang dihadapi merupakan sesuatu yang tidak bisa diselesaikan oleh
satu orang saja tetapi menuntut sebuah penyelesaian dari pemerintah. Diharapkan isu atau masalah yang
menjadi latar belakang lahirnya kebijakan publik tidak dengan maksud untuk memperkuat cengkeraman
kekuasaan atau kewenangan atas sebuah kelompok masyarakat atau individu tertentu apalagi untuk
memuluskan tujuan pribadi, tujuan untuk memperkaya diri sendiri, melanggengkan kekuasaan atau
pengaruh terhadap orang lain.
2. Perumusan kebijakan publik
Rumusan kebijakan publik merupakan solusi atau tindakan penyelesaian masalah. Perumusannya
diharapkan terdapat peran serta masyarakat sebagai sasaran pelaksanaannya. Itulah dalam konstitusi
dinyatakan bahwa setiap kebijakan yang menyakut hajat hidup orang banyak harus melalui uji publik. Uji
publik ini tentu saja dimaksudkan untuk memberi ruang kepada masyarakat terlibat dalam perumusan
kebijakan publik.
3. Penerapan kebijakan publik
Kebijakan publik diimplementasikan oleh pemerintah bersama masyarakat . Penerapannya harus
memperhatikan asas keadilan, kesejahteraan dan lain-lain.
4. Evaluasi kebijakan publik
Proses evaluasi harus obyektif, penilaian di tujukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
kebijakan tersebut dijalankan dan dapat menyelesaikan masalah atau isu yang berkembang dimasyarakat.
Evaluasi ini akan melahirkan rencana tindak lanjut, apakah kebijakan tersebut diteruskan, diperbaiki, atau
bahkan diganti dengan kebijakan baru.
Membuat Kebijakan Publik Yang Baik dan Berguna
Proses pengambilan kebijakan sangat penting dalam tahapan pengelolaan kebijakan, baik
pemerintah maupun non-pemerintah.
Ada banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan.
Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Oleh karena itu,
kemampuan dan pemahaman yang memadai dari para ahli terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi
sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat, dan memadai.
Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus
diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimiliki. Ada
tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sebuah kebijakan yaitu teori rasional
komprehensif yang mengarahkan agar pembuatan sebuah kebijakan publik dilakukan secara rasional-
komprehensif dengan mempelajari permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai.
Teori incremental yang tidak melakukan perbandingan terhadap permasalahan dan alternatif serta
lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat kebijakan. Dan, teori
mixed scanning yang menggabungkan antara teori rasional-komprehensif dengan teori incremental.
Ketiga teori ini tertera dalam buku karya Profesor James E Anderson, berjudul Public Policy Making.
Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih
kebijakan.
Pertama nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan, maupun
ideologi. Kedua afiliasi partai politik; ketiga kepentingan konstituen; keempat opini masyarakat; kelima
penghormatan terhadap pihak lain; dan keenam adalah aturan kebijakan itu sendiri. Selanjutnya, selain
aspekaspek yang sudah disebutkan, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
kebijakan.
Para politisi harus mengetahui tentang ilmu pengetahuan dan para ilmuwan juga harus
mengetahui tentang kebijakan. Sehingga, terjadi persamaan persepsi di dalam komunitas yang mana
kebijakan yang dihasilkan dapat dijalankan. Tidak ada hal yang bersifat publik. Ada banyak ragam dari
perbedaan publik yang dapat menghasilkan, membentuk situasi atau dapat dibentuk dari isu-isu berbeda.
Untuk analisa yang mendalam dan bijaksana harus melihat ke publik yang mana? kapan? Itu
berarti bahwa tidak ada rumusan yang sederhana untuk suatu keterlibatan. Manusia sangat mampu dalam
memahami permasalahan rumit dan teknologi. Waktu dan pembuat kebijakan dan ilmuwan dikejutkan
oleh sebagian orang, apa yang dapat dipahami oleh manusia bila diperlukan dari kompleksitas pemilihan
sumber daya dengan penerapan prinsip biologi sintetis.
Hal ini membutuhkan masukan dari para ahli dan membutuhkan waktu untuk cerminan dan
diskusi, namun patut dilakukan. Orang ingin dapat berpartisipasi dalam keputusan sekitar kebijakan yang
melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itu tidak berarti semuanya ingin, atau ada yang ingin terlibat
sepanjang waktu, tapi orang ingin tahu bahwa hal ini benar terjadi dan banyak yang ingin berpartisipasi
secara langsung. Begitu mereka terlibat, mereka ingin bahwa masukannya didengar dan mereka ingin
diberi tahu hasilnya dari keterlibatan mereka.
Pembuat kebijakan dan para ahli hanya manusia. Mereka juga dapat memahami akan adanya
potensi bias, konflik kepentingan dan semua kesalahan yang dapat berpengaruh kepada semuanya dan
berharap mendapat pengakuan serta penanganan yang transparan. Pembuat kebijakan dan para ahli harus
dapat berkomunikasi dengan baik. Komunikasi dua arah mutlak diperlukan, perihal menyampaikan
sesuatu dan mendengarkan hal yang disampaikan keduanya sangat penting.

Musyawarah masyarakat dapat membantu mengurangi risiko gagalnya kebijakan yang telah
diusulkan. Demi menghindari kemungkinan dari rasa malu, menggali informasi awal dari kebijakan
tertentu dapat menemukan ide dari pihak oposisi sehingga dapat berpengaruh terhadap sebuah keputusan.
Ada banyak cara untuk berhubungan dengan orang Orang memiliki berbagai macam cara dalam
mengemukakan pandangannya agar didengar oleh orang lain, mulai dari proses demokrasi secara formal
atau secara langsung.
Publik dengan pemikiran yang kuat atau ketertarikan tertentu cenderung sangat terlihat. Tapi, ada
cara lain agar pendapatnya lebih diterima oleh beragam orang sehingga dapat berkontribusi.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

George Edwards III (1980) mengungkapkan ada empat faktor dalam mengimplementasikan suatu
kebijakan publik yaitu:

1. Komunikasi
2. Sumber daya
3. Disposisi atau perilaku
4. Struktur Birokratik
Keempat faktor tersebut secara simultan bekerja dan berinteraksi satu sama lain agar membantu proses
implementasi atau sebaliknya menghambat proses implementasi. keempat faktor tersebut saling
mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung keefektifan implementasi kebijakan.

Sementara menurut Maarse (1987), Keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh isi dari kebijakan yang
harus dilaksanakan dimana isi yang tidak jelas dan samar akan membingungkan para pelaksana di
lapangan sehingga interpretasinya akan berbeda. Kemudian ditentukan pula oleh tingkat informasi dari
aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan sehingga pelaksana dapat bekerja optimal. Lalu ditentukan
juga oleh banyaknya dukungan yang harus dimiliki agar kebijakan dapat dilaksanakan dan pembagian
dari potensi-potensi yang ada seperti diferensiasi wewenang dalam struktur organisasi.

Atas dasar hal tersebut, dalam mengimplementasikan suatu kebijakan Pemerintah Daerah harus
memperhatikan bermacam-macam faktor. Arus informasi dan komunikasi perlu diperhatikan sehingga
tidak terjadi pemahaman yang berbeda antara isi kebijakan yang diberikan oleh pusat dengan persepsi
aparat pelaksana di daerah. Diperlukan pula dukungan sumber daya maupun stakeholders yang terkait
dengan proses implementasi kebijakan di daerah. Diperlukan pula pembagian tugas maupun struktur
birokrasi yang jelas di daerah sehingga tidak terjadi ketimpangan tugas dalam proses implementasi suatu
kebijakan di daerah. Diperlukan pula nilai-nilai yang dapat dianut atau dijadikan pegangan oleh
pemerintah daerah untuk menerjemahkan setiap kebijakan yang harus diimplementasikan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kebijakan publik menurut para ahli;


2. Apa ruang lingkup dari kebijakan publik;
3. Bagaimana proses pembuatan atau formulasi kebijakan publik;
4. Faktor apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik.

1.3 Tujuan

1. Memahami arti dari sebuah kebijakan publik;


2. Mengetahui apa yang menjadi ruang lingkup dari kebijakan publik;
3. Mengerti bagaimana proses atau tahapan dalam pembuatan suatu kebijakan;
4. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik;
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebijakan Publik

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional
disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan
berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot
pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang
mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).

Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan
publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus
memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang
perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan
disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan
menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah
atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi
hukum yang harus ditaati.

Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah
manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut
mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan
persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan,
disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-
4).

Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait
dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu
kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam
Muhammadi, 2001: 371 – 372): bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi
sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka
panjang dan menyeluruh.

Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499) bahwa
kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam
batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.

Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif
(Michael Hill, 1993: 8):

The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable element
against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan
kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan
setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam
merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model
kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan,
dan model pilihan publik, dan model sistem.

Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model
demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam
bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan
yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry,
1964:278).

Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan
dalam tiga tingkatan:

1. 1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang
bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang
bersangkutan.
2. 2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat
pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3. 3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang
disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan.
Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)

Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan
terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar
digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan
menghubungkan pengetahuan dan tindakan.

Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill
Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan
hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil
berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik
sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)

A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of
goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in
principle, be within the power of these actors to achieve.

Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor
mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan
masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara.
Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan
Nigro dalam buku M. Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi
negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari
proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan
berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam
pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana
untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan
praktik.

Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy,
yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama
tampil.

Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal
Abidin,2004: 23) kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada
strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan
keputusan-keputusan khusus di bawahnya.

Dalam Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan suatu sistem
nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan dapat digambarkan sebagai berikut:

2.2 Ruang Lingkup Kebijakan Publik

Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) adalah “Pola ketergantungan
yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk
bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132).

Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah karena merupakan upaya
memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur inovasi
dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa
pengetahuan tentang kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja
kebijakan dan program publik (Kencana, 1999:106).

Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bijaksana
yang artinya: (1) selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, tajam
pikirannya; (2) pandai dan ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan (cermat; teliti). Pengertian kebijakan
sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang
pemerintahan dan organisasi); penyertaan cita-cita, tujuan, prinsip dan maksud.

Sementara itu pengertian publik yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti negara atau pemerintah.
Serangkaian pengertian tersebut diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik menurut
Santosa adalah :

“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan
juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk
peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang
mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik
memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura dan Smallwood
dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan publik dalam
ketiga lingkungannya yaitu :
1. Lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.
Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan publik adalah :

“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan
baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers
to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa
lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari lingkungan pembuatan; lingkungan
implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura, 1980:31).

Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai dengan pendekatan masing-
masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam bukunya yang
berjudul Understanding Public Policy memberikan definisi kebijakan publik sebagai What ever
government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12).

Selanjutnya Dye mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus
ada tujuannya. Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata-mata
merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak dilakukan
pemerintah juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai dampak yang sama besar dengan
sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti terkait dengan satu
tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.

Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan yang bersifat
publik dimana menurut Schubert Jr. mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling tidak
sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :

1. Pandangan rasionalis yang mengatakan kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari total
penduduk yang ada.
2. Pandangan idealis mengatakan kepentingan publik itu adalah hal yang luhur, sehingga tidak boleh direka-
reka oleh manusia.
3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari pertarungan
berbagai kelompok kepentingan.
(Dalam Fadillah, 2001:20-21).

Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus merefleksikan pada kenyataan riil
kehidupan politik masyarakat modern, maksudnya masyarakat masyarakat modern yang ideal adalah
masyarakat yang mampu mengorganisir diri mereka sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.

2.3 Tahap Formulasi Kebijakan

Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan
publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila kita melepaskan kenyataan politik dari
proses pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek
lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui
banyak persoalan pada tahap penerapan berikutnya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapannya
dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik.
Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara
keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya
kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu adanya kehati-hatian
lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus
diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang
berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan
bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan
ideal dan normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik
itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel
terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi
dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas
masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).

Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara
terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi kebijakan sebagai :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political
demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the
preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review
(feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah,
perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik,
penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau
legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi monitoring dan
peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17).

Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses tersebut untuk
sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri.

Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang
dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum
oleh khalayak kebijakan publik yaitu :

1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik


2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik
1. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi Kebijakan Publik
(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat dari Yezhezkhel
Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan
uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu :

1. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):


1. Pemrosesan nilai;
2. Pemrosesan realitas;
3. Pemrosesan masalah;
4. Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;
5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
6. Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;
7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.
8. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
1. Sub alokasi sumber daya;
2. Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;
3. Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;
4. Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;
5. Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif tersebut diatas, berikut keuntungan dan
kerugiannya;
6. Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus menentukan alternatif mana yang
terbaik;
7. 7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah dipilih tersebut diatas.

1. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)


1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;
2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;
3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah dilakukan;
4. Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah dilakukan.
(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan.
Tahap tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.
Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan)
dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas
yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian secara
tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya.

Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap
tertentu dari proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan
kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam bagan 2.1. terdapat sejumlah
cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya
(N. Dunn. 2000:23).

Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan

FASE KARAKTERISTIK

Para pejabat yang dipilih dan diangkat


menempatkan masalah pada agenda
publik. Banyak masalah tidak disentuh
sama sekali sementara lainnya ditunda
untuk waktu lama.
PENYUSUNAN AGENDA

FORMULASI Para pejabat merumuskan alternatif


kebijakan untuk mengatasi masalah.
Alternatif kebijakan melihat perlunya
membuat perintah eksekutif, keputusan
KEBIJAKAN peradilan, dan tindakan legislatif.

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan


dukungan dari mayoritas legislatif,
konsesnsus diantara direktur lembaga atau
ADOPSI KEBIJAKAN keputusan peradilan.

Kebijakan yang telah diambil


dilaksanakan oleh unit-unit administrasi
IMPLEMENTASI yang memobilisasikan sumber daya
KEBIJAKAN finansial dan manusia.

Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi


dalam pemerintahan menentukan apakah
badan-badan eksekutif. Legislatif, dan
peradilan memenuhi persyaratan undang-
PENILAIAN undang dalam pembuatan kebijakan dan
KEBIJAKAN pencapaian tujuan.

Sumber : William N. Dunn, 2000:24.

2.4 Implementasi serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan
mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-
saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang
memperoleh apa dari kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak
akan ada manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan rencana.

Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji
mengatakan dengan tegas bahwa “The execution of policies is a important if not more important than
policy-making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets unless they are
implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting
daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang
tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh karena itu implementasi kebijakan perlu
dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan
pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih
banyak yang terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat
interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses interaksi antara suatu
tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk membentuk
hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungan tindakan dengan
tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah terutama dalam mencapai tujuan
bersama, cukup sulit untuk membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi
untuk melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang
dianggap klien. Masalah lainnya adalah kesulitan dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang
dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter dan Van
Horn yang dikutip oleh Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah :

“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian
merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions
by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in
prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah
keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok
pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam
keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang
berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.

Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota, Determinan dan
Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan menurut
pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan Van Horn yang menyatakan menyatakan
“Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para
pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian
standar dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian
hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor
yang dapat meningkatkan kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut
adalah standar dan sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik
organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, sikap pelaksana
(Dalam Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan sasaran kebijakan dapat
dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan
menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerja program. Dengan standar dan
sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan program yang telah dicapai.

Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan (Policy
Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau program
dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :

1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau
crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok
penerima manfaat yang diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu
implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor mempengaruhi sekali terhadap
kinerja kebijakan tersebut.

Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat menimbulkan
kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:

1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan
intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut
sumber daya pembantu.
2. Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik
kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan
hasil-hasil dari kebijakan itu.
3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak cukup
dukungan untuk kebijakan tersebut.
(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan sebelumnya
harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup kemungkinan kegagalan
didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada awal perumusan kebijakan oleh pemerintah
sendiri yang tidak dapat bekerja maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Tahapan implementasi sebuah kebijakan merupakan tahapan yang krusial, karena tahapan ini menentukan
keberhasilan sebuah kebijakan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan baik pada tahap
perumusan dan pembuatan kebijakan.

Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan
sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus
diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk
transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola operasional yang
pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah
diambil sebelumnya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan
setelah sebuah kebijakan diputuskan.

Tahapan ini tentu saja melibatkan seluruh stake holder yang ada, baik sektor swasta maupun publik secara
kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni tindakan yang diambil
oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan ketaatan kelompok target serta
jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para stake holder tersebut. Interaksi
ketiga unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik dampak yang diharapkan maupun
dampak yang tidak diharapkan.

Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau
output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran
atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau
lembaga; manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang diinginkan
maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu maupun kelompok.

3.2 Saran

Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, para ahli mengidentifikasi berbagai faktor yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Dari kumpulan faktor tersebut bisa kita tarik
benang merah faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor
tersebut adalah:

1. Isi atau content kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik dari sisi content setidaknya mempunyai sifat-
sifat sebagai berikut: jelas, tidak distorsif, didukung oleh dasar teori yang teruji, mudah dikomunikasikan
ke kelompok target, didukung oleh sumberdaya baik manusia maupun finansial yang baik.
2. Implementator dan kelompok target. Pelaksanaan implementasi kebijakan tergantung pada badan
pelaksana kebijakan (implementator) dan kelompok target (target groups). Implementator harus
mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan sebuah kebijakan
sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan (policy makers), selain itu, kelompok target yang terdidik
dan relatif homogen akan lebih mudah menerima sebuah kebijakan daripada kelompok yang tertutup,
tradisional dan heterogen. Lebih lanjut, kelompok target yang merupakan bagian besar dari populasi juga
akan lebih mempersulit keberhasilan implementasi kebijakan.
3. Lingkungan. Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat sebuah
kebijakan diimplementasikan juga akan mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik. Kondisi sosial-
ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil dan demokratis, dukungan baik dari
konstituen maupun elit penguasa, dan budaya keseharian masyarakat yang mendukung akan
mempermudah implementasi sebuah kebijakan.
Melihat hal tersebut diatas, maka penulis mengharapkan agar dalam penerapan atau implementasi suatu
kebijakan publik dapat memperhatikan faktor-faktor tersebut sehingga apa yang menjadi tujuan dari
kebijakan publik itu dapat terwujud.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Publik

Menurut Suharno (2010) proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan
kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para adsministrator sebuah
organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau
keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks) maupun
yang tidak diharapkan (unintended risks).
Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal penting yang turut diwaspadai dan
selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan umum. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan adalah:
1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau membuat kebijakan adanya
tekanan-tekanan dari luar.
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigro disebutkan dengan istilah sunk cost,
seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini belum professional dan terkadang amat birikratik,
cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang
berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama
tersebut sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan yang telah ada
tersebut dipandang memuaskan.
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan/kebijakan banyak dipengaruhi
oleh sifat-sifat pribadinya. Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan
keputusan/kebijakan.
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan besar.
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan yang
terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan/keputusan. Misalnya,orang mengkhawatirkan
pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan.

Anda mungkin juga menyukai