Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Ramadhani

NIM : D1B115227
MATA KULIAH : Studi Demokrasi
PRODI : Ilmu Pemerintahan

Identitas buku
Judul buku : DEMOKRASI DI ATAS PASIR-Kemajuan Dan Kemunduran
Demokrasi Indonesia
Judul Asli : Building-Democracy on The Sand-Advances and Setbacks in Indonesia
Editor : Willy Purna Samadhi, Nicolaas Warouw
Penerbir : PCD PRESS
Edisi terbit : Mei 2009
Cetakan/hal : 2009/276 halaman

DEMOKRASI DI ATAS PASIR


KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN DEMOKRASI
INDONESIA
Willy Purna Samadhi, Nicolaas Warouw

Survei Demos 2007 memberikan sebuah gambaran umum mengenai


demokratisasi Indonesia selama sepuluh tahun sejak 1998 yang menghasilkan regulasi
formal dan informal dan norma-norma yang mendorong sistem politik demokratis.
Secara luas demokrasi sudah diterima di dalam kehidupan publik. Demokrasi juga telah
bekerja dengan baik sebagai kerangka politik nasional menggantikan sistem politik
otoriter. Dalam tataran ini, pandangan optimistiknya adalah bahwa kita telah
menjangkau titik kemajuan di mana demokrasi akan terus mengalami kemajuan sedikit
demi sedikit. Setelah perkembangan dramatis menyangkut hak-hak sipil dan politik di
tahun-tahun awal demokratisasi, beberapa instrumen demokrasi yang berkaitan dengan
pemerintahan kini juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini meliputi pemberantasan
korupsi, akuntabilitas dan transparansi pemerintahan, subordinasi pejabat pemerintah di
hadapan hukum, penegakan aturan hukum dan kemampuan untuk melawan kejahatan
yang terorganisasi. Meskipun demikian, beberapa permasalahan masih tersisa.
Pertama, ada sinisme terhadap politik ketika ia hanya dipahami sebagai praktik
untuk mengambil alih kekuasaan atau tampak sebagai jalur mobilisasi vertikal aktor-
aktor politik guna memperoleh kekuasaan. Beberapa sinisme sepertinya dikaitkan
dengan kekuasaan para elit politik yang sangat dominan dan bahwa praktik elit politik
tidak pernah peduli dengan rakyat. Kedua, kendati satu-satunya pilihan saat ini adalah
tetap melanjutkan proses demokratisasi, namun ada paradoks di dalamnya. Kekuasaan
para elit berjalan menuju ‘konsolidasi demokrasi oligarkis’, sebuah fenomena yang
ditandai dengan praktik ‘politik keteraturan’ danmenghalangi representasi rakyat di
dalam struktur demokrasi formal. Ketiga, representasi masih merupakan problem yang
sangat akut. Tidak ada peningkatan subtansial yang menghasilkan tiga dimensi
representasi: politik representasi berbasis partai, representasi kepentingan berbasis
asosiasi sipil dan gerakan sosial, serta partisipasi langsung. Demokrasi akan menjadi
arena permainan para elit oliga saja selama agenda demokratisasi gagal mencakup tiga
dimensi ini. Keempat, tampaknya mulai muncul ancaman baru terhadap aspek-aspek
fundamental demokrasi yang diindikasikan oleh mulai adanya kekangan terhadap
beberapa kebebasan sipil seperti kebebasan beragama serta kebebasan berpendapat dan
berorganisasi. Kelima, para aktor berkuasa sekarang lebih terintegrasi ke dalam sistem
demokrasi. Mesin politik berbasis partai dan sumber-sumber ekonomi yang kuat
mendukung manuver-manuver mereka. Semua ini merupakan buah dari nexus
hubungan-hubungan ekonomi politik yang diwariskan oleh rezim terdahulu. Kapasitas
aktor-aktor alternatif tidak cukup memadai untuk melakukan dekolonisasi dan
demonopolisasi sistem politik dari cengkraman elit-elit oligarkis. Aktor-aktor alternatif
cenderung mengandalkan massa dan tanpa sumber-sumber ekonomi memadai. Mereka
juga terpecah-pecah dan secara politik mengalami marjinalisasi. Sekali lagi, selain
mengalami beberapa kemajuan, sebagian aspek fundamental demokrasi berada dalam
kondisi kronis. Beberapa agenda pelembagaan demokrasi juga masih menyisakan
pekerjaan rumah.
Buku Demokrasi di Atas Pasir ini didasarkan atas survei yang menunjukkan
bahwa demokrasi Indonesia, selain memperlihatkan kemajuan-kemajuan juga
memperlihatkan beberapa kemunduran. Adalah benar bahwa rakyat yang sudah bebas
menggunakan hak suara mereka dalam pemilu, akan tetapi kaum perempuan (yang
kebanyakan tidak memiliki jaringan yang bagus), kaum miskin dan kelompok marjinal,
secara de facto terhalang untuk maju sebagai kandidat dan bahkan kadangkala untuk
memilih. Upaya untuk mengembangkan representasi popular menjadi terhambat. Isu-isu
mendasar seperti persamaan hak-hak sipil dan politik, serta pemenuhan hak-hak sosial,
ekonomi, dan budaya juga menghadapi tantangan serupa. Oleh karena itu, ada
kebutuhan mendesak untuk mengembangkan blok politik demokratis yang
terorganisasikan dengan baik dan tidak didominasi atau dipengaruhi oleh partai. Upaya
ini perlu dilakukan untuk mengingkatkan pengaruh masyarakat (demos) yang
independen ke dalam aktivitas-aktivitas politik yang terorganisir; untuk mengubah
relasi-relasi kekuasaan yang ada melalui representasi dan partisipasi yang lebih
merakyat; untuk meningkatkan posisi-tawar yang mengarahkan pada tercapainya
kompromi-kompromi yang lebih baik untuk pembangunan berkelanjutan berdasarkan
prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pada buku ini juga menjelaskan aktor politik di
Indonesia telah menyesuaikan diri terhadap aturan dan perundang-undangan yang
berlaku dalam prosedur demokrasi. Tetapi dengan memberikan prioritas kepada hasil
(outcome) dan kebiasaan-kebiasaan umum (budaya), banyak yang megabaikan
kelayakan infrastruktur demokrasi. Para aktor alternatif khususnya memiliki kapasitas
yang kurang dalam menggunakan dan memajukan perangkat-perangkat demokrasi.
Demokrasi dan khususnya sistem representasi dimonopoli oleh elit berkuasa
Buku ini lebih banyak menjelaskan tentang konsep perwakilan politik yang akan
selalu bersinggungan dengan konsep representasi, dimana representasi diartikan sebagai
sebuah gagasan yang kompleks (secara subtantif bertindak atas nama yang diwakilkan)
atau dengan kata lain berpihak kepada orang yang diwakilkan atas dasar kesamaan
(budaya maupun identitas) secara objektif. Representasi itu sendiri sebenarnya memiliki
dua buah pendekatan utama untuk memahami hal tersebut, yakni pertama pendekatan
matarantai-kedaulatan rakyat (chain of popular sovereignity) yang lebih menekankan
pada regulasi formal lembaga politik dan kedua pendekatan demokrasi langsung yang
umum digunakan leh para sosiolog, antropolog, politik, hukum dan HAM. Representasi
politik sering kali dianggap sebagai sebuah kegiatan kotor yang ditandai dengan
bergeraknya money politik dan memiliki kecenderungan pada ketokohan, organisasi
yang tidak memiliki kejelasan program serta para politisi busuk. Akbiatnya
ketidakpercayaan masyarakat pada akhirnya mampu melahirkan beberapa alternatif
karena mata rantai-kedaulatan popular ini seolah mengabaikan masyarakat lainnya yang
termajinalisasikan dalam bidang politik dan membentuk masyarakat mayoritas yang
rentan karena pada saat mereka menuntut haknya terbatas pada kepentingan kelompk
terbatas maka ada kecenderungan untuk menciptakan fragmentasi ditingkat bawah dan
mampu merapuhkan demokrasi itu sendiri. sedangkan pendekatan mata rantai-
kedaulatan takyat memiliki kelebihan dalam hal ketepatan dan konsistensi konseptual
dalam teori demokrasi dan memiliki kelemahan secara konteksual dalam memhahami
demokrasi itu sendiri, lalu cenderung mengesampingkan praktik diluar mata rantai
formal yang akan berdampak langsung terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan
Disisi lain, pendekatan demokrasi langsung dilakukan melalui dua strategi yakni lebih
berorientasi pada pasar (world bank) dan partisipasi konsumen (kedaulatan popular).
Michael Hardt dan Antonio Negri menambahkan bahwa negara dan kekuasaan yang
tersebar dan terlokalisasi satu unit yang kuat untuk melawan (ditambah pengaturan
hubungan sosial) ternyata sangat kurang relevan dengan partai politik yang kuat dan
representasi demokrasi. Hal tersebut seolah mendukung gagasan Putnam tentang demos
yang tumbuh secara organik dari bawah dan hidup diantara warga negara yang mampu
bekerja sama dan mengatur dirnya sendiri (modal sosial), tidak memiliki keterkaitan
dengan ideologi, lembaga maupun partisipasi politik (efeknya representasi menjadi
tidak berguna sebagai dampak langsung dari interaksi politik. Meskipun begitu, banyak
aktivis masyarakat sispl justru kuatir dalam mendapatkan legitimasi atas kiprah
politiknya terhadap masyarakat yang akan dijadikan objek perwakilan, sementara itu
lembaga-lembaga baru berpartisipasi langsung layaknya partisipasi langsung yang
berupaya untuk melahirkan representasi versi terbaru dan rangkaian electoral (mata
rantai kedaulatan rakyat) dengan dinamika asosialisme populism. Namun yang menjadi
permsalahan berikutnya ialah ketika tidak ada jaminann akan kewenangan dan
pertanggung jawaban, bagaiamana identifikasi dan kesepakatan dalam ranah maa demos
mampu mengendalikan urusan public berdasarkan konsep kesetaraan politik.
Berdasarkan uraian tersebut lalu muncul pertanyaan baru, apakah representasi itu
sebagai perwujudan menuju kehidupan yang lebih baik atu hanya sekedar topeng ? hal
ini dijawab lewat hasil penelitian terhadap instrument representasi untuk mengukur
kinerja partai politik dalam menuju kehidupan yang demokratis. Hasil penelitian tersbut
menyatakan bahwa ada tiga kelompok yakni pertama kelompok yang yang
menggunakan jalur kelembagaan (elitis) untuk memperbaiki ataupun memperkuat
lembaga demokrasi, kedua berupaya mereformasi partai plitik dengan pendekatan
struktural (top-down) –bahkan beberapa elemen justru membangun jalur alternative,
ketiga membangun lembaga representasi langsung. Memang pada dasarnya bahwa
representasi dapat digunakan untuk meningkatka kualitas partai politik dan sistem
kepartaian dan reformasi hukum, namun apa yang terjadi kemudian adalah banyak
partai politik dengan modal sosialnya justru mendominasi “pasar” dan beradaptasi
dengan perubahan sistem yang ada.Banyak lembaga maupun aktor tersebut justru
menggunakan kapasitasnya untuk memprmosikan, menghindari, dan mengesampingkan
kesepakan dan regulasi yang diharapkan mampu mempromosikan demokrasi. Oleh
karena itu perlu sebuah rancangan lembaga demokrasi untuk memperbaiki kapasitas
lembaga tersebut dalam membsngun representasi menuju kea rah yang lebih baik. Atau
dengan kata lain dari pada menghabiskan waktu untuk berdebat tentang banyaknya
partai politik dalam pemilihan umum,lebih baik mempertimbangkan keberasdaan partai
lokal yang mampu merepresntasikan masyarakat lokal sebagai sebuah alternatif karena
pembatasan jumlah partai politik sama artinuya dengan menghilangkan (menghambat)
represntasi alternatif, dimana tujuan utama mereka adalah untuk membangun
keteraturan politik yang stabil, sederhana dan efisien serta efektif. Lalu mengapa
dominasi elit tidak dapat dihilangkan dari kehidupan partai politik ? hal ini disebabkan
karena aktor ataupun partai politik memiliki posisi vital, hanya orang tertentu (memiliki
akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi) yang berhak menjadi kandidat,
kandidat individual harus mampu mengumpulkan 3-7% suara, ketidak jelasan program
dari para kandidat. Lalu upaya yang memungkinkan untuk mempromosikan representasi
terbanyak ialah dengan membentuk lembaga langsung pemerintah daripada membangun
partai politik ataupun organisasi politis lainnya, manfaatnya antara lain terbangunnya
lembaga dari sebuah basis yang nyata , mencegah distorsi represntasi dan ikut serta
dalam membangun organisasi non-partai, memiliki akses secara terbuka, dan istilah
lainnnya.
Daftar Pustaka
Dasar-Dasa Ilmu Politik PROF. MARIAM BUDIARDJO
DEMOKRASI DI ATAS PASIR-Kemajuan Dan Kemunduran Demokrasi Indonesia
Willy Purna Samadhi, Nicolaas Warouw

Anda mungkin juga menyukai