Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS PARTISIPASI STAKEHOLDER

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN
SOSIAL DI BALAI PERSINGGAHAN
SOSIAL MARGO WIDODO SEMARANG
June 15, 2015 Kodir Social WorkerLeave a comment

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pembangunan Sosial dapat didefinisikan sebagai strategi kolektif dan terencana guna
meningkatkan kualitas hidup manusia melalui seperangkat kebijakan sosial yang mencakup
sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan, jaminan sosial dan penanggulangan
kemiskinan. Istilah pembangunan sosial (social development) sering dipertukarkan dengan
pembangunan manusia (human development) dan pembangunan kesejahteraan sosial (social
welfare development). Secara konseptual, ketiganya sesungguhnya memiliki arena dan
konsentrasi yang relatif berbeda, meskipun bersinggungan.

Bila pembangunan sosial lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti
luas, maka pembangunan manusia memfokuskan perhatiannya pada peningkatan modal manusia
(human capital) yang diukur melalui dua indikator utama; pendidikan (misalnya angka melek
huruf) dan kesehatan (misalnya angka harapan hidup). Sementara itu, pembangunan
kesejahteraan sosial lebih berorientasi pada peningkatan modal sosial (social capital) yang dapat
dilihat dari indikator keberfungsian sosial (social functioning) yang mencakup kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar, melaksanakan peran sosial serta menghadapi goncangan dan
tekanan kehidupan.[1]

Meskipun sasaran pelayanan pembangunan kesejahteraan sosial mencakup individu dan


masyarakat dari berbagai kelas sosial ekonomi, namun sasaran utama pelayanan pembangunan
sosial pada umumnya adalah mereka yang tergolong kelompok-kelompok kurang beruntung
(disadvantaged groups) yang di Indonesia dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang meliputi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).

Krisis multi dimensi yang dihadapi bangsa Indonesia sejak tahun 1998 tidak hanya menyangkut
aspek ekonomi dan politik, tetapi juga merambat kepada aspek pembangunan sosial, khususnya
pembangunan Kesejahteraan Sosial. Ternyata, kondisi sosial ekonomi dan politik bangsa
Indonesia sangat rapuh dan rentan terhadap terpaan arus globalisasi.
Pembangunan bidang kesejahteraan sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan
nasional telah mengambil peran aktif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat untuk
mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, memenuhi hak kebutuhan dasar yang
diselenggarakan melalui pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terprogram,
terarah, dan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah dengan fokus pada 7 (tujuh)
permasalahan sosial yakni Kemiskinan, Keterlantaran, Kecacatan, Ketunaan Sosial dan
Penyimpangan Perilaku, Keterpencilan, Korban Bencana dan Tindak Kekerasan, baik yang
bersifat primer maupun akibat/dampak non sosial.

Berdasarkan amanah UU Nomer 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial Dinas Sosial
Provinsi Jawa Tengah mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah
Bidang Sosial berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan,Untuk menyelenggarakan
tugas pokok sebagaimana dimaksud.

Dinas Sosial mempunyai fungsi: 1). Perumusan kebijakan teknis bidang sosial; 2)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang sosial; 3) Pembinaan dan
fasilitasi bidang sosial lingkup provinsi dan kabupaten/kota; 4) Pelaksanaan tugas di bidang
pemberdayaan sosial, pelayanan dan rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan sosial,
pengembangan kesejahteraan sosial; 5) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang sosial; 6)
Pelaksanaan kesekretariatan dinas; 7) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.[2]

Perkembangan implementasi pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini diwarnai oleh adanya
perubahan paradigma pembangunan yang bergeser ke arah desentralistik dalam suasana
otonomi daerah yang memberikan peran dan posisi yang lebih besar kepada masyarakat sebagai
pelaku dan pelaksana utama pembangunan serta memberikan kewenangan yang seluas-luasnya
kepada daerah, khususnya daerah kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pembangunan dan
mengurus rumah tangganya sendiri.

Permasalahn yang sering dihadapi oleh pemerintah daerah terkait dengan permasalahn
penyandang masalah kesejahteraan sosial adalah adanya saling lempar tanggung jawab terhadap
persoalan social terutama yang berkaitan dengan Gelandangan Pengemis dan Orang Terlantar
(PGOT).

Kenyataan menunjukkan bahwa pemberian otonomi tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus,
karena masih sering ditemui adanya ekses negatif yang mengakibatkan terjadinya hambatan
dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kesejahteraan sosial. Permasalahan gelandangan dan
pengemis saat ini masih tetap menjadi menjadi beban pembangunan nasional dewasa ini untuk
itu peran pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi permasalahan ini tentunya harus
dilakukan secara bersama – sama, sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial yang ada,
gelandangan dan pengemis merupakan kantong kemiskinan yang hidup diperkotaan hal ini
disebabkan karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak.

Penertiban gelandangan dan pengemis (gepeng) membutuhkan waktu untuk penanganannya,


karena kadang diwaktu tertentu populasi pengemis meningkat seperti yang terjadi dihari libur,
hari raya keagamaan, maupun dipusat – pusat  rekreasi dan perbelanjaan, tentunya secara grafik
digambarkan jumlah populasi pengemis naik turun. Penyebab kesenjangan yang besar adalah
faktor ekonomi yang tidak merata sehingga jurang sosial antara si kaya dan si miskin tinggi
terutama dikota – kota besar.

Gampangnya mencari uang di kota besar seperti Semarang dan kota besar lainnya telah menjadi
daya tarik tersendiri buat pendatang dari luar daerah tanpa memembawa bekal skil dan
pendidikan yang memadai untuk mengadu nasib. Ketiadaan skil yang dimiliki serta tuntutan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sifat kemalasan membuat orang memilih untuk menjadi
pengemis.

Populasi Gelandangan, Pengemis dan Pemulung secara nasional terlihat naik turun menurut 
Pusat data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial lima tahun terakhir tahun 2012
berjumlah 61.090 dan pada tahun 2013 berjumlah 194.908 ada kenaikan 17% penyebab
banyaknya gelandangan dan pengemis di kota besar, bukan melulu korban dari tidak adanya
lapangan pekerjaa                                                                                                                                                       
n, tetapi juga dari faktor tidak adanya keinginan untuk berusaha dan ketidak memilikinya
keterampilan, dan pada kenyataannya banyak kita lihat gelandangan yang justru masih mampu
untuk berusaha. berusaha dalam arti apa saja yang penting bisa makan.[3]

Perlunya upaya dalam mengurangi meningkatnya populasi gepeng Penanganan Gelandangan,


Pengemis, dan Gepeng dilaksanakan secara terprogram dan berkelanjutan bersama-sama dengan
pihak terkait secara lintas fungsi maupun lintas sektoral sesuai peraturan perundang-undangan.
Pengawasan terhadap penanganan masalah gelandangan, Pengemis, dilakukan terhadap aktivitas 
yang dilaksanakan secara terprogram, terpadu, dan berkesinambungan dan dibutuhkan sumber
daya manusia yang handal dan berkualitas dalam pelayanan kesejahteraan social.

Diketahui masih tingginya jumlah penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Kota Semarang
dengan jumlah 62.214 dari data tersebut jumlah penyandang masalah kesejahteraan social
kategori Pengemis gelandangan Orang Terlantar (PGOT) 922 orang.(sumber : Dinas Sosial
Pemuda dan Olahraga Kota Semarang) Angka yang cukup tinggi, belum lagi adanya buangan
dari daerah sekitarnya, dimana semarang sebagai daya tarik bagi PGOT. Sedangkan jumlah
PMKS kategori PGOT di Jawa Tengah mencapai 56.162 Orang.[4]

Balai rehabilitasi sosial sebagai pusat rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan
sosial didalam penangani penyandang masalah kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tidak
terpisahkan didalam pembanganunan kesejahteraan sosial. Balai Rehabilitasi Sosial “Margo
Widodo” Semarang III yang beralamat di Jalan Raya Tugu km.9 Kelurahan Tambakaji
kecamatan Ngaliyan Semarang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial
Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Tengah, nomor 111
tahun 2010 tanggal 1 Nopember 2010 tentang organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis
pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai Balai
yang memberikan pelayanan rehabilitasi sosial bagi pengemis, gelandangan, orang terlantar dan
eks tuna laras terlantar di Provinsi Jawa Tengah
Data Penerima Manfaat yang mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di Balai Rehabilitasi
Sosial “Margo Widodo” Semarang III,dari Januari sampai dengan Desember tahun 2013 dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1

Kapasitas Pelayanan Penerima Manfaat

Jumlah
Bulan         (tahun Kapasitas Kelebihan Persentase
No Riil
2013) huni (Orang) (Orang) Kelebihan
(Orang)
1 Januari 120 151  31  25,8 %
2 Februari 120  157  37  30,8 %
3 Maret 120 163 43 35,8 %
4 April 120 170 50 41,6 %
5 Mei 120 152 32 26,6 %
6 Juni 120 149 29 24,2 %
7 Juli 120 154 34 28,3 %
8 Agustus 120 149 29 24,2 %
9 September 120 144 24 20 %
10 Oktober 120 129 9 7,5 %
11 Nopember 120 127 7 5,8 %
12 Desember 120 136 16 13,3 %

Sumber data : Laporan Tahunan Balai Resos “Margo Widodo” Semarang III

Data dalam tabel diatas menunjukkan jumlah penerima manfaat yang diterima oleh balai
rehhabilitasi social jauh lebih tinggi dengan jumlah kapasitas huni didalam balai rehabilitasi
sosial, hal inilah yang membuat pengelola dalam hal ini stakeholder didalam balai rehabiliasi
sosial untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan tidak menolah apabila ada calon penerima
manfaat yang datang kebalai rehabilitasi sosial, ini merupakan instruksi dari Gubernur Jawa
Tengah bahwa Balai tidak boleh menolak apabila ada calon penerima manfaat yang dating untuk
mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial.

Dari hasil keterangan Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo Semarang diketahui
bahwa perlu adanya sinergitas stakeholder didalam balai untuk mewujudkan pelayanan yang
maksimal.dari jumlah stakeholder yang ada dibalai berjumlah 24 orang dengan latar belakang
pendidikan berbeda dan bukan dari pendidikan kesejahteraan sosial, sedangkan untuk
mewujudkan pelayanan sosial melalui balai idealnya harus adanya tenaga ahli yang memahami
permasalahan sosial, dengan memperhatikan kondisi diatas pada praktiknya seringkali terjadi
kerancuan tentang siapa yang dimaksud pekerja sosial dan relawan yang juga mereka menyebut
sebagai pekerja sosial. Dari sinilah peran seorang pemimpin didalam mengkomunikasikan semua
stakeholder yang ada untuk berpartisipasi aktif dalam memajukan pelayanan sosial.
Tabel 2

DAFTAR PEGAWAI
BALAI RESOS “MARGO WIDODO” SEMARANG III
Keadaan sampai dengan bulan September 2014
Latar Belakang
No NAMA/ NIP
Pendidikan
Rr. HERUWATY  W S. SH.
1 S2 Managemen
MM
2 SUWARSIH, SPd,M.M S1 Pendidikan
3 SOFIANA ROSA, SH S1 Hukum
4 PRAMUDOYO BA D3
5 SUDARSIH SMPS
6 Moch. Hariadi SMPS
SMA
7 SRI SUBININGSIH
SMA
8 SRI SUJIATI
SMA
9 TUTI SUPRIYANI

10 SABARITA GINTING SMA

11 P U J I A T I
SMA
SMA
12 TRI HANDAJANI

13 NGATIMIN SMP
SMP
14 ARIS MARWANTO
SMP
15 ANDI SOEGIARTO
SMP
16 ANDRY PRAYOGA

17 HERI  IRAWAN SMP

18 HERMONO SMP
SMP
19 ARIF PRAMONO
20 Wawan Krismanto SMA
21 Septy Wulandari SMA

22 Sukardi SMP

23 Eka Setiana SMA


24 E.C.Pusparena SMA

Untuk mewujudkan pembangunan kesejahteraan sosial yang maksimal  pentingnya peran


partisipasi pembangunan kesejahteraan sosial setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan
oleh stakeholder pembangunan kesejahteraan sosial diantaranya 1) mempertegas peran
penyelenggara Negara dalam melaksanakan mandate kewajiban Negara untuk melindungi
warganya dalam menghadapi resiko resiko sosial ekonomi yang tidak terduga (sakit, bemvana
alam, krisis dan memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan tarahf hidup hidup
yang lebih baik dan berkualitas 2) mewujudkan cita cita keadilan sosial secara nyata yang
dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakwanan sosial 3)  mendorong pertumbuhan ekonomi serta
memberikan kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja stabilitas sosial, kethanan masyarakat
dan ketertiban sosial yang pada hakekatnya adalah prasarat utama pertumbuhan ekonomi 4)
meningkatkan indek pembangunan manusia atau IMP[5]

Untuk mewujudkan hal tersebut stakeholder pembangunan kesejahteraan sosial harus


memposisikan diri sebagai seorang professional, dimana empat peran ini merupakan tugas dari
seorang pekerja sosial professional yang meliputi 1) meningkatkan kapasitas orang dalam
mengatasi masalah yang dihadapinya 2) menggali dan menhubungkan sumber sumber yang
tersedia disekitar klien 3) meningkatkan jaringan pelayanan sosial 4) mempromosikan keadilan
sosial melalui pengembangan kebijakan sosial untuk mewujudkan hal tersebut penulis
mengambil judul Penelitian Analisis Partisipasi Stakeholder Pembangunan Kesejahteraan Sosial
di Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo Semarang.

1. Identifikasi dan Perumusan Masalah


2. Identifikasi

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan berkaitan dengan partisipasi
stakeholder dalam penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, maka penulis dapat
mengidentifikasi masalah yaitu sebagai berikut:

1. Sumber Daya Manusia (SDM)/ stakeholder yang terlibat dalam penanganan penyandang
masalah kesejahteraan sosial belum semuanya memiliki latar belakang pendidikan
kesejahteraan sosial.
2. Masih tingginya angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Jawa
Tengah sampai dengan tahun 2013.
3. Perumusan Masalah

Berangkat dari berbagai masalah yang telah teridentifikasi tersebut diatas maka pertanyaan
penelitian yang penulis sampaikan adalah :
1. Siapa saja Stakeholder yang terlibat dalam pembangunan kesejahteraan sosial di Balai
Rehabilitasi Sosial Margo Widodo Semarang
2. Bagaimanakah partisipasi stakeholders di balai rehabilitasi sosial dalam penanganan
penyandang masalah kesejahteraan sosial?
3. Apa yang menjadi kendala Stakeholder berpartisipasi dalam pembangunan kesejahteraan
sosial didalam sistem balai ?

1. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka penelitian ini
mempunyai tujuan :

1. Untuk mengidentifikasi stakeholders  yang terlibat dalam pembangunan kesejahteraan


sosial di Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo Semarang
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis partisipasi stakeholder dalam pembangunan
kesejahteraan sosial di Balai Persinggahan Sosial Margowidodo Semarang.
3. Untuk mendiskripsikan dan menganalisasi kendala Stakeholder berpartisipasi dalam
pembangunan kesejahteraan sosia di Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo Semarang.
4. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan
mempunyai kegunaan/ manfaat sebagai berikut :

1. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan ilmu


manajemen publik serta sebagai satu penerapan konsep dan teori yang berhubungan
dengan analisis manajemen publik
2. Memberikan umpan balik kepada Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo khususnya
dalam rangka membangun partisipasi stakeholder didalam balai sehingga pelayanan
sosial semakin meningkat.
3. Mendorong ditemukannya suatu bentuk partisipasi stakeholder dalam konteks otonomi
daerah yang diharapkan menjadi praktek-praktek yang baik (best practices) dalam
administrasi publik.

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

1. Kajian Teori
2. Konsep Administrasi Pembangunan

Administrasi pembangunan pada dasarnya bersumber dari administrasi negara. Dengan


demikian, kaidah umum administrasi negara berlaku pula pada administrasi pembangunan. Jadi,
adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi
prasyarat bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak, sistem pemerintahan di negara
berkembang pada awal kemerdekaannya, umumnya menpunyai ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, kelembagannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas
cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi
mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak
diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu.
Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemerintahan yang bersifat umum atau rutin, yang tidak berorientasi pada pembangunan.

Pada dasarnya, administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem
administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan
kemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktek adminstrasi pembangunan diperlukan adanya
perhatian dan komitmen terhadap nilai-nilai yang mendasari dan perlu diwujudkan menjadi dasar
etika birokrasi.

Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan pengertian administrasi pembangunan tersebut.
Pada sisi pertama tercakup upaya untuk mengenali peranan administrasi negara dan
pembangunan, atau dengan kata lain administrasi dari proses pembangunan, yang
membedakannya dengan administrasi negara dalam pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup
kehendak untuk mempelajari dengan cara bagaimana membangun administrasi negara sehingga
dapat menyelenggarakan tugas atau fungsinya secara lebih baik.

Kebijaksanaan Publik dalam Administrasi Pembangunan

Berbagai metode pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik telah dikembangkan. Ada
pendekatan deskriptif vs preskriptif; pendekatan deterministik vs probabilistik dilihat dari derajat
kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan pendekatan lain, ada yang bersifat
empirik, evaluatif dan normatif (Dunn, 1981).

Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan publik, Dye menunjukkan adanya sembilan
model, yakni model institusional, proses, kelompok, elite, rasional, inkremental, teori permainan
(game theory), pilihan publik (public choice), dan sistem. Sementara Henry membagi modelnya
menjadi dua kelompok yakni sebagai proses dan sebagai keluaran. Sebagai proses ia
menggolongkan enam model, yakni model elite, kelompok, sistem, institusional, dan anarki yang
diatur. Dari segi output, ia mengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional, dan
perencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan output
lebih bersifat preskriptif. Artinya bahwa dengan pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari
kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula.

Di negara berkembang kebijaksanaan pembangunan menjadi pokok substansi kebijaksanaan


publik. Setiap hari pemerintah di semua negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya
mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan masyarakat, memberikan
pelayanan publik, menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya. Kegiatan itu tidak ada
bedanya di negara manapun, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun, tetap ada
perbedaan diantara keduanya. Pertama-tama disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang
berbeda, dan juga karena adanya kegiatan pembangunan dinegara berkembang, yang merupakan
kegiatan diatas dari yang biasa dilakukan oleh pemerintah di negara maju.. Adanya sistem
adinistrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasarat bagi
berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi negara yang mampu menghasilkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang “baik” yang dapat menghindari kebijaksanaan yang “buruk”
dan mendorong “kepentingan umum”, merupakan tantangan yang lebih besar bagi negara yang
sedang membangun (Grindle dan Thomas 1991).

2. Konsep Stakeholder

Stakeholder sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya
dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan
sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan istilah
stakeholder ini secara luas ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan.
Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-
pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.

Dalam buku Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resources Management,
Ramirez mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai stakekholder ini. Beberapa defenisi yang
penting dikemukakan seperti Freeman (1984) yang mendefenisikan stakeholder sebagai
kelompok atau individu yang dapat memengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian
tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998) secara singkat mendefenisikan stekeholder merupakan
orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder ini sering
diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagimana dikemukakan Freeman (1984), yaitu dari
segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap issu, Grimble and Wellard (1996),
dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka.

Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung
dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama
dalam proses pengambilan keputusan.

1. Masyarakat dan tokoh masyarakat : Masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni
masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena dampak
(kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari proyek ini.
Tokoh masyarakat : Anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu
sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat
2. Pihak Manajer publik : lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam
pengambilan dan implementasi suatu keputusan.

Peran Stakeholder pembangunan kesejahteraan sosial sesungguhnya membawa angin segar bagi
tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga dalam segenap aktivitas  pembangunan
kesejahteraan sosial yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas pelayanan pembangunan
kesejahteraan sosial.

Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan
secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian
(consern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap
masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
1. Lembaga(Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab
langsung.
2. Lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan secara
langsung dalam pengambilan keputusan.

 Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang
bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki “concern”
(termasuk organisasi massa yang terkait).

1. Perguruan Tinggi: Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam


pengambilan keputusan pemerintah.
2. Pengusaha (Badan usaha) yang terkait.

Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal
pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai
levelnya, legisltif, dan instansi. Misalnya, stekholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu
proyek level daerah kabupaten.

1. Pemerintah Kabupaten
2. DPR Kabupaten
3. Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
4. Konsep Partisipasi

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “participation” adalah pengambilan bagian atau


pengikutsertaan. Menurut Keith Davis, partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi
seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dalam defenisi
tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Sebenarnya partisipasi adalah
suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam
pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan
tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang
mental serta penentuan kebijaksanaan.

Jadi dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah
suatu keterlibatan mental dan emosi serta fisik peserta dalam memberikan respon terhadap
kegiatan yang melaksanakan dalam proses belajar mengajar serta mendukung pencapaian tujuan
dan bertanggung jawab atas keterlibatannya.

Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah
pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan
program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan
guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya.

Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya,
kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation” yang berarti pengambilan bagian,
pengikutsertaan (John M. Echols & Hasan Shadily, 2000: 419).
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan
baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran,
tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil
-hasil pembangunan (I Nyoman Sumaryadi, 2010: 46).

Pengertian tentang partisipasi dikemukakan oleh Fasli Djalal dan Dedi Supriadi, (2001: 201-202)
dimana partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau
masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan,
bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri,
mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.

Menurut Eugen C. Erickson (dalam Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003:58-59), bahwa
partisipasi pada dasarnya mencakup dua bagianyaitu internal dan eksternal.

Partisipasi secara internal berarti adanya rasa memiliki terhadap komunitas. Hal ini
menyebabkan komunitas terfragmentasi dalam pelabelan pada identitas diri mereka. Sementara
partisipasi dalam arti eksternal terkait dengan bagaimana individu melibatkan diri dengan
komunitas luar. Jadi, partisipasi merupakan manifestasi tanggung jawab sosial dari individu
terhadap komunitasnya sendiri maupun dengan komunitas luar.

Dari pengertian/definisi tentang partisipasi masyarakat tersebut, dapat dikatakan bahwa inti dari
partisipasi masyarakat adalah sikap sukarela masyarakat untuk membantu keberhasilan program
pembangunan, dan bukannya sebuah proses mobilisasi rakyat

Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001: 38) mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2


(dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu :

1. Partisipasi Langsung

Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi.
Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas pokok
permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya.

1. Partisipasi tidak langsung

Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya.  Cohen dan Uphoff
yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D (2011: 61-63) membedakan patisipasi menjadi empat jenis,
yaitu pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan.
Ketiga, partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan. Dan Keempat, partisipasi dalam evaluasi.

Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan
penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang menyangkut
kepentingan bersama. Wujud partisipasi dalam pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut
menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi dan tanggapan atau
penolakan terhadap program yang ditawarkan.
Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan
administrasi, koordinasi dan penjabaran program. Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan
kelanjutan dalam rencana yang telah digagas sebelumnya baik yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan.

Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak
lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun
kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat dari output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat
dari presentase keberhasilan program.

Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan
pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk
mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah
keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan dan adanya pembagian
kewenangan atau tanggung jawab bersama.

1. Bentuk Partisipasi

Bentuk partisipasi menurut Effendi yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D (2011: 58), terbagi atas:

1. Partisipasi Vertikal

Partisipasi vertikal terjadi dalam bentuk kondisi tertentu masyarakat terlibat atau mengambil
bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan dimana masyarakat berada sebagai
status bawahan, pengikut, atau klien.

1. Partisipasi horizontal

Partisipasi horizontal, masyarakat mempunyai prakarsa dimana setiap anggota atau kelompok
masyarakat berpartisipasi horizontal satu dengan yang lainnya

2. Indikator/Keberhasilan Partisipasi

Keberhasilan peningkatan partisipasi dalam penyusunan rencana strategis pembangunan  dapat


diukur dengan beberapa indikator berikut:

1. Kontribusi/dedikasi stakeholders meningkat dalam hal jasa (pemikiran/keterampilan),


finansial, moral dan material/barang.
2. Meningkatnya kepercayaan stakeholders kepada pemerintah terutama menyangkut
kewibawaan dan kebersihan.
3. Meningkatnya tanggungjawab stakeholders terhadap penyelenggaraan pembangunan.
4. Meningkatnya kualitas dan kuantitas masukkan (kritik dan saran) untuk peningkatan
mutu pembangunan .
5. Meningkatnya kepedulian stakeholders terhadap setiap langkah yang dilakukan dalam
pembangunan.
6. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh sekolah benar-benar mengekspresikan apresiasi
dan pendapat stakeholders dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan (Sri Surhayati,
2008: 25).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa indikator keberhasilan partisipasi
adalah meningkatnya saling pengertian dan saling membantu antara stakeholders terutama dalam
setiap peningkatan mutu rencana strategis pembangunan yang dilakukan pemerintah .

Partisipasi sebagai prasyarat penting bagi peningkatan mutu.Partisipasi menuntut adanya


pemahaman yang sama atau obyektivasi dari lembaga pelayanan sosial dan stakeholder dalam
tujuannya. Artinya, partisipasi tidak cukup dipahami oleh lembaga publik sebagai bagian yang
penting bagi keberhasilan lembaga publik dalam peningkatan mutu, karena tujuan mutu menjadi
sulit diperoleh jika pemahaman dalam dunia intersubyektif menunjukkan kesenjangan
pengetahuan tentang mutu. Artinya, partisipasi stakeholder dalam peningkatan mutu berhasil jika
ada pemahaman yang sama antar lembaga pelayanan dalam menjadikan pelayanan lebih baik.
(Siti Irene Astuti D 2011:193)

3. Prinsip-prinsip partisipasi

Sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipati yang disusun oleh
Department for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-
107) adalah:

 Cakupan : Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari
hasil-hasil suatukeputusan atau proses proyek
 Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership): Pada dasarnya setiaporang mempunyai
keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan
prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa
memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.
 Transparansi :Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim
berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
 Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership) : Berbagai pihak yang terlibat
harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi.
 Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility : Berbagai pihak mempunyai
tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan
(sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-
langkah selanjutnya.
 Pemberdayaan (Empowerment : Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif
dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling
memberdayakan satu sama lain.
 Kerjasama : Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling
berbagikelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang
berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Stakeholder

 Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi stakeholder terdiri dari faktor dari dalam
Stakeholder (internal), dan faktor dari luar stakeholder (eksternal).
 Faktor-faktor internal adalah berasal dari dalam kelompok stakeholder sendiri, yaitu
individu-individu dan kesatuan kelompok didalamnya.

Tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis seperti umur,
jenis kelamin, pengetahuan, pekerjaan dan penghasilan (Slamet, 1994:97).  Secara teoritis,
terdapat hubungan antara ciri-ciri individu dengan tingkat partisipasi, seperti usia, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya menjadi anggota masyarakat, besarnya pendapatan,
keterlibatan dalam kegiatan pembangunan akan sangat berpengaruh pada partisipasi (Slamet,
1994:137-143).

4. 4. Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Definisi pembangunan sosial menurut James Midgley (2005:37), adalah suatu proses perubahan
sosial yang terencana yang didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara
menyeluruh, dengan menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis.
Mengapa direncanakan? Hal ini karena diinginkan adanya perubahan manusia dan kesejahteraan.
Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada delapan aspek yang perlu diperhatikan,
diantaranya yaitu:

1. Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi. Aspek ini yang
membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan dengan pendekatan lain
dalam mengangkat kesejahteraan orang banyak. Pembangunan sosial mencoba untuk
mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan program-program sosial untuk mengangkat
kesejahteraan sosial, pembangunan sosial melakukannya dengan konteks proses
pembangunan.
2. Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu (interdisipliner)
berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan sosial secara khusus
terinspirasi dari politik dan ekonomi, juga menyentuh nilai, kepercayaan dan ideologi
secara eksplisit. Dengan isu-isu ideologis,diharapkan dapat lebih baik menciptakan
intervensi dalam menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam mengangkat
kesejahteraan masyarakat.

1. Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan sosial sebagai
konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan perubahan yang bersifat
eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih berkonotasi pada semangat akan
perubahan yang positif. Secara literal, pembangunan adalah satu proses pertumbuhan,
perubahan, evolusi dan pergerakan. Pembangunan sosial memiliki tiga aspek, pertama,
kondisi sosial awal yang akan diubah dengan pembangunan sosial, kedua, proses
perubahan itu sendiri, ketiga, keadaan akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial
telah tercapai.
2. Proses perubahan yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk perbaikan
bagi seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial sangat dibutuhkan
dalam pembangunan sosial.
3. Proses pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam
kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang dilakukan
oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena bekerjanya sistem
ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses pembangunan sosial lebih tertuju
pada manusia yang dapat mengimplementasikan rencana dan strategi yang spesifik untuk
mencapai tujuan pembangunan sosial.
4. Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik secara
langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi sosial dengan usaha
pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan dan ideologi yang berbeda
tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun masih ditemui kesulitan untuk
merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.
5. Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang
lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus makronya
menargetkan perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat. Pembangunan sosial
lebih tertuju pada mereka yang terlantar karena pertumbuhan ekonomi atau tidak
diikutsertakan dalam pembangunan (orang miskin dalam kota, penduduk desa yang
miskin, etnis minoritas dan wanita). Pembangunan sosial fokusnya bersifat pembagian
daerah (spasial) seperti dalam kota, masyarakat pedesaan, perkotaan, daerah-daerah atau
negara.
6. Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial. Kesejahteraan
sosial menurut Midgley disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana masalah-
masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya kesempatan sosial
(2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun bantuan publik yang diberikan oleh
pemerintah (2005:19).

Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut Midgley (2005:34)
adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses
ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses pembangunan yang dinamis, membentuk dua
sisi dari satu mata uang yang sama.

Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu pula
sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan peningkatan
kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh. Orientasi pembangunan ekonomi perlu
diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan secara menyeluruh.

Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a) social
services, (b) social welfare services, dan (c) community development. Meminjam asumsi Todaro
(M. P. Todaro, 1989: 92). Ada tiga sasaran yang seyogyanya dicapai dalam pembangunan
sosial,yaitu:
Pertama, meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan
pokok.

Kedua, meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas


kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar terhadap
nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya
kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu ataupun
sebagai suatu bangsa.

Ketiga, memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa
dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam
hubungan dengan orang dan negara lain tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan
manusia. Pembangunan, dengan demikian, harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi
jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan
kelembagaan nasional. (Prayitno, 2009).

1. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan:


2. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup;
3. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian;
4. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah
kesejahteraan sosial;
5. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan;
6. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan
7. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

1. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang, keluarga atau


kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat
melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik
jasmani, rohani dan sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan
tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial,
keterbelakangan, keterasingan/keterpencilan dan perubahan lingkungan (secara
mendadak) yang kurang mendukung, seperti terjadinya bencana.
2. Tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:
3. merumuskan kebijakan dan program
4. penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
5. menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
6. melaksanakan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
sosial sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
7. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat yang menyelenggarakan
kesejahteraan sosial;
8. mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan
tanggung jawab sosialnya;
9. meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang kesejahteraan
sosial;
10. menetapkan standar pelayanan, registrasi,
11. akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraansosial;
12. melaksanakan analisis dan audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas
pembangunan;
13. menyelenggarakan pendidikan dan penelitian kesejahteraan sosial;
14. melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
15. mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku penyelenggaraan
kesejahteraan sosial tingkat nasional dan internasional dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
16. memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan nasional;
17. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial; dan
mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara

1. Pekerja Sosial

Pengertian pekerjaan sosial yang dikemukakan oleh Charles Zastrow (1982), yang dikutip oleh
Dwi Heru Sukoco (1995:7) sebagai berikut:

“Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu,


kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki  kemampuan mereka
dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka
mencapai tujuan“.

dari pengertian di atas, maka seorang pekerja sosial harus bisa menciptakan kondisi masyarakat
yang baik dan teratur dalam menjaga setiap keberfungsian elemennya yang menjadi para
pemeran berbagai peran yang ada di dalam masyarakat. menciptakan kondisi masyarakat yang
kondusif dengan relasi-relasi yang ada didalamnya untuk bisa memberikan keterikatan di antara
para pemegang peran tersebut.

1. Pengertian Peran

Definisi peran menurut Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Dan
Kebudayaan (1997) adalah seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
memiliki kedudukan di masyarakat.

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (1990) mendefinisikan peranan sebagai : Suatu konsep
perihal apa-apa yang dapat dilakukan oleh individu  dalam masyarakat sebagai suatu
organisasi. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi/tempat seseorang
dalam masyarakat.

2. Fungsi Pekerja Sosial

Heru Sokoco (1995:22-27) menjelaskan fungsi dan peran pekerja sosial sebagai berikut :
Fungsi-fungsi Pekerjaan Sosial

1. Membantu orang meningkatkan dan menggunakan kemampuannya secara efektif untuk


melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah-masalah sosial yang
mereka alami.
2. Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem sumber
3. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber
4. Mempengaruhi kebijakan sosial
5. Memeratakan atau menyalurkan sumber-sumber material.

Peranan Pekerjaan Sosial

1. Sebagai pemercepat perubahan (enabler)

Sebagai enabler, seorang pekerja sosial membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan


masyarakat dalam mengakses Sistem sumber yang ada, mengidentifikasi masalah dan
mengembangkan kapasitasnya agar dapat mengatasi masalah untuk pemenuhan kebutuhannya.

1. Peran sebagai perantara (broker)

Peran sebagai perantara yaitu menghubungkan individu-individu, kelompok-kelompok dan


masyarakat dengan lembaga pemberi pelayanan masyarakat dalam hal ini; Dinas Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat, serta Pemerintah, agar dapat memberikan pelayanan
kepada individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat yang membutuhkan bantuan atau
layanan masyarakat.

1. Pendidik (educator)

Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, community worker diharapkan mempunyai


kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan benar serta mudah diterima
oleh individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat yang menjadi sasaran perubahan.

1. Tenaga ahli (expert)

Dalam kaitannya sebagai tenaga ahli, pekerja sosial dapat memberikan masukan, saran, dan
dukungan informasi dalam berbagai area (individu-individu, kelompok-kelompok dan
masyarakat).

1. Perencana sosial (social planner)

Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai masalah sosial yang dihadapi individu-
individu, kelompok-kelompok dan masyarakat, menganalisa dan menyajikan alternative tindakan
yang rasional dalam mengakses Sistem sumber yang ada untuk mengatasi masalah pemenuhan
kebutuhan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat.

1. Fasilitator
Pekerja sosial sebagai fasilitator, dalam peran ini berkaitan dengan menstimulasi atau
mendukung pengembangan masyarakat. Peran ini dilakukan untuk mempermudah proses
perubahan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat, menjadi katalis untuk
bertindak dan menolong sepanjang proses pengembangan dengan menyediakan waktu,
pemikiran dan sarana-sarana yang dibutuhkan dalam proses tersebut.

Menurut Jim Ife,2002, peran pekerja sosial antara lain:

1. Peranan Fasilitatif

Peranan praktek yang dikelompokan ke dalam peranan fasilitatif merupakan peranan yang
dicurahkan untuk membangkitkan semangat atau memberi dorongan kepada individu-individu,
kelompok-kelompok dan masyarakat untuk menggunakan potensi dan sumber yang dimiliki
untuk meningkatkan produktivitas dan pengelolaan usaha secara efisien. Melakukan mediasi dan
negosiasi, yaitu pekerja sosial memerankan diri sebagai mediator dalam pemanfaatan lahan
dengan pihak lain untuk memperluas aktivitas kerjasama dengan menguntungkan pihak-pihak
yang terlibat. Memberikan support/dukungan, yaitu memberikan dukungan untuk memperkuat,
mengakui dan menghargai nilai yang dimiliki oleh individu-individu, kelompok-kelompok dan
masyarakat, menghargai kontribusi dan kerja mereka. Dukungan ini dapat bersifat formal dan
informal. Membangun consensus dengan sesama pihak untuk melakukan kerjasama dalam
rangka pengembangan potensi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat.
Memfasilitasi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan
produktivitas dan pemasaran hasil produksi.

1. Peranan Educational

Pekerja sosial memainkan peranan dalam penentuan agenda, sehingga tidak hanya membantu
pelaksanaan proses peningkatan peningkatan produktivitas akan tetapi lebih berperan aktif dalam
memberikan masukan dalam rangka peningkatan pengetahuan, keterampilan serta pengalaman
bagi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat. Peran pendidikan ini dapat
dilakukan dengan peningkatan kesadaran, memberikan informasi, mengkonfrontasikan,
melakukan pelatihan bagi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat.

1. Peranan-peranan Representasional

Pekerja sosial melakukan interaksi dengan badan-badan di masyarakat yang bertujuan bagi
kepentingan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat. Peranan ini dilakukan,
antara lain dengan : mendapatkan sumber-sumber dari luar tetapi dengan berbagai pertimbangan
yang matang, seperti bantuan modal usaha, pelatihan pengembangan potensi dan produktivitas
dari berbagai donator. Melakukan advokasi untuk membela kepentingan-kepentingan individu-
individu, kelompok-kelompok dan masyarakat seperti mendukung upaya implementasi
program dan berupaya merealisasikan program tersebut. Memanfaatkan Media Masa untuk
memperkenalkan hasil produksi. Selain itu juga bertujuan menerima dukungan dari pihak lain
yang lebih luas; membuka jaringan kerja, dengan mengembangkan relasi dengan berbagai pihak,
kelompok dan berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya pengembangan
potensi, seperti pemerintah, pengusaha, dan masyarakat’ selain itu pula, pekerja sosial berbagi
pengetahuan dan pengalaman dengan stakeholder.

1. Peranan Teknis

Di sini pekerja sosial melakukan pengumpulan dan analisis data,  kemampuan menggunakan
komputer, kemampuan melakukan presentasi secara verbal maupun tertulis, manajemen serta
melakukan pengendalian finansial, dan melakukan need assessment terhadap pengembangan
potensi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat. Peran-peran ini dapat dilakukan 
pekerja sosial bersama individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat melakukan
mendapatkan informasi dan data yang dapat digunakan baik untuk mengundang perhatian dari
stakeholders untuk mengembangkan potensi tetapi juga membantu mempromosikan.

Dengan demikian, pekerjaan sosial  memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan
potensi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat.

Menurut Dorang Luhpuri dkk (2000) Pekerja Sosial  adalah :

1. Fasilitator

Merupakan peranan yang bertujuan untuk mempermudah upaya pencapaian tujuan sehat dengan
cara menyediakan atau memberikan kesempatan dan fasilitas yang diperlukan klien untuk
mengatasi masalahnya, memenuhi kebutuhannya, dan mengembangkan potensi yang dimilikinya
dengan cara:

1. mendampingi klien dalam setiap tindakan


2. memberikan dukungan emosional yang diperlukan klien agar klien merasa   diperhatikan
dan terpenuhi kebutuhan emosionalnya
3. berupaya membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya
4. Mediator

Memberikan layanan mediasi jika klien mengalami konflik dengan pihak lain atau orang lain
agar dicapai kesesuaian antara tujuan dan kesejahteraan diantara kedua belah pihak.

1. Advokator

Memberikan layanan pembelaan bagi klien yang berada dalam posisi yang dirugikan sehingga
memperoleh haknya kembali.

1. Liason

Memberikan informasi yang diperlukan keluarga mengenai kondisi klien dan kondisi lembaga
agar dapat memberikan pertimbangan yang tepat dalam menentukan tindakan demi kepentingan
klien.

1. Konselor
Memberikan pelayanan konsultasi kepada klien yang ingin mengungkapkan permasalahannya.
Pekerja sosial harus menyadari permasalahannya serta melihat potensi dan kekuatan yang
dimiliki klien. Ia juga harus memberikan alternatif-alternatif pemecahan masalah.

1. Penghubung

Merupakan peranan yang menghubungkan antara klien dengan keluarga, antara klien dengan
lembaga terkait, maupun penghubung antara klien dengan sumber lain yang dapat membantu
dalam usaha pemecahan masalah klien. Selain itu, harus memberikan informasi –informasi yang
diperlukan oleh keluarga tentang kondisi klien pekerja sosial harus mampu memberikan
informasi tentang kondisi keluarga demi kepentingan klien.

1. Pembimbing Sosial Kelompok

Memberikan intervensi pada sejumlah klien yang berkumpul dan berbagi berbagai isu (topik
yang mereka minati) melalui pertemuan yang teratur dan kegiatan yang dirancang untuk
mencapai tujuan yang telah disusun bersama.

Prinsip Pekerjaan Sosial kaitannya dengan Partisipasi

Pada umumnya dalam relasi antara pekerjaan sosial dengan klien ada prinsip-prinsip dasar dalam
pekerjaan sosial yang harus diperhatikan oleh pekerja sosial. Meskipun demikian ada beberapa
perbedaan pandangan tentang prinsip-prinsip dasar dalam pekerjaan sosial, dibawah ini diberikan
ilustrasi mengenai prinsip dasar dalam pekerjaan sosial dari Henry S. Maas dan James Midgley.

Menurut Henry S. Maas ada enam prinsip dasar dalam praktek pekerjaan sosial, terutama ketika
menerapkan metode bimbingan sosial perseorangan (social casework).

1. Penerimaan

Prinsip ini mengemukakan bahwa seorang pekerja sosial menerima klien tanpa “menghakimi”
klien tersebutterlebih dahulu. Kemampuan pekerja sosial untuk menerima klien dengan
sewajarnya (apa adanya) akan banyak membantu perkembangan relasi antara pekerja sosial
dengan kliennya.

Dengan adanya sikap menerima keadaan klien apa adanya, maka klien akan dapat merasa lebih
percaya diri dan tidak “kaku” dalam berbicara dengan pekerja sosial, sehingga ia dapat
mengungkapkan berbagai macam perasaan dan permasalahan yang mengganjal di hatinya.
Dengan cara seperti ini maka relasi antara pekerja sosial dengan klien dapat dikembangkan
dengan baik.

1. Komunikasi

Prinsip komunikasi ini erat kaitannya dengan kemampuan pekerja sosial untuk menangkap
informasi ataupun pesan yang dikemukakan oleh klien, baik dalam bentuk komunikasi yang
verbal, yang diungkapkan klien ataupun sistem klien, maupun bentuk komunikasi nonverbal,
seperti cara duduk klien, posisi ataupun letak duduk dalam suatu pertemuan dengan anggota
keluarga yang lain, cara bicara, cara berpakaian, dan lain sebagainya.

Bila suatu ketika lawan bicara tidak dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, seorang
pekerja sosial diharapkan dapat membantunya untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan agar
dapat menelaah permasalahannya secara lebih jelas.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pekerja sosial adalah menyadari ekspektasi (harapan) dari
klien, sehingga komunikasi antara klien ataupun sistem klien dengan pekerja sosial daapat tetap
terjaga. Dalam kaitannya dengan hal ini, seorang pekerja sosial diharapkan dapat member
kesempatan kepada klien untuk mengemukakan apa yang ia rasakan, misalnya perasaan takut,
marah, benci, sedih, gembira, dan lain sebagainya. Dengan mengemukakan apa yang dirasakan,
diharapkan akan sedikit dapat meringankan beban yang menghimpit klien, sehingga hubungan
antara pekerja sosial dengan klien dapat semakin berkembang.

1. Individualisasi

Prinsip individualisasi, pada intinya menganggap setiap individu berbeda satu dengan yang
lainnya, sehingga seorang pekerja sosial haruslah menyesuaikan cara memberi bantuan dengan
setiap kliennya, guna mendapatkan hasil yang diinginkan. Dengan adanya prinsip individualisasi
ini, maka seorang pekerja sosial dibekali dengan pengetahuan bahwa setiap individu adalah unik,
sehingga pendekatan yang diutamakan adalah kasus per kasus dan bukannya penggeneralisasian.

Selain itu dari prinsip ini juga muncul pandangan agar pekerja sosial tidaklah memasukkan
kliennya ke dalam stereotipe tertentu tanpa melakukan observasi yang mendalam. Karena
memasukkan klien ataupun sistem klien ke dalam suatu stereotipe tanpa dilakukan observasi
yang mendalam akan dapat mengakibatkan hambatan dalam hubungan antar pekerja sosial
dengan klien ataupun sistem kliennya.

1. Partisipasi

Berdasarkan prinsip ini, seorang pekerja sosial harus mengajak kliennya untuk berperan aktif
dalam upaya mengatasi permasalahan yang dihadapinya, sehingga klien ataupun sistem klien
juga mempunyai rasa tanggungjawab terhadap keberhasilan proses pemberian bantuan tersebut.
Karena tanpa adanya kerja sama dan peran serta dari klien maka upaya pemberian bantuan sulit
untuk mendapatkan hasil yang optimal.

5.Implementasi Kebijakan Kerjasama

Eugene Bardach dalam tulisannya mengatakan bahwa penulis yang lebih awal memberikan
perhatian terhadap masalah implementasi ialah Douglas R. Bunker dalam penyajiannya di depan
the American Association for the Advancement of Science pada tahun 1970.

Pada saat itu disajikan untuk pertama kali secara konseptual tentang proses implementasi
kebijakan sebagai suatu fenomena sosial politik (Edward III, 1984: 1). Konsep tersebut
kemudian semakin marak dibicarakan seiring dengan banyaknya pakar yang memberikan
kontribusi pemikiran mengenai implementasi kebijakan sebagai salah satu tahap dari proses
kebijakan. Wahab dan beberapa penulis menempatkan tahap implementasi kebijakan pada posisi
yang berbeda, namun pada prinsipnya setiap kebijakan publik selalu ditindaklanjuti dengan
implementasi kebijakan (Wahab, 1991: 117). Oleh karena itu, implementasi merupakan tahap
yang sangat menentukan dalam proses kebijakan (Ripley dan Franklin, 1982, dalam Tarigan,
2000: 14; Wibawa dkk., 1994: 15).

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Edwards III (1984: 1) bahwa tanpa implementasi yang
efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi
kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu
kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi
masyarakat.

Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan
kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom-up,
dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan
dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika
top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan
konkrit atau mikro (Wibawa, 1994: 2).

1. Pengertian Implementasi

Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif


yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa,
dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan
untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan
dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana
telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama,
implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi
merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat.
Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator,
Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu
sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu
tertentu (Sabatier, 1986: 21-48).

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil
kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6)
bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan
publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan (policy stakeholders).

2.Perspektif Implementasi Kebijakan


Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah
satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-
10). Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu
mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi
kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan
syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi
atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi.Empat faktor tersebut
menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.

Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para
pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan
konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang
cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan
yang cukup guna melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program.
Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur tata aliran
pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.

Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat
pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1) adanya respek anggota masyarakat
terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-
undang yang dibuat oleh pihak berwenang; (2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan.
Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan
dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan
dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap
sebagai sesuatu yang wajar.

Menurut Mazmaniar dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi,
yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi
publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan
efisien. Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara
menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat
resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan
berbagai faktor dalam lingkungan politis.

Perspektif ilmu politik mendapat dukungan dari pendekatan sistem terhadap kehidupan politik.
Pendekatan ini seolah-olah mematahkan perspektif organisasi dalam administrasi publik dan
mulai memberikan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, seperti
ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan preferensi masyarakat.
Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh
konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.

Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi


kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur
administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau
individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis
karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan
perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru
kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua
adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan
penyesuaian.

Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara
empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga
mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan
dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-
organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan
kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi
ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang
diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat
sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional,
atau pendekatan faktual.

Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan
perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika
pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat
program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan
manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala
program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil
dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau
sebaliknya.

3. Model Implementasi Kebijakan

Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan
administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah
dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif.
Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai
aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi
administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Gambar 1

Implementation as a Political and Administrative Process


Sumber : (Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World,

Princeton University Press, New Jersey, p. 11)

T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan
dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan
(Nakamura dan Smallwood, 1980: 2). Pada gambar 01 terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki
tujuan yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan
diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program
dilaksanakan sesuai dengan rencana.

Implementasi kebijakan atau program – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan dan
konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur
luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran program dilihat melalui dampaknya
terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran
implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.

Gambar 3

Model Linier Implementasi Kebijakan

Sumber : (dikutip dari Baedhowi, 46-48)

Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu
model linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model linier, fase
pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan
kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain.
Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika
implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang
dianggap kurang memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk
meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

Berbeda dengan model linier, model interaktif menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai
proses yang dinamis, karena setiap pihak yang terlibat dapat mengusulkan perubahan dalam
berbagai tahap pelaksanaan. Hal itu dilakukan ketika kebijakan publik dianggap kurang
memenuhi harapan stakeholders.

Ini berarti bahwa berbagai tahap implementasi kebijakan publik akan dianalisis dan dievaluasi
oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya
diketahui dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.

Pada gambar 03 terlihat bahwa meskipun persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan
dalam proses implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan
dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya dapat digunakan secara optimum jika dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi positif dan dinamis antara
pengambil kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam
suasana dan lingkungan yang kondusif.

Gambar 3

Model Interaktif Implementasi Kebijakan

Laksanakan/Tolak
Tolak/Laksanakan

Sumber : (Thomas R. Dye. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall International, Inc.,
Englewood Cliffs, NY)

Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan model implementasi
kebijakan yang lain, khususnya model proses politik dan administrasi dari Grindle, terlihat
adanya kesamaan dan representasi elemen yang mencirikannya.

Tujuan kebijakan, program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai menurut
Grindle menunjukkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting dalam model
linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi kebijakan ditambah dengan tiga
elemen konteks implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas implementasi
menurut Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan
dan pengguna kebijakan dalam model interaktif. Begitu pula istilah model proses politik dan
proses administrasi menurut Grindle, selain menunjukkan dominasi cirinya yang cenderung lebih
dekat kepada ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga menunjukkan kelebihan model
tersebut dalam cara yang digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan,
beserta output dan outcomesnya.

Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn mengembangkan Model
Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa
perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur
implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut: (i) jumlah perubahan
yang akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh
berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van
Horn terlihat bahwa elemen yang menentukan keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam
elemen model proses politik dan administrasi menurut Grindle. Kata kunci yakni perubahan,
kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi
kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibuat oleh keduanya termasuk dalam
elemen isi kebijakan dan konteks implementasi menurut Grindle.

Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi
ruang lingkup kesepakatan termasuk dalam konteks implementasi.

Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19) membuat Model
Kesesuaian implementasi kebijakan atau program dengan memakai pendekatan proses
pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara tiga elemen yang ada dalam pelaksanaan
program, yaitu program itu sendiri, pelaksanaan program dan kelompok sasaran program.

Gambar 04

Model Kesesuaian Program dan Pemanfaatan Organisasi

Sumber : (Dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, h. 19)

Korten menyatakan bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian
dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat,
yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh
kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana,
yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi
pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu
kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program
dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan pola yang dikembangkan Korten, dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat
kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja program tidak akan berhasil sesuai
dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok
sasaran jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak
memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya
tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan
organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok
sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur
implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang
telah dibuat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model
implementasi kebijakan yang lain. Hal ini dapat dipahami dari kata kunci kesesuaian yang
digunakan. Meskipun demikian, elemen yang disesuaikan satu sama lain – program, pemanfaat
dan organisasi – juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (program) dan dimensi
konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes (pemanfaat) pada model proses
politik dan administrasi dari Grindle.

1. Penelitian Terdahulu
2. Ari Pratiwi , Peranan Balai Rehabilitasi Sosial Distrarastra Pemalang II dalam
Mengembangkan Kemandirian Penyandang Tunanetra. Under Graduates thesis,
Universitas Negeri Semarang.

Penyandang tunanetra merupakan bagian dari komponen masyarakat yang masih mempunyai
potensi yang dapat dikembangkan. Balai Rehabilitasi Sosial Distrarastra pemalang II adalah
salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap keberadaan penyandang tunanetra. Tujuan
penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan peranan Distrarastra dalam memberikan layanan
terhadap penyandang tunanetra. (2) Faktor yang menjadi pendorong dan penghambat bagi
Distrarastra dalam mengembangkan kemandirian penyandang tunanetra.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan,
wawancara, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan subjek penelitian yaitu petugas,
pelatih dan penerima manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial Distrarastra Pemalang II serta
informan pendukung yaitu keluarga penyandang tunanetra, masyarakat dan petugas Dinas Sosial.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: 1) Balai Rehabilitasi Sosial Distrarasta
Pemalang II memiliki peran melatih, mendidik, dan memberi bekal keterampilan kepada
penyandang tunanetra. Distrarastra mampu menjalankan peranannya baik actual roles maupun
expected roles 2) Faktor pendorong, antara lain: a) Adanya perhatian pemerintah dalam
mendukung pemberdayaan penyandang disabilitas, b) Anggaran dari pemerintah provinsi lancar,
c) Tersedianya lapangan kerja yang dikuasai penyandang tunanetra, d) Adanya penyaluran
penerima manfaat yang telah mandiri, e) keinginan dari penyandang tunanetra untuk maju 2)
Faktor Penghambat, antara lain: a) Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, b) Penerima
manfaat memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda, c) Sarana dan prasarana pelatihan
masih kurang, d) Terbatasnya tenaga. Saran yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Bagi Balai Rehabilitasi Sosial Distrastra Pemalang II, Pelayanan rehabilitasi sosial bagi
penyandang tunanetra hendaknya dapat dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan. 2)
Kepada unsur pemerintah terkait untuk lebih menunjang kegiatan penanganan penyandang
tunanetra. 3) Kepada seluruh masyarakat diharapkan untuk bersama-sama lebih turut andil dalam
mengentaskan permasalahan disabilitas.

1. Rehabilitasi Sosial Bagi Gelandangan di Panti Sosial Bina Karya Sidomulyo


Yogyakarta. Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta

“Rehabilitasi Sosial Bagi Gelandangan di Panti Sosial Bina Karya Sidomulyo Yogyakarta
“adalah proses habilitasi sosial yang ditujukan kepada gelandangan, untuk membantu
ngembalikan kepercayaan diri para gelandangan kepada keluarga maupun masyarakat dan
kecintaan terhadap kerja dengan cara pelayanan dan rehabilitasi sosial. Panti Sosial Bina Karya
erupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah Sosial Propinsi D.I ogyakarta, yang bergerak
dalam bidang rehabilitasi sosial khususnya bagi gelandangan.
Latar belakang adalah kemiskinan yang dampaknya sangat luas dan sangat kompleks sifatnya
mengingat berkaitan dengan berbagai asfek kehidupan psikologi, sosial, budaya, hokum dan
keamanan. Tujuan adalah untuk mendiskripsikan proses rekrutmen bagi gelandangan yang di
lakukan oleh Panti Sosial Bina Karya Sidomulyo Yogyakarta, dan untuk mendiskripsikan proses
rehabilitasi sosial di Panti Sosial Bina Karya Sidomulyo Yogyakarta. Kegunaan adalah untuk
memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu dakwah terutama kegiatan
layanan sosial, dan untuk memberikan masukan bagi lembaga dan pekerja sosial di Sidomulyo
Yogyakarta dalam mengelola dan melayani para gelandangan.

Lokasi penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Karya Sidomulyo Yogyakarta, Kecematan
Tegal rejo, Propinsi D.I.Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah kualitatif, jenis penelitian
ini bersifat deskriptif, pengambilan data yang dilakukan dengan teknik wawancara, observasi dan
dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah tidak lagi menjadi gelandangan, mencari nafkah sesuai
dengan norma sosial masyarakat, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan memiliki
tempat tinggal yang layak huni yang diberikan Panti Sosial Bina Karya yang berdampak positif,
tetapi pelayanan dan rehabilitasi social bagi elandangan tersebut belum berhasil secara maksimal
Karena masih adanya klien yang belum bias diterima di lingkungan sosialnya.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Perspektif Pendekatan Penelitian

Metode (pendekatan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, sedangkan
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan fenomena atau kenyataan sosial. Menurut
Faisal (2005:5) penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai
suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendiskripsikan sejumlah variabel yang
berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Sebagaimana telah diuraikan dimuka bahwa
dalam pembangunan kesejahteraan sosial melibatkan berbagai stake holders, dari sinilah akan
bisa diketahui seberapa jauh partisipasi dan bagaimana kualitasnya dari rencana yang dihasilkan.

1. Fokus Penelitian

Ruang lingkup atau fokus penelitian ini adalah akan menganalisapartisipasi stakeholder
pembangunan kesejahteraan sosial. Penelitian ini dimaksudkan untuk:

1. Mendeskripsikan partisipasi stakeholder pembangunan kesejahteraan sosial di Balai


Rehabilitasi Sosial Margo Widodo Semarang.
2. Mendeskripsikan kendala yang dihadapi Balai Rehabilitasi Sosial Margo Widodo
Semarang dalam penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial .

Adapun dalam penelitian ini yang dimaksudkan : Stakeholder pembangunan kesejahteraan


sosial, Penyandang masalah kesejahteraan sosial, Jejaring Sosial Penanganan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial
1. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini akan mengambil lokasi penelitian di  Balai Persinggahan Sosial Margo
Widodo Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah

D.Fenomena Pengamatan

Dari landasan teori di atas dapat diambil fenomena yang menjadi acuan untuk melakukan
penelitian yaitu :

1. Partisipasi Langsung Stakeholder Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Balai pelayanan


Sosial Margowidodo Semarang
2. Partisipasi Tidak Langsung Stakeholder Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Balai
Persinggahan Sosial Margowidodo Semarang.
3. Indikator keberhasilan Partisipasi Stakehoder pembangunan kesejahteraan sosial di Balai
Persinggahan Sosial Margowidodo Semarang

1. Jenis dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini sumber
data yang digunakan adalah:

1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan. Pemilihan informan
menurut Faisal (1990) dalam Sugiyono (2005: 56) informan yang dipilih mempunyai
kriteria :
2. mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga
sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayatinya
3. Mereka yang tergolong masih berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang tengah
diteliti.
4. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi
5. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil “kemasannya” sendiri.
6. Mereka yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti sehingga lebih
menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau nara sumber.
7. Data sekunder yaitu data tentang aspirasi / usulan rencana pembangunan yang sudah
merupakan prioritas. Data tersebut berupa dokumentasi yang tersedia dalam objek
penelitian.

1. Pemilihan Informan

Informan penelitian adalah sumber informasi utama yaitu orang yang benar benar tahu dan
pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian, dalam penelitian terkait dengan
partisipasi stakeholder dialam balai Rehabilitasi Sosial mengambil irforman :

1. Kepala Balai Persinggahan Sosial Margo Widodo Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah.
2. Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Balai Persinggahan Sosial Margo
Widodo Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah.
3. Kepala Seksi Penyantunan Sosial Balai Persinggahan Sosial Margo Widodo Dinas Sosial
Provinsi Jawa Tengah.
4. Pekerja Sosial Fungsional Balai Persinggahan Sosial Margo Widodo Dinas Sosial
Provinsi Jawa Tengah.
5. Stakeholder Pembangunan Kesejahteraan Sosial.

1. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument adalah peneliti itu sendiri, Studi
Dokumentasi yaitu pengumpulan dan penelaahan data dan informasi yang terdapat dalam seluruh
dokumen yang dihasilkan. Data dokumentasi dicatat dalam bentuk checklist, serta untuk hal-hal
lain dimuat dalam daftar secara naratif. Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari
penggunaan metode wawancara .

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawacarai (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002: 135). Peneliti melakukan Tanya
jawab secra langsung dengan pihak-pihak  yang berwenang dengan tetap berpegang teguh pada
interview guide sebagai instrument utam. Kegiatan wawancara dibedakan menjadi:

 Wawancara tidak berstruktur : Wawancara ini identik dengan wawancara bebas, dan
wawancara jenis ini paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif. Peneliti hanya
mengajukan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang mengundang jawaban atau komentar
subjek secara bebas (Danim, 2002: 139).

 Wawancara mendalam : Salah satu teknik pengumpulan data kualitatif adalah wawancara
mendalam. Instrument yang digunakan dalam wawancara jenis ini adalah pedoman
wawancara (Danim, 2002: 138).

Jenis-jenis dokumen antara lain :

1. Dokumen Partisipasi Stakeholder Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Balai


Persinggahan Sosial Margo Widodo Semarang.
2. Dokumen lainnya yang berhubungan dengan partisipasi stakeholder di dalam balai
rehabilitasi margo widodo semarang.
3. Teknik Analisis Data

Miles dan Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuhdengan aktivitas dalam analisis data meliputi tahapan  data reduction, data
display dan conclusion drawing/verification (dalam Sugiyono, 2005: 91).

1. Data Reduction : Mereduksi data berarti merangkum,memilih hal-hal yang pokok,


memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya agar dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan
data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.
2. Data Display : Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,
hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajiantersebut untuk dapat
memetakan data yang telah direduksi serta juga untuk memudahkan dalam menuturkan,
menyimpulkan dan menginterpretasikan data.
3. Conclusion Drawing/Verification : Kesimpulan berupa deskripsi atau gambaran suatu
obyek yang sebelumnya masih remang-remang menjadi jelas. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti
yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Bila kesimpulan
didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan menjadi kredibel.

Anda mungkin juga menyukai