Anda di halaman 1dari 28

BUKU PANDUAN

PENGUATAN PARTISIPASI
MASYARAKAT

PERFORM PROJECT
PENGANTAR
Berubah (change), memang bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan.
Apalagi sistim, tradisi, dan prilaku sudah tertanam dan mengakar sekian lama.
Perubahan dapat terjadi karena ada pihak yang bersedia menjadi agen
perubahan (agent of change). Dan disadari atau tidak, kita semua yang memiliki
kesempatan untuk bekerja di PERFORM Project (khususnya PDPP) adalah agen
perubahan di banyak daerah.

Satu perubahan besar yang difasilitasi oleh PDPP adalah dalam menggugah,
mendorong, serta mengawal para pelaku pembangunan (Pemerintah, Ornop,
Swasta, dan Masyarakat) untuk dapat bekerja sama dalam merencanakan
sampai menentukan perbaikan kualitas hidup mereka sendiri. Suatu proses
pengelolaan pembangunan yang partisipatif.

Konsep partisipasi (bukan mobilisasi) masyarakat merupakan hal baru yang


terus berkembang di Indonesia. Dibutuhkan berbagai inovasi dan inisiatif untuk
mengembangkan konsep tersebut, yang nantinya dapat bermanfaat secara luas.
Salah satu inisiatif tersebut adalah berbentuk “Buku Panduan Penguatan
Partisipasi Masyarakat”.

Buku ini tidak diharapkan untuk menjadi Pedoman Teknis yang harus diikuti
oleh para Community Development Specialist atau PDPP Local Coordinator
dalam memfasilitasi proses partisipasi masyarakat. Akan tetapi, lebih
dimaksudkan sebagai referensi untuk membantu mereka dalam merencanakan
sampai dengan mengevaluasi proses partisipasi masyarakat yang mereka
fasilitasi.

Buku ini disusun dengan didasarkan pada pengalaman pribadi penulis dan
informasi mengenai partisipasi masyarakat baik di Indonesia maupun
mancanegara yang diperoleh dari berbagai literatur dan media. Oleh karena itu,
belum tentu strategi-strategi yang ditawarkan dapat seluruhnya sesuai dengan
kebutuhan yang ada. Berbagai penyusaian dan revisi terhadap strategi-strategi
yang ditulis dalam buku ini dengan kondisi di lapangan, sangatlah dihargai.

Terima Kasih,

Mohammad Najib
Civil Society Support Coordinator – PERFORM Project (USAID)
Wisma Amex, lt.2 - Jl. Melawai Raya No. 7
Jakarta 12160
Tel: (021) 7248467 & Fax: (021) 7205353
najib@indo.net.id

1
BUKU PANDUAN PENGUATAN
PARTISIPASI MASYARAKAT

BAB I: PENDAHULUAN
A. Kebutuhan Partisipasi Publik
Kehidupan demokrasi dan desentralisasi yang mulai berkembang di
Indonesia saat ini, memberikan tantangan kepada upaya untuk membangun
serta melakukan berbagai macam cara yang efektif dalam memulihkan
kondisi krisis multidimensi. Tantangan-tantangan tersebut akan dapat lebih
mudah dicapai, bila masyarakat melalui organisasi masyarakat sipil
diberdayakan untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengelolaan
pembangunan.

Untuk memahami partisipasi juga berarti berusaha memahami kekuasaan


(power). Kekuasaan terletak pada siapa yang memiliki informasi dan uang.
Juga tergantung kepada kemampuan dan rasa percaya diri. Banyak lembaga
tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berpartisipasi karena
ketakutan akan hilangnya kekuasaan tersebut. Mereka meyakini kekuasaan
itu hanya sedikit dan membaginya dengan pihak lain berarti mengurangi
kekuasaan yang dimilikinya. Akan tetapi, banyak situasi dimana dengan
bekerja sama memberikan kesempatan kepada setiap pihak untuk
memperoleh lebih banyak dari apa yang mereka miliki. Disinilah manfaat
dari partisipasi.

Pemulihan krisis adalah suatu proses kerjasama yang menuntut aksi kongkrit
dari pemerintah dan ornop. Pelibatan masyarakat dalam proses tersebut
dapat memberikan manfaat kepada masing-masing pihak dan juga lebih
penting lagi, dapat bermanfaat kepada rakyat luas sekalipun.

Partisipasi masyarakat dalam upaya pemulihan krisis dapat bermanfaat


kepada masyarakat itu sendiri, karena menyediakan ruang bagi setiap
individu untuk turut serta dalam proses pengambilan kebijakan. Dan yang
lebih penting lagi, partisipasi masyarakat juga dapat memberdayakan agar
mereka dapat memberikan kontribusinya pada berbagai kondisi kongkrit di
negara ini.

2
Banyak manfaat yang dapat diperoleh pemerintah dari pelibatan masyarakat.
Masyarakat memiliki informasi dan pemahaman langsung mengenai kondisi
krisis di komunitasnya. Dengan mendorong masyarakat untuk
menginformasikan apa yang mereka ketahui dan pahami, pemerintah dapat
menciptakan berbagai kebijakan yang lebih tanggap serta mampu
mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari kebijakan-
kebijakan tersebut. Dengan partisipasi, masyarakat dapat pula berkontribusi
dalam memantau serta mengevaluasi pelaksanaan suatu kebijakan.

Jika masyarakat dilibatkan dalam seluruh proses pengambilan keputusan,


kepedulian mereka mungkin akan terpenuhi pada saat perencanaan dimana
perubahan dapat lebih mudah dilakukan, dibandingkan pada akhir proses
dimana perubahan kecil berdampak pada biaya serta waktu. .

B. Peran Publik
Masyarakat adalah salah satu sumber daya terbesar yang sangat memahami
potensi dan masalah yang ada, lebih dari pemerintah sekalipun. Karena
beragamnya aktivitas yang dilakukan, setiap dari mereka memiliki keunikan
dan kekuatan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, agar kebijakan pembangunan
dapat sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, maka masyarakat
harus memiliki kesempatan dalam menyuarakan posisinya terhadap
berbagai perencanaan, kebijakan dan landasan hukum yang akan dan telah
ditetapkan.

Segala bentuk partisipasi masyarakat akan dapat lebih efektif bila berbagai
ragam lembaga dan keahlian yang ada di masyarakat digabungkan dalam
satu wadah atau lainnya. Jika masyarakat sipil dapat mengorganisasikan
serta bekerjasama sesamanya, maka mereka akan mampu menyatukan
berbagai kekuatan, kemampuan, keahlian dan juga keuangan. Dengan
pengorganisasian masyarakat sipil, maka pemerintah tidak akan mampu
untuk tidak peduli terhadap mereka serta peran yang dimilikinya dalam
mempengaruhi kehidupan sosial dan politik.

Adapun dasar politik dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan


pembangunan setidaknya telah diatur dalam:

1. UUD 1945, Amandemen ke-2, Pasal 28F, Agustus 2000: “setiap orang
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpang,
mengolah dan menyampaikan informasi”.
2. UU no. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 92 ayat 1,
yang menyatakan: Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan
Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat
dan pihak swasta; sedangkan ayat 2 mengungkapkan bahwa

3
pengikutsertaaan masyarakat, sebagaimana yang dimaksud ayat (1)
merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
perkotaan. Pada penjelasan pasal 92 ayat (1) dinyatakan: Pemerintah
Daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan untuk
menciptakan sinergi Pemerintah daerah, masyarakat dan pihak
swasta.
3. UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN:
“Masyarakat berhak untuk mencari, memperoleh dan memberikan
informasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, dan berhak
untuk menyampaikan pendapat dan masukan terhadap kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan”.
4. PP no. 96/96 tentang PSM dalam Penataan Ruang
5. Permendagri no. 5/98 tentang PSM dalam Penataan Ruang Propinsi
dan Kabupaten/Kota

BAB II: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SIPIL MELALUI PDPP


Melalui bantuan pendanaan (grant) dari USAID, Pemerintah Indonesia telah
menyetujui persiapan dan penerapan Proyek Perencanaan Pembangunan Jangka
Menengah secara Partisipatif yang akan membantu 30 kabupaten/kota di
Indonesia dengan menggunakan model PDPP. Termasuk di dalamnya adalah
membangun kapasitas masyarakat sipil dalam mengidentifikasi
program/proyek pembangunan berdasarkan prioritas komunitas, menjamin
adanya pemantauan terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan,
menjamin terwujudnya komunikasi antara pemerintah, DPRD dan masyarakat
secara efektif dan menghubungkan perencanaan dengan proses
penganggarannya.

Pelaku utama dalam PDPP adalah pemerintah daerah, dimana mereka


diharapkan dapat menginisiasi berbagai pendekatan perencanaan pembangunan
yang lebih transparan, partisipatif dan bertanggung-gugat (akuntabel).
Pemerintah daerah juga diharapkan dapat berhubungan dengan perwakilan dari
masyarakat sipil pada setiap tahapan proses, sehingga pada tahap perumusan
berbagai prioritas sektor dapat diketahui, pada tahap pelaksanaannya dapat
berkelanjutan karena kepedulian masyarakat terakomodasi dan akuntabilitas
pemerintah dapat ditingkatkan karena pemantauan oleh para pelaku non-
pemerintah.

Salah satu aktifitas penting dalam PDPP, adalah mendorong partisipasi


masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Partisipasi merupakan
fenomena baru dalam proses pengambilan kebijakan di Indonesia. Dalam
berbagai hal, “peran masyarakat dalam pembangunan” seringkali tidak
dihiraukan dan tidak dianggap penting. Banyak pemerintah daerah tidak

4
mengetahui bagaimana cara untuk mendorong sekaligus membangun peran
masyarakat sipil agar mampu mempengaruhi proses pengambilan kebijakan. Di
lain pihak, banyak lembaga non-pemerintah memiliki sangat sedikit
pengetahuan serta pengalaman untuk mendorong dan terlibat dalam proses
perencanaan pembangunan. Seringkali mereka menyuarakan komitmen
terhadap partisipasi, meskipun pemahaman terhadap makna sebenarnya kurang
dikuasainya.

Secara umum, beberapa masalah yang menghambat partisipasi masyarakat


antara lain adalah:

1. Kurangnya kemauan politik (political will) dari pemerintah. Bila


pemerintah secara politis kurang mendukung dan tidak serius
(committed), karena kekhawatiran bahwa kekuasaan dan pengaruh mereka
akan berkurang, maka proses partisipasi yang setengah-setengah ini akan
mengakibatkan timbulnya rasa frustasi dari para pelaku lainnya yang
terlibat.
2. Minimnya pengetahuan pemerintah tentang kekuatan, kegiatan, dan
kapasitas masyarakat sipil, sehingga menyebabkan kebingungan dalam
menentukan keterwakilannya.
3. Minimnya rasa saling percaya diantara para pelaku. Kepercayaan
terhadap kemauan (willingnes) maupun kemampuan (capacity) sesama
pelaku adalah merupakan basis dari dialog dan kerjasama yang akan
mereka lakukan.
4. Perbedaan kepentingan yang tidak dapat dikompromikan. Setiap pelaku,
kelompok, maupun individu pasti memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Hambatan akan dihadapi apabila masing-masing pelaku tidak mau
ataupun mampu berkompromi dalam menyesuaikan kepentingan-
kepentingan mereka.
5. Perbedaan posisi tawar (bargaining powers) masing-masing pelaku. Untuk
mengharapkan agar dialog dan kerjasama dapat dilakukan secara
demokratis dan menghasilkan konsesus yang disepakati bersama, maka
para pelaku harus memiliki posisi tawar yang seimbang. Harus dihindari
adanya dominasi dari suatu kelompok atau pelaku kepada lainnya.
6. Perbedaan persepsi diantara para pelaku mengenai bentuk, mekanisme,
serta proses partisipasi itu sendiri. Dengan tidak adanya kesepahaman
diantara masing-masing pelaku mengenai hal-hal tersebut, maka yang
akan terjadi adalah ketidakjelasan tujuan dari proses partisipasi yang
mereka jalani.
7. Minimnya transparansi. Sangatlah tidak mungkin untuk mengharapkan
timbulnya rasa saling percaya, bila masing-masing pelaku tidak mampu
untuk bersikap terbuka (transparan). Minimnya transparansi akan dapat
berdampak kepada matinya sebuah proses partisipasi.

5
8. Ketidakmampuan dalam mengorganisasikan partisipasi. Bila proses
partisipasi tidak dikelola secara baik dan tidak didukung oleh
ketersediaan dana yang memadai, maka proses partisipasi akan terkesan
sebagai kegiatan yang mubazir.

Menyadari akan berbagai hambatan di atas, maka pemberdayaan masyarakat


sipil untuk dapat berpartisipasi dalam lingkup PDPP mengharuskan adanya
strategi yang terencana dan terimplementasikan dengan baik.

Dari beberapa studi evaluasi, belum dapat menunjukkan bentuk, cakupan dan
strategi partisipasi yang paling efektif untuk bermacam kondisi dan
proyek/program. Dan perlu untuk diketahui bahwa, tidak ada metode
partisipasi yang benar atau salah. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan
adalah proses yang terus berlanjut, dimana setiap pelaku akan saling belajar,
mengadopsi berbagai pendekatan yang mungkin baru dan belum pernah dicoba
sebelumnya di kondisi sosial politik yang berbeda.

BAB III: TUJUAN, SASARAN, DAN HASIL


A. Tujuan
Salah satu alasan utama untuk diterapkannya sistem desentralisasi adalah,
karena sistem tersebut membuka ruang sekaligus mendorong partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan pembangunan, termasuk pengambilan
kebijakan, pelayanan publik, pengelolaan sumberdaya, dan lainnya. Tetapi,
struktur pemerintahan yang terdesentralisasi bukan menjadi jaminan
terhadap meningkatnya partisipasi masyarakat. Sangat dimungkinkan untuk
memiliki pemerintahan yang terdesentralisasi tetapi juga menghambat
kapasitas sebagian besar masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif
dalam pembangunan melalui jalur formal maupun informal.

Oleh karena alasan tersebut diatas, maka tujuan utama dari Strategi
Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam PDPP adalah untuk mendorong
keikutsertaan masyarakat dalam menjadikan partisipasi bukan sebagai
kesempatan yang diberikan oleh pemerintah daerah dengan alasan “kebaikan
hati”, melainkan dimaksudkan sebagai suatu pelayanan dasar yang harus
disediakan dan merupakan bagian yang menyatu dalam pengelolaan
pembangunan di daerah di era desentralisasi. Dengan partisipasi masyarakat
sipil, berarti keikutsertaan aktif dari masyarakat dengan pemerintah daerah
di luar proses PEMILU dalam merumuskan kebijakan publik dan arah
strategi pembangunan.

6
Melalui Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam PDPP, diharapkan
akan mampu:

1. Membantu mengurangi berbagai hambatan yang memisahkan antara


masyarakat dengan pemerintahnya, atau dengan kata lain mengubah
hubungan dari politik oposisi ke dialog dan pembagian kewenangan
yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
2. Mendorong masyarakat dan aparat pemerintah (lintas sektoral) secara
bersama-sama untuk mencari jalan keluar dari berbagai masalah
umum yang mereka hadapi, sekaligus berkontribusi dalam
pembangunan demokratisasi.
3. Membangun kapasitas lokal untuk mendorong pengelolaan
pembangunan daerah secara partisipatif, sebagai hasil dari
pendekatan yang diusulkan.
4. Meningkatkan kemungkinan untuk mereplikasi serta
menyumbangkan berbagai pengalaman dalam pengelolaan
pembangunan secara partisipatif di era desentralisasi.

B. Sasaran
Adapun sasaran dari Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam PDPP
adalah:

1. Mendorong partisipasi masyarakat di 30 kabupaten/kota di Indonesia


2. Membangun sebuah strategi partisipasi melalui identifikasi dan
memfungsikan berbagai mekanisme yang ada untuk partisipasi
masyarakat
3. Mengembangkan kapasitas masyarakat sipil untuk dapat
berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan daerah
4. Mendorong terwujudnya masyarakat yang peduli dan proaktif
terhadap pembangunan di daerahnya
5. Mendorong keikutsertaan masyarakat secara luas dalam pengelolaan
pembangunan kota

C. Hasil
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam PDPP diharapkan akan
menghasilkan:

1. Partisipasi masyarakat yang berkelanjutan di dalam proses


perencanaan pembangunan
2. Kapasitas serta kompetensi masyarakat sipil yang lebih berdaya untuk
terlibat di dalam proses perencanaan pembangunan

7
BAB IV: PENDEKATAN
Kelompok sasaran yang diharapkan menjadi pelaku aktif dalam upaya ini antara
lain adalah aparat pemerintah daerah, anggota DPRD, organisasi
nonpemerintah, lembaga komunitas lokal (CBO), perguruan tinggi, media massa
dan pengusaha.

A. Metodologi untuk memperoleh hasil pertama: Partisipasi masyarakat yang


berkelanjutan di dalam proses perencanaan pembangunan
Diperlukan upaya untuk mencegah berulangnya kegagalan pada masa lalu,
dimana partisipasi dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk menghendaki
masyarakat menyumbangkan tenaga, waktu dan uangnya dalam aktifitas
dimana mereka tidak memiliki kepedulian, dan anggapan bahwa tidak ada
manfaat yang dapat diperoleh dari keikutsertaannya. Pengalaman
menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat yang berkembang di Indonesia
seringkali terhenti pada tingkat penyebarluasan informasi dan konsultasi
saja. Sangat sukar menemukan bentuk serta mekanisme partisipasi
masyarakat sampai pada tingkat kemitraan dan kapasitas dari para pelaku
yang terlibat terberdayakan.

Untuk mengharapkan partisipasi masyarakat sipil dalam proses perencanaan


pembangunan untuk dapat berkelanjutan, maka kebutuhan akan hal tersebut
harus dimiliki oleh para pelaku yang terlibat, bukan semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan proyek PERFORM saja. Kepedulian dan kebutuhan
ini harus dimiliki bukan hanya oleh aparat pemerintah, tetapi juga oleh para
pelaku nonpemerintah yang terlibat. Hal ini berarti bahwa, proses
penyiapan, pelaksanaan, pemantauan, sampai dengan pengevaluasian dari
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam PDPP perlu dilakukan secara
partisipatif. Pada awalnya, kepedulian dan kebutuhan tersebut akan dimiliki
oleh tokoh-tokoh utama dalam pemerintahan, DPRD, dan organisasi
nonpemerintah, yang selanjutnya diharapkan akan meluas kepada
masyarakat umum.

Dalam mempersiapkan partisipasi, berbagai pelaku nonpemerintah yang


terlibat seharusnya tidak ditunjuk/dipilih oleh pemerintah daerah termasuk
juga oleh Community Development Specialist. Mekanisme pemilihan para
pelaku nonpemerintah sebaiknya secara penuh diserahkan kepada mereka
sendiri. Meskipun demikian, Community Development Specialist dapat
memberikan masukan terhadap prinsip-prinsip yang penting untuk
diterapkan dalam proses pemilihan tersebut. Dan untuk mencegah adanya
pelanggaran terhadap prinsip ketermilikan (ownership), Community
Development Specialist harus mampu untuk tidak berperan sebagai

8
penengah maupun penghubung antara pemerintah daerah dan masyarakat
sipil.

Menyadari akan terbatasnya tradisi keterlibatan masyarakat selama ini, maka


pendekatan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan
di kabupaten/kota dimana pemerintahnya belum memiliki komitmen yang
jelas memerlukan penanganan yang lebih hati-hati. Kondisi yang berlaku di
masing-masing kabupaten/kota harus dapat dipahami secara seksama,
sehingga pendekatan yang akan diterapkan dapat disesuaikan.

Dalam beberapa hal, Community Development Specialist dapat berperan di


sebagai motivator, yaitu tidak selalu terlibat dan hadir pada setiap pertemuan
antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Sedangkan di lain hal,
Community Development Specialist perlu menjadi fasilitator dalam
komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Kerjasama yang
baik antara pemerintah dengan masyarakat sipil kadangkala memerlukan
waktu yang lama dan dalam beberapa kasus merupakan suatu proses yang
sulit (bukan tidak mungkin) untuk diterapkan. Oleh karena itu, mewujudkan
hubungan yang baik antara kedua belah pihak dapat dianggap sebagai suatu
tujuan, daripada sebagai pra-kondisi untuk diterapkannya PDPP.

v Strategi Teknis
Berbagai strategi teknis yang diuraikan di bawah ini dapat direncanakan
dan diterapkan oleh Community Development Specialist untuk
memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan.

1. Menyediakan informasi
Menyediakan informasi harus menjadi bagian yang terpadu pada
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam PDPP. Hal ini untuk
menjamin bahwa masyarakat terinformasikan mengenai berbagai
aktifitas dalam PDPP, dan juga struktur, sistem, maupun staf yang
dimiliki oleh PDPP dapat diketahui oleh masyarakat secara
transparan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyediakan
sarana maupun personel (Local PDPP Coordinator) yang berfungsi
untuk memberikan informasi tentang PDPP kepada mereka yang
membutuhkannya. Pertukaran informasi dan konsultasi antara Local
PDPP Coordinator dengan masyarakat berkontribusi dalam mencegah
atau mengurangi adanya kesalahpahaman dan konflik yang mungkin
terjadi.

9
Sediakan informasi sebanyak mungkin mengenai PDPP berikut
mekanisme serta rencana kerjanya kepada berbagai pihak yang
membutuhkan, sejalan dengan informasi tentang karakteristik dan
kegiatan masing-masing pelaku yang dibutuhkan oleh Community
Development Specialist. Komunikasi yang partisipatif berarti
mendengar sekaligus memberitakan. Community Development
Specialist harus menyadari akan kesalahpahaman yang mungkin
timbul dari perbedaan pengalaman, budaya dan bahasa.

2. Memahami Konstelasi Sosial Politik


Gunakan lembaga formal dan infomal serta jaringan untuk memahami
konstelasi sosial politik di masing-masing kabupaten/kota, terutama
hubungan antara berbagai pelaku (pemerintah, DPRD dan masyarakat
sipil) yang berkembang selama ini. Akan sangat bermanfaat pula,
untuk melakukan konsultasi dengan lembaga-lembaga yang telah
melakukan pendekatan partisipatif serupa serta untuk mengetahui
dampak yang ditimbulkan dari aktifitas mereka, untuk menjamin
bahwa pendekatan yang akan ditempuh oleh PDPP tidak
menduplikasi kegagalan, dan dapat pula meneruskan hasil-hasil
positif yang telah diraih oleh upaya-upaya sebelumnya.

Beberapa hal yang perlu diketahui dalam mengidentifikasi kondisi


partisipasi yang telah/sedang berlangsung, adalah lingkup partisipasi
(isu-isu pembangunan yang telah melibatsertakan para pelaku),
cakupan partisipasi (keragaman dari para pelaku yang terlibat),
tingkat partisipasi (bentuk, fungsi, serta mekanismenya), dan kualitas
partisipasi (kedalaman serta hasil dari proses yang dijalankan
terutama menyangkut hubungannya dengan kebijakan yang
dihasilkan). Identifikasi ini, dapat dilakukan bersama antara pelaku
pemerintah dan non-pemerintah.

Untuk melengkapi pemahaman tentang konstelasi sosial politik yang


berkembang, diharapkan Community Development Specialist dapat
melakukan wawancara dengan beberapa pelaku utama baik dari
kalangan pemerintah, DPRD, nonpemerintah, maupun lembaga donor
lain yang pernah mengupayakan pendekatan partisipasi. Di bawah ini
merupakan alternatif pertanyaan yang dapat digunakan sewaktu
wawancara.

10
Beberapa pertanyaan untuk pemerintah:
a. Bagaimana perkembangan aktifitas berbagai organisasi
nonpemerintah yang ada selama ini?
b. Apakah banyak ornop yang memiliki vested interest dalam
politik?
c. Apakah mereka pernah diikutsertakan dalam proses
perencanaan pembangunan? Bila ya/tidak, kenapa?
d. Apa saja program/proyek yang telah melibatkan mereka?
Bagaimana hasilnya?
e. Apa saja kontribusi kongkrit dari ornop terhadap
pembangunan yang ada selama ini?
f. Apakah kapasitas ornop perlu ditingkatkan untuk dapat terlibat
dalam proses perencanaan pembangunan? Bila ya, dalam hal
apa saja?
g. Peran apa yang harus dimainkan oleh ornop dalam proses
perencanaan pembangunan? Bagaimana dengan ikut terlibat
dalam menentukan kebijakan program-program pembangunan
jangka menengah dan dari tahun ke tahun?
h. Apakah perlu ada perubahan dalam hubungan antara
pemerintah dengan nonpemerintah? Bila ya/tidak, kenapa?
i. Apa saja hambatan-hambatan utama dalam hubungan antara
ornop dan pemerintah?

Beberapa pertanyaan untuk LSM:


a. Bagaimana hubungan antara ornop dan pemerintah selama ini?
b. Apa saja hambatan-hambatan utama dalam hubungan antara
ornop dan pemerintah dan DPRD?
c. Bagaimana menjadikan hubungan keduanya bisa lebih baik?
d. Apakah pemerintah telah sering melibatkan ornop dalam
berbagai program/proyek pemerintah? Bila ya/tidak, kenapa?
e. Apa saja program/proyek yang telah melibatkan ornop?
Bagaimana hasilnya?
f. Bagaimana hubungan antara sesama LSM? Bila baik/tidak,
kenapa? Dan apa saja hambatan utamanya? Bagaimana
memperbaikinya?
g. Apakah pemerintah perlu diberikan informasi semacam semi-
lokakarya mengenai dunia LSM beserta peran-peran yang
dimilikinya? Bila ya/tidak kenapa?

Beberapa pertanyaan untuk DPRD:


a. Bagaimana perkembangan aktifitas berbagai organisasi
nonpemerintah yang ada selama ini?

11
b. Apakah banyak ornop yang memiliki vested interest dalam
politik?
c. Bagaimana hubungan antara pemerintah dengan ornop selama
ini?
d. Apakah mereka pernah diikutsertakan dalam proses
perencanaan pembangunan? Bila ya/tidak, kenapa?
e. Apa saja kontribusi kongkrit dari ornop terhadap
pembangunan yang ada selama ini?
f. Apakah kapasitas ornop perlu ditingkatkan untuk dapat terlibat
dalam proses perencanaan pembangunan? Bila ya, dalam hal
apa saja?
g. Peran apa yang harus dimainkan oleh ornop dalam proses
perencanaan pembangunan? Bagaimana dengan ikut terlibat
dalam menentukan kebijakan program-program pembangunan
jangka menengah dan dari tahun ke tahun?
h. Apakah perlu ada perubahan dalam hubungan antara DPRD
dengan ornop? Bila ya/tidak, kenapa?
i. Apa saja hambatan-hambatan utama dalam hubungan antara
ornop dan DPRD?

3. Menentukan Mitra Lokal


Akan sangat sulit bagi Community Development Specialist untuk
dapat membangun sekaligus mendorong kesadaran serta keaktifan
masyarakat sipil dalam proses perencanaan pembangunan, bila ia
berdomisili di luar daerah penerima bantuan. Oleh sebab itu, perlu
diupayakan semaksimal mungkin untuk dapat melakukan kerjasama
dengan mitra lokal. Mitra lokal dapat merupakan lembaga (LSM)
ataupun individu yang memiliki kapasitas dan kompetensi seperti:

a. Mengenal dan dikenal luas oleh komponen masyarakat sipil


dan pemerintah di daerahnya
b. Memiliki track record yang baik dalam mendorong terwujudnya
masyarakat sipil yang berdaya dan pemerintahan yang baik
(good governance)
c. Memiliki pengalaman serta wawasan yang luas tentang
hubungan masyarakat sipil dan pemerintah di daerahnya
d. Memahami berbagai konsep pemberdayaan masyarakat sipil
e. Memiliki kemampuan dalam menggerakkan masyarakat sipil
untuk dapat terus berpartisipasi dalam proses pengelolaan
pembangunan
f. Mampu bersinergi dan bekerjasama dengan Community
Development Specialist dan Local PDPP Coordinator

12
g. Mampu bersikap netral dalam menciptakan hubungan yang
harmonis antar komponen masyarakat sipil, dan antara
masyarakat sipil dengan pemerintah.

Menyadari akan peran penting yang akan dimainkan oleh mitra lokal,
maka ia harus didukung oleh pendanaan yang memadai, informasi
yang menyeluruh mengenai PDPP dan partisipasi masyarakat secara
luas, serta advokasi teknis mengenai berbagai hal yang ia butuhkan.
Untuk dapat memantau sekaligus membantu aktifitas mitra lokal,
diperlukan adanya laporan yang terjadwal antara mitra lokal dengan
Community Development Specialist. Isi maupun jadwal pelaporan
akan lebih baik disepakati bersama antar keduanya, untuk mencegah
adanya kesan atasan dan bawahan.

4. Mengidentifikasi Pelaku Berikut Lembaganya


Jumlah lembaga maupun individu nonpemerintah yang ada di satu
kabupaten/kota akan sangat banyak, oleh karena itu diperlukan
parameter dan alat untuk mengidentifikasi para pelaku utama (primary
stakeholders). Para pelaku utama inilah yang diasumsikan dapat
berkontribusi dan mempengaruhi proses partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pembangunan secara signifikan. Adapun alat yang dapat
dipergunakan untuk tahap identifikasi pelaku adalah analisa pelaku
(stakeholder analysis). Analisa pelaku sangat dianjurkan untuk
digunakan oleh Community Development Specialist pada tahap awal
dan dapat digunakan kembali pada proses selanjutnya bila
dibutuhkan. Analisa pelaku bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi dan menjabarkan karakteristik dari masing-


masing pelaku utama (profil)
b. Memahami tanggapan masing-masing pelaku tentang
kebutuhan, pengaruh serta dampak yang akan ditimbulkan dari
partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan
c. Memahami hubungan antar pelaku, termasuk mengetahui
potensi konflik serta harapan dari para pelaku tersebut tentang
partisipasi
d. Mengukur kapasitas dari masing-masing pelaku, khususnya
dalam proses partisipasi yang akan dilakukan.

Sarana yang dapat digunakan untuk menghasilkan analisa pelaku


adalah kuesioner yang didistribusikan melalui mitra lokal atau pada
kesempatan lainnya. Setelah hasil analisa pelaku selesai, diharapkan
dapat pula dipergunakan/dimiliki oleh berbagai pelaku (pemerintah
dan nonpemerintah) sebagai referensi atau untuk kebutuhan lainnya.

13
5. Menggugah Kesadaran Pelaku yang Terlibat
Seringkali pelaku pemerintah, nonpemerintah dan Dewan kurang
memahami perbedaan antara partisipasi dan mobilisasi. Atau bahkan
terjadi perbedaan pemahaman antar sesamanya mengenai partisipasi.
Oleh karena itu, diharapkan melalui PDPP, pemahaman mengenai
partisipasi dapat ditingkatkan dan disepakati bersama. Setelah
disepakati maka berikutnya adalah bagaimana proses partisipasi
menjadi kebutuhan dan kepedulian bersama, atau dalam kalimat lain
membangun rasa ketermilikan (ownership).

Untuk meningkatkan pemahaman serta rasa ketermilikan para pelaku


terhadap partisipasi dapat dilakukan dengan cara:

a. Menyepakati kedudukan, peran dan kewajiban pemerintah


dalam proses partisipasi
b. Menyepakati hak dan peran masyarakat dalam proses
partisipasi
c. Menyepakati keterbatasan kapasitas, sumberdaya, sistem yang
ada, dan kompetensi mereka sendiri serta pelaku lainnya
d. Menyepakati bahwa partisipasi adalah merupakan suatu proses

Untuk itu, maka Matriks Partisipasi dapat digunakan sebagai alat


untuk membantu mengidentifikasi peran serta harapan dari masing-
masing pelaku dalam keterlibatannnya pada proses perencanaan
pembangunan.

Seringkali proses partisipasi gagal, karena terjadi perbedaan harapan


akan peran yang seharusnya dimainkan oleh setiap pelaku. Sebagai
contoh, pelaku pemerintah mengharapkan partisipasi nonpemerintah
hanya sebatas memberikan masukan, sedangkan peran yang
diharapkan nonpemerintah lebih dari itu.

Seluruh pelaku utama yang diharapkan terlibat dalam PDPP


diupayakan untuk dapat mengisi matriks terebut. Matriks ini dapat
digunakan sebagai basis untuk berdialog dan bernegosiasi antar para
pelaku dalam menyepakati perannya masing-masing.

14
Setelah masing-masing pelaku mengisi Matriks Partisipasi maka
hasilnya perlu dibicarakan bersama dan kemudian dapat dipahami
dan disepakati secara bersama pula. Bentuk dari Matrix Partisipasi
adalah:

Diinformasikan Dikonsultasikan Bermitra Menguasai


seluruhnya
(kontrol)
Identifikasi
Perencanaan
Pelaksanaan
Pemantauan
dan Evaluasi

Kekurang-pahaman pelaku pemerintah dan DPRD terhadap peran


masyarakat (dalam hal ini LSM) dalam kehidupan sosial dan politik
kadangkala menjadi faktor penyebab konflik antar keduanya. Maka
bila dirasa perlu, pelaku pemerintah dan DPRD dapat memperoleh
pembekalan mengenai LSM dan posisi, peran, hak serta kewajiban
yang dimilikinya.

6. Memfasilitasi Tersusun dan Tersepakatinya Strategi Partisipasi


Masyarakat sipil akan berpartisipasi bila mereka merasa isu atau
aktifitas tersebut dianggap sesuatu yang penting, dan harapan bahwa
keterlibatan mereka akan berkontribusi terhadap perubahan yang
lebih baik. Hal ini akan dapat diperoleh secara efektif bila masyarakat
sipil sendiri mampu menjabarkan strategi serta aktifitasnya, dan telah
mampu menentukan manfaat yang akan diperolehnya, dibandingkan
pihak lain di luar mereka (Community Development Specialist) yang
mengatakan apa yang harus mereka lakukan. Strategi dan rencana
aktifitas dari masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses
perencanaan pembangunan merupakan hasil dari serangkaian
konsultasi bersama mereka.

Sebelum mereka terlibat dalam PDPP, mereka perlu menyepakati


secara bersama strategi partisipasi dalam pengelolaan pembangunan
dimana strategi tersebut minimal berisikan:

a. Alasan dan tujuan dari partisipasi mereka


b. Jangka waktu untuk mencapai tujuan yang dimaksud
c. Rencana kegiatan untuk masing-masing tujuan
d. Mekanisme partisipasi yang akan digunakan

15
e. Individu/lembaga yang harus terlibat dan mekanisme
pembagian kewenangannya
f. Mekanisme informasi dari masyarakat sipil ke publik
g. Sumberdaya manusia, keuangan, serta pelatihan yang
diperlukan dan bagaimana memperolehnya dalam
melaksanakan strategi yang disusun.

Untuk mempermudah masyarakat sipil dalam menyusun serta


menyepakati strategi partisipasi, maka alat yang dapat digunakan
adalah Logical Frame (LogFrame). Contoh dari LogFrame tersebut
adalah:

Kenapa? Alasan kegiatan yang akan dilakukan (siapa/apa


yang akan diuntungkan?)
Apa? Hasil yang akan diharapkan
Bagaimana? Proses dan mekanisme untuk mencapai hasil yang
diharapkan (pembagian wewenang dan peran)
Yang mana? Faktor-faktor internal dan eksternal yang akan
mempengaruhi keberhasilan (resiko serta kerangka
kondisinya)
Bagaimana? Ukuran-ukuran yang digunakan untuk memantau
sekaligus mengevaluasi keberhasilan (siapa dan
kapan akan dilakukan?)
Dimana? Sumberdaya yang digunakan untuk mencapai hasil
yang diharapkan

Setelah memahami kondisi serta kapasitas masing-masing pelaku


dalam proses partisipasi yang telah dilaksanakan, diperlukan upaya
bersama untuk menentukan prioritas langkah-langkah selanjutnya.
Penentuan prioritas akan bermanfaat dalam menyusun rencana kerja
dari proses partisipasi yang akan dilakukan. Keterbatasan dana,
sumberdaya manusia, waktu, data, pemahaman, kelembagaan, dan
lainnya merupakan alasan kenapa prioritisasi perlu dilakukan.

Diharapkan Community Development Specialist tidak berusaha


memaksakan ide maupun keinginannya kepada strategi yang disusun
oleh masyarakat sipil. Sebagai contoh, bila pada kenyataannya
masyarakat sipil menyepakati bahwa mereka tidak ingin tergabung
dalam Tim Teknis PDPP (seperti dalam pengalaman pelaksanaan
PDPP sebelumnya) melainkan tetap berpartisipasi melalui alternatif
mekanisme lain, maka langkah itu pun harus pula didukung dan
difasilitasi..

16
7. Melakukan Analisa Resiko
Karena partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan yang akan dilakukan melalui PDPP bisa jadi
merupakan kegiatan yang baru di suatu daerah, tidak tertutup
kemungkinan pelaksanaannya akan menghadapi berbagai resiko.
Resiko-resiko tersebut harus dapat diantisipasi oleh berbagai pelaku
yang terlibat, dan yang lebih penting lagi harus dapat disepakati solusi
untuk memperkecil dampak dari resiko tersebut.

Beberapa contoh resiko yang dapat diidentifikasi adalah mengenai


komitmen, keaktifan, dukungan sumberdaya, konflik antar pelaku,
terciptanya kelompok elit baru, kecemburuan dari pihak DPRD, dan
lain sebagainya. Ketidakmampuan para pelaku dalam mengantasipasi
resiko-resiko yang akan mereka hadapi dapat menyebabkan konflik
yang menghambat atau bahkan menggagalkan proses partisipasi yang
mereka jalani.

8. Mendorong Kerjasama Diantara Para Pelaku Nonpemerintah


Dalam upaya mengawal sekaligus melembagakan proses partisipasi
dalam perencanaan pembangunan, masyarakat sipil diharapkan dapat
saling bekerjasama dan membagi peran di antara sesamanya.
Kemungkinan akan tidak masuknya berbagai masukan dari
masyarakat sipil pada kebijakan pembangunan yang disahkan tetap
terbuka, meskipun pembuatan kebijakan tersebut dilakukan melalui
proses partisipasi.

Oleh karena itu, pengorganisasian masyarakat sipil sangat diperlukan.


Pengorganisasi yang dimaksud adalah seperti konsorsium LSM atau
forum NGO, dan sejenisnya. Hal ini juga dibutuhkan karena, untuk
menghindari adanya perseteruan antar pelaku nonpemerintah dalam
keterlibatannya pada PDPP, yang dapat saja menggagalkan proses
partisipasi itu sendiri. Selain itu, akan sangat sulit mencari
kesepakatan dengan pelaku pemerintah dalam proses perencanaan
pembangunan, bila seluruh kelompok/institusi nonpemerintah
terlibat. Diperlukan adanya perwakilan yang diberi mandat oleh
pelaku nonpemerintah untuk dapat berdiskusi, berdialog, serta
bernegosiasi untuk menyepakati berbagai hal dalam perencanaan
pembangunan di daerahnya.

17
9. Mengupayakan Pelembagaan Partisipasi
Untuk menjadikan partisipasi sebagai proses yang berkelanjutan,
maka proses tersebut perlu dilembagakan. Adapun pengertian
pelembagaan disini adalah bukan membentuk lembaga yang berfungsi
menjalankan proses partisipasi, melainkan suatu landasan hukum
yang disepakati bersama dan disahkan dalam menjamin bahasan,
mekanisme, proses dan fungsi dari partisipasi untuk periode-periode
selanjutnya, meskipun para pelaku yang terlibat sudah tidak terlibat
kembali. Dengan fasilitasi dari Community Development Specialist,
masing-masing pelaku perlu berupaya semaksimal mungkin dalam
mewujudkan terlembagakannya partisipasi.

Selain itu, yang juga perlu diupayakan adalah tersusunnya suatu


panduan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan di masing-masing daerah (atau secara bersama-sama)
sebagai referensi bagi pelaku baru di kemudian hari dan juga untuk
menjamin keberlanjutan partisipasi di masa mendatang.

B. Metodologi untuk memperoleh hasil kedua: Kapasitas serta kompetensi


masyarakat sipil yang lebih berdaya untuk terlibat di dalam proses
perencanaan pembangunan
Temuan dari berbagai pengalaman partisipasi, menunjukkan bahwa lembaga
masyarakat sipil seperti LSM, ormas, dan lainnya:

1. Berupaya terlibat dalam proses pengambilan kebijakan dengan


menggunakan partisipasi sebagai sarana untuk memperjuangkan
kepentingannya sendiri
2. Seringkali tidak mampu mengevaluasi partisipasi secara memadai dan
tepat, dikarenakan oleh minimnya pelatihan dan pengalaman yang
mereka miliki
3. Menilai partisipasi berdasarkan jumlah orang yang terlibat, bukan
pada kualitas dari keikutsertaannya

Kegagalan dari suatu proses partisipasi acapkali disebabkan oleh tidak


siapnya masyarakat sipil untuk terlibat di dalamnya. Berbagai keahlian serta
kemampuan yang diperlukan dalam proses pembuatan suatu kebijakan
(perencanaan pembangunan) yang diantaranya seperti menganalisa
kebijakan, menyiapkan konsep kebijakan alternatif, melakukan negosiasi,
menghubungkan informasi antara masyarakat dengan penyusun kebijakan
dan mengawali secara terus menerus proses partisipasi jarang dimiliki oleh
banyak lembaga masyarakat sipil.

18
Oleh karena itu, maka diperlukan upaya dan pendekatan yang strategis serta
tepat untuk mengembangkan kapasitas para pelaku nonpemerintah tersebut
yang pada ujungnya akan berpengaruh terhadap keberhasilan PDPP itu
sendiri.

v Strategi Teknis
Berbagai strategi teknis yang diuraikan di bawah ini dapat direncanakan
dan diterapkan oleh Community Development Specialist untuk
memberdayakan kapasitas serta kompetensi masyarakat sipil untuk dapat
berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan.

1. Menyediakan Informasi Mengenai Pengalaman Partisipasi


Satu nilai lebih yang harus dimiliki oleh PDPP di berbagai
kabupaten/kota adalah penghargaan terhadap kekuasaan yang
terdapat pada informasi dan tersebarnya informasi ke berbagai pihak
yang membutuhkan. Lembaga-lembaga masyarakat sipil dalam
negeri yang besar maupun internasional memiliki banyak informasi
dan data mengenai berbagai pengalaman tentang partisipasi, termasuk
proses memulai sampai dengan mengevaluasinya yang dapat
bermanfaat bagi siapa saja meskipun para pemula sekalipun.

Community Development Specialist diharapkan dapat berkerjasama


dengan lembaga-lembaga tersebut untuk memperoleh data dan
informasi agar menjadi referensi bagi mitra lokal maupun para pelaku
yang terlibat dalam proses partisipasi. Demikian juga sebaliknya,
bahwa pengalaman-pengalaman partisipasi di daerah penerima
bantuan teknis PDPP dapat diinformasikan kepada daerah-daerah
ataupun lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap partisipasi itu
sendiri.

2. Meningkatkan Transparansi di Dalam Tubuh Pemerintahan


Akses terhadap informasi merupakan kunci dari partisipasi. Yang
diisyarakatkan pada kalimat tersebut adalah bahwa siapa saja yang
peduli dan terlibat dalam suatu proses partisipasi harus berinisiatif
untuk menyediakan seluruh informasi yang dibutuhkan secara
memadai. Hal ini lebih ditujukan kepada pemerintah yang selama ini
tertutup.

Dengan berlakunya transparansi, maka kebijakan-kebijakan yang


dibuat oleh pemerintah dapat lebih sesuai dengan kondisi realitasnya.

19
Selain itu, masyarakat sipil dapat memahami landasan serta alasan
yang digunakan sebagai dasar dikeluarkannya suatu kebijakan.

Community Development Specialist diharapkan dapat mendorong


pemerintah daerah agar menyiapkan sekaligus menyediakan data dan
informasi menyangkut berbagai isu pembangunan kepada publik, dan
tidak menunggu publik memintanya terlebih dahulu. Biaya untuk
memperoleh informasi tersebut harus dapat terjangkau bagi
masyarakat awam sekalipun. Memberikan informasi yang dibutuhkan
oleh publik akan tidak banyak berarti bila nantinya publik tidak dapat
menggunakannya. Oleh karena itu, berbagai data dan informasi yang
disediakan harus secara mudah didapat, dibaca, dan dipahami.
Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat mempublikasikan data serta
proses penganggaran pembangunan (RAPBD) sebagai konsumsi
publik, yang kemudian diikuti oleh semacam lokakarya untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat sipil terhadap APBD dan
proses penyusunannya.

3. Memfasilitasi Penilian Kapasitas Individu dan Lembaga Berikut


Pengembangannya
Masing-masing pelaku perlu menyadari kapasitas yang dimilikinya
sebelum memulai proses partisipasi. Hal ini sangat penting untuk
menentukan kapasitas serta kompetensi yang dibutuhkan oleh pelaku-
pelaku tersebut dalam menunjang berhasilnya proses partisipasi yang
akan mereka lalui. Community Development Specialist diharapakan
dapat memfasilitasi proses penilian kapasitas para pelaku yang
kemudian dilanjuti dengan identifikasi pengembangan kapasitas yang
dibutuhkan beserta sumberdaya dan pihak yang diharapkan
membantu memenuhinya.

Sebagai masukan, dibawah ini adalah beberapa keahlian yang


semestinya dibutuhkan oleh masyarakat sipil yang antara lain:

a. Melakukan advokasi dan lobby; termasuk kemampuan dalam


berpikir kritis, sensitif terhadap kebutuhan masyarakat,
bersikap inklusif, memahami kebijakan dan lingkupnya,
mengetahui pelaku utama yang menyusun kebijakan dan
menyusun strategi untuk mempengaruhi kebijakan yang akan
dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
b. Memadukan penelitian dan manejemen informasi ke dalam
advokasi; termasuk kemampuan dalam memperoleh informasi,
menganalisa informasi dan menyebarluaskan informasi kepada
jaringan yang dimilikinya.

20
c. Merancang serta melakukan penelitian terfokus pada suatu
kebijakan (policy-focused research).
d. Menyusun dan melakukan penelitian untuk menilai opini
publik dan mengevaluasi dampak dari advokasi yang telah
dilakukan.
e. Melakukan negosiasi; termasuk kemampuan dalam
menganalisa hubungan antara lembaga dan kekuasaan yang
dimilikinya.
f. Memperluas jaringan dengan berbagai komunitas masyarakat
sipil serta donor.
g. Memperkuat kemampuan organisatoris dan manajemen
advokasi, terutama untuk Forum Masyarakat Sipil (NGO).
h. Menyediakan informasi dan pelatihan kepada masyarakat
mengenai tanggung jawab pemerintah daerah dan hak serta
kewajiban warga, terutama dalam mengawal proses partisipasi.
i. Meningkatkan kesadaran warga mengenai pentingnya
partisipasi mereka terhadap setiap proses pengelolaan
pembangunan.
j. Memberikan pendidikan kepada warga mengenai sumber daya
yang dimiliki oleh daerahnya dan proses penyusunan APBD
untuk membangun kapasitas warga agar dapat terlibat pada
proses penyusunan, pemantauan dan pengevaluasiannya.
k. Menyusun panduan dan pelatihan (bersama pemerintah)
mengenai proses perencanaan pembangunan yang partisipatif
yang ditujukan kepada warga agar mereka dapat terus terlibat
di masa mendatang.

4. Mengupayakan Penyediaan Pelatihan


Setelah proses pengidentifikasian kebutuhan kapasitas yang perlu
dikembangkan dilakukan, maka akan sangat baik bila Regional Office
PDPP dapat menyediakan sumber daya untuk memenuhi beberapa
kebutuhan pelatihan tersebut. Selain itu, Community Development
Specialist dapat bekerjasama dengan donor ataupun LSM lain yang
bersedia menyediakan sumber daya bagi berbagai pengembangan
kapasitas yang dibutuhkan oleh masyarakat sipil. Masyarakat sipil
juga dapat didorong untuk turut mencari alternatif sumber daya yang
bersedia memberikan pelatihan sesuai yang mereka butuhkan.

5. Memfasilitasi Pertukaran Informasi dan Pengalaman Partisipasi


Pengalaman masyarakat sipil dalam proses partisipasi di satu
kabupaten/kota akan berguna bagi daerah lainnya, baik daerah
tersebut menerima bantuan teknis PDPP ataupun tidak. Selain itu,

21
pengalaman sejenis yang dilakukan oleh masyarakat sipil di daerah
yang tidak menerima bantuan teknis PDPP (misalnya ada bantuan
oleh donor lain) juga dapat bermanfaat bagi pengembangan kapasitas
masyarakat sipil di daerah penerima bantuan teknis PDPP.

Oleh sebab itu, Community Development Specialist diharapkan


mampu memfasilitasi komunikasi dan pertukaran informasi serta
pengalaman antara masyarakat sipil di berbagai daerah (dalam satu
propinsi), agar partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan
pembangunan menjadi gerakan bersama. Jaringan yang dimiliki oleh
LSM dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarluaskan
pengalaman partisipasi antar sesamanya.

6. Melakukan Kerjasama dengan Project Lain


Beberapa project yang dibiayai oleh donor (termasuk USAID sendiri)
telah ataupun sedang melakukan aktifitas serupa (perencanaan
pembangunan secara partisipatif) di beberapa daerah. Banyak
pengalaman tentang partisipasi yang dapat diperoleh dari mereka.
Dan oleh karena itu, maka Community Development Specialist
diharapkan mampu mengidentifikasi sekaligus mengupayakan
kerjasama dengan berbagai project sejenis di wilayahnya agar
kegiatan-kegiatan mereka dapat disinerjikan ke aktifitas
pemberdayaan masyarakat sipil dalam PERFORM Project.

Beberapa project sejenis tersebut adalah: BUILD (UNDP), BIGG


(USAID), CSSP (USAID), Urban Quality (GTZ), SFDM (GTZ), CDS
(World Bank), COMBINE (Ford Foundation), IPGI (Ford Foundation),
dan DISCUSS (Pact).

7. Menggarap Kelompok Kerja Partisipasi di Tingkat Propinsi


Diharapkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan terjadi bukan hanya di daerah-daerah yang menerima
bantuan teknis PDPP ataupun dari donor lain saja. Dukungan dan
kontribusi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah Propinsi, donor
internasional, LSM besar harus dapat dioptimalkan untuk menjadikan
partisipasi masyarakat sebagai suatu gerakan bersama. Dan salah satu
tujuannya adalah, berbagai kebijakan pembangunan yang dirumuskan
oleh pemerintah Propinsi ikut mendukung partisipasi masyarakat
tersebut.

Dalam hal ini, Community Development Specialist dapat menggarap


semacam Kelompok Kerja di tingkat Propinsi yang beranggotakan

22
berbagai pihak (pemerintah, dewan, LSM, akademisi, dll.) yang
fungsinya untuk mengidentifikasi berbagai masalah yang
menghambat partisipasi masyarakat sekaligus mencarikan alternatif
pemecahannya, baik dari segi kebijakan ataupun teknis. Kelompok
Kerja inilah yang nantinya diharapkan dapat terus menyempurnakan
berbagai proses partisipasi masyarakat pada masa selanjutnya.

BAB V: PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN


Efektifitas dari strategi pemberdayaan masyarakat sipil dalam PDPP akan sangat
tergantung kepada bagaimana strategi tersebut dipantau dan didokumentasikan.
Dalam hal ini, dibutuhkan indikator-indikator untuk melihat keberhasilan
berbagai strategi yang dilakukan.

Sewaktu menilai dampak dari strategi pemberdayaan masyarakat sipil tersebut,


harus menjadi perhatian bahwa partisipasi masyarakat dalam proses
pengelolaan pembangunan di Indonesia merupakan konsep baru dan sangatlah
sulit untuk merubah tradisi politik yang telah berlangsung sekian lama. Oleh
karena itu, perubahan yang diharapkan haruslah pula realistis dengan terus
membangun fundamen jangka panjang yang lebih membuka peluang
demokratisasi dapat tetap bergulir.

Selama ini, mekanisme maupun dasar hukum yang memberikan kesempatan


kepada partisipasi masyarakat tidak pernah terbangun dan yang terjadi adalah
manipulasi serta mobilisasi masyarakat untuk mendukung agenda-agenda
pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah. Hampir tidak pernah ada
tradisi dimana masyarakat dapat memantau berbagai kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah. Masyarakat tidak memiliki pemahaman bagaimana proses
keputusan akan suatu kebijakan terjadi dan hak ataupun kesempatan apa yang
dimiliki masyarakat untuk mempengaruhinya. Berbagai perubahan memang
sedang berlangsung, tetapi hal tersebut tidak akan terjadi dengan mudah dan
cepat.

A. Tujuan Pemantauan dan Evaluasi


Bila dilakukan dengan tepat, pemantauan dan evaluasi dapat memperbaiki
berbagai upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan di tingkat akar rumput maupun tingkat kota
sekalipun. Adapun tujuan dari kegiatan pemantuan dan evaluasi ini adalah
untuk:

1. Memperoleh informasi mengenai bagaimana strategi yang disusun


dilaksanakan dan pencapaian hasilnya. Dan juga, dapat membantu

23
untuk memahami bagaimana proses partisipasi masyarakat
berlangsung, sekaligus dapat dipergunakan sebagai pengalaman bagi
pihak lain yang melakukan upaya serupa.
2. Memberikan masukan bagi para pelaku yang terlibat untuk dapat
menyusaikan pendekatan, strategi dan intervensi yang akan dilakukan
selama proses partisipasi sedang dijalankan.
3. Memberikan kesempatan kepada pelaku-pelaku yang tidak sempat
terlibat dalam proses partisipasi untuk memberikan penilaian
sekaligus penyempurnaan terhadap proses yang sedang dijalankan.
4. Membantu para pelaku yang terlibat untuk menjadi lebih akuntabel
kepada masyarakat dan pihak donor yang mendanainya. Termasuk
juga, membantu pihak donor tersebut menjadi lebih akuntabel kepada
masyarakat secara luas.

B. Metodologi Pemantauan dan Evaluasi


Dalam merancang kegiatan pemantuan dan evaluasi, Community
Development Specialist diharapkan dalam mengikutsertakan para pelaku
untuk dapat bersama menyepakati tujuan, hasil, aktifitas berikut jangka
waktu dan indikator-indikator keberhasilannya.

Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan akan


dipantau dan dievaluasi secara partisipatif pula, demi menjadikan kegiatan
tersebut dimiliki oleh para pelaku yang terlibat. Pengalaman menunjukkan
bahwa, dengan menggunakan indikator-indikator yang disepakati bersama
para pelaku yang terlibat, akan menghasilkan berbagai indikator yang lebih
sesuai dan mudah diukur.

Community Development Specialist dapat mengusulkan berbagai indikator


sebelum disepakati bersama. Selanjutnya peran dari Community
Development Specialist adalah sebagai fasilitator para pelaku untuk proses
selanjutnya. Beberapa prinsip yang penting untuk dipahami dalam kegiatan
pemantuan dan evaluasi secara partisipatif adalah:

1. Perlu mengikutsertakan setiap pelaku yang terlibat.


2. Berbagai hal yang akan dipantau dan dievaluasi harus sesuai dengan
kepentingan masing-masing pelaku.
3. Hasil pemantuan dan evaluasi harus dapat meningkatkan
kemampuan para pelaku untuk memahami apa yang terjadi,
menyempurnakan strategi yang disepakati, serta meningkatkan rasa
percaya diri mereka.
4. Kegiatan pemantauan dan evaluasi perlu dilakukan secara
berkesinambungan, tidak sekali waktu saja.

24
C. Indikator
Dibawah ini adalah beberapa usulan indikator untuk mengukur keberhasilan
dari pemberdayaan masyarakat sipil dalam PDPP.

v Hasil pertama: Partisipasi masyarakat yang berkelanjutan di dalam


proses perencanaan pembangunan
Indikator Kuantitatif
1. Berbagai komponen masyarakat sipil berpartisipasi dalam PDPP sejak
disosialisasikan, termasuk masyarakat dengan berbagai latar belakang
etnis, tingkat ekonomi, kelamin (terutama perempuan), profesi, dan
lembaga.
2. Beberapa lokakarya dan pertemuan dilangsungkan untuk
mempersiapkan dan melaksanakan proses partisipasi masyarakat
sipil.
3. Forum masyarakat sipil/LSM/lintas pelaku terbentuk sebagai wadah
bersama untuk menunjang proses partisipasi.
4. Tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap
partisipasi meningkat sejalan dengan waktu.
5. Beberapa perwakilan masyarakat sipil terlibat dalam berbagai aktifitas
PDPP (pertemuan Tim Teknis).
6. Beberapa masukan diberikan oleh masyarakat sipil untuk
menyesuaikan strategi pemberdayaan masyarakat sipil dengan
kondisi lokal.
7. Beberapa kegiatan bersama oleh masyarakat sipil dilakukan untuk
mendorong partisipasi, tanpa inisiatif dari Community Development
Specialist.
8. Beberapa masukan diberikan oleh masyarakat sipil terhadap kebijakan
pemerintah dalam perencanaan pembangunan.
9. Beberapa kebijakan pemerintah dalam perencanaan pembangunan
telah disesuaikan berdasarkan masukan dari masyarakat sipil.
10. Kelompok Kerja Partisipasi dibentuk di tingkat propinsi.

Indikator Kualitatif
1. Kesadaran mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan meningkat sejalan dengan keterlibatan
mereka di dalamnya.
2. Pemerintah daerah berkontribusi untuk menyediakan beberapa
sumberdaya untuk menunjang partisipasi masyarakat
3. Tujuan, peran, serta fungsi masyarakat sipil telah disepakati dan
dijalankan secara efektif diantara sesama mereka.
4. Masyarakat sipil dapat bersikap inklusif terhadap berbagai pandangan
serta prioritas dalam beberapa isu.

25
5. Meningkatnya bukti akan kepedulian, kebersamaan dan solidaritas
diantara masyarakat sipil dalam merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi paritisipasi masyarakat.
6. Menurunnya rasa ketergantungan dari masyarakat sipil terhadap
Community Development Specialist, meskipun berbagai aktifitas tetap
terus dilaksanakan.
7. Berkesinambungnya berbagai aktifitas para pelaku untuk
mengupayakan partisipasi masyarakat, setelah PDPP selesai.
8. Tercapainya rasa ketermilikan (ownership) dan dukungan untuk
partisipasi masyarakat dari para pelaku utama dan juga publik.

v Hasil kedua: Kapasitas serta kompetensi masyarakat sipil yang lebih


berdaya untuk terlibat di dalam proses perencanaan pembangunan
Indikator Kuantitatif
1. Para pelaku (pemerintah dan masyarakat sipil) terlibat dalam
beberapa pelatihan yang disepakati.
2. Berbagai kebutuhan masyarakat telah teridentifikasi dan dianalisa oleh
masyarakat sipil.
3. Adanya bukti bahwa masyarakat sipil telah melakukan komunikasi
dengan lembaga lain (misal donor) untuk membantu menyediakan
sumberdaya bagi pelatihan yang mereka butuhkan melalui bantuan
(atau tidak) dari Community Development Specialist.
4. Beberapa pengalaman partisipasi masyarakat telah didokumentasikan
serta disebarluaskan melalui berbagai media.
5. Beberapa artikel di media massa lokal yang meliput proses partisipasi
masyarakat di daerahnya.
6. Beberapa rencana aktifitas telah disusun untuk menjaga partisipasi
masyarakat setelah PDPP selesai.

Indikator Kualitatif
1. Adanya jiwa kepemimpinan dari beberapa individu/lembaga dari
berbagai pelaku untuk terus mendorong keberhasilan proses
partisipasi masyarakat.
2. Terjalankannya proses yang demokratis dan transparan dalam
pengorganisasian masyarakat sipil.
3. Terjadinya rotasi kepemimpinan diantara masyarakat sipil dalam
proses partisipasi.
4. Adanya bukti akan pemahaman masyarakat sipil dalam memahami
serta memantau berbagai kebijakan pemerintah.
5. Adanya bukti akan terjadinya resolusi konflik baik diantara sesama
komponen masyarakat sipil atau dengan pemerintah.
6. Adanya kemampuan masyarakat sipil untuk menyusun strategi
partisipasi, dan memantau serta mengevaluasinya.

26
7. Adanya kemampuan masyarakat sipil dalam meluaskan jaringan
dengan lembaga atau donor lain.
8. Adanya kemampuan masyarakat sipil dalam menyebarluaskan
informasi dan pengalaman yang dibutuhkan oleh publik.
9. Meningkatnya kemampuan teknis dan manajemen dalam menjaga
proses partisipasi.
10. Adanya kemampuan dari masyarakat sipil untuk dapat bertahan dari
berbagai tekanan dari luar yang mencoba menggagalkan proses
partisipasi.

D. Pelaporan
Dalam kegiatan ini, terdapat 2 jenis pelaporan yaitu: (1) pelaporan sebagai
dokumentasi aktifitas yang dilakukan, dan (2) pelaporan sebagai sarana
komunikasi dan saling tukar menukar pengalaman serta informasi.

Untuk pelaporan sebagai dokumentasi aktifitas, Community Development


Specialist memberikan masukan kepada Regional Managernya mengenai
aktifitas yang direncanakan dan dilaksanakan oleh dirinya dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat sipil di daerah-daerah dalam lingkupnya. Selain
itu, mitra lokal juga melakukan hal serupa kepada Community Development
Specialist.

Adapun untuk pelaporan sebagai sarana komunikasi dan saling tukar


menukar pengalaman serta informasi, Community Development Specialist
memberikan informasi kepada sesama Community Development Specialist
di lain Propinsi dan juga kepada Civil Society Support Coordinator mengenai
berbagai hal yang disepakati bersama. Diharapkan pada waktu yang
ditentukan, berbagai informasi diperoleh dan pengalaman yang dijalani oleh
setiap Community Development Specialist dapat terdokumentasikan dalam
bentuk buku (dipublikasikan secara luas) yang nantinya akan menjadi
referensi bagi siapa saja yang peduli terhadap partisipasi masyarakat di
Indonesia.

27

Anda mungkin juga menyukai