COVID-19
ByRedaksi Website
May 12, 2020
Membicarakan masa depan demokrasi pada umumnya akan mengarah
setidaknya pada dua hal, yakni penguatan demokrasi atau pelemahan
demokrasi. Dalam hal pelemahan demokrasi, ada dua model atau
varian. Pertama, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian
resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang disebut oleh Colin
Crouch (2004) sebagai “post-democracy”.
Post-Democracy
Kedua, dalam situasi di atas, partai bukan lagi sebagai sarana penyalur
kepentingan rakyat. Partai tidak lagi menjadi alat sebuah basis politik,
namun alat kepentingan pemilik partai. Partai dikelola secara eksklusif
(top-down) layaknya “firma politik” dan mengandalkan pendistribusian
material yang cenderung sentralistis, yang mengakibatkan
pendiri/penyandang utama dana partai menjadi pusat segalanya. Visi
dan gerak partai lebih ditentukan oleh saran-saran political advisor yang
berorientasi mengakomodir kepentingan elite dan oligarki, ketimbang
kepentingan riil masyarakat akar rumput.
Tabel 1
Politik Indonesia Tak Lama sebelum Pandemi COVID-19: Tendensi
Regresi
Ketiga kebijakan itu adalah (1) Revisi UU KPK atau di kalangan pegiat
demokrasi dikenal sebagai UU pelemahan KPK; (2) UU KUHP, yang
membuka peluang intervensi kepentingan negara dalam ranah privat;
dan (3) RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dalam banyak aspeknya
lebih memberikan keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau
investor ketimbang pekerja/buruh.
Selain itu, menurut Hank tanpa adanya kebijakan yang tepat dan dapat
dikontrol dengan efektif, situasi ini dapat menciptakan oportunis-
oportunis atau para pembajak kepentingan yang membahayakan
kepentingan rakyat dan akhirnya eksistensi negara.
Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu
terusik dengan kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mulai
merebak. Begitupula saat munculnya beberapa kali inkonsistensi
kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika
tidak lancarnya pemberian bantuan sosial dan munculnya pencitraan
bagi-bagi sembako, DPR tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-
suara kritis, secara umum nuansa over-protective parlemen kepada
pemerintah masih terasa.
Kelima, beberapa hal lain yang turut mewarnai kehidupan politik ini
adalah perlindungan terhadap citra pemerintah. Pemerintah tampak
melihat kewibawaan di saat krisis harus dijaga, sayangnya itu dimaknai
dengan melakukan pengawasan kepada masyarakat. Tidak
mengherankan jika kepolisian diminta untuk lebih intens dan proaktif
dalam melindungi simbol-simbol negara termasuk presiden.
Dengan berbagai situasi politik dan pemerintahan di atas (dan tentu saja
ditambah ekosistem politik pada masa pandemi), tentu mudah terlihat
bahwa esensi politik kita belum mengarah pada penguatan demokrasi,
melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi,
restriksi, dan peluang oligarchy reinforcement.
Kesimpulan
Masa depan demokrasi kita tampaknya belum akan pulih dalam waktu
dekat. Model post-democracy akan tetap bercokol dalam kehidupan
politik kita. Memang kita tidak akan mengarah pada model pemerintahan
otoriter, namun juga belum akan mengarah pada bentuk pemerintahan
demokrasi tulen. Berbagai indikasi menjelang dan saat terjadinya
pandemi COVID-19, tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah
pada dukungan bagi perbaikan demokrasi.
Jika tidak ada sebuah terobosan politik yang berarti, bisa jadi kualitas
demokrasi kita semakin melorot pasca-pandemi ini. Munculnya berbagai
regulasi yang bernuansa sentralisasi kekuasaan, selain juga karakter
demokrasi kita yang mengarah pada post-democracy, dan situasi politik
yang tengah berjalan saat pandemi, menjadi persoalan-persoalan pokok
demokrasi kita hari ini. Belum lagi kondisi kehidupan ekonomi yang
makin melemah dan potensi renggangnya kohesi sosial yang dapat
memperburuk situasi.
Di satu sisi kita harus mulai waspada agar resesi dan konflik seperti
yang terjadi di Lebanon ketika rakyat semakin lapar dan frustasi, tidak
terjadi di tanah air. Namun pemulihan stabilitas sosial-politik yang tidak
tepat dapat berujung pada restriksi berkepanjangan yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan demokrasi. Sebuah situasi yang
menyebabkan pegiat demokrasi harus melupakan tidur nyenyaknya
lebih panjang lagi.