Anda di halaman 1dari 9

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

Nama : Taufik Ikhsan Nurdin

NPM : 191000504

Kelas :J

Mata Kuliah : Politik Hukum

Sistem Politik Indonesia

Pengalaman selama masa Orde Lama dan Orde Baru cukup memberikan kesan yang mendalam
dalam sistem politik Indonesia. Peran elit yang terlalu dominan membuat masyarakat tidak berdaya
untuk membangun dirinya dan terlibat dalam menciptakan sistem politik yang stabil, malah
sebaliknya timbul beberapa persoalan yang tidak terselesaikan. Masyarakat atau rakyat merupakan
penentu berjalannya suatu sistem politik, karena masyarakat dianggap sebagai subjek dan objek
dari sistem politik yang ada. Menurut Nico Schulte Nordholt (dalam Juliansyah), kekuatan sistem
politik memerlukan tingkat dukungan yang tinggi dari berbagai peran yang ada di dalam sistem
politik itu sendiri. Kalau kita secara sepintas meninjau kelima persyaratan yang disebutkan oleh
Linz dan Stepan, maka dengan sendirinya kita dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi bangsa
dan negara Indonesia masih jauh dari keadaan yang memadai. Lima syarat itu sangat penting bagi
proses transisi menuju sistem dmokrasi. Pertama, civil society yang bebas dan aktif. Kedua,
masyarakat politik, termasuk elit parpol-parpol, yang relatif otonom. Ketiga, penegakan hukum.
Keempat, birokrasi yang profesional. Kelima, masyarakat ekonomi yang relatif otonom dari
negara dan pasar murni. Masyarakat sipil (civil society) diberikan ruang yang bebas dan aktif agar
dapat memberikan peran politiknya guna menentukan arah perjalanan bangsa dan negara.
Masyarakat sipil (civil society) mempunyai peran yang sangat penting untuk menentukan arah
tindakan demi terciptanya masyarakat yang berdaya dalam menentukan nasibnya sendiri. Peran
warga masyarakat tidak hanya tercermin melalui berbagai tindakan-tindakan politik, seperti
memberikan suara dalam Pemilu secara bebas dan bertanggung jawab, tetapi termasuk
menentukan nasib sendiri. Dalam hubungan ini, peranan pemerintah menjadi katalisator bagi
tumbuhnya masyarakat sipil yang berdaya melalui berbagai program kebijakan pemerintah di
bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Masyarakat tidak hanya pasif dan bersifat menunggu apa
yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sebaliknya, masyarakat merupakan mitra pemerintah untuk
mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: “...
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”. Kedudukan partai
politik menjadi sangat strategis pada saat Indonesia memasuki babak baru dalam sistem politik
yang lebih terbuka. Partai politik dan elit politik tidak hanya tergantung pada kekuatan yang berada
di luar kerangka sistem politik. Persoalannya sekarang adalah partai politik dan elit politik belum
memiliki kemampuan untuk mempercayai dirinya sendiri dalam menentukan sikap, termasuk
sangat tergantung pada backing seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Budaya backing
tersebut menjadi penyebab lemahnya partai politik berikut kaum elit politik untuk bersikap otonom
dalam menentukan proses kompetisi politik dan menentukan sikap politik. Kemandirian partai
politik dan kaum elit politik sangat dibutuhkan agar tidak memiliki rasa ketergantungan kepada
pemerintah, termasuk dalam menentukan sikap politik untuk melakukan oposisi atau koalisi.
Keberanian partai politik untuk menentukan sikap sangat diperlukan untuk menjaga kontaminasi
kepentingan rezim yang berkuasa dengan kepentingan rakyat. Pengawasan dan pengendalian
kekuasaan oleh oposisi menunjukkan berjalannya check and balances system dalam sistem politik.
Jika ini tidak terjadi dikhawatirkan kegiatan extra parlementer untuk melakukan tekanan terhadap
pemerintah akan semakin marak. Demokrasi yang sedang berjalan dengan baik harus didukung
oleh kekuatan masyarakat sipil (civil society) sehingga kaum elit politik dapat menjalankan hasil
keputusan politik yang dibuat dalam sistem politik dengan baik. Keputusan yang dibuat untuk
kepentingan dan keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu peran penegak hukum
untuk menjalankan keputusan politik yang sudah dibuat menjadi sangat penting. Kesadaran yang
terjadi adalah penegakan hukum sesuai dengan norma hukum yang berlaku, jangan sampai hukum
dijadikan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Perangkat hukum yang dibuat
dipastikan dapat dijalankan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kepentingan bersama.
Walhasil penegakan hukum tidak berlaku diskriminatif, tetapi berdasarkan pada bukti dan fakta
hukum. Penegakan hukum diberlakukan sesuai dengan rasa keadilan, kejujuran, dan kebenaran
sebagai prinsip utama dalam menjalankan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan keberlangsungan hidup masyarakat politik, karena
itu politik memerlukan hukum untuk menciptakan rasa kepastian hukum, keteraturan, dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam negara demokrasi, hukum dibuat dan
dilaksanakan untuk menciptakan kepastian dan menumbuhkan kepercayaan dalam amsyarakat,
sehingga masayarakat akan terlindungi hakhaknya dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana
untuk menciptakan keteraturan sosial. Roda pemerintahan akan dapat berjalan bila kepentingan
politik dipisahkan dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi dibentuk untuk menjalankan tugas-
tugas politik atau kebijakan politik yang sudah dibuat. Peranan birokrasi dapat memberikan
dukungan yang kuat bagi berjalannya roda pemerintahan. Tugas dan fungsi birokrasi dapat terlihat
dengan jelas jika demokrasi terbuka lebar. Artinya, birokrasi tidak masuk dalam proses politik,
melainkan lebih banyak pada pelaksana kebijakan politik. Persoalan pokok yang muncul adalah
bagaimana meletakkan dasar-dasar bagi terbentuknya suatu sistem politik yang demokratis.
Menurut Alfred Stepan, keputusan rezim memulai reformasi menuju demokrasi biasanya terjadi
karena didasari pertimbangan kelompok elit bahwa kepentingan jangka panjang mereka akan lebih
bisa terjamin bila diperjuangkan dalam lingkungan yang demokratis. Tetapi jalur reformasi dari
atas umumnya menghasilkan beberapa kecenderungan. Pertama, proses demokratisasi bisa saja
dihentikan oleh pemegang kekuasaan karena situasi yang muncul pada masa liberalisasi itu
dianggap terlalu mahal biayanya ketimbang biaya represi. Kedua, karena demokratisasi dari atas
itu dikaitkan dengan pemeliharaan kepentingan elit, maka kecenderungan yang terjadi adalah
munculnya demokrasi terbatas. Ketiga, kekuatan militer akan terus melakukan usaha-usaha untuk
mempertahankan hak-haknya dan hal ini sangat mengganggu proses demokratisasi. Reformasi
yang diharapkan oleh golongan mahasiswa dan masyarakat akan mengalami perubahan yang tidak
sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, para pemegang kekuasaan harus berupaya mengontrol
proses demokrasi yang sedang berjalan. Pertimbangan tersebut, dengan berbagai alasannya, tidak
untuk membenarkan segala tindakan pemerintah (penguasa) hanya untuk mempertahankan
kekuasaan, baik berupa alasan ekonomi biaya tinggi dalam kegiatan demokrasi, stabilitas politik
dengan melakukan penyederhanaan partai politik, maupun melakukan eliminasi peran Dewan
Perwakilan Rakyat. Dengan kata lain, tidaklah dapat dibenarkan jika pemegang kekuasaan
sematamata berorientasi untuk mempertahankan kekuasaan, terutama jika ditempuh melalui cara-
cara yang kurang simpatik dan merugikan kepentingan rakyat. Pada era demokrasi, terdapat peran-
peran lembaga lain yang merasa dirugikan akibat dibatasinya kewenangan untuk melakukan
berbagai kegiatan politik, terutama aktivitas militer yang dirugikan melalui pembatasan ruang
geraknya untuk memberikan pengaruh berbagai keputusan politik. Kesiapan pemegang kekuasaan
untuk merelakan sebagian kekuasaannya diawasi oleh pihak lain, dianggap terlalu mahal bagi
pemegang kekuasaan. Pada akhirnya, tidak sedikit kaum elit politik yang memilih untuk
melakukan tindakan represif. Sebenarnya pemegang kekuasaan lebih mengetahui resiko yang
diterimanya, saat tindakan represif terhadap pihak yang dianggap menentang kebijkannya. Demi
untuk mempertahankan kelangsungan kekuasaannya, tidak jarang kaum elit politik memilih sikap
dan tindakan yang terkesan demokratis untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan, akibatnya
terciptalah sebuah demokrasi semu. Demokrasi seperti itu dilakukan hanya untuk memberikan
batas-batas ketertiban kelompok atau masyarakat yang seolah-olah terlibat dalam proses
demokrasi. Tidak heran jika beberapa elit politik memberikan porsi-porsi tertentu kepada militer
untuk menduduki tempat-tempat yang dianggap sangat strategis dari sisi politik dan ekonomi.
Tindakan seperti itu dilakukan semata-mata untuk mewujudkan demokrasi semu, bukan demokrasi
yang ideal sebagaimana yang dicita-citakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Praktek Politik Zaman Pemerintahan Jokowi

Di era kepemimpinan Jokowi selama 5 tahun tersebut, penguatan demokrasi seperti diabaikan,
namun begitu Presiden Jokowi tetap menyampaikan bahwa kehidupan demokrasi di eranya begitu
diperhatikan. Presiden Jokowi menyebutkan bahwa kebebasan pers dan menyampaikan pendapat
merupakan pilar demokrasi yang harus tetap dijaga dan dipertahankan. Presiden Joko Widodo
menyebutkan bahwa kemajemukan etnis, budaya Indonesia, dan Agama dilindungi oleh konstitusi.
Semua warga negara memiliki hak yang sama, kesetaraan. Dan model pemaksaan kehendak
berdasarkan unsur SARA atau jumlah massa bukanlah bentuk dari demokrasi. Buktinya setelah
satu periode berlalu, pemerintahan Jokowi dinilai belum signifikan dalam memperkuat demokrasi
dan institusi demokrasi. Reformasi sistem kepartaian, pemilu, serta lembaga perwakilan juga
belum terjadi. Namun selama 5 tahun memerintah bukan berarti Presiden Jokowi tidak ada
melakukan apa-apa untuk memperbaiki demokrasi. Ada salah satu kebijakan Presiden Jokowi
yang lumayan menyangkut penguatan institusi demokrasi, yaitu kenaikan bantuan anggaran untuk
partai politik. (Wahyuni, 2019.) Jokowi melakukan serangkaian kebijakan untuk memajukan
Republik Indonesia dan berusaha untuk membenahi evaluasi dari era SBY. Mungkin untuk hal
transparansi ke publik dan kebebasan pers sudah dapat dibenahi, namun pada terdapatnya Revisi
UU ITE pada tahun 2016 yang membelenggu kebebasan pers dan berekspresi. Rezim Jokowi yang
banyak melakukan pembangunan infrastruktur negara menciptakan kriminalisasi terhadap
masyarakat sipil yang terkena dampak penggusuran rumah dan tanah dalam upaya pembebasan
lahan untuk pembangunan. Ini menjadi rapor merah Jokowi, mengingat yang dipermasalahkannya
adalah tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintahan Jokowi tidak mampu menaikan ekonomi
nasional, hanya stagnan dalam 5%. Pembengkakan utang luar negeri pun terjadi. Karena tidak
ingin terjadi defisit, maka pemerintah berutang. Kebijakan dalam kesejahteraan masyarakat, yaitu
dalam penanggulangan dalam masalah pelayanan kesehatan dibentuklah BPJS-Kesehatan. Akan
tetapi, dalam merelealisasikannya terdapat deviasi dari persepektif masyarakat. Pelayanan
kesehatan kurang efektif dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Belum lagi akses ke
fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit belum mampu menjangkau wilayah
terpencil di Indonesia. Penanganan dalam pemberdayaan kualitas SDM di Indonesia dengan
mencoba meningkatkan kapabilitas pendidikannya, pemerintah mengeluarkan Kartu Indonesia
Pintar untuk membantu mereka yang membutuhkan dana pendidikan. Namun sasaran pembagian
Kartu Indonesia Pintar tidak merata, sehingga isu-isu kecemburuan sosial pun terjadi.
Pemerintahan Jokowi tidak berakhir pada tahun 2019, karenanya Jokowi terpilih kembali saat
pemilihan presiden tahun 2019 dengan Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Gejolak politik yang
terjadi di awal periode kedua kepresidenannya sangat intens dan tinggi sekali. Polemik yang paling
besar adalah usaha KPK memberantas korupsi dikriminalisasi oleh politik era Jokowi pada tahun
2019 dengan Revisi UU KPK. Pasal-pasal yang termaksud dalam RUU KPK ini membatasi dan
melemahkan pergerakan KPK untuk memberantas korupsi. Hal yang kontroversial lainnya adalah
Revisi KUHP yang menimbulkan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Pasal-pasal karet yang
tidak rasional dijadikan sebuah aturan hukum yang fundamental. Tentu saja ini menuai kritik keras
terhadap DPR dan Jokowi. Dari dua aturan fundamental tersebut menimbulkan demonstrasi yang
dilakukan ribuan mahasiswa di berbagai daerah dan puncaknya di Senayan di depan Gedung
DPR/MPR terjadi di tahun 2019. (Amini, 2019.). Pasca reformasi, struktur politik dan fungsi
politik mungkin mengalami perubahan yang signifikan, tetapi tidak dengan budaya politiknya.
Sehingga, menimbulkan paradoks dalam sistem politik Indonesia. Budaya politik yang
berorientasi pada perebutan kekuasaan yang terjadi dikalangan elit politik telah membuat struktur
demokrasi politik tidak berjalan baik. Isu-isu KKN masih kerap terdengar dalam portal media
massa. KKN menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi setiap presiden di Indonesia. Demokratisasi
semakin menurun dan bisa saja hilang seiiring dengan kebijakan otoriternya pemerintah. (Amini,
2019). Lantas pekembangan demokrasi di indonesia ini pun mempengarui sistem pemerintahan di
indonesia itu sendiri. Implementasi pemerintahan presidensial di era reformasi ini nampaknya
belum berjalan maksimal. Presiden dihadapkan pada posisi yang dilematis, kompromi dengan
parlemen atau berpegang teguh pada prinsip presidensial yang belum sepenuhnya didukung desain
politik yang kuat. Kompromi-kompromi sulit dihindari, sehingga menyebabkan sistem
presidensial semakin tereduksi karena personalitas dan gaya kepemimpinan presiden yang
cenderung kompromistik dan kurang tegas dalam mengambil keputusan. Penguatan sistem
presidensial menjadi sangat relevan diwujudkan untuk mengefektifkan penyelenggaraan
pemerintahan. Kurang efektifnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua
periode menjadi pelajaran memperkuat sistem presidensial dengan menyederhanakan sistem
kepartaian dalam revisi paket undang-undang politik. Memang menciptakan pemerintahan
presidensial yang efektif memang tidak mudah. (Wibisono, 2017). Dari bebarapa kasus diatas
maka dapat disimpulkan bahwa setiap sistem pemerintahan yang dijalani oleh masing-masing
presiden baik SBY maupun jokowi mempunyari corak demokrasi yang berbeda-beda dan menjadi
ciri khas masing-masing. Corak demokrasi tersebut menimbulkan kelebihan dan kekurangannya
masing-masing dibeberapa bidang. Yang pertama dari segi gaya kepemimpinan, gaya
kepemimpinan presiden ke 6 RI yaitu Susilo bambang yudhoyono dapat dilihat tampak visioner
dan berwibawa tegas dan ilektual, sedang kan gaya kepemimpinan Joko Widodo ialah sederhana,
dan lebih mengayomi, hal ini dilihat dari cara kampanye dan kegiatan awal setelah menjadi
presiden RI yang ke 7 yaitu blusukan. Hal yang berbeda antara sistem demokrasi di era SBY dan
Jokowi ialah sistem politik dan gaya politik nya sendiri. SBY dikenal dengan ketua partai
Demokrat nya telah mempersiapkan putra nya untuk mengikuti jejaknya ke dunia politik,
sedangkan Jokowi sampai dengan detik ini masih setia berada pada naungan partai PDI dibawah
pimpinan Megawati, kedua fenomena ini memunculkan 2 isue yang tak asing lagi, seperti politik
dinasti, dan politik-politik kotor lainnya yang menimbulkan ketidak percayaan masyarakat kepada
pemerintah. Dari segi ekonomi dan keadilan sosial pun tedapat beberapa kekurangan seperti sistem
ekonomi yang kurang stabil, keamanan dan keutuhan negara, serta hak asasi manusia yang harus
diukur lagi. Kesenjangan dalam sistem ekonomi ini pun makin terasa setiap tahunnya, pada era
SBY sistem ekonomi mengalami kemunduran karena harga bahan bakar yang terus meningkat
setiap tahunnya, namun ini bisa teratasi dengan bantuan-bantuan yang pemerintah berikan.
Memasuki periode masa jabatan presiden ke-7 bantuan ini memang tetap ada namun kesenjangan
sosial di aspek lain yang melemah seperti hak asasi manusia, maraknya kasuskasus yang
bersinggungan dengan HAM dengan salah satunya UU ITE, UU KPK, RUU KUHP yang
terkadang membuat pemerintah sepertinya enggan untuk dikeritik dan masyarakat seperti di
bungkam dan tidak bisa mengeluarkan aspirasi, dalam arti kata lain pada era Bapak Jokowi yang
kata nya keran mengeluarkan aspirasi itu dibuka selebarlebarnya namun nyata nya malah
sebaliknya. Memang betul setiap periode masa jabatan seorang pemimpin akan mengeluarkan ciri
khas dan gaya politik nya masing-masing namun sampai dengan detik ini pemerintah sepertinya
harus berbenah kembali agar sistem politik indonesia pada era ini bisa membaik lagi serta patologi
birokrasi dan penyakit demokrasi bisa sedikit berkurang agar dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah tidak hanya dalam segi politik namun juga dalam segi demokrasi
di indonesia.

Dalam bingkai ekonomi-politik, pemerintah mesti menyadari bahwa tidak ada kebijakan (ekonomi
dan politik) yang bisa memuaskan semua pihak secara optimal.Setiap kelompok kepentingan akan
berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan upaya yang sekecil-
kecilnya. Karena itu, setiap kebijakan (ekonomi dan politik) selalu ada pihak yang diuntungkan
dan yang dirugikan. Dari sisi perspektif ekonomi politik bahwa Pemerintah menghadapi tantangan
untuk membuat kebijakan yang tepat dalam krisis minyak goreng di Indonesia. Dalam ekonoomi
politik terutama pasar tidak dilihat dari aspek perilaku jual beli tapi ada aktor konstituen yang
merupakan rakyat merupakan aktor yang penting. Demikian yang dikatakan Meidi Kosandi, Ph.D
(dosen departemen Ilmu Politik FISIP UI)., dalam sebuah webinar dengan tema Strategi
Penyelesaian Krisis Minyak Goreng di Indonesa

“Dalam kasus kelangkaan minyak goreng pemerintah menghadapi dilema antara pasar dengan
masyarakat. Isu ini memang dilatarbelakangi oleh kenaikan harga minyak sawit di dunia, minyak
goreng kemasn langka ketika diterapkan HET (Harga Eceran Tertinggi), tetapi ketika mengkuti
harga pasar maka muncul isu soial dan politik di masyarakat. Kemudian ada isu bahwa pemerintah
tidak berpihak pada masyarakat, serta ada kartel minyak goreng. Isu kartel ini justruseakan
dibenarkan oleh Menteri Perdagangan di depan para anggota DPR RI. Mendag menyebut ada
mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan
pemerintah tumpul di pasar. Lutfi mengakui bila kewenangan kementeriannya amat terbatas.
Mafia atau kartel inilah yang dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi dan wilayah
pemasaran’ ujar Meidi.
Menurut Meidi, kebijakan negara di sektor industri sawit diantaranya hilirisasi industri berbasis
kelapa sawit sejak 2007, dengan inovasi Indonesia berhasil mengembangkan 168 jenis produk
turunan, 80% ekspor produk turunan serta produksi minyak goreng. Adanya sentralisasi dibawah
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) serta ada program B30 yaitu
pencampuran 30% biodiesel sawit dengan 70% minyak solar program ini diklaim menguntungkan
negara melalui penambahan devisa sebab 30 persen bahan baku untuk pembuatan solar diperoleh
dari komoditas kelapa sawit Indonesia. Dari bebrapa langkah Pemrintah ini sudah terlihat bahwa
Pemerintah sudah berupaya mengembangkan industri sawit di dalam negeri. Dilema yang dihadapi
oleh negara di satu sisi negara ingin mengembangkan industri kelapa sawit tetapi di sisi lain diterpa
isu isu seperti lingkungan hidup, alih lahan hutan dan isu keberpihakan pada masyarakat.

Beberapa persoalan yang dihadapi dalam paradigma kebijakan ada kecenderungan kebijakan
didominasi oleh paradigma kekuasaan. Ada narasi ketergantungan konsumsi minyak goreng di
dalam negeri sehingg perlu ada perubahan perilaku masyarakat seolah itu sumber masalahnya.
Kemudian ada juga narasi penimbunan minyak goreng. Narasi- narasi yang dibangun seperti ini
bisa jadi benar tapi dalam praktiknya semua permaslahan terkait dengan supply yang seharusnya
diatur tetapi yang diangkat adalah soal yang lain.

Ada beberapa pilihan kebijakan diantaranya

1. pembangunan industri kelapa sawit harus berkelanjutan dan masyarakat harus dilibatkan
dalam kebijakan negara.
2. dari sisi regulatif membuat pengaturan untuk prioritas suplai pasar doemestik dan
menerapkan insentif perdagangan domestik.
3. Terkait distributif maka pasar domestik harus dilindungi dan memperketat pengawasan
pasar domestik dan perdagangan internasional.
4. Kebijakan harus redistributif yang berarti pendapatan produk sawit untuk lingkungan
hidup, industri dan pasar domestik.

Daftar Pustaka

Amini, Widiana, 2019. Hegemoni Kekuasaan Dalam Sistem Politik Indonesia:Orde Lama,
Orde Baru, Era Reformasi. Siliwangi. Asmara,
Rangga Pandu. 2019. Mengukur capaian 5 tahun pemerintahan Jokowi-JK di bidang politik.
(https://www.antaranews.com/berita /1119148/mengukur-capaian-5- tahun-pemerintahan-
jokowi-jk-di- bidang-politik). di akses 6 Mei 2020.

Haris, Syamsuddin (Ed), 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan
obor Indonesia. PPW-LIPI

Hendardi, Bagas. 2017. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia. Yogyakarta: Istana Media.
Ismanto dkk, 2004. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumen, Analisis, dan Kritik,
Jakarta: Kementerian Riset dan Tehnologi dan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS.
Lumowa, Johny. 2017. "Peranan Legislatif Dalam Mekanisme Pemerintahan Daerah
Kabupaten Jaya Wijaya." Journal Lyceum 5.1 Pratiwi,Ega.Dkk. 2019. Blusukan Wujud
Kepemimpinan Demokratis (Studi Pada Era Kepemimpinan Jokowi). Malang : FIA UB

Anda mungkin juga menyukai