Anda di halaman 1dari 4

Perencanaan Partisipatif

Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang biasa
disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari
masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan
wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.

Perencanaan partisipatif saat ini mulai merambah ke tingkat makro atau lebih pada pengembangan
kebijakan, biasanya kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Non Pemerintah (NGO’s).
Selain itu perencanaan partisipatif banyak dilakukan di tingkat mikro seperti pada tingkat
masyarakat maupun di tingkat individu.

Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat
dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah mereka,
memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah,
mengambil keputusan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.

Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu (Conyers, 1991, 154-155)

1. Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-
proyek akan gagal.
2. Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau proram pembangunan jika
merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk
beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat
dilibatkan dalam proses pembangunan.

Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3 alasan mengapa harus
ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen, 1999:148)

1. Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan kemampuan dasar.
2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan mendukung klaim atas hak-hak
mereka, di bidang politik maupun ekonomi
3. Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks sosial.

Sejarah Partisitasi dalam Pembangunan

Pada tahun 1960-an, yang dimaksud dengan partisipasi adalah adanya transfer atau alih
pengetahuan atau teknologi dari luar untuk menjadikan orang atau masyarakat mampu menolong
dirinya sendiri.

Pada tahun 1970-an Partisipasi lebih dikenal sebagai usaha untuk mengentaskan kemiskinan dan
berkaitan dengan kases terhadap sumber-sumber pembangunan. Ada 3 perspektif besar:

1. Masyarakat berpartisipasi sebagai pihak yang menerima manfaat dari pembangunan. Partisipasi dilakukan
untuk masyarakat, umumnya masyarakat diundang untuk ditanyakan apa kebutuhan mereka yang nantinya
akan dimasukkan dalam program pembangunan.
2. Partisipasi dilihat sebagai suatu proses dan di kendalikan oleh orang-orang yang mengenalikan pembangunan.
Partisipasi ini berkaitan pula dengan demokrasi dan keadilan.
3. Partisipasi melibatkan bekerja dengan masyarakat daripada bekerja untuk mereka. Partisipasi bentuk ini lebih
melihat hubungan antara pelaksana pembangunan dan pemanfaan hasil pembangunan.

Pada tahun 1980-an Partisipasi dikenal dengan istilah Proyek dalam Masyarakat, dan ini
menyebabkan semakin dikenalnya partisipasi sebagai suatu pendekatan dalam proyek-proyek dan
program-program pembangunan. Terdapat 2 paradigma yang berkembang saat ini, yaitu:

1. Metode yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga seperti Stakeholder analysis, social analysis, beneficiary
assessment, logical framework analysis. Semua ini merupakan toolkits yang diterapkan oleh perencana sosial
untuk mempromosikan partisipasi ditingkat pemangku kepentingan dalam melakukan pengidentifikasian di
tingkat awal.
2. Metode-metode yang dipromosikan oleh pengembang metode partisipatori seperti PRA, Rapid Rural Appraisal,
Partisipatory Learning and Action, Partisipatory Appraisal and Learning Methods dan sebagainya yang
memungkina masyarakat untuk berbagi, mengenal dan menganalisa pengetahuan yang mereka miliki serta
kondisi mereka dan melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Pada tahun 1990-an Partisipasi lebih dilihat sebagai kemitraan, koordinasi atau kepemilikan dari
program dan adanya fungsi kontrol/ kendali dari masyarakat itu sendii terhadap sumber daya yang
mereka miliki. Pada dekade ini mulai ada perubahan paradigma mengenai apa yang disebut
masyarakat, mulai ada perubahan dari penerima manfaat dari pembangunan kepada pemangku
kepentingan, dengan asumsi kalau masyarakat disebut sebagai penerima manfaat sifatnya lebih
pasif dibandingkan dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan.

Pada tahun 2000-an Partisipasi mulai berubah yang dahulu hanya berkisar pada lingkungan mikro
saat ini mulai merambah ke tataran makro, dengan adanya partisipasi dalam penentuan atau
pembentukan kebijakan.

Tipologi Partisipasi Masyarakat atau Individu

Passive Participation, masyarakat berpartisipasi karena memang diharuskan untuk ikut serta dalam
proses pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk merubah.

Participation in information giving, partisipasi masyarakat hanya sebatas memberikan informasi


yang dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan. Namun masyarakat tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi mempengaruhi dalam
pembuatan pertanyaan, dan tidak ada kesempatan untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian
yang telah dilakukan.

Participation by consultation, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk konsultasi, ada pihak
luar sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan
merumuskan solusinya. Dalam proses konsultasi ini tidak ada pembagian dalam penentuan
keputusan, semua dikerjakan oleh pihak luar yang diberi mandat untuk mngerjakan ini.
Participation for material incentives, partisipasi ini lebih pada masyarakat memberikan sumber
daya yang mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian akan diganti dalam bentuk makanan,
uang, atau penggantian dalam bentuk materi lainnya.

Functional participation, partisipasi masyarakat terjadi dengan membentuk kelompok-kelompok


atau kepanitiaan yang diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.

Interactive participation, masyarakat dilibatkan dalam menganalisis dan perencanaan


pembangunan. Dalam tipe partisipasi ini, kelompok mungkin saja dapat dibentuk bersama-sama
dengan lembaga donor dan mempunyai tugas untuk mengendalikan dan memutuskan semua
permasalahan yang terjadi di tingkat lokal.

Self-mobilization, masyarakat secara mandiri berinisiatif untuk melakukan pembangunan tanpa ada
campur tangan dari pihak luar, kalau pun ada, peran pihak luar hanya sebatas membantu dalam
penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai fungsi kontrol penuh terhadap sumber daya yang
akan digunakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya.

Catalysing change, Partisipasi dengan membentuk agen perubah dalam masyarakat yang nantinya
dapat mengajak atau mempengaruhi masyarakatnya untuk melakukan perubahan.

Optimum Participation, lebih memfokuskan pada konteks dan tujuan dari pembangunan dan itu
akan turut menetukan bentuk dari partisipasi yang akan dipergunakan. Partisipasi akan optimal jika
turut memperhatikan secara detail pada siapa yang akan berpartisipasi karena tidak semua orang
dapat berpartisipasi, dan dengan metode ini pula dapat membantu menentukan strategi yang
optimal dalam pembangunan.

Manipulation, ada sejumlah partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan yang nyata, masyarakat
membentuk suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan
arah pembangunan.

Permasalahan dalam Perencanaan Partisipatif.

1. Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan dilakukan secara desentralisasi, dan
kegiatan pembangunan selalu diarahkan pada keadaan atau kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi
maka partisipasi masyarakat akan sulit terjadi karena masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kegiatan dirasa
tidak menarik minat mereka atau partisipasi mereka tidak berpengaruh pada rencana akhir.
2. Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai
gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya mereka pilih, maka tidak mengherankan apabila
masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain yang
sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara
pihak pemerintah dan masyarakat.
3. Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan dengan batas wilayah administratif
atau batas wilayah komunitas (adat). Terkadang masyarakat yang akan dibina dibatasi oleh wilayah
administratif (negara), namun pada kenyataannya masyarakat yang akan dibina mempunyai suatu ikatan
(batasan adat) lain yang turut menetukan luas wilayah mereka. Hal ini berkaitan dengan penentuan wilayah
kerja dan pelibatan partisipasi masyarakat.
4. Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang wakil masyarakat yang ditunjuk
sebagai penentu kebijakan atau dalam pembuatan perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen
yang ada di dalam masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen. Maka akan ada potensi
konflik apabila perwakilan yang ditunjuk tidak mengakomodir kepentingan masyarakat.
5. Adanya kesenjangan komunikasi antara perencana sosial dengan petugas lapangan yang bertugas
mengumpulkan informasi guna penyusunan perencanaan sosial. Ada usaha untuk melibatkan masyarakay lokal
dalam pengumpulan informasi namun tingkat kemampuan masyarakat lokal beragam dan terkadang tidak
sesuai dengan harapan para perencana.
6. Tidak terpenuhinya harapan juga turut menghambat adanya partisipasi msyarakat, seperti tidak
berpengaruhnya partisipasi mereka terhadap hasil pembangunan, adanya ekspektasi yang berlebih dari
masyarakat yang tidak terpenuhi, atau bahkan pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah
disusun secara bersama.
7. Permasalah lain yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif adalah adanya anggapan bahwa perencanaan
partisipatif adalah suatu kegiatan yang tidak efektif dan membuang-buang waktu. Memang perencanaan
partisipatif bukanlah suatu perkara yang mudah, karena melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan
membutuhkan waktu, uang dan tenaga yang tidak sedikit. Perencanaan partisipatif pun membutuhkan
kapasitas organisasi yang tidak kecil.
8. Ada konflik yang timbul antara kepentingan daerah atau lokal dengan kepentingan nasional. Hal ini terjadi
karena adanya perbedaan sudut pandang, disatu sisi pemerintah pusat memandang bahwa hal tertentu
merupakan prioritas utama, namun disatu sisi pemerintah daerah atau masyarakat hal tersebut bukanlah
prioritas utama.

Anda mungkin juga menyukai