PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan adalah suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus dalam rangka
memperbaiki indikator sosial maupun ekonomi pada suatu wilayah dari waktu ke waktu
(Gunawan Sumodiningrat,2009: 6). Menurut Undang-undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dijelaskan bahwasanya dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional dan daerah mengamanatkan adanya partisipasi dan keterlibatan
masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
Perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya harus berorientasi ke bawah dan
melibatkan masyarakat luas. Dengan cara ini pemerintah makin mampu menyerap aspirasi
masyarakat banyak, sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat memberdayakan dan
memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Rakyat harus menjadi pelaku dalam pembangunan, bukan
hanya menjadi obyek pembangunan. Dalam hal ini masyarakat perlu dibina dan dipersiapkan
untuk dapat merumuskan sendiri permasalahan yang dihadapi, merencanakan langkah-langkah
yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah direncanakan, serta menjaga program yang
telah direncanakan dan dilaksanakan.
Pandangan mengenai pembangunan sekarang menempatkan masyarakat sebagai pelaku
utama pembangunan. Artinya, pemerintah tidak lagi sebagai penyedia dan pelaksana, melainkan
lebih berperan sebagai fasilitator dan katalisator dari dinamika pembangunan, sehingga dari
mulai perencanaan hingga pelaksanaan, masyarakat mempunyai hak untuk terlibat dan
memberikan masukan serta mengambil keputusan, dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya,
salah satunya melalui proses musrenbang.
Pendekatan partisipatif, dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk
mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Dimana proses partisipatif ini akan
tercermin dalam pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang
diharapkan mampu untuk mengakomudir dan memahami apa yang sebenarnya yang menjadi
kebutuhan dan aspirasi masyarakat untuk diagendakan dalam pembangunan daerah yang sedang
dan akan berlangsung.
Namun sebelum partisipasi masyarakat dimulai diperlukan adanya pemberdayaan yang
mampu meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang akan dilakukan
pemerintah atau pengelola program. Arstein (1969) mengemukakan delapan tangga atau
tingkatan partisipasi, yaitu Manipulation, Therapy, Informing, Consultation, Placation,
Partnership, Delegated Power dan Citizen Control. Salah satu tingkat partisipasi tersebut adalah
manipulation atau manipulasi. Manipulasi merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat
dalam sebuah pembangunan akan tetapi partisipasi tersebut justru disalah artikan oleh pengelola
program yang hanya mengumpulkan tanda tangan dan dimanfaatkan dukungannya untuk
kepentingan pengelola program itu sendiri serta jarang terjadinya dialog antara pengelola
program dan masyarakat. Dengan demikian diharapkan hal tersebut tidak terjadi karena
merugikan masyarakat serta menghilangkan hak masyarakat dalam ikut berpartisipasi dalam
setiap pembangunan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini antara lain:
1.2.1 Siapa sajakah yang terlibat dalam proses partisipasi Manipulasi pada studi kasus
Pembangunan SPBU Kedoya Utara, Tanah Kusir, dan Cempaka Putih, Jakarta yang
ditulis oleh Reiza Patters (2012)?
1.2.2 Apa Teknik dan Metode yang digunakan dalam proses partisipasi tersebut?
1.2.3 Bagaimana proses terjadinya manipulasi pada kasus tersebut?
1.2.4 Partisipasi macam apa yang digunakan dalam pembangunan SPBU tersebut?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini antara lain:
1.3.1 Untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam proses partisipasi Manipulasi pada
studi kasus Pembangunan SPBU Kedoya Utara, Tanah Kusir, dan Cempaka Putih,
Jakarta yang ditulis oleh (2012)?
1.3.2 Untuk mengetahui teknik dan metode yang digunakan dalam partisipasi Manipulasi dalam
kasus tersebut.
1.3.3 Untuk mengetahui proses terjadinya proses manipulasi pada kasus tersebut
1.3.4 Untuk mengetahui macam partisipasi yang digunakan dalam pembangunan SPBU
1.4 Ruang Lingkup Studi
1.4.1 Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi yang akan dibahas dalam penulisan ini dibatasi pada beberapa
aspek yang mempunyai pengaruh dan peran yang penting dalam penentuan partisipasi
masyarakat meliputi metode dan teknik perencanaan partisipatif, proses terjadinya manipulasi,
pihak yang terlibat serta macam partisipasi yang digunakan dalam studi kasus ini.
1.5 Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yang digunakan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.5.1 BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas mengenai gambaran umum isi tulisan meliputi latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup studi, serta sistematika pembahasan.
1.5.2 BAB II TINJAUAN TEORI
Dalam bab ini dibahas mengenai pemberdayaan yang dilakukan sebelum mencapai tahap
partisipasi serta dibahas mengenai parrtisipasi itu sendiri.
1.5.3 BAB III KASUS
Dalam bab ini dibahas mengenai studi kasus yang digunakan dalam makalah ini.
1.5.3 BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam proses
partisipasi, teknik dan metode yang digunakan, proses terjadinya proses manipulasi serta
macam partisipasi yang digunakan dalam kasus tersebut.
1.5.4 BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan dan analisa yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pemberdayaan
2.1.1 Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan social, suatu pembebasan kemampuan
pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Pengertian pemberdayaan yang lain
mengacu pada kata empowerment, yang berarti member dayakan, memberi power atau kuasa,
kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Pemberdayaan pada hakekatnya diperlukan
sebelum masyarakat turun dan berpartisipasi dalam suatu pembangunan agar masyarakat berdaya
dan mampu mengatasi masalah mereka sendiri dalam bermasyarakat dan pembangunan. Orang-
orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan
merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi
pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung
pada pertolongan dari hubungan eksternal.
2.1.2 Proses Pemberdayaan
Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan
yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut
dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
Kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Ciri-
ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
a. Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi
perubahan kedepan)
b. Mampu mengarahkan dirinya sendiri
c. Memiliki kekuatan untuk berunding
d. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan
e. Bertanggungjawab atas tindakannya
Masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,
berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai
alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan
menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang
melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara
berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
2.1.3 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Konsekuensi dan tanggung jawab utama dalam program pembangunan melalui
pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau
kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi,
kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-
prinsip pemberdayaan.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan
masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian
tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai
dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat
demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau
kemampuan yang dimiliki.
Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan
afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya
merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam
rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap
perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitive terhadap nilai-
nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh
individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan
perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki
masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivita
pembangunan.
2.2 Partisipasi
2.2.1 Pengertian Partisipasi
Menurut undang-undang no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, Pasal 2 ayat 4 huruf D bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat untuk
mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
Keikutsertaan masyarakat dalam partisipasi masyarakat selain untuk mengakomodasi
kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan juga untuk memecahkan
permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat berarti keikutsertaan seluruh anggota
masyarakat dalam memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam hal ini, masyarakat sendirilah
yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasikan program-program
masalah masyarak tersebut. Peran seorang Planner maupun Institusi hanya sekadar fasilitator
yang memotivasi dan membimbing saja.
Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif
merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku yang akan membawa pada
peningkatan proses pambangunan. Ada enam jenis tafsiran mengenai partisipasi masyarakat
tersebut yaitu:
a. Kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek atau program pembangunan tanpa ikut
serta dalam pengambil keputusan.
b. Usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan
kemampuan menangapi proyek-proyek atau program-program pembangunan.
c. Proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil
inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
d. Penetapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan
persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek/program agar memperoleh informasi
mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.
e. Keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri.
f. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.
Partisipasi masyarakat perlu adanya masyarakat yang sukarela terlibat dalamnya.
Kesukarelaan itu didasari oleh determinan dan kesadaran diri masyarakat dalam program
pembangunan. Ada cara untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat seperti survei dan konsultasi
lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, memanfaatkan petugas lapangan
dengan maksut menyerap berbagai informasi tambahan yang dibutuhkan dalam perencanaan,
perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang semakin besar
kepada masyarakat untuk berpartisipasi, perencanaan melalui pemerintah local, dan
menggunakan strategi pembangunan komunitas atau yang biasa disebut dengan community
development.
Definisi lain dari partisipasi masyarakat secara umum adalah kerjasama yang erat antara
perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan
hasil pembangunan yang telah dicapai.
2.2.2 Konsep Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan
wewenang yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai
persoalan. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan masyarakat
dalam kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan
yang lebih baik dalam suatu komunitas dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi
masyarakat untuk ikut memberikan kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih
efektif, efesien, dan berkelanjutan. Arnstein (1969) menjelaskan partisipasi sebagai arti dimana
warga negara dapat mempengaruhi perubahan sosial penting, yang dapat membuat mereka
berbagi manfaat dari masyarakat atas. Dia mencirikan delapan anak tangga yaitu manipulasi,
terapi, memberi tahu, konsultasi, penentraman, kerjasama, pelimpahan kekuasaan, dan kontrol
warga negara.
Salah satu persyaratan utama keberhasilan proses pembangunan adalah pertisipasi
masyarakat, namun terdapat beberapa hambatan yang dihadapi di lapangan dalam proses
melaksanakan pembangunan yang partisipatif. Hambatan itu timbul dikarena pihak perencana
dan pelaksana pembangunan (pemerintah) belum memahami makna sebenarnya dari konsep
partisipasi. Definisi partisipasi yang berlaku di lingkungan aparat perencana dan pelaksana
pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program
pemerintah yang dirancang dan tujuannya ditentukan oleh pemerintah. Proyek-proyek
pembangunan yang berasal dari pemerintah diistilahkan sebagai proyek pembangunan yang
dibutuhkan masyarakat, sedangkan proyek pembangunan yang diusulkan masayrakat dianggap
sebagai keinginan, karena itu proyek ini menjadi prioritas yang rendah dari pemerintah. Definisi
inilah yang berlaku secara universal tentang partisipasi. Oleh karena itu para perencana dan
pelaksana pembangunan dalam hal ini pemerintah harus memahami secara benar konsep-konsep
untuk mendukung lahirnya partisipasi masyarakat dari bawah agar mencapai hasil-hasil
pembangunan yang dapat berkelanjutan.
Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam partisipasi karena pendekatan pembangunan
partisipasi harus dimulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan
mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat, dan memberikan sarana yang perlu bagi masyarakat supaya dapat
mengembangkan diri. Pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanan dan pelaksana
program atau proyek yang akan mewarnai hidup masyarakat, sehingga dengan demikian dapatlah
dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai dan
pengetahuannya ikut dipertimangkan secara penuh. Membuat umpan balik (feed back) yang
hakekatnya merupakan bagian tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan. Konsep partisipasi
itu sendiri telahlama menjadi bahan kajian. Kata “Partisipasi” dan “ partisipatoris” merupakan
dua kata yang sangat sering digunakan dalam pembangunan. keduanya memiliki banyak makna
yang berbeda.
2.2.3 Hambatan dan Kendala Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan
Hambatan-hambatan yang dapat ditemui dalam pelaksanaan partisipasi oleh masyarakat
yang bersangkutan, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Kemiskinan
Hambatan ini dapat merupakan faktor yang mendasar karena dengan kemiskinan
seseorang akan berpikir lebih banyak untuk melakukan sesuatu yang mungkin saja tidak
menguntungkan bagi diri atau kelompoknya.
b. Pola masyarakat yang heterogen
Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya persaingan dan prasangka dalam sistem
masyarakat yang ada
c. Sistem birokrasi
Faktor ini dapat dijumpai di lingkungan pemerintahan. Seringkali birokrasi yang ada
melampaui standar serta terpaku pada prosedur formal yang komplek.
Beberapa hal yang menyebabkan terhambatnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan yaitu:
a. Belum ada satu kesepahaman konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana
pembangunan. Definisi yang berlaku di lingkungan perencana dan pelaksana
pembangunan, partisipasi diartikan sebagai kemauan rakyat untuk mendukung secara
mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh
pemerintah.
b. Reaksi balik yang datang dari masyarakat sebagai akibat dari diberlakukannya ideologi
developmentalisme di negara Indonesia. Pengamanan yang ketat terhadap pembangunan
menimbulkan reaksi balik dari masyarakat yang merugikan usaha membangkitkan
kemauan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu
program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada
juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia,
terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Partisipasi yang tumbuh dalam
masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan
seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:
a. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-
kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan
keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih
banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.
b. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada
dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak
masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan
tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan
emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik.
c. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap
dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang
diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.
d. Pekerjaan dan penghasilan
Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan
menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang
baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk
berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan
perekonomian.
e. Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi
dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama
ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung
lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat
berasal dari unsur luar atau lingkungan. ada 3 poin yang dapat mempengaruhi partisipasi
masyarakat yang berasal dari luar atau lingkungan, yaitu:
a. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat
dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di
luarnya
b. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan,
permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta
mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat
c. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial,
sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi
sosial
Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat
atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan
berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.
2.2.5 Tingkatan Partisipasi
Sherry Arnstein adalah yang pertama kali mendefinisikan strategi partisipasi yang
didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah
(agency). Dengan pernyataannya bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan
masyarakat (citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan tangga partisipasi
dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada
distribusi kekuasaan.
1. Manipulation
Partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Pengelola
program akan meminta anggota komunitas yaitu orang yang berpengaruh untuk mengumpulkan
tanda tangan warga sebagai wujud kesediaan dan dukungan warga terhadap program. Pada
tangga partisipasi ini relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog. Sifatnya formalitas semata dan
dimanfaatkan “dukungannya”.
2. Therapy
Anggota komunitas lokal memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi
jawaban anggota komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan, merupakan kegiatan
dengar pendapat tetapi tetap sama sekali tidak dapat mempengaruhi program yang sedang
berjalan. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari
penyelenggara program dan hanya satu arah. Pemegang kekuasaan menganggap
ketidakberdayaan sebagai peyakit mental, dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai
kegiatan, namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya bukan
menemukan peyebab lukanya.
3. Informing
Pemberitahuan (informing) adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara
program sekedar melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran
program. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah
dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat
tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back). Apalagi jika informasi
disampaikan pada akhir perencanaan. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan
media pemberitaan, pamflet dan poster.
4. Consultation
Konsultasi (consultation), anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dari
semua pihak (stakeholder terkait program) sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan
tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan. Model ini memberikan kesempatan dan hak kepada
wakil dari penduduk lokal untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya (sistem
perwakilan). Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah
ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi
masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan
ataupun perubahan akan terjadi (partisipasi semu). Alat yang digunakan yakni jajak pendapat,
pertemuan warga, dengar pendapat.
5. Placation
Komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan
penyelenggara program. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan
usulan kegiatan. Namun penyelenggara program tetap menahan kewenangan untuk menilai
kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Pada tahap ini pula diperkenalkan adanya suatu
bentuk partisipasi dengan materi, artinya masyarakat diberi insentif untuk kepentingan
perusahaan atau pemerintah, ataupun instansi terkait. Seringkali hanya beberapa tokoh di
komunitas yang mendapat insentif, sehingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan.
Hal ini dilakukan agar warga yang telah mendapat insentif segan untuk menentang program.
6. Partnership
Kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik
(masyarakat maupun stakeholder lainya), mewujudkan keputusan bersama. Suatu bentuk
partisipasi yang melibatkan tokoh komunitas dan atau ditambah lagi oleh warga komunitas,
“duduk berdampingan” dengan penyelenggara dan stakeholder program bersama-sama
merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas. Pemegang kekuasaan dan
masyarakat sepakat untuk bersama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan sehingga
dapat berjalan efektif jika masyarakat terorganisir.
7. Delegated Power
Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana
anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. Anggota komunitas
diberikan kekuasaan untuk melaksanakan sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal
bagi pelaksanaan program bahkan pengutamaan pembuatan proposal oleh komunitas yang
bersangkutan dengan program itu sendiri.
8. Citizen Control
Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk
independensi dari monitoring oleh komunitas lokal. Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat
sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama,
dan tanpa campur tangan pihak penyelenggara program. Pada tingkatan ini, masyarakat
mengingnkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan
diberikan kepada mereka, bertanggungjawab penuh terhadap kebijakan dan aspek manajerial dan
bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan
demikian masyarakat bisa berhubungan langsung dengan sumber dana.
Gambar 2.1.1 Tangga Partisipasi menurut Arnstein
Beberapa kelompok warga, dari Kedoya Utara, Tanah Kusir, dan Cempaka Putih, Jakarta,
meradang, menuyul adanya kebijakan pemerintah daerah yang dianggap mengabaikan peraturan
dan perlindungan warga dalam pendirian stasiun pengisian bahan bakar umum. Padahal pendirian
lima SPBU sebenarnya ditolak warga yang bermukim di daerah permukiman tersebut.
Setelah dapat informasi dari perusahaan (Pertamina), Chaidir Lawaf, Ketua RW 08,
Cempaka Putih, Jakarta Pusat buat surat edaran ke masyarakat untuk mendapat persetujuan.
Ternyata, menurut Chaidir, hampir semua warga menolak. Ia kemudian mengirimkan surat ke
Wali Kota Jakarta Pusat pada 15 Mei 2010 yang berisi penolakan warga terhadap rencana
pendirian SPBU di tengah pemukiman mereka. Anehnya, meski ada penolakan, izin mendirikan
bangunan (IMB) tetap dikeluarkan pemkot pada 7 September 2010.
Hal serupa dikemukakan Elisabeth, warga Kedoya Utara. Saat sosialisasi dilakukan
Pemkot Jakarta Barat dan pihak perusahaan Total Oil Indonesia, warga menyatakan menolak.
Kemudian mereka datang lagi dan meminta warga yang tidak setuju menandatangani surat.
Warga kemudian menandatangani surat pernyataan yang ternyata berjudul surat persetujuan.
Menurut Dian Tri Irawati, Koordinator Rujak Center for Urban Studies, cara manipulasi
persetujuan warga sering dipakai untuk mendapatkan IMB dan izin operasi. Dia mengungkapkan,
di Cempaka Putih, IMB dibuat berdasarkan tanda tangan persetujuan warga dari luar wilayah
tersebut. Padahal, rencana pembangunan SPBU mensyaratkan adanya surat persetujuan warga
sekitar terkait izin gangguan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Tahun 1926 tentang
Gangguan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)Nomor 27 Tahun 2009.
Dian menjelaskan, ada pola yang sama dalam proses keluarnya izin pendirian SPBU di
tengah permukiman. Pola pertama adalah warga tidak dilibatkan dalam perencanaan SPBU
terutama dalam hal persetujuan yang diatur Permendagri No 27 Tahun 2009. Kalaupun warga
menolak, persetujuan masih bisa dimanipulasi.
Pola kedua adalah adanya ketidakjelasan informasi. Warga diberikan informasi yang tidak
jelas dari dinas-dinas terkait saat meminta kejelasan informasi tentang rencana pendirian SPBU.
Pola berikutnya adalah komunikasi satu arah dari pihak pemerintah ke warga. Sosialisasi
pendirian SPBU umumnya merupakan penegasan kebijakan yang diambil pemerintah, bukan lagi
dialog untuk mendengarkan pendapat warga.
Bersamaan dengan berlakunya UU tentang Kebebasan Informasi Publik No. 14 tahun
2008, warga sebenarnya memiliki alat berupa dasar hukum untuk memperoleh informasi publik.
Melalui UU tersebut, warga berhak meminta informasi dan pemerintah atau badan hukum lainnya
berkewajiban untuk menyediakan informasi yang dimaksud, kecuali informasi yang dikecualikan.
Prinsip dari UU Kebebasan Informasi Publik kemudian dicoba diterapkan oleh kelompok
warga terkait dengan masalah yang dialaminya. Pengajuan pertanyaan baik secara lisan atau
tertulis ditujukan ke berbagai instansi pemerintah yang berwenang atas permasalahan yang
dialami oleh warga.
Di Jakarta terdapat sekitar lima SPBU di tengah permukiman penduduk. Selain di wilayah
yang telah disebutkan, terdapat dua SPBU lainnya di Mangga Besar dan Tanjung Barat. Gugatan
warga di Pengadilan Tata Usaha Negara umumnya tidak mendatangkan hasil. Hanya SPBU di
Tanah Kusir yang dimenangkan warga. Warga berharap izin pendirian dan izin operasi dicabut
pemerintah kota terkait karena menyalahi aturan pendirian dan mengancam kehidupan warga.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam kasus ini pemerintah dan pihak pertamina tidak melibatkan masyarakat dalam hal
pengambilan keputusan dalam pembangunan SPBU. Warga Kedoya utara hanya dilibatkan dalam
penandatangan surat izin pembangunan SPBU, itupun sebagian besar warga tidak setuju atsa
pembangunan SPBU dikedoya utara. Akan tetapi pihak pertamina tetap saja melanjutkan
pembangunan SPBU tersebut. Bentuk Partisipasi dalam kasus ini lebih mengarah ke top down
karena pemerintah yang membuat keputusan dan warga hanya dilibatkan dalam proses tanda
tangan. Terlihat bahwa pihak yang terlibat dalam partisipasi ini merupakan Pemerintah, pihak
pertamina dan warga kedoya utara. Meskipun keterlibatan warga kedoya utara dalam hal ini tidak
dilibatkan sepenuhnya oleh pemerintah. Awal dari proses manipulasi ini dapat terjadi karena
terdapat tiga pola yaitu pola pertama adalah warga tidak dilibatkan dalam perencanaan SPBU
terutama dalam hal persetujuan yang diatur Permendagri No 27 Tahun 2009. Pola kedua adalah
adanya ketidakjelasan informasi. Warga diberikan informasi yang tidak jelas dari dinas-dinas
terkait saat meminta kejelasan informasi tentang rencana pendirian SPBU. Pola berikutnya adalah
komunikasi satu arah dari pihak pemerintah ke warga. Akibat dari adanya hal tersebut warga
kedoya utara merasa dirugikan karena pembangunan SPBU tersebut menyalahi aturan sebab
dibangun dekat dengan permukiman warga serta menimbulkan aksi protes dari warga kedoya
utara.
Daftar Pustaka