Anda di halaman 1dari 12

Relevansi “Makar” dalam #2019GantiPresiden

Muhammad Taufiqsyah
Hukum Pidana, Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Esa Unggul
fiqihsiregar@yahoo.com

Abstrak

Dinamika peristiwa pemilihan umum yang terjadi di Indonesia


menyebabkan negara Indonesia memiliki kualitas demokrasi yang rendah
yaitu peringkat 68 dari 167 negara, masih kalah dengan Timor Leste yang
menduduki peringkat 48. Demokrasi merupakan sebuah pandangan hidup
yang mengutamakan persamaan. Secara umum demokrasi di Indonesia
yaitu flawed democracy, ditandai dengan adanya pemilihan umum yang
bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil, namun memiliki
kelemahan dalam pemerintahan yang signifikan, budaya politik yang belum
terlalu sehat, dan rendahnya tingkat partisipasi politik. Tidak lama lagi
pemilihan umum (pemilu) di Indonesia akan berlangsung pada tahun 2019.
Jauh sebelum itu telah ada gerakan bernama #2019GantiPresiden yang
memanas akhir-akhir ini. Situasi yang mencekam diantara keduanya
berpotensi mengarahkan kedalam keributan yang akan terjadi. Ketidak
akuran justru terjadi diantara para elit politik yang ada dibelakang mereka.
#2019GantiPresiden dibalas oleh oposisi dengan tagar lain yang tertulis
#Jokowi2Periode. Politik yang terjadi jauh sebelum ditetapkannya nama
calon oleh komisi pemilihan umum menyebabkan kondisi masyarakat
semakin memanas. Pendukung Jokowi menyebut gerakan
#2019GantiPresiden merupakan upaya makar terhadap pemerintahan yang
sah sementara di oposisi yang lain menyebut pelanggaran terhadap
kebebasan demokrasi (seperti yang terjadi pada era orde baru).
Permasalahannya adalah apakah bisa kebebasan berpendapat dan
mengemukakan suara dikaitkan dengan makar, padahal negara kita adalah
negara demokrasi? atau apakah mungkin pemerintahan yang sekarang
hanya ketakutan dengan gerakan yang dilakukan oleh massa mengenai
#2019GantiPresiden? lalu apakah istilah makar relevan jika dipakai untuk
masa milenial seperti saat ini? #2019GantiPresiden selalu menjadi pro dan
kontra dimasyarakat hingga saat ini.

Abstrac

The dynamics of the general election events that took place in Indonesia
caused Indonesia's country to have a low democratic quality, which ranked
68 out of 167 countries, still inferior to Timor Leste which was ranked 48.
Democracy is a life view that prioritizes equality. In general, democracy in
Indonesia, namely flawed democracy, is characterized by the existence of
free and fair elections and respect for civil liberties, but has significant
weaknesses in government, a less healthy political culture, and a low level
of political participation. Soon the general elections in Indonesia will take
place in 2019. Long before that, there was a movement called
#2019ChangePresident. The president was heating up lately. The tense
situation between the two has the potential to lead into the commotion.

that will occur. Inaccuracies actually occur among the political elites behind
them. #2019ChangePresident opposition with another hashtag written
1
#Jokowi2Periode. Politics that occurred long before the name of the
candidate was determined by the electoral commission caused the
community's condition to heat up even more. Jokowi's supporters said to the
#2019ChangePresident as an attempt at treason against a legitimate
government while in the other opposition calls a violation of democratic
freedom (as happened in the New Order era). The problem is Can freedom
of speech and voice be linked to treason, even though our country is a
democratic country? or is it possible that the current government is only
afraid of the movement carried out by the masses regarding
#2019ChangePresident ? then is the term treason relevant if used for
millennial times like this? #2019ChangePresident has always been a pros
and cons in the community to date.

Kata kunci: Demokrasi, Makar, Oposisi, Pemilu, Politik

Pendahuluan

Secara harfiah demokrasi memiliki arti “pemerintahan oleh rakyat”


dimana hal ini merupakan pemahaman mendasar dan definisi yang telah
digunakan secara luas.1 Dengan kata lain, demokrasi merupakan pandangan
hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama bagi semua warga negara. Amin Rais2 mengartikan demokrasi
sebagai hidup bernegara pada umumnya. Dimana pemerintahan yang
diselenggarakan berdasar kehendak rakyat. Awal istilah “demokrasi” dapat
kita lacak jauh melalui peradaban Yunani kuno yang bercorak polis. Sistem
ini didasarkan pada mayoritas dalam pemungutan suara. Demokrasi secara
luas mampu diterima dibandingkan dengan sistem lainnya. Hal ini terbukti
dengan sebagian besar negara di dunia telah melaksanakan praktek dari
sistem demokrasi. Sistem ini lebih unggul dibanding dengan sistem lainnya
disebabkan karena demokrasi memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia (HAM).3 Demokrasi memiliki konsep nilai dan praksis komunikatif
yang membebaskan karena berorientasi pada terbangunnya tatanan

1
Liphart, Arend, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus
Government in Twenty-One Countries, (New Haven: Yale University
Press, 1984) hal 1. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
demos yang berarti rakyat dan kratos or kratein, yang berarti wewenang
atau dalam kekuasaan. Lihat Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
2 [The Principles of Political Science], Jakarta: Gramedia, 1985, hlm.
50.
3 Amin Rais, Pengantar Dalam Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta:
LP3ES, 1986, hlm. 05.
Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi [Democracy and
Democratization], Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 52-53.

2
masyarakat yang bebas, setara, berkeadilan, inklusif, dan toleran dalam
rangka terwujudnya kehidupan masyarakat yang beradab dan sejahtera.4
Namun dalam kenyataannya, demokrasi bukan sebuah mahakarya tanpa
cacat. Sistem demokrasi semata-mata mengutamakan kepentingan manusia
sembari mengabaikan kepentingan lingkungan organisme maupun non-
organisme.5 Menurut Aristoteles, suatu negara bisa dikatakan baik jika
diarahkan pada kepentingan umum, untuk semua individu rakyatnya,
sedangkan jika diarahkan ke penguasa ia dikategorikan buruk. Landasan
negara demokratis adalah kebebasan.6
Berbicara mengenai demokrasi pasti dikait-kaitkan dengan kata
“pemilu”. Secara umum pemilu atau pemilihan umum lahir dari konsepsi
dan gagasan besar demokrasi yang berarti merujuk pada John Locke dan
Rousseau, keterjaminan kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi individu
dalam segala bidang.7 Pemilu merupakan landasan bagi demokrasi dimana
implementasinya merupakan momen penting sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat di Indonesia. Pemilu merupakan penghubung antara
prinsip kedaulatan rakyat dan praktik pemerintahan oleh sejumlah elite
politik.8 Mengingat mengenai pentingnya pemilu, maka pelaksanaannya
harus dicegah dari segala bentuk tindakan pelanggaran/pidana yang
menghambat proses untuk mencapai tujuan pemilu itu sendiri. Sebagai
negara demokrasi, Indonesia memberikan hak yang sama terhadap warga
negaranya dalam memilih atau dipilih dalam pelaksanaan pemilu. Setelah
melewati pemilu 1999 yang diakui di kancah Internasional sebagai pemilu
yang paling demokratis, sebagian besar dari masyarakat seakan-akan
berkembang rising expectation dimana akan segera terbangun konsolidasi
demokrasi yang disusul sistem perpolitikan yang benar-benar demokratis.

4 Supardan, Dadang. (2015). “Sejarah dan Prospek Demokrasi”, Sosio


Didaktika: Social Science Education Journal, Vol 02 No. 02, hlm. 126.
5 Ibid.
6
Thernstrom, Abigail & Diane Revitch (Ed.). Hermoyo (Penerjemah).
Demokrasi: Klasik dan Modern-Tulisan tokoh—tokoh pemikir ulung
sepanjang masa. Jakarta: Obor, 1992, hlm. 12-13
7
Bachtiar, Farahdiba Rahma. (2014). “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara
Demokrasi dari Berbagai Representasi”, Jurnal Politik Profetik, Vol 03
8 No. 01, hlm. 02.
Suhardiyanto, Andi dan Puji Lestari. (2008). “Partisipasi Politik
Perempuan”, Forum Ilmu Sosial, Vol 35 No. 02, hlm. 93.

3
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Gerakan
#2019GantiPresiden di Indonesia
Sebagai negara hukum, Indonesia mengutamakan adanya
perlindungan hak asasi manusia sebagai sarana awal berkembangnya paham
demokrasi. Pendeklarasian Indonesia sebagai negara hukum secara tegas
terdapat dalam UUD 1945. Sebagai sebuah negara hukum, terdapat 3 (tiga)
persyaratan mutlak yang harus dipenuhi diantaranya:9 (1) Pemerintahan
yang berdasarkan aturan hukum, (2) Adanya pemisahan pada masing-
masing bidang kekuasaan negara, serta (3) Menjamin perlindungan HAM
bagi segenap warga negara.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi sejatinya diakui di dunia
Internasional sebagai salah satu hak asasi manusia. Hal ini terbukti dengan
tercantumnya kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam
pasal 19 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang berbunyi:

“Everyone has the right to freedom of opinion and expression;


this right includes freedom to hold opinions without interference
and to seek, receive and impart information and ideas through
any media and regardless of frontiers.”

Yang bermakna setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan


mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut
pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun
dan dengan tidak memandang batas-batas.10 Pasal “kebebasan berpendapat
dan berekspresi” pada DUHAM kemudian diperkuat oleh Resolusi Majelis
Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, dalam pasal 19 Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
Hendardi dalam pengantarnya menyatakan bahwa Indonesia terikat
secara moral terhadap DUHAM dan konvensi-konvensi Internasional. Mau
tidak mau Indonesia harus menerapkan prinsip kebebasan berekspresi yang
termuat didalamnya. Secara formal, pengakuan Indonesia akan kebebasan

9
Antari, Putu Eva Ditayani. (2017). “Tinjauan Yuridis Pembatasan
Kebebasan Berpendapat pada Media Sosial di Indonesia”, Jurnal Hukum
Undiknas, Vol 04 No. 01, hlm. 16.
10
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang: Universitas
Diponegoro, 2010, hlm. 132.

4
berpendapat dan berekspresi tercantum dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945
amandemen keempat.11 Berikut isi pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak
atas kebebasan beserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Selain
itu, dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 UU No. 9 Tahun 1998 tentang
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dinyatakan bahwa
Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara
untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara
bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Selanjutnya, Setiap warga negara, secara
perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi,
pelaksanaan hak tersebut tidaklah tak terbatas. Hak tersebut dibatasi oleh
pasal 29 ayat 2 pada deklarasi yang sama, berbunyi, “Dalam menjalankan
hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya
pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam
suatu masyarakat yang demokratis”. Pembatasan tersebut dapat
dimungkinkan karena kebebasan berpendapat tergolong sebagai derogable
rights.
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi perluasan makna
kebebasan berpendapat dan berekspresi yang disebabkan oleh teknologi
yang semakin canggih. Media sosial adalah salah satu bukti dari
kecanggihan teknologi yang dijadikan sebagai sarana mengekspresikan diri.
Relevansi internet dan kebebasan berpendapat menurut Frank William La
Rue bahwa internet merupakan media yang mampu menjadi sarana penting
dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi.12 Pengaturan mengenai
kebebasan berpendapat sebagai salah satu hak sipil dan politik dapat
dijumpai dalam DUHAM dan ICCPR yang menjadi pedoman untuk

11
HukumOnline. (2015). Kebebasan Berekspresi yang Terkukung Aturan.
Diakses melalui laman
m.hukumonline.com/berita/baca/hol13491/kebebasan-berekspresi-yang-
terkungkung-aturan pada tanggal 04 September 2018 pukul 16.51 WIB.
12
Frank William La Rue, 2011, U.N. report: Internet access is a human
right,
http://latimesblogs.latimes.com/technology/2011/06/ united-nations-
report-internet-access-is-a-humanright.html#, diakses pada 04
September 2018 pukul 19.45 WIB.

5
digunakan dalam melahirkan hukum nasional yang mengatur tentang
kebebasan berpendapat.

Konteks Makar di Indonesia

Meninjau dari kejadian yang terjadi di Eropa tahun 1918, Belanda


merupakan satu-satunya negara Eropa yang memiliki pasal mengenai makar
“aanslag”. Hal ini terjadi karena ketakutan Belanda pada peristiwa revolusi
komunis di Rusia. Dimana Tzar Nicolas II dan seluruh keluarganya dibantai
oleh komunis. Berlatar belakang dari itu, belanda membuat UU anti-revolusi
yang kemudian tanggal 28 Juli 1920 melalui stbl No. 619 “aanslag” dalam
KUHP Belanda dimunculkan. Belajar dari pengalaman Belanda,
dimasukkannya “aanslag” ke dalam Wetbook van Strafrecht voor
Nedterlands Indie pada tahun 1930 dikarenakan pada tahun 1926 terjadi
pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Muso. Istilah “aanslag” digunakan
untuk membedakan dengan istilah “poging” atau percobaan.
Makar berasal dari kata “aanslag” (Belanda) yang berarti serangan
atau “aanval” yang berarti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik
(misdadige aanranding). Sedangkan makar secara harfiah bermakna
penyerangan atau serangan.13 Makar juga diartikan sebagai akal busuk; tipu
muslihat; perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang
(membunuh) orang ataupun perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah
yang sah dengan cara yang tidak sah atau in-konstitusional. Pengertian dari
istilah makar dalam KUHP terdapat dalam pasal 87 yang dalam naskah
aslinya berbunyi:14

“aanslag tot een feit bestaat, zoodra het voornemen des


daders zich door een begin van uitvoering, in-den zin van art.
53, heeft geopenbaard”

Makna dari kalimat dalam pasal 87 KUHP berarti sesuatu perbuatan


dianggap ada, apabila niat sipembuat kejahatan sudah ternyata dengan
dimulainya melakukan perbuatan itu menurut maksud pasal 53 (KUHP. 53,

13
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan
Negara, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002, hlm. 07.
14
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo, 2008, hlm.
07.

6
104-108, 130, 139 a-c)15 atau dengan kata lain, perbuatan makar baru ada
atau baru disebut makar apabila ada “permulaan pelaksanaan” (begin van
uitvoering).
Tindak pidana makar yang mengancam kepentingan umum dan
keamanan negara terdapat dalam Bab I Buku II KUHP, yang terdiri dari 3
bentuk, yaitu:
a. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan
Kapala Negara atau Wakilnya (Pasal 104 KUHP);
b. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan
Wilayah Negara (Pasal 106 KUHP);
c. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya
Pemerintahan Negara (Pasal 107 KUHP).

Loebby Loqman di dalam buku/disertasinya mengatakan bahwa,


Delik Terhadap Kemanan Negara hampir selalu dilatarbelakangi serta/atau
dengan tujuan-tujuan politik dan setiap-setiap pemerintahan suatu Negara
mempunyai pengertian serta batasan tersendiri tentang perbuatan-perbuatan
yang dikategorikan sebagai mempunyai latar belakang serta tujuan politik,
dan bahkan terdapat perbedaan penafsiran terhadap pengertian „politik‟ baik
dikalangan sarjana, para hakim, maupun penguasa suatu Negara. 16
Kejahatan terhadap keamanan nasional dapat dikatakan sebagai suatu hal
yang relatif, dapat dikatakan demikian karena delik ini menimbulkan
penafsiran yang luas dan berbeda-beda. dimana kejahatan ini tergantung
pada persepsi pimpinan suatu pemerintah dimana didasarkan pada
pertimbangan obyektif dari pandangan dan kemampuan musuh. Juga
subyektif tergantung pada pribadi dari pimpinan dan moral dari masyarakat.
Kemudian terkait dengan hal tersebut di atas, Mardjono Reksodiputro di
dalam bukunya menyebutkan bahwa, Inti dari perbuatan yang di larang
dalam Bab I Buku II KUHP tersebut adalah „Makar‟ (treason; verraad),
perbuatan mana yang dimaksud dikategorikan sebagai “usaha pengkhianatan
terhadap negara dan bangsa”.17 Ditempatkannya kejahatan terhadap
keamanan negara pada Bab I hal ini menunjukkan bahwa kejahatan tersebut
dinilai sebagai kejahatan yang paling serius.

15
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta
komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Politea, 1991,
hlm. 97.
16
Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1993, hlm. 07.
17
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana (Kumpulan
Karangan), Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Jakarta, Universitas Indonesia,
2007, hlm. 115

7
Pengaturan tindak pidana mengenai makar dalam KUHP merupakan
delik formil yang dapat menimbulkan penafsiran secara luas dan berbeda-
beda. Maksud dari delik formil adalah tidak diperlukan adanya akibat dari
tindak pidana. Sehingga, kemerdekaan berekspresi, berpendapat,
mengeluarkan pikiran dengan lisan ataupun tulisan, tetapi berniat,
bermufakat, atau berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah, dapat
terkena delik formil ini. Ketiadaan tafsir mengenai makar dan kapan adanya
perbuatan permulaan dalam tindak pidana makar berpotensi menimbulkan
terlanggarnya hak-hak demokrasi.18 Maka, untuk mencegah terjadinya
penafsiran yang luas dan berbeda-beda, pembentuk UU harus dapat
merumuskan unsur-unsur yang jelas mengenai tindak pidana makar dan
perbuatan permulaannya, sehingga pemerintah (aparat penegak hukum)
dapat terhindar dari kemungkinan bertindak represif terhadap kemerdekaan
menyampaikan pendapat dan pikiran sebagai hak asasi manusia yang
dijamin konstitusi dan Deklarasi Universal HAM.

Korelasi Gerakan #2019GantiPresiden dengan Makar dalam Perspektif


Normatif

Makar merupakan delik karet yang memiliki penafsiran yang luas


dan beragam. Makar memiliki multipurpose act dan tidak memiliki lex
scripta (kejelasan dalam rumusan delik). Delik makar memiliki kemiripan
dengan delik-delik subversi yang pernah diatur dalam UU No.
11/PNPS/1963. UU ini digolongkan sebagai UU yang dapat
mengkriminalkan semua kelompok yang bersebrangan dengan penguasa. 19
Loebby Loqman berpendapat bahwa Delik Terhadap Keamanan Negara,
dalam prakteknya sering menimbulkan masalah apabila kita hubungkan
dengan pembuktiannya. Suatu perbuatan yang dianggap permulaan
pelaksanaan dalam suatu percobaan melakukan delik terhadap keamanan
negara, akan mengalami perbedaan dalam pembuktiannya, meskipun tetap
menggunakan “teori percobaan” baik subyektif maupun yang obyektif
seperti dalam delik biasa.20

18
Widayati, Lidya Suryani. (2016). “Tindak Pidana Makar”, Info Singkat
Hukum, Vol 08 No. 23, hlm. 01.
19
Sofian, Ahmad. (2017). Makar dalam Hukum Positif di Indonesia. Diakses
melalui
laman business-law.binus.ac.id/2017/05/31/makar-dalam-hukum-positif-
indonesia/ pada tanggal 05 September 2018 pukul 10.35 WIB.
20
Loebby Loqman, Loc.Cit., hal. 8

8
Erasmus21 menilai kata “aanslag” yang diterjemahkan sebagai makar
tidaklah tepat. Sebab, keduanya dalam konteks bahasa Indonesia jelas sangat
berbeda. Padahal, sejatinya kata “aanslag” jika diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia lebih tepat diartikan sebagai “serangan”. Mengenai kata
makar itu sendiri, sebenarnya merupakan serapan dari bahasa Arab yaitu
“al-makr” yang berarti tipu daya, pemberontakan dan muslihat. Kesalahan
dalam menafsirkan istilah makar dalam pasal-pasal di KUHP berujung pada
memendam masalah. Hal ini berakibat ketujuh pasal tersebut mengandung
ketidakjelasan rumusan dan tujuan (asas legalitas) yang menimbulkan
ketidakpastian hukum terhadap delik makar.
Dalam mengartikan kata makar, perlu diingat bahwa kata ini ada
dalam KUHP yang bukan berasal dari wilayah Arab. Jadi, alangkah baiknya
kita melihat ke dalam naskah asli sebagai “original intent” dari kata makar.
Aanslag diartikan sebagai gewelddadige aanval yang dalam bahasa inggris
artinya violent attack. Aanslag memiliki arti yang sama dengan onslaught
dalam bahasa inggris yang artinya juga violent attack, fierce attack atau
segala serangan yang bersifat kuat.22 Saat ini, kita mengenal makar seakan-
akan upaya menggulingkan pemerintah. Padahal aslinya bukan itu, kita
harus kembali kepada istilah aslinya yaitu "aanslag" yang memiliki artinya
serangan atau violence attack.
Banyaknya penafsiran dalam pasal mengenai makar yang dicetuskan
oleh para ahli hukum, menyebabkan rentannya seseorang dikenai pasal ini.
Sebab, selama ini tidak ada tolak ukur yang jelas terhadap definisi makar
dalam KUHP. Menurut Sofian (Ahli hukum pidana Universitas Bina
Nusantara), suatu tindakan makar dapat diartikan jika memenuhi 2 unsur
yakni niat dan permulaan pelaksanaan. Permulaan pelaksanaan ini merujuk
pada tindakan yang jelas menunjukan upaya untuk menjatuhkan
pemerintahan yang sah. Hal ini diungkapkannya saat menjadi saksi ahli
dalam uji materi pasal makar di gedung Mahkamah Konstitusi. Berdasar
pernyataan yang dikemukakan oleh Sofian, maka mengobrol atau
mengkritik pemerintah belum bisa dimaknai sebagai makar melainkan hak
kebebasan berpendapat. Makar sebagai brand image negative tidak

21
HukumOnline. (2016). MK Minta Luruskan Definisi Makar dalam
KUHP. Diakses melalui laman
www.hukumonline.com/berita/baca/lt5853bad292be4/mk-diminta-
luruskan-definisi-makar-dalam-kuhp pada tanggal 05 September 2018
pukul 11.45 WIB.
22
Arsil. (2015). Tentang Makar. Diakses melalui
https://krupukulit.com/2015/12/23/tentang-makar/ pada tanggal 05
September 2018 pukul 15.33 WIB

9
sewajarnya muncul dalam suasana berdemokrasi pasca reformasi.
Seharusnya, pasal mengenai makar dalam KUHP didefinisikan secara
limitative agar tidak ada kesewenang-wenangan yang merugikan hak asasi
manusia.

Kesimpulan

Sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi serta


menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia, jelas didalamnya
terdapat hak-hak mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang
dilindungin oleh konstitusi. Dalam menjalankan hak kebebasannya, setiap
orang memiliki pembatasan-pembatasan yang diatur dalam Undang-
Undang. Pembatasan tersebut karena kebebasan berpendapat tergolong
sebagai derogable rights. Kebebasan berpendapat tidak dapat dikatakan
sebagai makar karena pada hakikatnya makar adalah suatu serangan
terhadap pemerintahan sebagai upaya menjatuhkan pemerintah dengan niat
membunuh Presiden atau wakil Presiden, menaklukan daerah negara, dan
menggulingkan pemerintahan. Jadi, kebebasan berpendapat atau kritik
terhadap pemerintah belum bisa dikatakan makar karena bentuknya bukan
merupakan serangan yang dapat menjatuhkan pemerintahan. Akan tetapi,
jika permulaan pelaksanaannya telah ada maka hal ini baru dapat dikatakan
sebagai makar.

Daftar Pustaka

Buku
Budiarjo, Miriam. (1985). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia:
Jakarta.Liphart, Arend. (1984). Democracies, Patterns of
Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries.
Yale University Press: New Haven.
Chazawi, Adami. (2002). Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan
Negara. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
-------------------. (2008). Pelajaran Hukum Pidana. Raja Grafindo: Jakarta.
Loqman, Loebby. (1993). Delik Politik di Indonesia. Ind-Hill-Co: Jakarta.
Rais, Amin. (1986). Pengantar Dalam Demokrasi dan Proses Politik.
LP3ES: Jakarta.
Rahayu. (2010). Hukum Hak Asasi Manusia. Universitas Diponegoro:
Semarang.

10
Reksodiputro, Mardjono. (2007). Pembaharuan Hukum Pidana (Kumpulan
Karangan), Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi). Universitas
Indonesia: Jakarta.
Soesilo, R. (1991). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea:
Bogor.
Sorensen, Georg. (2003). Demokrasi dan Demokratisasi (Democracy and
Democratization). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Thernstrom, Abigail & Diane Revitch (Ed.). Hermoyo (Penerjemah).
(1992). Demokrasi: Klasik dan Modern-Tulisan tokoh-tokoh
pemikir ulung sepanjang masa. Obor: Jakarta.

Artikel Jurnal
Antari, Putu Eva Ditayani. (2017). “Tinjauan Yuridis Pembatasan
Kebebasan Berpendapat pada Media Sosial di Indonesia”, Jurnal
Hukum Undiknas, Vol 04 No. 01, hlm. 1-23.
Bachtiar, Farahdiba Rahma. (2014). “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara
Demokrasi dari Berbagai Representasi”, Jurnal Politik Profetik,
Vol 03 No. 01, hlm. 1-20.
Suhardiyanto, Andi dan Puji Lestari. (2008). “Partisipasi Politik
Perempuan”, Forum Ilmu Sosial, Vol 35 No. 02, hlm. 81-97.
Supardan, Dadang. (2015). “Sejarah dan Prospek Demokrasi”, Sosio
Didaktika: Social Science Education Journal, Vol 02 No. 02, hlm.
121-137.
Widayati, Lidya Suryani. (2016). “Tindak Pidana Makar”, Info Singkat
Hukum, Vol 08 No. 23.

Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Sumber Online
Arsil. (2015). Tentang Makar. Diakses melalui
https://krupukulit.com/2015/12/23/tentang-makar/ pada tanggal 05
September 2018 pukul 15.33 WIB
Frank William La Rue. (2011). U.N. report: Internet access is a human right,
http://latimesblogs.latimes.com/technology/2011/06/ united-

11
nations-report-internet-access-is-a-humanright.html#, Diakses pada
04 September 2018 pukul 19.45 WIB.
HukumOnline. (2015). Kebebasan Berekspresi yang Terkukung Aturan.
Diakses melalui laman
m.hukumonline.com/berita/baca/hol13491/kebebasan-berekspresi-
yang-terkungkung-aturan pada tanggal 04 September 2018 pukul
16.51 WIB.
HukumOnline. (2016). MK Minta Luruskan Definisi Makar dalam KUHP.
Diakses melalui laman
www.hukumonline.com/berita/baca/lt5853bad292be4/mk-diminta-
luruskan-definisi-makar-dalam-kuhp pada tanggal 05 September
2018 pukul 11.45 WIB.
Sofian, Ahmad. (2017). Makar dalam Hukum Positif di Indonesia. Diakses
melalui laman business-law.binus.ac.id/2017/05/31/makar-dalam-
hukum-positif-indonesia/ pada tanggal 05 September 2018 pukul
10.35 WIB.

12

Anda mungkin juga menyukai