Pola pemberdayaan masyarakat bukan merupakan kegiatan yang sifatnya top-down intervention
yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan
swadaya, karena yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di
desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan
mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya,
memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip
swadaya dan kebersamaan
Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu "proses" dimana
usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya
yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan
mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan
mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level
nasional.
Definisi di atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu
proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam merencanakan yang
akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk
kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-
rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki
masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari
pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.
Melengkapi kedua definisi di atas, Arthur Dunham seorang pakar Community Development
merumuskan definisi Community Development itu sebagai berikut.
"organized efforts to improve the conditions of community life, and the capacity for community
integration and self-direction. Community Development seeks to work primarily through the
enlistment and organization of self-help and cooprative efforts on the part of the residents of the
community, but usually with technical assistance from government or voluntary organization.
(Arthur Dunham 1958: 3).
2. technical assistance;
Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan
sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi
melahirkan sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat
dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal
dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada Bab VI
Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan aturan negara seperti di atas
menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republic yaitu dalam prinsip
otonomi dengan desentralisasinya.
Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai
pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan
sentral dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan,
terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih
menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara
sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita adalah
kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Di tengah era
globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang
tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses.
Untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat agar lebih berdaya, berpartisipasi aktif, serta
penuh dengan kreativitas, pemerintah melontarkan komitmen yang berlevel internasional.
Komitmen ini telah ditandatangani dalam KTT Millenium PBB pada tahun 2002 bersama 189
negara lainnya. Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan
dan dikokohkan kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan
Berkelanjutan” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165
negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan,
September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana
Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh
pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia
dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.
Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas
kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul
tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus
memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015.
Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan
oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10 tahun
terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari pendapatan riil per
kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata
peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat
Indonesia dari tahun ketahun selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara
yang dinilai UNDP (2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110
(UNDP, 2007).
Sebagaimana kita alami, era ini merupakan kehidupan yang bercirikan perubahan yang cepat,
kompleks, penuh resiko, dan penuh dengan kejutan. Dengan demikian individu, kelompok atau
komunitas harus melakukan berbagai upaya untuk ikut berubah, menyesuaikan diri, atau
mengambil kendali perubahan. Di sisi lain interdependensi antara komunitas, terkecil sekalipun,
dan dunia sebagai totalitas, membuat semakin sulit bagi seorang individu untuk menghadapi
perubahan sendirian. Apalagi melihat kenyataan, kenaikan harga BBM misalnya, yang
merupakan perubahan disektor ekonomi dan energi akan mempengaruhi sector kehidupan yang
lain.
Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community
Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi
dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan
berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of
Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur
penyelesaian masalahatau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama
masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk
menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan
(StandingConference for Community Development, 2001).
Pengembangan otonomi daerah yang diarahkan pada partisipasi aktif dari masyarakat sangat
sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh CD. Kesesuaian antara kebijakan pemerintah dengan
konsep pemberdayaan masyarakat seperti CD ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam
mengimplementasikannya.
Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan
Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada
serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan
diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan
cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang
baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang
terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk
metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang
dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry
merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan
yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan
harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk,
2000, dalam Gergen dkk., 2004).
Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan
dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi,
melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses
merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry
digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin
religius, dan menciptakan perdamaian.