Anda di halaman 1dari 18

6

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Partisipasi Perempuan
a. Pengertian Partisipasi.
Dalam perkembangan waktu hingga saat ini, teori partisipasi
mengalami banyak perkembangan dalam pemikiran dan juga prakteknya.
Berikut ini beberapa pemikiran mengenai teori partisipasi yang berkaitan
dengan konteks partisipasi warga dalam sebuah tata pemerintahan untuk
mewujudkan kebijakan publik yang syarat dengan pemenuhan hak-hak
konstitusional bagi warga negara.
Istilah partisipasi mengandung arti keikutsertaan. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, partisipasi adalah “sejumlah orang yang turut
berperan dalam suatu kegiatan; keikutsertaan dan peran serta”.
Pengertian tentang partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang,
baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangan kepada
proses pembuatan keputusan mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi
orang yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya.
(2011:http://nurkhoirionline.blogspot.com/2011/07/manajemenpartisipasi-
masyarakat-dalam.html).
Y.Slamet menemukakan bahwa dalam suatu proses perencanaan
pembangunan dibutuhkan suatu partisipasi dari masyarakat secara keseluruhan
tanpa membedakan jenis kelamin, agama, umur, kondisi ekonomi, dan tingkat
pendidikan. Menurut Y.Slamet (1994:1) mendefinisikan “Partisipasi kaitanya
dengan pembangunan sebagai pembangunan masyarakat yang mandiri,
perwakilan, mobilitas sosial, pembagaian sosial yang merata terhadap hasil-
hasil pembangunan, penetapan kelembagaan khususnya, demokkrasi politik
dan sosial, reformasi sosial atau bahkan yang disebut dengan revolusi rakyat”.
Dusseldorp dalam Y.Slamet (1994:10-21) mencoba membuat
klasifikasi dari berbagai tipe partisipasi menjadi 9 yaitu “Berdasarkan derajat
7

kesukarelaan, cara keterlibatan, tingkatan di dalam berbagai tahap dalam


proses pembangunan terencana, tingkatan organisasi, intensitas dan frekuensi
kegiatan, lingkup liputan kegiatan, efektifitas, siapa yang terlibat, gaya
partisipasi”. Dari pernyataaan tersebut dapat di uraikan lebih lanjut sebagai
berikut :
1) Berdasarkan Derajat Kesukarelaan
a) Partisipasi Bebas
Terjadi bila seorang individu melibatkan dirinya secara sukarela di
dalam suatu kegiatan partisipatif tertentu. Partisipasi bebas dapat dibedakan
menjadi :
(1) Partsipasi Spontan
Terjadi bila seseorang individu mulai berpartisipasi berdasarkan
keyakinan tanpa dipengaruhi melalui penyuluhan atau ajakan-ajakan oleh
lembaga-lembaga atau orang lain.
(2) Partisipasi Terbujuk
Bila seorang individu mulai berpartisipasi setelah diyakinkan
melalui program penyuluhan atau oleh pengaruh lain sehingga
berpartisipasi secara sukarela di dalam aktivitas kelompok tertentu.
Partisipasi ini dapat dibagi menurut siapa yang membujuk, yakni :
(a) Pemerintah yang mempropagandakan program pembangunan
masyarakat, gerakan koperasi, LSM/LPSM atau KHTI.
(b) Badan-badan sukarela di luar masyarakat itu misalnya gerakan-
gerakan keagamaan.
(c) Orang-orang yang tinggal di dalam masyarakat atau golongan
organisasi sukarela yang berbasiskan di dalam masyarakat seperti
PKK, Kelompok Tani, dan sebagainya.
b) Partisipasi Terpaksa
Dapat terjadi dalam berbagai cara :
(1) Partisipasi Terpaksa Oleh Hukum
8

Terjadi bila orang-orang terpaksa melalui peraturan atau hukum,


berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan tertentu tetapi bertentangan
dengan keyakinan mereka dan tanpa melalui persetujuan mereka.
(2) Partisipasi Terpaksa Karena Keadaan Kondisi Sosial Ekonomi.
Yaitu suatu kenyataan bila seseorang tidak turut dalam suatu
kegiatan, dia akan mendudukan dirinya atau keluarganya dalam posisi
yang sulit.
2) Berdasarkan Cara Keterlibatan
a) Partisipasi Langsung.
Terjadi bila diri orang itu melaksanakan kegiatan tertentu di dalam
proses partsipasi seperti misalnya mengambil peranan di dalam
pertemuanpertemuan, turut diskusi.
b) Partisipasi Tidak Langsung.
Terjadi bila seseorang mendelegasikan hak partisipasinya, misalnya
pemilihan wakil-wakil di dalam DPR.
3) Berdasarkan Tingkatan di dalam Berbagai Tahap dalam Proses
Pembangunan Terencana.
a) Partisipasi Lengkap.
Bila seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat
di dalam seluruh enam tahap dari proses pembangunan terencana.
b) Partisipasi Sebagian.
Bila seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat
di dalam seluruh enam tahap itu.
4) Berdasarkan tingkatan organisasi
Dibedakan menjadi dua yaitu :
a) Partisipasi yang Tidak Terorganisasi.
Terjadi bila suatu struktur organisasi dan seperangkat tata kerja
dikembangkan atau sedang dalam proses penyiapan.
b) Partisipasi yang Terorganisasi.
9

Terjadi bila orang-orang berpartisipasi hanya dalam tempo yang


kadang-kadang saja yang hukumnya karena keadaan yang gawat, misalnya
sewaktu terjadi kebakaran.
5) Berdasarkan Intensitas dan Frekuensi Kegiatan.
a) Partisipasi Intensif.
Terjadi bila di situ ada frekuensi aktivitas kegiatan partisipasi yang
tinggi.
b) Partisipasi Ekstensif.
Terjadi bila pertemuan-pertemuan diselenggarakan secara tidak
teratur dan kegiatan-kegiatan atau kejadian-kejadian yang membutuhkan
partisipasi dalam interval waktu yang panjang.
6) Berdasarkan Lingkup Liputan Kegiatan.
a) Partisipasi Terbatas
Yaitu bila seluruh kekuatan yang mempengaruhi komunitas
tertentu dapat diwakili oleh dan dijadikan sasaran kegiatan yang
membutuhkan partisipasi anggota komunitas tertentu.
b) Partisipasi Tak Terbatas
Terjadi bila hanya sebagian kegiatan sosial, politik, administratif,
dan lingkungan fisik yang dapat dipengaruhi melalui kegiatan partisipatif.
7) Berdasarkan Efektifitas.
a) Partisipasi Efektif
Yaitu kegitan-kegiatan partisipatif yang telah menghasilkan
perwujudan seluruh tujuan yang mengusahakan aktivitas partisipasi.
b) Partisipasi Tidak Efektif
Terjadi bila tidak satupun atau sejumlah kecil saja dari tujuan-
tujuan aktivitas yang dicanangkannya terwujud.
8) Berdasarkan Siapa yang Terlibat
Orang-orang yang dapat berpartisipasi dapat dibedakan sebagai
berikut :
a) Anggota masyarakat setempat : penduduk setempat, pemimpin
setempat.
10

b) Pegawai pemerintah : penduduk dalam masyarakat, bukan


penduduk.
c) Orang-orang luar : penduduk dalam masyarakat, bukan penduduk
d) Wakil-wakil masyarakat yang terpilih.
Anggota-anggota dari berbagai kategori dapat diorganisir
(partisipasi bujukan) atau dapat mengorganisir mereka berdasarkan
dua prinsip, yaitu :
(1) Perwilayahan, sifatnya homogen sejauh masih menyangkut
kepentingan-kepentingan tertentu.
(2) Kelompok-kelompok sasaran, sifatnya homogen, sejauh
menyangkut kepentingan-kepentingan tertentu.

9) Berdasarkan Gaya Partisipasi


Roothman membedakan tiga model praktek organisasi masyarakat
di dalam setiap model terdapat perbedaan tujuan-tujuan yang dikejar dan
perbedaan dalam gaya partisipasi.
a) Pembangunan Lokalitas
Model praktek organisasi ini sama dengan masyarakat dan
maksudnya adalah melibatkan orang-orang di dalam pembangunan
maksudnya adalah melibatkan orang-orang di dalam pembangunan mereka
sendiri dan dengan cara ini menumbuhkan energi sosial yang dapat
mengarah pada kegiatan menolong diri sendiri. Model ini mencoba
melibatkan seluruh anggota masyarakat serta mempunyai fungsi integratif.
b) Perencanaan Sosial
Pemerintah telah merumuskan tujuan-tujuan dan maksud-maksud
tertentu yang berkenaan dengan perumahan, kesehatan fisik dan lain
sebagainya. Tujuan utama melibatkan orang-orang adalah untuk
mencocokkan sebesar mungkin terhadap kebutuhan yang dirasakan dan
membuat program lebih efektif. Partisipasi di dalam perencanaan sosial
dapat dicirikan seperti disebutkan oleh Arstein sebagi informan atau
11

placation. Akan tetapi juga bahwa partisipasi berkembang ke dalam


bentuk partnership atau perwakilan kekuasaan.
c) Aksi sosial
Tujuan utama dari tipe partisipasi ini adalah memindahkan
hubunganhubungan kekuasaan dan pencapaian terhadap sumber-sumber
perhatian utama ada satu bagian dari masyarakat yang kurang beruntung.
Seperti halnya dalam pembangunan lokalitas, peningkatan partisipasi
diantaranya kelompok sasaran adalah salah satu dari maksud-maksud yang
penting.
Thamrin (2005) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat
tersebut merupakan proses, cara, sarana bagi warga, terutama kelompok
miskin dan marginal untuk terlibat dan turut mengendalikan sumberdaya
(alokasinya) melalui berbagai proses pengambilan kebijakan publik yang
berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka.
Sedangkan Adisamsita (2006:41) mengemukakan partisipasi
masyarakat sebagai pemberdayaan masyarakat, peran sertanya dalam
penyusunan perencanaan dan implementasi program atau proyek pembangunan
dan merupakan aktualisasi dan kesediaan dan kemauan masyarakat untuk
berkorban dan berkontribusi terhadap implementasi program pembangunan.
Partisipasi menurut Hetifah Sj. Soemarto (2004:127) adalah
keterlibatan warga dalam pembuatan keputusan mengenai penggunaan sumber
daya publik dan pemecahan masalah publik untuk pembangunan daerahnya.
Partisipasi masyarakat menurut Hetifah Sj. Soemarto (2004:17) adalah
proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi,
mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan,
dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi
kehiduapan mereka.
Griesgraber dan Gunter dalam Khairul Muluk (2008:48) secara lebih
spesifik mengatakan partisipasi adalah mekanisme yang melibatkan
masyarakat dalam suatu program mulai dari tahap identifikasi sampai
implementasi dan evaluasi. Dengan proses keterlibatan masyarakat dari awal
12

tersebut, maka masyarakat diharapkan mendapatkan akses informasi dan


keterlibatan dalam suatu program secara menyeluruh, dari awal hingga akhir
suatu pogram.
Burns, Hambleton, dan Hogget dalam Khairul Muluk (2008:165)
menjelaskan teori partisipasi secara lebih operasional, karena teori partisipasi
yang mereka kemukakan dilengkapi dengan instrument Tangga Partisipasi
yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengkaji secara mendalam
bentuk-bentuk partitipasi masyarakat yang ada. Kajian tersebut dilakukan
dengan menelaah peran, fungsi, pola-pola kebijakan, derajat otonomi yang
terjadi dalam ruang diskursus, dalam kajian ini adalah forum Musrenbang,
yang meliputi unsur Masyarakat, Pemerintah dan Swasta. Kesimpulan yang
dikemukakan oleh Burns, Hambleton, dan Hogget di dalam teorinya yaitu teori
ladder of empowerment adalah bahwa, ”Semakin tinggi derajat partisipasinya
maka semakin ideal partisipasi masyarakatnya”.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam tangga partisipasi di bawah
ini.

Tabel 1. Tangga Partisipasi


Tangga Partisipasi Pengertian

6 Kendali Warga Ada kekuasaan warga yang bermakna kekuasaan masyarakat untuk
Kendali
warga

menentukan keputusan atau kebijakan tertentu yang berlaku di


daerah.

5 Delegasi Menyerahkan sebagian porsi kewenangan kepada organisasi


kuat

kemasyarakatan tertentu.

4 Kemitraan Memberikan peluang bagi penyelenggara pemerintah daerah untuk


bekerjasama dengan organisasi kemasyarakatan tertentu dalam
Partisipasi

sedang

menjalankan fungsi-funsi tertentu dalam proses kebijakan.


3 Konsultasi Memberikan peluang bagi masyarakat untuk untuk menyampaikan
aspirasi dan kepentingannya, sehingga dapat menjadi pertimbangan
dalam proses perumusan kebijakan publik.
2 Informasi Tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam
lemah

pembuatan kebijakan. Masyarakat menerima informasi yang telah


diambil.
1 Manipulasi Manipulasi partisipasi berarti menyebarkan informasi yang bersifat
Partisipasi

distorsif, sehingga masyarakat tidak memiliki informasi yang benar


Non

dan transparan dalam mengambil keputusan partisipasi.

Sumber: diadaptasi dari Danny Burns, Robin Hambleton dan Paul Hogget dalam Menggugat
Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (Muluk.2007; 171-176)
13

Dari beberapa pengertian partitipasi yang telah dikemukakan di atas,


maka dapat disimpulkan pengertian partisipasi adalah suatu elemen penting
dalam governance yang melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat
dilakukan dengan tanpa membedakan jenis kelamin, agama, umur, kondisi
ekonomi, dan tingkat pendidikan. Secara lebih spsifik, Hetifah mengungkapkan
bahwa “Ruang partisipasi masyarakat tersebut adalah dalam ruang lingkup
pembuatan keputusan mengenai penggunaan sumber daya publik dan
pemecahan masalah publik untuk pembangunan daerahnya”. Dan ini sangat
relevan dengan diskursus Partitipasi masyarakat yang terjadi di dalam ruang
Musrenbang, dimana Musrenbang menjadi ruang yang paling mendasar dalam
pembuatan keputusan mengenai penggunaan dan pemecahan masalah public
untuk pembangunan.

Adapun tujuan dari partisipasi tersebut yaitu untuk membangun


masyarakat yang mandiri dengan cara merencanakan, melaksanakan,
menggunakan, dan disertai tanggungjawab. Hal tersebut berarti kegiatan
partisipasi haruslah berasal dari itikad diri sendiri, apabila seorang individu
melakukan karena didorong atau digerakkan oleh orang lain atau dia merasa
khawatir akan konsekuensi tertentu apabila tidak melaksanakan kegiatan
“partisipasi”, maka yang sebenarnya terjadi bukanlah partisipasi melainkan
mobilisasi atau partisipasi yang digerakkan dari atas.

Bentuk-bentuk partitipasi serta ruang lingkupnya selanjutnya dikaji


secara lebih mendalam dalam teori yang dikemukakan oleh Burns, Hambleton,
dan Hogget. Burns, Hambleton, dan Hogget mengemukakan, ”Semakin tinggi
derajat partisipasinya maka semakin ideal partisipasi masyarakatnya”. Burns,
Hambleton, dan Hogget juga menyusun instrument tangga partisipasi yang
dipergunakan untuk menganalisis dan memetakan posisi partitipasi masyarakat.
Dari berbagai penjelasan teori di atas maka untuk analisisnya, penulis
menggunakan teori yang dikemukakakn oleh Burns, Hambleton, dan Hogget,
dengan teori ladder of empowerment. Teori tersebut pada prnsipnya
mengemukakan bahwa ”Semakin tinggi derajat partisipasinya maka semakin
14

ideal partisipasi masyarakatnya”. Teori ladder of empowerment menjelaskan


bahwa :
”Apabila pengembangan partisipasi yang tidak sesuai dengan situasi dan
kondisi daerah setempat justru berpotensi memunculkan masalah yang lebih
kompleks daripada daya dukunganya untuk menyelesaikan persoalan. Oleh
karena itu, dibutuhkan kecermatan yang baik dalam melakukan penilaian
situasi dan kondisi sebagai persyaratan untuk mencapai derajat tertinggi
dalam partisipasi”.
Teori ini selanjutnya dikerucutkan dengan instrument yang dinamakan
Tangga Partitipasi yang terdiri dari enam tangga partitipasi. Setiap tangga
partisipasi tersebut memiliki karakter dan bentuk partisipasi dari masyarakat
yang berbeda-beda. Tangga pertama yaitu mencerminkan kondisi mekanisme
partisipasi yang seakan-akan terjadi partisipasi dan ada kemurahatian
penyelenggara pemerintahan daerah untuk melibatakan masyarakat, namun
esensinya sebenarnya tidak terjadi keterlibatan masyarakat dalam beragam
bentuk, tangga kedua yaitu bisa diartikan tidak memberi peluang bagi
masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan. Masyarakat menerima
informasi kebijakan yang telah diambil. Mekanismenya ini sering berfungsi
sebagai sosialisasi kebijakan daerah. tangga ketiga yaitu Memberikan peluang
bagi masyarakat untuk untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya,
sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan
publik, akan tetapi anak tangga yang ketiga ini tidak bisa ditempatkan pada
posisi lebih tinggi karena pada dasarnya kewenangan masyarakat untuk
menentukan kebijakan selama proses kebijakan tetap tidak besar, tangga
partisipasi yang keempat memiliki mekanisme partisipasi yang berjalan baik
tetapi masih dimungkinkan adanya berbagai mekanisme partisipasi lain seperti,
hak inisiatif warga untuk mengajukan rancangan peraturan daerah, anak tangga
kelima, mekanismenya yaitu dapat menyusun kebijakn tertentu sekaligus
menjalankannya dengan berpedoman pada kebijakan strategis yang dibuat oleh
pemerintah, dan yang terakhir yaitu anak tangga yang keenam yang memiliki
mekanisme menunujukan kendali warga untuk menentukan siapa kepala dan
15

wakil kepala daerah, kendali warga atas isu kebijakan tertentu, yakni referendum
yang menunjukan kewenangan masyarakat untuk memutuskan apakah suatu
kebijakan dapat diberlakukan atau tidak.

b. Pengertian Musrenbang
Musrenbangkel merupakan forum tahunan tertinggi dalam penyusunan
dan penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP) pembangunan tingkat Kelurahan dan
rumusan Kegiatan Pembangunan Tahunan Anggaran berikutnya yang merupakan
cerminan aspirasi masyarakat tingkat Kelurahan dan mengikat semua pihak dalam
pembangunan (Indra Bastian 2007:110)
Menurut pasal Pasal 3 peraturan Walikota (perwali) Surakarta
Musrenbangkel berkedudukan sebagai forum tahunan stakeholders ditingkat
kelurahan dalam penyusunan dan penetapan rumusan kegiatan serta Daftar Skala
Prioritas kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RPJM Daerah dan
disinkronkan dengan Prioritas Pembangunan Daerah, sebagai rujukan bahan
penyelenggaraan musrenbangcam dan kegiatan pembangunan tahun berikutnya.
Menurut Saeful Muluk (2008:3) Musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang) kelurahan adalah “Forum musyawarah tahunan para pemangku
kepentingan (stakeholder) kelurahan untuk menyepakati Rencana Kerja Kelurahan
(Renja kelurahan) tahun anggaran berikutnya”.
Menurut Saeful Muluk (2008:3) Musrenbang adalah “Forum perencanaan
(program) yang diselenggarakan oleh lembaga publik yaitu pemerintah kelurahan
bekerjasama dengan warga dan para pemangku kepentingan lainya”.
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan Musrenbang adalah forum
tahunan tertinggi yang diselenggarakan pemerintah kelurahan untuk menyepakati
Rencana Kerja Kelurahan tahun anggaran berikutnya.

c. Pengertian Hak Konstitusional


Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia Konstitusi (Latin Constitution)
dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada
pemerintahan negara, biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam
16

kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas


politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi
nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum
termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban
pemerintahan negara pada umumnya, konstitusi pada umumnya merujuk pada
penjaminan Hak kepada warga masyarakatnya. (id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi)
diakses pada tanggal 27, januari 2012, jam 13:37.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa
konstitusi dibuat untuk mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam
negara, mengatur perlindungan konstitusional HAM, dan mengatur hubungan
antara penguasa dan rakyat.

d. Hak Konstitusional Warga Negara Dalam Pancasila dan UUD 1945


Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional
Warga Negara adalah :
1) Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak bagi Warga
Negara dan penduduk yaitu :
a) Pasal 27 ayat (1) yaitu “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ayat (2) menyatakan,
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Ayat (3) menyatakan, “Setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”.
b) Pasal 28 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang”.
2) Hak warga yang mencangkup Hak Asasi Manusia dapat dijabarkan sebagai
berikut :
a) Pasal 28A menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
17

b) Pasal 28B ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk


keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Ayat (2) menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi”.
c) Pasal 28C ayat (1) berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
demi kesejahteraan umat manusia”. Ayat (2) menyatakan, “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya”.
d) Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ayat (2) berbunyi,
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Ayat (3)
menyatakan, “Setiap warga berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”.
e) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
f) Pasal 28F menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi
setiap dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyimpan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
g) Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
18

sesuatu yang merupakan hak asasi”. Ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang
berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain”.
h) Pasal 28H ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini
juga diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang
asing yang merupakan tanggung jawab negara asalnya sendiri untuk
memberikan perlakuan khusus itu.
i) Pasal 28I ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuatu dengan
hati nuraninya”.
j) Pasal 28J ayat (2) menyatakan, ”Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nlai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
3) Hak yang memuat tentang memeluk suatu agama dalam pasal 29 ayat (2)
berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
4) Hak warga negara yang meliputi aspek pertahanan dan keamanan negara
tercantum dalam pasal 30 ayat (1) menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. “Ayat (2)
berbunyi, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasioanal Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
19

5) Hak warga negara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan termuat dalam
UUD 1945 pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan”. Ayat (2) menyatakan, “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintahan wajib membiayainya”. Ayat (3)
berbunyi, “Pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keamanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dalam undang-undang”. Ayat (4) menentukan, “Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Ayat (5) menyatakan “Pemerintahan memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia”.
6) Hak warga negara dalam Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Pasal 33 ayat (1) menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Ayat (2)
berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
Ayat (3) menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b) Pasal 34 ayat (1) menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara”. Ayat (2) berbunyi, “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan”. Ayat (3) menentukan, “Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
20

B. Hasil Penelitian yang Relevan.


Hasil penelitian yang relevan berfungsi sebagai penguat dan pendukung
dalam mengadakan penelitian, dalam hal ini penelitian yang relevan yaitu
penelitian dari Sri Ekawati (2010) dengan judul “Partisipasi perempuan dalam
musyawarah perencanaan pembangunan (studi deskriptif kualitatif tentang
partisipasi perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan di
Kelurahan Joyosuran, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta)” dalam
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa partsipasi perempuan dalam
Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Kelurahan tersebut sudah cukup
baik, namun dalam pelaksanaan masih terdapat kekurangan. Selain itu penelitian
yang relevan lainya yaitu penelitian dari Amar Beni Nugroho (2009) dengan
judul “Partisipasi Pemuda dalam Musyawarah Perancanaan Pembangunan di
Kelurahan Semanggi” yang menghasilkan bahwa tingkat partisipasi pemuda
dalam Musyawarah Perencanaan Pembanguna tersebut masih rendah

C. Kerangka Berfikir.

Musrenbang adalah forum musyawarah tahunan para pemangku


kepentingan (stakeholder) kelurahan untuk menyepakati Rencana Kerja Kelurahan
(Renja kelurahan) tahun anggaran berikutnya. Aturan pelaksanaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) diatur dalam Undang-Undang Nomor
25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang secara
teknis diatur dengan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang
Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang).
Peraturan Walikota (Perwali) Surakarta Nomor 15 tahun 2011 tentang
Pedoman Penyelenggaraan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Kelurahan, Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Kecamatan, Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Musyawarah Perencanaan
21

Pembangunan Kota, yang diawali di tingkat Kelurahan. Disebutkan dalam


Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) bahwa perempuan
diupayakan ikut berpartisipasi sebanyak 30%. Bahkan, perwakilan perempuan
harus dipastikan masuk ke dalam setiap pengiriman delegasi di setiap tahapan
Musrenbang yang lebih tinggi. Dengan partisipasi disetiap Musyawarah
Perencanan Pembangunan (Musrenbang) maka sesuai dengan perwali tersebut
partisipasi perempuan memang sangat diperlukan di kegiatan muyawarah dengan
tujuan untuk menciptakan keadilan dalam pembangunan daerah dengan kata lain
untuk mewujudkan responsive gender.
Komponen pokok pelaksanaan musrenbang adalah masyarakat,
pemerintah dan swasta. Di dalam forum Musrenbang tersebut, pemerintah
memberikan ruang kepada semua elemen dan struktur masyarakat, khususnya
perempuan untuk berpartisipasi, untuk menyampaikan aspirasinya dan
memperjuangkan hak-haknya sebagaimana telah diuraikan di dalam UUD 1945.
Sejauhmana partisipasi perempuan untuk mewujudkan hak
konstitusionalnya, akan dipengaruhi pula oleh komponen-komponen yang ada
disekitarnya yaitu komponen pemerintahan lokal setempat, komponen swasta,
komponen masyarakat secara luas, dan juga bahkan dari internal unsur
perempuan itu sendiri baik dari organisasi maupun perseorangan. Peserta dari
masyarakat terdiri dari laki-laki dan perempuan denga perbandingan antara laki-
laki dan peremouan yaitu 70:30 %. Partisipasi perempuan yang ideal di dalam
Musrenbang, akan menghasilkan kebijakan yang berspektif gender, sebagaimana
tertuang di dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan.Peran perempuan disini juga sebagai pihak
pengambil keputusan sebagai bentuk implementasi dalam pemenuhan hak
konstitusional warga negara diman setiap warga negara berhak ikut serta dalam
perencanan pembangunan, sehingga dalam pengambilan keputusan dalam
musyawarah perencanaan pembangunan juga harus memperhatikan kesetraan
gender di dalamnya.
22

pemerintah Laki-laki
70%

Musrenbang masyarakat
Partisipasi Perempuan
dalam pengambilan
swasta Perempuan keputusan
30%

Pemenuhan hak
konstitusional

Peni Peningkatan
Peran
Perempuan

ngkatan Peran
Perempuan

Produk kebijakan
yang responsive
gender/gender
mainstreaming

Gambar 1. Kerangka Berfikir


23

Anda mungkin juga menyukai