Partisipasi sebagaimana civil society merupakan istilah yang telah cukup lama dikenal,
namun sebagai konsep dan pelaksanaannya baru mulai dibicarakan secara luas sejak tahun 1970an ketika beberapa lembaga international mempromosikan praktek partisipasi dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Sejak saat itulah konsep partisipasi telah
berkembang dan memiliki pengertian yang beragam. Gaventa dan Valderama
mengkategorisasikan menjadi tiga jenis partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan
masyarakat yang demokratis yaitu, partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga .
Dalam Konteks pembangunan, Stiefel dan Wolfe mengartikan partisipasi sosial" sebagai
:Upaya mengorganisir untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga
pengatur pada tingkatan sosial tertentu oleh berbagai kelompok masyarakat, dimana gerakan
tersebut sampai saat ini dikesampingkan dalam fungsi pengawasannya .
Dalam pengertian partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang
dipandang sebagai beneficiary pembangunan dalam konsultasi atau pengambil keputusan pada
semua tahap siklus proyek pembangunan yang dimulai dari tahap Indentifikasi kebutuhan sampai
dengan tahap penilaian, implementasi, pemantauan dan tahap evaluasi.
Dalam pembahasan yang lebih luas lagi mengenai partisipasi telah menempatkan
Partisipasi warga sebagai partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada
lembaga dan proses kepemerintahan. Gaventa dan Valderama menegaskan bahwa :
Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi dari sekedar kepedulian dengan
pelbagai bentuk terhadap penerima bantuan atau kaum tersisih menuju suatu kepedulian dengan
pelbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambil keputusan .
Konsep partisipasi warga juga sering dikaitkan dengan demokrasi partisipatoris,
demokrasi delibberatif, atau demokrasi langsung. Gagasan mengenai demokrasi partisipatif
kembali diperhitungkan sejak tahun 1960-an sebagai dampak dari kegagalan demokrasi liberal
dalam menjawab keadilan sosial dan kemiskinan. Demokrasi liberal yang mendasarkan pada
demokrasi perwakilan ditambah dengan sistem birokrasi yang teknokratis dianggap telah gagal
dalam mefasilitasi keterlibatan warga terutama kelompok miskin.Ide dasar dari demokrasi
partisipatif adalah bagaimana kekuasaan dikembalikan lagi kepada seluruh rakyat.Rakyat disini
adalah, warga masyarakat yang tidak membedakan pada tingkat pendidikan, keturunan, jenis
kelamin, agama maupun harta kekayaan serta tingkatan sosial masyarakat, dimana seluruhnya
layak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang penting bagi dirinya dan
lingkungannya.
Dalam tata pemerintahan, pola partisipasi sering dihubungkan dengan manajemen atau
model pemerintahan. Menurut M. Gottdiener, hubungan partisipasi dengan tata pemerintahan
yang beroreintasi pada rakyat sebagai lawan dari tata pemerintahan yang berorientasi pada
prinsip-prinsip
manajemen
.
Tata pemerintahan yang berpihak pada warga masyarakat merupakan pilihan yang harus
ditempuh untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Pilihan ini mengandung konsekuensi
harus semakin menguatnya partisipasi masyarakat disatu sisi, sementara disisi yang lain
pemerintah harus mengambil peran sebagai fasilitator untuk berbagai kepentingan masyarakat
yang berbeda atau saling bertentangan. Maksud dari partisipasi berarti mendorong proses belajar
bersama, komunikasi yang seimbang dalam membahas persoalan dan kebutuhan publik,
menjadikan kesepakatan warga dalam pengambil keputusan ditingkat lokal, dan memberikan
ruang yang cukup bagi masyarakat untuk mengontrol keputusan publik yang telah diputuskan
agar
dapat
dilaksanakan
sesuai
dengan
tujuan
yang
telah
ditetapkan.
Hal ini sejalan dengan peran non pemerintah dalam konteks pengembangan budaya kewargaan
(civil society).Relasi antara Pemerintah, Swasta dan Masyarakat tersebut dipengaruhi oleh paling
minimal 4 (empat) faktor, yaitu sejarah, tradisi, budaya, dan teknologi.
Gambar No. 1
Model Good Governance
Keterkaitan antara keempat faktor tersebut akan meningkatkan perilaku warga dalam
bernegoisasi dengan pemerintah (bargaining of power). Bargaining ini akan dapat dilihat dari
derajat pengaruh warga terhadap seluruh stakeholders yang lain. Peran mempengaruhi untuk
menggalang perilaku warga dapat divisualisasikan dalam permodelan sebagai berikut :
Gambar No. 2.
Derajat Mempengaruhi.
Partisipasi masyarakat
Partisipasi, sebagai suatu konsep dalam pengembangan masyarakat, digunakan secara
umum dan luas. Partisipasi adalah konsep sentral, dan prinsip dasar dari pengembangan
masyarakat karena, di antara banyak hal, partisipasi terkait erat dengan gagasan HAM. Dalam
pengertian ini, partisipasi adalah suatu tujuan dalam dirinya sendiri; artinya, partisipasi
mengaktifkan ide HAM (Hak Asasi Manusia0, hak untuk berpartisipasi dalam demokrasi dan
untuk memperkuat demokratif deliberative. Sebagai suatu proses dalam pengembangan
masyarakat, partisipasi berkaitan dengan HAM dengan cara lainnya. Jika HAM lebih dari
sekedar pernyataan dalam deklarasi yaitu jika partisipasi berakibat membangun secara aktif
kultur HAM-sehingga menjamin berjalannya proses-proses dalam pengembangan masyarakat
secara partisipatif adalah suatu konstribusi signifikan bagi pembangunan kultur HAM, suatu
kebudayaan yang partisipasi warga negaranya merupakan proses yang diharapkan dan normal
dalam suatu upaya pembuatan keputusan. Dalam hal ini, partisipasi adalah alat dan juga tujuan
karena membentuk bagian dari dasar kultur yang membuka terbukanya jalan bagi tercapainya
HAM. Paul berpendapat bahwa dalam partisipasi harus mencapkup kemampuan rakyat untuk
memengaruhi kegiatan-kegiatan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraanya.
Arti partisipasi sering disangkut pautkan dengan banyak kepentingan dan agenda yang berbeda
yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat dan pembuatan keputusan secara politis. Dalam
lain hal, Partisipasi masyarakat merupakan hak dan kewajiban warga Negara untuk memberikan
konstribusinya kepada pencapaian tujuan kelompok. Sehingga mereka diberi kesempatan untuk
ikut serta dalam pembangunan dengan menyumbangkan inisiatif dan kreatifitasnya.
Daftar isi
4 Perencanaan Partisipatif
o 4.1 Participatory Rural Apprasial (Pemahaman desa secara partisipatif)menurut
Chambers
5 Referensi
3. Fokus pada peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi bukan sekedar mencapai
tujuan-tujuan proyek yang sudah ditetapkan sebelumnya.
4. Pandangan ini relatif kurang disukai oleh badan-badan pemerintah.
5. Pada prinsipnya LSM setuju dengan pandangan ini.
6. Partisipasi dianggap sebagai suatu proses jangka panjang.
Perencanaan Partisipatif
Referensi
1.
2.
3.
4.
5.
^ab Edi Suharto. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial.
Bandung: LSP STKS. Hal 332
Menyesuaikan program pemerintah dengan kebutuhan (keinginan) yang telah lama dirasakan
oleh masyarakat desa yang bersangkutan.
Menumbuhkan dan menanamkan kesadaran akan kebutuhan dan atau perlunya perubahan di
dalam masyarakat dan dalam diri anggota masyarakat sedemikian rupa sehingga timbul kesediaan
berpartisipasi.
Dalam kutipan di atas nampaknya faktor komunikasi berperanan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. dari penjabaran di atas dan dihubungkan
dengan rumusan partisipasi masyarakat, maka kesediaan, keterlibatan dan tanggungjawab masyarakat
yang dapat menjadi ukuran tingkat patisipasi masyarakat meliputi keseluruhan rangkaian manajemen
pengelolaan bantuan pembangunan desa, yaitu mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penerimaan
hasil pembangunan serta penilaian (evaluasi) pengelolaan bantuan pembangunan desa.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan berbagai cara untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan yang dikemukakan para ahli, maka faktor yang sangat penting
diinginkan adalah partisipasi aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan yaitu turut serta
mengambil bagian dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan tanggung jawab atas
hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Dalam proses pembangunan, masyarakat tidak semata-mata diperlakukan sebagai obyek, tetapi lebih
sebagai subyek dan aktor atau pelaku (Soetomo,2008:8).
Hoofsteede dalam Khairuddin (1992:125), membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan :
Partisipasi inisiasi (inisiation participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari
pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek,
yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat.
Partisipasi legitimasi (legitimation participation) adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau
pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.
Partisipasi eksekusi (execution participation) adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan.
Ada dua hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, Pertama : perlu aspiratif terhadap aspirasi
yang disampaikan oleh masyarakatnya, dan perlu sensitif terhadap kebutuhan rakyatnya. Pemerintah perlu
mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya serta mau mendengarkan apa kemauannya. Kedua :
pemerintah perlu melibatkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam melaksanakan
pembangunan. Dengan kata lain pemerintah perlu menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan,
bukan hanya sebagai objek pembangunan.
Menurut Siagian (2007:142), bahwa tugas pembangunan merupakan tanggung jawab seluruh
komponen masyarakat dan bukan tugas pemerintah semata-mata. Lebih lanjut Siagian (2007:153-154)
mengatakan bahwa pembangunan nasional membutuhkan tahapan.Pentahapan biasanya mengambil
bentuk periodisasi.Artinya, pemerintah menentukan skala prioritas pembangunan.