Anda di halaman 1dari 2

DEMOKRASI INDONESIA KEBABLASAN 2016-2022

1. LATAR BELAKANG
Presiden Joko Widodo menyatakan pada pidato pengukuhan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Hati Nurani Rakyat pada 22 Februari 2017 menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah
kebablasan. Sontak, pernyataan Jokowi dalam pidato tersebut menuai perbincangan publik.
Presiden Joko Widodo juga menyatakan hal yang sama sehari sebelumnya pada pelantikan
pengurus Partai Hanura.
Bentuk realistis dari demokrasi yang melewati batasan demokrasi terwujud dalam politisasi
SARA, yang sebenarnya harus dihindari, kemudian bertebarnya ujaran kebencian, kabar bohong
atau hoax, fitnah, saling memaki dan menghujat bisa berlanjut ke masalah yang lebih besar
contohnya adalah perpecahan yang terjadi di Indonesia.
Jokowi menyebutkan bahwa hal ini merupakan ujian bagi bangsa Indonesia agar Indonesia
bisa menjadi bangsa yang lebih dewasa, matang, dan tahan uji. Jokowi kemudian menghimbau
agar perilaku demokrasi diluar kontrol ini dihentikan. Dengan kuncinya adalah pada penegakan
hukum. Jokowi berkata bahwa aparat hukum harus tegas dan tidak ragu-ragu.
Demokrasi di Indonesia dianggap sudah mencapai titik maksimal dan bahkan sudah melewati
batasan demokrasi. Jokowi menyatakan dalam pidato pengukuhan Dewan pimpinan Pusat Partai
Hati Nurani Rakyat bahwa Demokrasi kita sudah kebablasan dan praktik demokrasi politik yang
kita laksanakan telah membuka terjadinya artikulasi politik ekstrem, seperti liberalisme,
radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme, dan ajaran lain yang bertentangan
dengan ideologi Pancasila.
Presiden Joko Widodo nampaknya menyatakan pernyataan tersebut terkait peningkatan
masalah politik akibat beberapa aksi dalam jumlah besar yang seperti sambung-menyambung
sejak 4 November 2016 yang merupakan aksi bela Al-Quran atau dikenal sebagai aksi damai 4
November, kemudian 2 Desember 2016 yang merupakan aksi 212 yang merupakan aksi
penuntutan Basuki Tjahaja Purnama, bisa disebut juga sebagai aksi bela islam III dan terahkir
pada 2 Februari 2017 yang menuntut orang yang sama. Banyak dari aksi tersebut cukup kental
dengan nuansa religio-politik. Karena ini merupakan aksi protes terkait dengan dugaan kasus
penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang
kemudian mencalonkan diri kembali untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk pemilu 2017.
Namun, sejauh menyangkut demokrasi di Indonesia, aksi-aksi tersebut memang
mencerminkan adanya bertahannya kekuatan massa yang lebih ke memaksakan kehendak
dibandingkan menyampaikan kritik. Akan tetapi, aksi-aksi tadi hanya berlangsung sejauh
setengah cerita. Setengah cerita yang lain mencerminkan kabar baik yang menyatakan bahwa
Indonesia sedang mengarah ke ranah demokrasi yang lebih baik.
Presiden Jokowi nampaknya khawatir dengan jalan cerita yang berlangsung sejauh setengah
cerita tersebut. Kekhawatiran Presiden Jokowi tersirat dalam pidato pada 22 Februari 2017
tersebut. Tidak hanya Jokowi yang cemas, namun pihak internasional juga merasakan kecemasan
yang sama. Khususnya untuk jurnalis internasional dan sarjana internasional.
Penegakkan hukum yang tidak ketat juga menjadi salah satu faktor demokrasi Indonesia yang
“kebablasan”. Salah satu hal yang terjadi adalah banyaknya warga tidak dapat terjamin hak-
haknya atau yang lebih parah adalah warga tidak mendapatkan hak-haknya, misalnya dalam
menikmati fasilitas umum yang rusak akibat aksi demonstran yang berujung ricuh dengan dalih
“demokrasi bebas berpendapat”. Akibatnya, banyak warga pecinta demokrasi yang mengajukan
komplain ke pihak berwajib karena mereka (pihak berwajib) seolah-olah tetap secara konsisten
membiarkan orang lain yang tidak bertanggung dengan dalih demokrasi melakukan pelanggaran.
Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas, konsisten, manusiawi, dan tidak pandang bulu
amat penting bagi keseimbangan antara demokrasi dengan kebebasan berekspresi di Indonesia,
sekaligus membawa ketertiban dan keamanan bagi warga yang lain.
Dari sisi sejarah, Indonesia pernah dipimpin oleh Presiden Soeharto yang memulai masa orde
baru. Soeharto memimpin dari tahun 1966 sampai 1998. Pada masa itu, pemerintahan Soeharto
sangat memerangkap kebebasan untuk berpendapat. Pemerintahan Soeharto yang otoriter juga
menonjolkan keangkuhannya di depan publik dengan cara memperlakukan para bawahannya
layaknya mesin-mesin. Dengan cara memperlakukan mereka seperti itu, maka ia kurang
menghargai harkat dan martabat para bawahannya dan mempengaruhi orang banyak.
Airlangga Pribadi, yang merupakan pengajar ilmu politik di Universitas Airlangga, masalah
yang disebut oleh Presiden Jokowi merupakan masalah yang lebih mendasar. Menurutnya,
proses demokrasi di Indonesia masih terperangkap dari masalah dan persoalan yang terwarisi
oleh pemerintahan orde baru.
Menyebut praktik politik yang memperlihatkan kebencian kultural atau radikalisme,
menurutnya, akar permasalahan yang sebenarnya adalah ketidakmampuan bangsa kita untuk
hidup bersama sebagai satu bangsa. Beliau juga menambahkan, tekanan politik yang terjadi
selama 32 tahun membuat keadaan kebebasan ditanggapi dengan cara yang seperti sekarang ini.
Airlangga berkata bahwa praktik seperti itu adalah bagian dari instrumen yang dimanfaatkan
oleh para elit politik yang bertarung sekarang ini. Sedangkan menurut beliau, para elit masih
sangat terkait dengan pola kekuasaan di masa lalu.

Anda mungkin juga menyukai