Anda di halaman 1dari 6

Penegakan Hukum Terhadap Populisme Elit Politik yang Mengancam Polarisasi di Indonesia

pada Sosial Media

Dito Razaaq Perkasa


225120507111040

Abstract
This study aims to analyze law enforcement against populism that occurs in Indonesia. The rise
of populism in this modern era is not only happening all over the world, but the Indonesian state
has also begun to enter the era of populism. It was marked by the emergence of presidential
candidates Jokowi and Prabowo in the 2014 and 2019 elections which sparked many issues of
populism that created polarization in society. The research method used is a qualitative method
by collecting data and reports on the mass media and events on social media. The results of the
research show that the law enforcement process is still lacking, many hashtags and statuses that
can cause polarization are not acted upon by the authorities. In fact, this involves many parties,
such as the public who are aware of the dangers of polarization and law enforcement officials
who are quick to respond. The polarization factor is caused by populist movements by political
elites so that their successful team makes tweets or statuses that provoke other groups. If this is
not resolved immediately, it will show that the quality of democracy in Indonesia is declining due
to slow law enforcement and a divided society.
Keywords: election, populism, polarization, democracy
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penegakan hukum terhadap populisme yang terjadi
di Indonesia. Kebangkitan populisme di era modern ini tidak hanya terjadi di seluruh dunia,
melainkan negara Indonesia pun sudah mulai memasuki era populisme. Ditandai dengan
munculnya calon presiden Jokowi dan Prabowo pada pemilu 2014 dan 2019 yang banyak
memicu isu populisme hingga membuat polarisasi ditengah-tengah masyarakat. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan mengumpulkan data dan laporan
pada media massa serta kejadian di media sosial. Hasil penelitian menujukkan bahwa proses
penegakan hukum masih kurang, banyak tagar dan status yang bisa menimbulkan polarisasi tidak
ditindak oleh aparat. Sebenarnya hal ini melibatkan banyak pihak seperti masyarakat yang sadar
akan bahayanya polarisasi dan aparat penegak hukum yang cepat tanggap. Faktor adanya
polarisasi diakibatkan pada Gerakan populis oleh elit politik hingga tim sukses mereka membuat
tweet atau status yang memancing kelompok lain. Jika tidak segera teratasi akan menunjukkan
kualitas demokrasi di Indonesia menurun karena penegak hukum yang lamban serta
masyarakatnya yang terpecah belah.
Kata kunci: pemilu,populisme,polarisasi,demokrasi

PENDAHULUAN
Perkembangan populisme di Indonesia sudah ada sejak masa Jokowi dan Prabowo saat pemilu
2016 dan pemilu 2019. Mereka salah satu contoh kepemimpinan dengan gaya populis.
Populisme sudah menjadi hal yang sudah lama diperbincangkan namun masyarakat kurang
tertarik dan masih kurang dikenal ditelinga masyarakat di Indonesia. Karena hal ini, gambaran
dinamika politik Indonesia yang dipercayai masyarakat awalnya diwarnai hanya perebutan
kepentingan elit politik namun sebenarnya ada populisme di dalam politik tersebut. Populisme
bisa menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia karena kurangnya terinstusionalisasinya
demokrasi (Eby Hara,2018)
Populisme adalah ciri retorika dan bukan mengandung arti ideologi atau sebuah penyematan
kepada gaya kepemimpinan yang bersifat popular di tengah-tengah masyarakat (Laclau,2005).
Ada dua kelompok yang mendefinisikan populisme secara berbeda, kelompok pertama
mendefinisikan populisme sebagai ideologi dan kelompok kedua mendefinisikan sebagai strategi
politik. Sebenarnya inti dari populisme adalah bagaimana pemimpin membuat citranya sebagai
pemimpin yang “berkharisma”. Namun saat ini populisme saat ini menjadi senjata politik untuk
memperoleh kekuasaan dan memberikan dampak polarisasi atau perpecahan yang menimbulkan
adanya kelompok baru sehingga demokrasi dikatakan gagal jika sampai itu terjadi.
Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mengartikan bahwa seluruh lapisan masyarakat
harus menaati pada aturan hukum yang berlaku begitu juga dengan penyelenggaranya. Indonesia
mengadopsi negara hukum pada prinsip konstitusional sejak UUD 1945 yang menandakan
perkembangan bangsa Indonesia mengarah pada kesepakatan untuk meraih cita-cita bangsa
bersama 1 atau falsafah kenegaraan (staatside) yang berfungsi sebagai filosofische grandslag2.
Bukti Indonesia mengakui sebagai negara hukum tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang dibuktikan dengan lima sila sebagai dasar
negara. Negara demokrasi tidak akan terpisahkan dari hukum. Peran hukum sebagai landasan
yang mengiringi demokrasi terwujud dengan meminimalisir pelanggaran hukum baik yang
dilakukan masyarakat maupun sekelas pemerintah.
Saat ini isu populisme marak terjadi di sosial media terutama menjelang pemilu 2024. Beragam
status dan gambar mewarnai sosial media dalam hal politik populisme terutama pada bacalon
Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Karena sosial media merukan media yang bebas

1
Jurnal Al-Qadau,peradilan dan hukum keluarga islam Ias Muhlashin 2021, hal88
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 22
bereskpresi tanpa menghiraukan apa yang akan dikirim hal ini membuat sosial media menjadi
senjata politik yang berbahaya jika pengawasan dan penegakan hukumnya hanya sebatas
pelaporan tanpa tindakan. Sosial media juga menjadi platform grup-grup Gerakan populis yang
dikhawatirkan akan membawa polarisasi di media sosial sehingga ini adalah masalah yang harus
ditangani dengan serius.
Pemerintah memiliki hukum yang berlaku jika melanggar dan membuat keributan di sosial
media pada pasal UU ITE. Namun pelaksanaanya ini perlu dikaji lebih lanjut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Populisme,Polarisasi dan Demokrasi
populisme popular di Indonesia pada pemilu 2014 dan pemilu 2019 contohnya saat itu Prabowo
mengatakan beliau “anti-asing” secara tidak langsung narasi anti-asing ini membuat kelompok
pemilih Prabowo disebut “nativisme”. Munculnya populisme di Indonesia berhubungan dengan
fakta bahwa populisme ada di indonesia sebagai strategi politik oleh actor populis ditengah
kemunduran demokrasi. Adapun kelompok yang pada saat itu yang aspirasinya tidak terwakilkan
pada tahun 2017 gerakan populisme yang dibawa oleh FPI (Front pembela islam).
Populisme FPI adalah menggambarkan Indonesia telah menjadi kelompok yang didominasi oleh
kaum tionghoa dan kelompok korup (Eby Hara, 2018). Ketika Basuki Tjahaja purnama dianggap
melakukan penistaan yang merupakan kesempatan bagi actor populis yaitu Rizieq Shihab untuk
melakukan Gerakan yang seolah memojokkan kaum tionghoa melalui Gerakan 212. Mobilisasi
yang dilakukan pada geraan 212 suskes membuat hampir seluruh umat islam membentuk narasi
kebencian terhadap kaum tionghoa. Contoh peristiwa tersebut menunjukan masyarakat Indonesia
yang mudah sekali untuk terpecah belah atas nama agama dan etnis. Dari peristiwa diatas
hubungan populisme dengan polarisasi sangat terlihat jelas dengan actor populisme bernarasi hal
itu sudah menimbulkan suatu kelompok baru pun jika narasinya bagus tetapi jika
mengungkapkan ujaran kebencian maka akan berdampak pada polarisasi hal ini sebagai catatan
kemunduran demokrasi di Indonesia. Indonesia sebagai negara demokrasi bukan kali pertama
menghadapi kasus ini., namun jika dibiarkan apa arti demokrasi jika perpecahan terus terjadi dan
pengelompokkan identitas yang merasa superior terus meraja rela.
B. Populisme menimbulkan polarisasi : Kampanye hitam dan Budaya konsumsi
Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana actor populis mempengaruhi masyarakat
hingga menimbulkan polarisasi yang dapat memecahbelah akibat pengelompokan
etnis,agamadan identitas yang disertai sikap anti kritik, serta narasi dan ujaran kebencian.
Tahun 2022 Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Jumlah
tersebut meningkat 2,67% dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta
pengguna. Dari data ini kitab bisa menarik kesimpulan Sebagian masyarakat Indonesia sudah
mengakses informasi dengan cepat. Namun banyak masyarakat indoensia belum mampu
memakai sosial media dengan bijak.
Konsumsi bukan hanya soal menghabiskan barang namun budaya konsumsi disini adalah
mengonsumsi informasi secara mentah-mentah. Ketika masyarakat melakukan konsumerisme,
maka mereka akan mengonsumsi informasi tanpa memfilternya 3. Karena hal tersebut banyak
berita-berita simpang siur semakin ramai di media sosial. Kaitannya dengan populisme adalah
Ketika ada kampanye hitam yang menjamur dalam bentuk narasi menjelek-jelekkan dan berita
hoax yang tujuannya adalah untuk membentuk polarisasi masyarakat.
C. Penegakan Hukum Pelaku Populisme
Sebenarnya pemerintah telah memiliki undang-undang ITE untuk mengatasi hal ini berikut
adalah beberapa pasal penting dalam Undang-Undang ITE:

Pasal 27 Ayat (3) tentang Penyebaran Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang melanggar
kesusilaan.
Pasal 27 Ayat (4) tentang Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Pasal 28 tentang Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 45 Ayat (1) tentang Pelanggaran terhadap hak cipta dan/atau hak terkait.
Pasal 51 Ayat (2) tentang Tindak pidana penyebaran konten yang melanggar norma agama
dan/atau norma kesusilaan.
Pasal 54 tentang Penyimpanan data elektronik.
Dari pasal-pasal diatas sudah terlihat jelas namun faktanya dilapangan jarang terlihat tokoh
populis mendapatkan sanksi atau orang yang menulis status lalu membuat perpecahan antar
kelompok mereka masih bisa mengetik hingga detik ini. Baik itu actor politik yang
melakukannya atau warga biasa harus mendapatkan proses hukum. Perlunya ketegasan dari para
penegak hukum jika ada pelaporan dari masyarakat. Kebanyakan masyarakat merasa dipersulit
Ketika melapor. Pembenahan UU ITE dalam penegakan hukumnya menjadi focus saat ini
terlebih pemilu 2024 sudah semakin dekat artinya saat ini sedang marak terjadi isu-isu bakal
calon dan bakal calon pun sedang membuat Gerakan populis yang menjadi pekerjaan bagi para

3
Budiman, B. N. (2021). Populisme Di Indonesia Sebagai Ancaman Polarisasi Masyarakat.
Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, 01(02), 235–246
penegak hukum. Tidak hanya pada tokoh populis, sesuai pada aspek hukum bidang keilmuan
yang mana masyarakat harus memahami hal ini. Polarisasi bisa mengancam hak asasi manusia
hingga menimbulkan perpecahan antar keluarga maka dari itu aparat hukum perlu menindak
lanjuti dengan tegas bila ada tokoh populis atau masyarakat yang memiliki kuasa menimbulkan
narasi negative.

KESIMPULAN
Populisme adalah strategi politik yang digunakan elit politik,dengan membawa identitas para
tokoh populis mampu membuat massa namun karena narasi-narasi yang negative serta
kurangnya kebijakan dalam menggunakan sosial media membuat terjadinya polarisasi. Polarisasi
ini sangat mengancam demokrasi karena jika terjadi perpecahan lalu tiap kelompok saling
bertikai maka bisa dikatakan negara tersebut mengalami kemunduruan dalam demokrasi.
Indoensia adalah negara hukum dan memiliki aturan dalam bersosial media. Penegak hukum
harus mengevaluasi kinerja mereka terutama pada pengawasan di sosial media karena ini adalah
jalur cepat terjadinya polarisasi diiringi oleh cepatnya arus informasi yang diterima masyarakat
Daftar Pustaka

Budiman, B. N. (2021). Populisme Di Indonesia Sebagai Ancaman Polarisasi Masyarakat.


Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, 01(02), 235–246. https://doi.org/10.52738/pjk.v1i2.53

Dinna Wisnu. (2019). Populisme, Politik Identitas Dan Erosi Demokrasi Di Abad Ke 21. In
Friedrich-Ebert-Stiftung (FES).

Hara, A. E. (2017, November). Populism in Indonesia and its Threats to Democracy.


In Third International Conference on Social and Political Sciences (ICSPS
2017) (pp. 106-111). Atlantis Press.
Laclau, E. (2005). Populism: What’s in a Name. Populism and the Mirror of Democracy,
103-114.

Madung, O. G. (2018). Populisme, Krisis Demokrasi, Dan Antagonisme | Populism, the Crisis of
Democracy, and Antagonism. Jurnal Ledalero, 17(1), 58.
https://doi.org/10.31385/jl.v17i1.129.58-76

Ritonga, A. D. (2020). Mencermati Populisme Prabowo Sebagai Bentuk Gaya Diskursif Saat
Kampanye Politik Pada Pemilihan Presiden 2019. Politeia: Jurnal Ilmu Politik, 12(1), 1–
13. https://doi.org/10.32734/politeia.v12i1.3170

Anda mungkin juga menyukai