BAB 1
PENDAHULUAN
Pada bulan Mei 1998, kekuasaan rezim otoritarian ditumbangkan. Presiden Soeharto
dipaksa mengundurkan diri, protes massa pada sebagian besar rakyat, dipimpin oleh mahasiswa,
menolak keras terhadap rezim otoritarian yang berkuasa cukup lama. Mulai dari menteri-mentri
kabinet, politikus-politikus Soeharto, dan jenderal-jenderalnya dihadapkan pada pilihan:
memperparah situasi yang tidak bisa dikendalikan lagi melihat meningkatnya radikalisasi di
kalangan rakyat atau terpaksa melepaskan dukungan pada Soeharto. Pada akhirnya, mereka
memilih meninggalkan Soeharto. Protes massa dimenangkan oleh rakyat, Soeharto mengundurkan
diri. Rezim otoritarian akhirnya tumbang setelah berkuasa selama 33 tahun. Selama itu Indonesia
berada dalam cengkraman rezim otoritarian yang terjadi mulai dari pembunuhan massal yang
mengerikan, terjadi penindasan terhadap blok politik yang paling besar dikalangan basis rakyat.
Lebih dari 1 juta orang dibunuh, 20 ribu ditahan. Sebelum berakhirnya rezim otoritarian banyak
tuntutan massa dan tuntutan “reformasi total” banyak rakyat yang menginginkan perubahan.
Indonesia menganut pada paham demokrasi yang didirikan oleh bangsa Indonesia.
Mulai orde lama yang menggunakan demokrasi terpimpin, orde baru yang menggunakan
demokrasi sebagai simbol kekuasaan negara, namun tantangannya berbanding terbalik dengan
konsep demokrasi, praktiknya banyak penyimpangan demokrasi yang dilakukan oleh kekuasaan
rezim otoritarian. Pada era reformasi praktik demokrasi ditandai dengan berlangsungnya pemilu
demokratis dengan sistem multi partai. Akan tetapi praktik dalam demokrasi masih berpusar pada
demokrasi prosedural yang mengharuskan adanya partisipasi warga negara untuk memberikan
keputusan atas kontestasi pemilu demokratis, belum menyentuh pada praktik yang substansial
yang mana rakyat memegang kedaulatan tertinggi dengan tercapainya kesejahteraan rakyat. Sekali
lagi, praktik demokrasi pada berpusar pada demokrasi yang prosedural yang mana terdapat
dominasi pada produk demokrasi yang biasa disebut politik keluarga atau dinasti politik. Hal ini
bisa dilihat dari terpuruknya demokrasi yang dijalankan oleh rezim Jokowi, sudah 24 tahun pasca
reformasi tahun 98. Menurut data laporan lembaga pemantau demokrasi dari The Economist
Intelligence Unit (EIU) dengan skor indeks demokrasi 6,71, hal ini mengantarkan pada Indonesia
masuk dalam kategori negara demokrasi cacat yakni Flawed Democracy. Demokrasi saat ini
sangat rentan dikarenakan belum memutuskan hubungan dengan rezim otoritarian dari segi aspek
institusional, ekonomi dan perilaku politik. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa masih ada tiga
warisan rezim otoritarian yang belum bisa diputuskan hubungannya yang mengalami kerentanan
demokrasi.
Dimulai dari segi aspek institusional, Indonesia masih menerapkan sistem pemilu
proporsional sebagai dasar proses elektoral. Sistem proporsional dinilai lebih kompatibel dengan
masyarakat yang majemuk, sehingga memungkinkan untuk merepresentasikan semua kelompok.
Akan tetapi, sistem tersebut menyebabkan kerentanan karena memunculkan kerumitan dalam
mengelola hubungan politik antarkelompok masyarakat yang berasal dari berbagai spektrum baik
ideologi, agama, etnis, maupun wilayah. sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini
diterapkan terasosiasi kuat dengan politik uang dan korupsi. Hal ini terjadi karena sistem
proporsional terbuka memungkinkan banyak calon anggota legislatif (caleg) untuk berkontestasi,
berkampanye secara masif, sehingga perputaran uang pun tidak bisa terhindarkan.
Dari segi aspek ekonomi, Indonesia juga belum berubah dibandingkan masa Orde Baru.
Struktur ekonomi nasional masih didominasi kelompok kecil yang berhubungan dengan
pemerintah. Partisipasi ekonomi masyarakat belum signifikan, negara belum bisa
mengintegrasikan aktor-aktor yang lebih kecil dalam struktur ekonomi nasional secara
keseluruhan. Ketiadaan perubahan juga bisa dilihat dari segi perilaku politik. Saat ini, kontrol
terhadap kekuasaan melalui mekanisme institusi yang tersedia secara formal dipertanyakan.
Terakhir dari segi aspek perilaku politik, dalam praktiknya terjadi banyak penyimpangan
demokrasi salah satunya politik keluarga atau dinasti politik. hal ini bisa dibuktikan secara terang-
terangan dilihat dari beberapa kali periode pemilu, namun, kali ini Tingkat keterwakilan keluarga
penguasa sangatlah gambling tanpa memikirkan etika politik didalamnya. Banyak keluarga yang
memiliki hubungan darah dan hubungan perkawinan justru terpilih dengan suara mayoritas sebagai
wakil rakyat di DPR RI. Diperkuat lagi dalam kontestasi pemilu 2024 adanya intervensi kekuasaan
yang berujung pada manipulasi prosedur dan pelanggaran etik di Mahkamah Kontitusi bagi
pencalonan Gibran Rakabuming Raka telah menciderai dari proses demokrasi yang tengah
berjalan. Jika disimpulkan dari seorang wakil rakyat, walikota, dan wakil presiden. Maka
mayoritas dari seorang anak penguasa. Mereka di dukung dari popularitas penguasa, dana yang
kuat, dan didukung oleh mesin birokrasi. Hal ini justru menciderai demokrasi dengan belum
melahirkan produk demokrasi yang dipilih karena keterwakilannya menyuarakan hak rakyat.
Dalam hal memulihkan demokrasi yang ada di Indonesia maka di butuhkan peran
rakyat sipil dalam demokrasi membangun keahlian teknokratik di bidang yang diadvokasi.
Ini bukan sekadar untuk mengimbangi negara, melainkan juga karena seluruh persoalan
dunia saat ini, misalnya pandemi, perubahan iklim, itu bersifat teknokratik. Maka dalam
konteks tersebut maka diperlukan penguatan gerakan masyarakat sipil dari segi
peningkatan kapasitas teknokratik. Masyarakat sipil harus bisa menjadi pengimbang
negara dalam memberikan perspektif pengelolaan negara.
Meski kondisi demokrasi terus menurun, maka rakyat sipil harus berperan dalam
menyuarakan pembebasan dari rezim otoritarianisme untuk meraih kebebasan individu,
tetapi juga mendorong perbaikan sosial ekonomi. Terkait isu yang disuarakan seperti
kebebasan politik tentang jaminan kebebasan berpendapat, oposisi, tetapi juga membawa
isu-isu kerakyatan seperti reforma agraria, penyelamatan lingkungan, peningkatan upah
buruh, serta penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). tujuannya
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sebagai rujukan dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen inilah yang harus terus menerus
diperjuangkan untuk mencegah terjadinya regresi dalam kehidupan berdemokrasi. Antara
lain dengan membangun semangat inklusivitas yang mampu menjangkau berbagai elemen
masyarakat, menjaga dan melindungi kebebasan sipil secara bertanggungjawab,
mendorong independensi peradilan dan penegakan supremasi hukum, serta meningkatkan
partisipasi politik rakyat.
BAB 2
Setelah jatuhnya rezim otoritarian, Indonesia harus melalui proses pemulihan politik
dengan adanya perubahan sistem politik dan pemulihan demokrasi. Dengan tujuan
pemerintahan yang lebih demokratis telah diterapkan melalui perubahan konstitusional dan
pemilu yang teratur. Perubahan konstitusional yang dilakukan mencakup pembatalan sistem
pemerintahan yang dikendalikan oleh militer, yang digantikan oleh sistem pemerintahan yang
lebih demokratis. Juga diperkenalkan sistem pemilihan umum yang lebih transparan dan adil,
yang memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin mereka sendiri.
Pemilu yang teratur diadakan sejak tahun 1999, maka menyebabkan pemerintahan
yang lebih demokratis dan memberikan ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas bagi
rakyat Indonesia. Pemerintahan yang lebih demokratis ini juga meningkatkan hak-hak asasi
manusia dan mengurangi praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Meskipun
demokrasi Indonesia masih belum sempurna, pemerintahan yang lebih demokratis telah
meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia dan memberikan harapan untuk pembaharuan
yang lebih baik dimasa depan.
B. Munculnya partai politik baru dan perubahan lanskap politik
Beberapa partai yang muncul seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang
(PBB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem),
Partai Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan masih banyak lagi. Dengan adanya
sistem multipartai maka proses terbentuknya partai politik merupakan refleksi dari kesadaran
masyarakat tentang perlunya suatu wadah yang mampu memediasi relasi antara pemerintah dan
rakyat. Harapannya partai politik sebagai sarana untuk mengekspresikan kepentingan rakyat.
Namun begitu banyak tantangan yang harus dihadapi dengan banyaknya partai politik.
Tantangan partai politik di Indonesia tersandera oleh beberapa aspek masalah yakni
menyusutnya ideologi partai, kurangnya finansial pendukung, serta mendeknya rekrtumen partai
politik. Di Tingkat parlemen, ideologi partai politik mengalami generalisasi sehingga tak dapat
dibedakan secara spesifik. Akibatnya hilangnya spesifikasi pembeda ideologi partai, yang ada
hanya basis konstituen pragmatis. Kita bisa melihat secara terang-terangan bahwa ideologi partai
politik mencair sejalan dengan kepentingan pragmatis. Partai-partai yang berbeda platform
cenderung berkoalisi dengan duduk bersanding untuk satu kepentingan yang sama. Selain
menipisnya perbedaan, partai tidak konsisten mempertahankan ideologinya akibat persoalan yakni
ketiadaan sumber keuangan yang memadai. Dampak dari persoalan ini adalah merebaknya kasus
korupsi sebagai imbangan pengembalian modal partai politik.
C. Perkembangan institusi-institusi demokrasi seperti DPR, KPU, dan Bawaslu
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki peran vital dalam memastikan integritas
dan transparansi selama proses pemilihan umum di Indonesia. Tugas utama Bawaslu meliputi
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, pemantauan pelanggaran pemilu, dan penanganan
sengketa pemilihan. Bawaslu juga berperan dalam mengawasi kepatuhan partai politik, calon, dan
peserta pemilu terhadap aturan kampanye dan penggunaan dana kampanye. Melalui tugas-tugas
ini, Bawaslu bertujuan menjaga agar setiap tahap pemilu berlangsung secara adil, bersih dari
kecurangan, dan memberikan keyakinan kepada masyarakat terhadap proses demokratis. Tingkat
kepercayaan publik terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat dipengaruhi oleh kinerja
lembaga tersebut dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Transparansi, responsibilitas
terhadap pelanggaran, dan kemampuan menegakkan aturan berkontribusi pada membangun
kepercayaan masyarakat terhadap Bawaslu. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai peran
dan kewenangan Bawaslu juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga
ini dalam menjaga integritas dan keadilan dalam proses pemilihan umum.
BAB 3
Pasca reformasi, Indonesia telah memasuki babak baru yang ditandakan oleh runtuhnya
rezim orde baru dibawah kekuasaan Soeharto. Di sisi lain juga banyak tuntutan dari masyarakat
yang mampu mendorong pemerintah untuk menerbitkan perundang-undangan dan kebijakan yang
mendukung lahirnya desentralisasi dan demokratisasi yang sampai saat ini masih berlangsung.
Desentralisasi yang terjadi telah mendorong terjadinya demokrasi di tingkat lokal sehingga
Indonesia seluruhnya menganut demokrasi. Hal ini sempat mematahkan anggapan bahwa Islam
dan demokrasi tak bisa bersatu. Akan tetapi, meskipun perkembangan demokrasi di Indonesia
telah berada di fase yang menggembirakan, dimana semua daerah di tingkat nasional maupun di
tingkat regional telah menggunakan demokrasi secara utuh, hal itu tidak dapat menghilangkan
virus akut orde baru yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ironinya, demokrasi sama
sekali tidak mengatasi praktik KKN. Yang terjadi setelah pasca reformasi, demokratisasi telah
melahirkan neo-KKN. KKN berinkarnasi menjadi bentuk-bentuk politik kartel oligarkis, korupsi
gaya baru, dan dinasti politik (Irham, 2016).
KKN sampai saat ini masih menjadi PR yang sangat serius bagi pemerintah. KKN menjadi
tantangan besar demokrasi pasca-reformasi karena hal ini sama sekali tidak mencerminkan
demokrasi yang mengadopsi nilai-nilai "Liberty, Equality, Fraternity" yang berarti kebebasan,
persamaan, persaudaraan. Korupsi pasca reformasi mengalami perubahan. Pada masa orde baru
korupsi dilakukan secara terpusat. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada pasca reformasi,
korupsi telah menyebar layaknya virus yang menjangkit sangat cepat, tidak hanya di tingkat
nasional akan tetapi juga terjadi di tingkat-tingkat lokal. Inilah yang disebut perubahan gaya baru
dari korupsi.
Demokrasi dan korupsi adalah dua sejoli yang memiliki keterikatan layaknya anak muda
yang mengalami cinta pertamanya. Demokrasi itu bermuka dua, didepan tampak putih sementara
di belakang hitam, didepan tampak demokrasi sementara dibelakangnya terjadi tindakan korupsi.
Korupsi merupakan entitas yang tak terhindarkan dalam proses urusan publik dan pemenuhan
kepentingan kolektif masyarakat, baik dalam tahap perumusan kebijakan maupun pelayanan
publik yang berbasis masyarakat. Tersusunnya sebuah garis yang menandai batasan antara
kepentingan publik dan kepentingan individu atau kelompok merupakan representasi dari
kerapuhan struktural tindakan-tindakan koruptif. Warren menegaskan bahwa kemungkinan
terjadinya korupsi akan semakin besar ketika hubungan yang menghubungkan pembuatan
keputusan bersama dan pengaruh kekuatan masyarakat dalam proses demokratisasi, seperti
komunikasi aktif dan proses pemungutan suara, terhenti atau terganggu (Irham, 2016).
Di dalam sistem demokrasi haruslah ada relasi-relasi politis yang didasarkan pada
kecurigaan dan kepercayaan. Sehingga dari hal itu dapat mendorong pemerintah untuk melakukan
transpransi dan akuntabiltas selaku eksekutor dari sebuah kebijakan. Keterbukaan informasi publik
dan kesempatan akses yang merata terhadap struktur kekuasaan memberikan peluang bagi setiap
individu untuk berpartisipasi dalam pengawasan, sehingga tindakan korupsi yang dilakukan oleh
para pihak yang hanya mengedepankan kepentingan diri sendiri dapat dihindari atau setidaknya
kemungkinannya dapat diminimalkan. Menurut Klitgaard dalam Irham (2016), Corruption =
Monopoly + Discretion – Accountability, hal ini memberikan pemahaman untuk membentuk
landasan bagi lembaga-lembaga yang efektif dalam mencegah praktik korupsi. Oleh karena itu,
pandangan ini meyakini bahwa korupsi dapat ditekan melalui penerapan aturan yang diterapkan
secara tegas melalui prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang mencakup transparansi,
akuntabilitas, dan supremasi hukum.
Polarisasi politik dan konflik ideologis telah menjadi isu yang mendominasi panggung
politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini kompleks dan mencakup berbagai
faktor yang saling terkait. Sejarah politik Indonesia dipenuhi dengan konflik ideologis, yang
mencakup perselisihan antara kelompok nasionalis dan komunis pada masa revolusi kemerdekaan.
Konflik ini menjadi lebih rumit dengan munculnya isu-isu agama, terutama setelah Indonesia
merdeka. Perselisihan antara kelompok agamis dan sekuler sering memicu ketegangan ideologis
yang mendalam.
Keberagaman budaya, agama, dan etnis merupakan ciri khas Indonesia. Dengan lebih dari
300 kelompok etnis dan beragam agama yang ada, negara ini menjadi lanskap yang kaya tetapi
kompleks secara sosial dan politik. Keberagaman ini seringkali menjadi sumber ketegangan politik
karena perbedaan pandangan yang muncul dari latar belakang budaya, agama, dan etnis yang
berbeda. Ketidaksetaraan ekonomi yang signifikan juga memainkan peran penting dalam
memperkuat polarisasi politik. Meskipun Indonesia telah mencatat kemajuan ekonomi yang
signifikan, kesenjangan antara kota dan pedesaan, serta antara wilayah yang kaya dan miskin, tetap
menjadi masalah serius. Ketidakpuasan terhadap distribusi kekayaan dan peluang ekonomi sering
dimanfaatkan oleh aktor politik untuk memperkuat polarisasi dan memperoleh dukungan politik.
Tidak dapat dipungkiri perkembangan dari pemanfaatan teknologi dan jaringan kini telah
menyebar di setiap lini kehidupan. Misalnya di dalam penggunaan sosial media pengguna akan
dapat menyebarluaskan informasi dalam hitungan detik melalui pemanfaatan teknologi dan
jaringan. Hal ini memiliki dampak positif dan negatif. Adapun dampak positifnya setiap orang
akan dapat dengan mudah mengakses informasi dengan cepat, sementara negatifnya setiap orang
juga dapat terkecoh oleh berita palsu atau yang belakangan ini akrab disebut hoax.
Dalam aspek politik, hal ini sangat berbahaya. Khususnya dalam menjelang pemilu akan
selalu ada fitnah-fitnah yang terlempar dari satu paslon ke paslon lain yang biasa dilakukan oleh
buzzer. Hal ini dapat menyebabkan polarisasi politik yang menyebabkan runtuhnya semangat
persatuan sehingga masyarakat terbagi menjadi bagian dari kubu-kubu. Berdasarkan pernyataan
itu, Druckman, Peterson dan Slothuus (2013) mengaitkan dengan theory of motivated reasoning.
Teori tersebut menjelaskan fenomena bagaimana seseorang memiliki kecenderungan untuk
mencari informasi yang mengkonfirmasi pemikiran mereka (alias konfirmasi bias) dan cenderung
berdebat dan menolak bukti yang bertolak belakang dengan biasnya. Hal ini sangat berbahaya jika
dibiarkan saja. Calon penguasa yang buruk dan rakus senantiasa menghalalkan segala cara untuk
meraih keinginannya.
Tantangan demokrasi pasca-reformasi dari penggunaan teknologi dan jaringan ini juga
dapat mempengaruhi masyarakat untuk melakukan pembenaran atas tindakan kesewenangan yang
dilakukan oleh oligarki. Saat ini, hampir seluruh politisi terkemuka dan berpengaruh di bumi
pertiwi memiliki sosial media sebagai panggung elektoral. Di dalam sosial media, biasanya para
politisi-politisi tersebut akan menampilkan sisi baiknya terhadap masyarakat. Dari hal itu
masyarakat akan menganggap para politisi itu sempurna. Inilah yang menurut Druckman,
Petersonn dan Slothuus citra baik dari politisi tersebut akan selalu membekas di pikiran masyarakat
sehingga ketika terdapat berita yang memaparkan sesuatu yang buruk tentang politisi tersebut,
masyarakat cenderung menolak karena hal ini telah menjadi konfirmasi bias dalam pemikiran
masyarakat.
BAB 4
Advokasi hak asasi manusia dan keadilan sosial adalah upaya untuk memperjuangkan hak-
hak dasar dan keadilan bagi semua individu dalam masyarakat. Ini melibatkan pengambilan
tindakan untuk melindungi, memperjuangkan, dan mempromosikan hak-hak asasi manusia, serta
memastikan bahwa setiap orang diperlakukan secara adil dan setara di hadapan hukum.
Sayangnya, pemerintah gemar sekali melakukan pembiaran terhadap peristiwa yang melanggar
hak asasi manusia. Salah satunya adalah peristiwa 98 yang menghilangkan 13 aktivis yang sampai
saat ini masih belum menemukan titik terang mengenai keberadaan dan kondisinya. Ironinya,
negara melakukan pembiaran dengan menerbitkan UU NO. 26 Tahun 2000 yang menyebabkan
terlepasnya hak mahkamah pidana internasional untuk mengadili pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.
Sampai saat ini advokasi hak asasi manusia yang berorientasi kepada keadilan sosial masih
terus dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan adanya aksi kamisan yang berlangsung 17 tahun
lamanya bahkan sampai saat detik ini pun masih terus berlangsung. Tidak hanya aksi kamisan,
saat ini akibat dari pembiaran yang negara lakukan terhadap pelanggaran hak asasi manusia juga
telah melahirkan aksi-aksi lainnya. Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang seharusnya
menjadi tanggungjawab negara terus diadvokasikan agar negara kembali ke koridor tanggung
jawab yang seharusnya.
Dewasa ini, konsep ham telah mengalami perkembangan sejalan dengan kemajuan zaman
yang mengedapankan pemanfaatan teknologi dan jaringan. Kemajuan dalam bidang teknologi dan
jaringan dapat menyumbangkan pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk yang baru. Maka
dari itu, diperlukan sebuah inovasi untuk terus mengupayakan dan memperjuangakan keadilan
sosial melalui advokasi hak asasi manusia. Menurut Sopian dan Helfisar (2023), inovasi dalam
advokasi hak asasi manusia dapat melalui berbagai strategi hukum telah digunakan untuk melawan
ketidakadilan dan mempromosikan perlindungan hak asasi manusia. Beberapa strategi ini
termasuk litigasi strategis, litigasi transnasional, litigasi kepentingan publik, dan pendekatan non-
tradisional seperti aktivisme digital dan teknologi baru.
Advokasi untuk hak asasi manusia berada pada persimpangan kompleks antara kemajuan
hukum dan perubahan masyarakat, yang terus beradaptasi untuk mengatasi tantangan yang
semakin kompleks dan merespon peluang yang muncul. Selama beberapa dekade terakhir,
panorama aktivisme hak asasi manusia telah dipengaruhi secara mendalam oleh strategi hukum
yang inovatif dan pendekatan yang menggabungkan tradisi konvensional dengan teknologi
mutakhir, menciptakan landasan yang kuat untuk mendorong perubahan yang lebih luas dalam
isu-isu kemanusiaan (Sopian dan Helfisar, 2023)
Indonesia adalah negara hukum yang seharusnya supremasi hukum menjadi prioritas
dalam melangsungkan pemerintahan. Sebagai negara hukum, masyarakat mendapatkan jalan
untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan demokrasi melalui
citizen lawsuit. Citizen lawsuit adalah kehendak dari masyarakat terorganisir menyangkut
kepentingan umum yang dilanggar oleh siapapun atas pelanggaran kepentingan umum ini maka
diperlukan kontrol dari warga negara melalui citizen lawsuit (Nasir, 2017). Ditinjau dari
definisinya maka melalui citizen lawsuit setiap warga negara dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan atas nama kepentingan umum. Selain itu, berdasarkan Putusan Nomor
28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST, dapat diperinci bahwa Citizen Lawsuit menunjukkan sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Citizen Lawsuit memberikan hak kepada individu atau warga negara untuk mengajukan
gugatan di Pengadilan atas nama masyarakat secara keseluruhan atau kepentingan publik.
2. Salah satu tujuan utama Citizen Lawsuit adalah untuk melindungi warga negara dari potensi
kerugian yang timbul karena kelalaian atau pembiaran oleh pihak berwenang.
3. Citizen Lawsuit juga memberikan kesempatan bagi warga negara untuk menggugat negara
apabila tidak memenuhi kewajibannya dalam menjalankan undang-undang.
4. Para penggugat dalam Citizen Lawsuit tidak diwajibkan untuk membuktikan secara
langsung kerugian yang nyata dan dapat diukur.
5. Proses peradilan dalam Citizen Lawsuit cenderung kurang memihak terhadap tuntutan ganti
rugi, dengan lebih menekankan pada penegakan hukum dan pencapaian keadilan substansial
bagi masyarakat secara umum.
C. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Politik Dan Partisipasi Publik
1
Stop Intimidasi Terhadap Aktivis Dan Masyarakat Sipil - Opini - Majalah.Tempo.Co, n.d.
2
Ibid
3
Ibid
memonitor kebijakan pemerintah. Penetrasi politik juga dapat mengancam esensi kemandirian dan
mempengaruhi tujuan asli dari organisasi tersebut. Berikut beberapa dampat penetrasi politik pada
masyarakat sipil:
1. Penetrasi politik dalam organisasi akan menyebabkan hilangnya kredibilitas
organisasi masyarakat itu sendiri;
2. Dapat mengurangi kemampuan mereka untuk secara efektif memantau dan
mengkritisi kebijakan pemerintah
3. Menjadikan polarisasi masyarakat dan menjadikan organisasi tersebut tidak netral
4. Ketidakmampuan untuk mewakili kepentingan publik
Untuk menjaga kemandirian dan integritas organisasi masyarakat sipil, penting untuk
memiliki mekanisme pengawasan internal yang kuat, kebijakan pembiayaan yang transparan, dan
tata kelola yang baik. Masyarakat sipil harus tetap komitmen pada nilai-nilai independensi dan
netralitas agar dapat memenuhi peran mereka sebagai suara kritis dan pembela hak asasi manusia
dalam masyarakat.
C. Ketergantungan pada dana donor dan risiko mengorbankan kemandirian
Ketergantungan pada dana donor merupakan realitas yang sering dihadapi oleh banyak
organisasi masyarakat sipil (LSM) dan lembaga nirlaba. Meskipun dana donor dapat memberikan
sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan program dan proyek, namun adanya
ketergantungan yang berlebihan dapat membawa risiko mengorbankan kemandirian organisasi
seperti:
1. Ketergantungan yang tinggi pada donor membuat penentuan prioritas organisasi,
menggeser fokus dari kepentingan masyarakat kepada keinginan pen-donor
2. Organisasi yang sangat bergantung pada dana donor akan terhambat untuk menyuarakan
pandangan atau mengkritik pen-donor, terutama jika hal tersebut bertentangan dengan
kepentingan pendonor
3. Mengancam kelangsungan hidup organisasi dan program – programnya
Penting untuk diingat bahwa sambil mencari dukungan keuangan eksternal, organisasi masyarakat
sipil harus senantiasa berusaha mempertahankan kemandirian, integritas, dan tujuan utamanya
yang mengedepankan kepentingan masyarakat.
VI. Prospek Masa Depan untuk Masyarakat Sipil dalam Demokrasi Pasca-Reformasi
Prospek masa depan untuk masyarakat sipil dalam demokrasi pasca-reformasi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan politik, sosial, dan ekonomi di suatu negara. Sejak berakhirnya
rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari penyelenggaraan
pemerintahan secara otoritarian-sentralistis menuju demokratis-desentralistis4. Perubahan suasana
politik yang cukup mendasar terjadi, ditandai dengan meningkatnya intensitas hubungan antara
4
World Heritage Encyclopedia. (2019). New Order Indonesia. Project Gutenberg Self-Publishing Press.
negara dan masyarakat. Posisi negara yang pada era Orde Baru cenderung kuat dengan pembatasan
ekspresi warga negara mulai bergeser, diimbangi oleh kekuatan masyarakat sipil5.
Memasuki era reformasi, masyarakat sipil (civil society) tampil sebagai agen perubahan
dengan berbagai agenda untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi6. Keberadaan masyarakat sipil
menjadi “ruh” dalam pelaksanaan demokrasi. Mereka memiliki peran penting dalam proses
penyusunan kebijakan yang plural. Keterlibatan masyarakat sipil adalah keniscayaan dalam setiap
negara demokrasi sebagai upaya pendalaman demokrasi.
Di Indonesia, keberadaan masyarakat sipil dijamin oleh UU No. 16 Tahun 2017 Tentang
Organisasi Masyarakat7. Faktor pendukung bagi masyarakat sipil untuk terus berkembang dalam
iklim demokrasi adalah adanya aturan hukum yang melindungi dan menjamin eksistensi mereka.
Organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam membangun dan memperkuat
demokrasi, melakukan kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah dan institusi publik, serta
memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Namun, keberadaan masyarakat sipil juga memiliki beberapa kelemahan, seperti otonomi
yang relatif lemah ketika berhadapan dengan kekuatan negara. Dalam tataran ekonomi dan sosial
politik, mereka masih bergantung pada negara, lembaga donor, dan para oligarki. Terlepas dari
kelemahan ini, masyarakat sipil tetap menjadi pilar penting dalam proses konsolidasi demokrasi
di Indonesia8.
A. Perlunya reformasi kelembagaan untuk memperkuat peran masyarakat sipil
Reformasi kelembagaan sangat penting untuk memperkuat peran masyarakat sipil dalam
demokrasi pasca-reformasi, apalagi hal ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik, sosial,
dan ekonomi. Reformasi kelembagaan diperlukan karena lembaga-lembaga di dalam suatu sistem
pemerintahan berperan penting dalam menjalankan fungsi-fungsi tertentu, seperti pembuatan
kebijakan, penegakan hukum, dan pelayanan publik. Reformasi kelembagaan bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas lembaga-lembaga tersebut
agar dapat lebih baik melayani kepentingan masyarakat. Reformasi kelembagaan bukan hanya
sekadar alat peningkatan kinerja administratif, tetapi juga kunci untuk memperkuat partisipasi
masyarakat sipil.
Masyarakat sipil, sebagai agen independen di luar struktur pemerintahan, memiliki peran
krusial dalam menjaga keseimbangan kekuasaan, memastikan akuntabilitas, dan
merepresentasikan kepentingan masyarakat. Untuk memenuhi peran tersebut secara optimal,
masyarakat sipil memerlukan lingkungan institusional yang mendukung dan memfasilitasi
partisipasinya. Salah satu tujuan utama reformasi kelembagaan adalah memastikan keberlanjutan
dan independensi masyarakat sipil. Dalam hal ini, perubahan kebijakan dan praktik-praktik
5
Maherul, Mursal. (2020). Prospek Masyarakat Sipil di Era Reformasi dalam Konsolidasi Demokrasi.
6
Universitas Negeri Lampung. (____). Pendahuluan. Jurnal Digital Library. BandarLampung: Universitas
Lampung.
7
Sekretariat Kabinet RI. (2017). Undang-Undang Nomor16 Tahun 2017 Tentang OrganisasiMasyarakat. Diakses
melalui https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175343/UU%20Nomor%2016% 20Tahun%202017.pdf
8
Ibid
administratif harus diarahkan untuk menghindari potensi ketergantungan masyarakat sipil pada
pemerintah atau kelompok kepentingan tertentu yang dapat mengkompromikan kemandirian
mereka.
Reformasi kelembagaan bukanlah sekadar wacana administratif, melainkan fondasi bagi
peningkatan kualitas demokrasi dan partisipasi masyarakat sipil. Dengan memastikan bahwa
lembaga-lembaga pemerintahan beroperasi secara transparan, akuntabel, dan responsif, reformasi
kelembagaan menciptakan landasan yang kokoh untuk penguatan peran masyarakat sipil dalam
mengawasi, mengkritisi, dan memberikan kontribusi yang konstruktif dalam proses pembangunan
nasional.
B. Upaya meningkatkan kesadaran politik dan partisipasi publik
Meningkatkan kesadaran politik dan partisipasi publik adalah aspek penting dalam
membangun demokrasi yang kuat dan inklusif. Berikut adalah beberapa upaya yang dapat
dilakukan:
1. Pendidikan Politik: Pendidikan politik dapat dilakukan melalui berbagai saluran,
seperti keluarga, lembaga pendidikan, teman sebaya, media massa, dan organisasi
politik9. Melalui pendidikan, individu dapat meningkatkan kesadaran politik
mereka, diberdayakan untuk berpartisipasi secara aktif, dan membangun
pemahaman tentang pluralisme dan toleransi10.
2. Reformasi Kelembagaan: Transparansi dan akuntabilitas pemerintah harus
ditingkatkan melalui reformasi sistem pemerintahan dan perbaikan kebijakan,
penegakan hukum terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan juga
harus diperkuat11.
3. Pembangunan Kapasitas Masyarakat: Masyarakat harus diberdayakan untuk
berpartisipasi dalam proses politik. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan,
pendidikan, dan program-program pemberdayaan12.
4. Partisipasi dalam Pemilihan Umum: Pemilihan umum merupakan indikator
terpenting dalam suatu negara demokratis dimana prinsip kebebasan, keadilan dan
9
Upaya Mengembangkan Partisipasi Politik - Kompasiana.com. (n.d.). Retrieved February 10, 2024, from
https://www.kompasiana.com/riyantotimi/552c61776ea83499788b45d7/upaya-mengembangkan-partisipasi-
politik#google_vignette
10
Peran Pendidikan dalam Meningkatkan Kesadaran dan Partisipasi Politik di Indonesia Halaman 1 -
Kompasiana.com. (n.d.). Retrieved February 10, 2024, from
https://www.kompasiana.com/rizaldyrahadianp/6498ffa64addee754f4edfb2/peran-pendidikan-dalam-
meningkatkan-kesadaran-dan-partisipasi-politik-di-indonesia
11
Perkembangan Demokrasi di Indonesia: Tantangan dan Peluang - Kompasiana.com. (n.d.). Retrieved February
10, 2024, from
https://www.kompasiana.com/hendraandriyana4477/64e9649708a8b55072585dd2/perkembangan-demokrasi-
di-indonesia-tantangan-dan-peluang
12
Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Indonesia - Universitas Islam Indonesia. (n.d.). Retrieved February
10, 2024, from https://www.uii.ac.id/meningkatkan-partisipasi-politik-masyarakat-indonesia/
kesetaraan setiap warga negara terjamin, Masyarakat harus didorong untuk
berpartisipasi dalam pemilihan umum dan menggunakan hak pilih mereka13.
Dengan demikian, melalui upaya-upaya ini, kita dapat meningkatkan kesadaran politik dan
partisipasi publik dalam proses demokrasi
13
PEMILU SERENTAK 2024: Membangun Kesadaran Partisipasi Masyarakat Halaman 1 - Kompasiana.com. (n.d.).
Retrieved February 10, 2024, from
https://www.kompasiana.com/eko97683/644b75884addee1a0c0db3f2/pemilu-serentak-2024-membangun-
kesadaran-partisipasi-masyarakat
14
Haryono, N. (2012). Jejaring Untuk Membangun Kolaborasi Sektor Publik. Jejaring Administrasi Publik. Th IV.
Nomor, 1.
15
Ibid
16
Ibid
17
Sinergi dan Kolaborasi Penyelenggara Pelayanan Publik Kanwil DJKN Kalbar Mendorong Peningkatan Layanan
Serta Mewujudkan WBBM. (n.d.). Retrieved February 10, 2024, from https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-
kalbar/baca-artikel/14658/Sinergi-dan-Kolaborasi-PenyelenggaraPelayanan-Publik-Kanwil-DJKN-Kalbar-
Mendorong-Peningkatan-Layanan-Serta-Mewujudkan-WBBM.html
4. Pembangunan Jaringan Sosial dan Kerjasama: Langkah-langkah kerja dalam
membangun jaringan sosial dan kerjasama juga perlu diperhatikan.
Dengan demikian, sinergi antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah dapat terwujud
melalui jejaring kerjasama yang efektif dan efisien. Ini akan membantu dalam mencapai tujuan
pembangunan yang berkelanjutan.