Anda di halaman 1dari 3

Masa Depan Demokrasi Indonesia Dan Tantangannya

Oleh Zangki Firdaus

Kata demokrasi berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Yunani
yakni demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuatan. Dalam konteks
demokrasi, Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa masyarakat memiliki
kekuasaan penuh atas Negara.
Sejak awal reformasi secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan
dikangkangi oleh kekuatan oligarki yang sulit ditandingi, baik di tingkat nasional
maupun lokal. Kondisi ini menyebabkan Negara kita menjadi demokrasi yang hanya
berdasar pada kekuatan saja tidak lagi memiliki unsur rakyat (demokrasi tanpa
demos).
Kondisi Demokrasi Indonesia

Prof. Dr. Firman Noor mengungkapkan setidak nya ada sebelas karakteristik
demokrasi di Indonesia saat ini yang mencerminkan demokrasi tanpa demos itu.
Pertama, lemahnya pelaksanaan checks and balances. Kedua, meredupnya sikap
kritis civil society, baik pers, LSM, akademisi, dan sebagainya sebagai mitra
pemerintah; dan pembungkaman kalangan aktivis-kritis. Ketiga, kepemimpinan
nasional tidak membawa pencerahan/pendewasaan berpolitik. Keempat, lemahnya
penerapan nilai-nilai demokrasi, baik pada level elite ataupun masyarakat. Kelima,
penegakan hukum yang tebang pilih.
Keenam, memudarnya partisipasi rakyat yang otonom dan genuine. Ketujuh,
pelemahan kebebasan berekspresi demi stabilitas politik. Kedelapan, terjadinya “de-
demokratisasi internal” pada lembaga-lembaga politik. Kesembilan, pelaksaana
pemilu dan pilkada yang sarat dengan manipulasi dan politik uang. Kesepuluh,
repolitisasi birokrasi dan aparat untuk kepentingan penguasa, terutama dalam
kontestasi elektoral. Kesebelas, terjadinya diskriminasi politik atas nama SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antargolongan) dan rasa kedaerahan.
Menurut saya fungsi checks and balance ini seharusnya menjadi tugas utama
DPR-MPR dan partai politik baik itu partai pemenang pemilu maupun partai-partai
oposisi, namun wakil-wakil rakyat dan Hakim-hakim Negara ini malah melempem
menghadapai eksekutif, kekuatan MPR yang dlu sangat besar telah di pangkas habis-
habisan. Harus ada perubahan kedepan agar tiga pilar pemerintahan kembali
seimbang. Demokrasi kita dalam kondisi yang sangat gersang dari kritikan-kritikan
yang membangun bagi pemerintah, tidak hanya itu, kritikan-kritikan di media sosial
pun semakin ditekan dengan UU ITE yang tidak hanya melindungi pengguna
elektronik namun juga bisa menjadi senjata untuk saling membungkam suara-suara
kritis yang sebenarnya di butuhkan pemerintah. Para elite juga tidak cukup berhasil
dalam memelihara soliditas masyarakat, menghindari personifikasi politik, dan
mendorong demokrasi substansial-rasional. Inilah yang akhir-akhir ini menjadi
pendorong berkembangnya pembodohan politik dan manipulasi kepentingan serta
pembelahan politik, masyarakat berhak mendapatkan pendidikan politik dan
demokrasi yang benar karna masih banyak yang kurang memahami pentingnya
berpartisipasi aktif dan malah acuh terhadap perkembangan politik negeri, sehingga
regenerasi kader politik sangat terbatas dikaum elite tertentu dan semakin sulit
menjumpai calon pemimpin yang berkualitas dalam pemilu/pilkada. Tidak bisa di
pungkiri hukum kita masih bisa dibeli dan diacak-acak oleh penguasa, kecenderungan
menerabas aturan yang terlihat pada aturan-aturan kekinian, termasuk omnibus law.
Ini ditandai dengan maraknya politik uang, manipulasi informasi, dan bahkan baru-
baru ini diketahui pemerintah membayar influenser atau buzzer dengan dana yang
luar biasa.
Sudah dua puluh tahun demokrasi di Indonesia di tegakkan namun politik uang
masih terjadi, dapat dikatakan sebagian besar kemenangan dalam pilkada dan pemilu
sangat bergantung dengan banyaknya uang yang di gelontorkan. Eksekutif kini
semakin memiliki power dalam mengatur dan mengendalikan aparatnya, berbagai
lembaga di bentuk untuk menekankan suatu ideologi untuk mengontrol masyarakat.
Salah satu efek buruk dari otonomi daerah membuat rasa kedaerahan dan sara
meningkat di Indonesia. Semakin sulit untuk menyatukan bangsa tanpa menyentil
suku dan ras.
Tantangan Demokrasi Indonesia Kedepan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin cepat


kedepannya akan mempengaruhi sistem demokrasi kita bergerak menuju Era digital.
Semenjak era digital ini dimulai perkembangan Pemuda dan Pemudi yang
memanfaatkan hak pilihnya bertambah dengan drastis. Pastinya hal tersebut adalah
suatu kebanggaan bagi sistem demokrasi di Indonesia.
Suara-suara media elektronik akan lebih diperhitungkan dan dapat menjadi
senjata dalam sistem demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus cepat beradaptasi,
karna kedepan pesta demokrasi pasti akan lebih semarak di media-media digital dari
pada di lapangan seperti saat ini. Masyarakat akan terdata dalam satu tanda pengenal
yang bisa digunakan sebagai media penyaluran suara untuk berbagai hal seperti
pemilihan kepala daerah, kita harus siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan
tersebut.

Tidak lama lagi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dimana


pemuda-pemudi akan menguasai sebagian besar sector-sektor penting baik di
pemerintahan maupun swasta. Kebangkitan dan keterlibatan pemuda dalam
demokrasi di era digital sangat penting dimasa ini, untuk itu kita perlu berinovasi dan
segera membuat terobosan politik baru dalam menghadapi tantangan-tantangan yang
akan terjadi.
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1394-demokrasi-indonesia-
dan-arah-perkembangannya-di-masa-pandemi-covid-19
https://simponinews.com/2018/02/06/demokrasi-indonesia-di-era-digital/

Anda mungkin juga menyukai