Anda di halaman 1dari 10

Rangkuman dari berbagai sumber terutama dari website.

Kelemahan demokrasi Indonesia yang pertama, yaitu masih terdapatnya budaya politik feodal dan
komunalistik, menurut Indria, bisa dilihat dari berbagai macam idiom-idiom yang digunakan partai
politik dan tokohnya dalam berkampanye. Akibatnya, usaha partai politik untuk memperjuangkan
kepentingan konstituennya didasarkan pada penilaian yang subjektif ketimbang objektif, kata dia.
Indria mengatakan bahwa yang paling berbahaya dalam budaya politik feodal dan komunal ini adalah
potensi konflik-konflik yang akan muncul jika seseorang kalah dalam kontestasi demokrasi.
Dalam berbagai kasus pemilihan kepala daerah, kita melihat kenyataan bahwa perdamaian baru
merupakan jalan yang dipilih hanya jika tuntutan suatu kepentingan politik dipenuhi, kata dia.
Kelemahan kedua menurut Indria adalah munculnya otoritarianisme mayoritas akibat terlalu liberalnya
demokrasi Indonesia. Hal ini, menurut dia, membuat sulitnya sebuah keputusan politik diambil secara
mufakat.
Karena begitu sulitnya musyawarah dilakukan, maka setiap pembuatan keputusan diserahkan ke
mekanisme pasar politik, ini tentu saja mencederai sila keempat Pancasila yang menyatakan bahwa
demokrasi Indonesia berdasar pada permusyawaratan perwakilan kata dia.
Kelemahan demokrasi yang ketiga dalam pandangan Indria adalah dikesampingkannya ideologi
dalam partai-partai di Indonesia karena partai politik lebih mengutamakan pertimbangan pragmatis
dan jangka pendek, yaitu memenangkan kontes politik.
Kepentingan jangka pendek dan pragmatis inilah yang memunculkan politik uang, hanya karena ingin
memenangkan pemilu suatu partai atau calon kepala daerah harus membayar rakyat untuk memilih
gambar tertentu dalam lembar pencontrengan saat pemilu, kata Indria.
Akibat selanjutnya, menurut Indria, adalah bergesernya fungsi ideal partai dari penghubung antara
negara dan rakyat menjadi sarana pengumpul suara dan dana. Jika tujuan partai hanya
memenangkan pemilu dan mengumpulkan dana, maka kita sulit berharap partai menjadi lembaga
demokrasi yang bisa diandalkan,
KELEMAHAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA
Pada dasarnya setiap sistem demokrasi yang pernah berlaku di Indonesia mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Demokrasi mempunyai pengaruh yang besar dalam setiap
sendi-sendi kehidupan. Amartya Sen, penerima nobel bidang ekonomi menyebutkan
bahwa demokrasi dapat mengurangi kemiskinan. Pernyataan ini akan terbukti jika pihak
legislative menyuarakan hak-hak orang miskin dan kemudian pihak eksekutif
melaksanakan program-program yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya,

hal ini belum terjadi secara signifikan.


Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan
ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum
memberikan dampak ekonomi yang positif bagi mereka. Kelemahan yang lain yaitu
sebagian orang haya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi, dan berdemonstrasi.
Tidak sedikit fakta yang menunjukkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi
menyampaikan pendapat. Untuk itu memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka
bisa menikmati demokrasi. Demokrasi di masa ini tanpa adanya sumber daya manusia
yamg kuat akan mengakibatkan pengaruh asing ke dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya
demokrasi di Indonesia.
Ancaman terbesar yang dihadapi keberadaan demokrasi di Indonesia saat ini adalah
keputusan terhadap demokrasi itu sendiri serta lemahnya kekuatan gerak demokrasi
dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang anti demokrasi. Demikian pendapat yang
dilontarkan oleh peneliti dari Internasional Crisis Group, Sidney Jones, dan pengamat
politik dari CSIS, J. Kristiadi di Jakarta dalam peluncuran dan bedah buku Gerakan
Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Ancaman terbesar mungkin perasaan putus
asa terhadap demokrasi di Indonesia, kata Jones.
Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan berbagai kelompok sipil lainnya masih
terjebak pada pola pikir lama, yaitu membangun perlawanan terhadap pihak anti
demokrasi dari luar. Senada dengan Jones, Kristiadi melihat bahwa gerakan-gerakan
demokrasi yang ada pada saat ini belum mampu melakukan konsilidasi untuk melawan
kekuatan yang disebutnya sebagai sangat kontra demokrasi. Karena itu, seluruh
gerakan demokrasi harus kembali menyusun agenda demokrasi mereka, baik dalam
memperkuat konsep maupun jaringan. Yang diperlukan sekarang adalah strategi untuk
membangun kekuatan bersama-sama untuk melawan konspirasi yang melibatkan politisipolitisi yang sudah menjalin kekuatan dengan menggunakan instiusi-institusi penegak
demokrasi tambahnya.
Kegalalan terbesar yang mungkin terjadi terhadap sistem demokrasi di Indonesia adalah
adanya kegagalan orang-orang yang dipercaya oleh rakyat untuk menjadi wakil rakyat
dalam parlemen dan pejabat politik. Mereka dianggap gagal untuk membuktikan bahwa
reformasi lebih bermanfaat dibandingkan masa sebelumnya.
Ada beberapa kelemahan sistem demokrasi di Indonesia diantaranya :
Terlalu banyaknya Partai yang menjadi ajang tanding dalam memperebutkan kursi
Presiden.
Terlalu banyak aturan dan undang - undang yang dikeluarkan dan semuanya saling
bertolak belakang satu dan yang lainnya.
DPR tidak bisa memberikan contoh kepada rakyatnya, bahwa mereka memang layak
untuk dipilih, karena terlalu banyaknya kasus KKN yang terjadi saat ini.
Para Anggota Parlemen sudah tidak lagi memliki Harga Diri dalam melakukan atau
menjalankan Kehidupan Pribadinya

Demokrasi memiliki keterbatasan. Demokrasi memiliki kelemahan.


Demokrasi, sebagai tata cara governance tidaklah sempurna kendati
kini banyak dipraktekkan negara-negara di dunia. Kendati demikian, di
antara ragam tata cara memerintah lainnya, demokrasi kiranya yang
paling terbuka dan bersedia untuk dikritik. Publik memiliki kesempatan
yang cukup besar dalam mengkritisi kinerja pemerintah lewat mekanisme
demokrasi ini.

Tulisan ini tidaklah dimaksudkan meneliti kelebihan-kelebihan demokrasi.


Tulisan semacam itu telah banyak disampaikan kalangan akademisi dan
politisi kepada public. Hal yang menarik adalah mengangkat beberapa sisi
kelemahan suatu demokrasi. Harapannya, dengan mengetahui sisi lemah
demokrasi kita dapat mengajukan saran dan pemikiran konstruktif guna
memperbaikinya. Potret Indonesia
Kajian kelemahan atau keterbatasan demokrasi ini akan didahului oleh
kajian kontemporer akan demokrasi dari Charles Tilly. Tilly mengajukan
adanya 4 pengertian demokrasi yang kini banyak beredar di wilayah
public. Lewat identifikasi pengertian demokrasi yang beredar tersebut,
dapatlah kita lebih jelas mengarahkan kritisasi akan sisi lemah demokrasi.
Pengertian-pengertian Demokrasi
Charles Tilly dalam bukunya Democracy yang terbit tahun 2007
menyatakan, terdapat 4 pemahaman public akan demokrasi. Keempat
pemahaman itu berdampak pada perbedaan penafsiran dan implementasi
pemerintah suatu Negara dalam mengadopsi konsep demokrasi. Keempat
definisi mengenai demokrasi itu terdiri atas:1

1.

Demokrasi secara Konstitusional (constitutional)

2.

Demokrasi secara Substantif (substantive)

3.

Demokrasi secara Prosedural (procedural)

4.

Demokrasi secara Orientasi Proses (process-oriented)


Konstitusional. Demokrasi secara konstituonal maknanya, kajian
demokrasi terkonsentrasi pada produk undang-undang yang dihasilkan
suatu rezim (pemerintah berkuasa) yang berhubungan dengan aktivitas
politik. MIsalnya kita mengenali perbedaan produk undang-undang yang
dihasilkan oligarki, monarki, republic, dan jenis-jenis pemerintahan
lainnya.
Di setiap Negara demokratis tersebut, kita bias bedakan apa yang
namanya monarki konstitusional, system presidensil, dan parlementarian.
Dalam term konstitusional tidak termasuk pembedaan antara apa yang
namanya struktur pemerintahan federal atau kesatuan. Kajian ini berguna
tatkala kita membandingkan antara produk-produk undang-undang yang
dihasilkan oleh Negara-negara yang katanya menerapkan demokrasi.
Substantif. Demokrasi secara substantif fokusnya pada kondisi
kehidupan dan politik yang dikembangkan suatu rezim. Apakah rezim
tersebut mempromosikan kesejahteraan warganegara, kebebasan
individual, keamanan, kesetaraan, kesetaraan social, pilihan public, atau

resolusi konflik secara damai? Itu merupakan pertanyaan yang diajukan


kalangan yang mengartikan demokrasi secara substansial.
Dalam pengertian substansial ini, dapat saja suatu Negara dinyatakan
sebagai demokratis kendati undang-undang Negara tersebut tidak
menggariskan sesuatu yang demokratis. Demokrasi dalam pengertian ini,
yang mungkin menyebabkan Mohamad Hatta, founding father Indonesia,
menulis artikelnya Demokrasi Kita. Di artikel tersebut, Hatta
menyatakan bahwa demokrasi tidaklah aneh bagi masyarakat Indonesia.
Ia mencontohkan di nagari-nagari Minangkabau, pengambilan keputusan
dilakukan secara bersama berdasar musyawarah untuk mufakat. Meski
tidak
pernah
menyebut
demokrasi,
nagari-nagari
tersebut
sesungguhnya memberlakukan demokrasi secara substansial.
Prosedural. Demokrasi secara Prosedural adalah perhatian pada
prosedur-prosedur pemerintahan yang dilakukan pemerintah. Kajian ini
utamanya terfokus pada aspek Pemilihan Umum. Titik perhatiannya pada
pemilihan kompetitif yang melibatkan sejumlah besar warganegara yang
secara periodik ikut serta dalam pemilihan umum.
Titik perhatian pada pemilihan umum ini krusial, oleh sebab lewat
prosedur tersebut perubahan kebijakan dan personil pemerintahan akan
terjadi. Jika prosedur pemilihan umum tidak mengandung nuansa
kompetitif, penganut aliran procedural ini menganggap suatu Negara
tidaklah demokratis. Ini misalnya terjadi di pemilu-pemilu Indonesia era
ORde Baru. Pemilu-pemilu yang terjadi tidaklah kompetitif oleh sebab
Negara ikut serta dalam pemilu lewat salah satu kontestannya. Suatu
organisasi bernama Freedom House mengkategorikan, prosedur dari suatu
demokrasi adalah:

1.

Sistem politik multipartai yang kompetitif,

2.

Hak pilih universal bagi orang-orang dewasa,

3.

Adanya pemilu periodic yang mengandung asas langsung, umum,


bebas, dan rahasia, dan

4.

Warganegara dapat mengakses informasi seputar partai politik yang


ikut bersaing secara terbuka.
Orientasi Proses. Demokrasi secara Orientasi Proses sangat berbeda
dengan tiga pengertian demokrasi sebelumnya. Demokrasi dalam
pengertian ini mengidentifikasi sejumlah persyaratan minimum agar suatu
pemerintahan atau Negara dinyatakan sebagai demokrasi. Kajian klasik
atas ini dilakukan teoritisi kampium demokrasi yaitu Robert A. Dahl. Bagi
Dahl, proses-proses minimal suatu demokrasi adalah:

1.

Partisipasi efektif. Artinya, sebelum suatu keputusan atau kebijakan


diambil, masyarakat harus dilibatkan dalam hal pengutaraan pandanganpandangan mereka.

2.

Hak suara yang sama. Tatkala pengambilan keputusan atas suatu


kebijakan akan diambil, setiap yang terlibat harus sama hak suaranya
untuk lakukan voting.

3.

Pemahaman. Menjelang pengambilan suatu keputusan, mereka


yang terlibat harus berkesempatan mengkaji alternative keputusan lain
berikut dampak-dampaknya.

4.

Kontrol Agenda. Semua pengambil keputusan harus berkesempatan


mengendalikan cara bagaimana jalannya suatu keputusan atau kebijakan.
Mereka dapat merevisi atau memperbaikinya di suatu saat nanti.

5.

Keterbukaan. Seluruh orang dewasa yang sudah tiba hak pilihnya,


harus berkesempatan melakukan voting.

Posisi Negara dan Pemerintah

Keempat
pengertian
demokrasi
seperti
telah
disebut,
lebih
menitikberatkan pada dimensi-dimensi input suatu system politik. Bahkan,
pengertian demokrasi konstitusional hanya menggariskan aspek
formalitas agar suatu Negara dapat dinyatakan sebagai demokratis.
Problem utama yang kerap muncul dalam suatu demokrasi adalah peran
Negara. Cukup banyak Negara yang termasuk demokratis, menurut salah
satu dari keempat pengertian tersebut, yang menemui hambatan dalam
action harian pemerintahan mereka. Jadi, bagaimana suatu
pemerintahan yang menyatakan diri demokratis mengefektifkan undangundang yang dihasilkan, merupakan pertanyaan yang perlu dijawab.
Tilly beranjak pada aspek state capacity. Tidak ada Negara demokrasi
yang bisa bekerja jika Negara kekurangan kapasitas dalam mengawasi
pembuatan keputusan demokratis dan menerapkan hasil-hasilnya ke
dalam praktek. Dari term kapasitas ini, muncul dua konsep lebih lanjut :
Negara Kuat (Strong State) dan Negara Lemah (Weak State).
State Capacity adalah kemampuan Negara dalam mengubah distribusi
sumber daya, kegiatan, dan hubungan antarorang. Misalnya, dalam
menerapkan kebijakan anti penyelundupan narkoba di bea cukai, agenagen pemerintah dapat secara simultan melakukan perubahan yang perlu
di seluruh bandara dan pelabuhan laut yang ada di seluruh Indonesia. Jika
Negara mampu mempengaruhi seluruh pejabat Negara dan pelabuhan
guna mematuhi kebijakan tersebut, state capacity Indonesia dinyatakan
cukup.

Sementara itu, state atau Negara, didefinisikan sebagai suatu organisasi


yang memonopoli konsentrasi alat pemaksa di dalam wilayah tertentu,
melebihi organisasi lain yang beroperasi di wilayah tertentu itu, dan
menerima pengakuan dari organisasi-organisasi lain (termasuk Negara
lain), di luar teritorinya.
Sebab itu, suatu rezim dinyatakan punya high-capacity jika pejabatpejabat Negara tatkala melakukan tindakan, tindakan punya pengaruh
atas sumber daya, kegiatan, dan hubungan interpersonal warganegara
secara signifikan. Rezim yang low-capacity adalah sebaliknya. State
Capacity inilah yang kerap memunculkan masalah instabilitas dan tidak
sinkronnya kebijakan pemerintah. Ini terutama terjadi di rezim-rezim yang
mengandalkan koalisi murni dalam menjalankan pemerintahannya.
Eksekutif pemegang kendali implementasi kebijakan tidak padu, sebab
terdiri dari orang-orang titipan partai yang melakukan koalisi. Anggota
cabinet partai tertentu yang ikut koalisi kadang punya agenda sendiri
dalam kebijakan departemennya. Bahkan, kadang berseberangan dengan
atasannya yaitu presiden. Contoh untuk ini paling mudah ditemukan. Di
Indonesia sebagai missal, ada menteri yang berseberangan dengan
presidennya dalam hal kenaikan harga BBM. Menteri dari PKS (partai yang
ikut koalisi) periode 2004-2009 pemerintahan SBY bahkan ikut serta
mempromosikan hak angket menentang kebijakan penaikan BBM. Itu baru
salah satu contoh popular dari rapuhnya pemerintahan koalisi hasil pemilu
demokratis.
Titik-titik Lemah Demokrasi: Demokrasi Anomik

Jauh sebelumnya, seorang pakar politik bernama Samuel P. Huntington


menerbitkan sebuah buku di tahun 1970-an. Buku tersebut berjudul
Political Order in Changing Societies. Buku tersebut mengkritisi masalah
otoritas dan kapasitas pemerintah Negara-negara berkembang dalam
mempenetrasikan kebijakan. Buku tersebut menyuratkan, partisipasi
politik yang tinggi (sebagai anak demokrasi) tanpa diimbangi dengan
pelembagaan politik dan pembangunan ekonomi yang cukup, akan
berakibat pada instabilitas politik.
Suatu penelitian yang dilakukan tahun 1975 menemukan kondisi-kondisi
krisis demokrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Michel J. Crozier
(Perancis), Samuel P. Huntington (Amerika Serikat), dan Joji Watanuki
(Jepang) tersebut diarahkan pada kondisi politik di Negara-negara yang
mapan dalam menerapkan demorkrasi sebagai sokoguru bangunan
pemerintahan.
Penelitian dilakukan di Amerika Serikat, Jepang, dan Negara-negara Eropa
Barat. Hasil dari penelitian tersebut adalah, Negara-negara yang
tergolong kampiun demokrasi tersebut menghadapi masalah. Masalah
yang muncul tersebut lahir akibat aneka akibat yang sifatnya
multidimensi : social, ekonomi, budaya, dan politik. Masalah-masalah
tersebut lahir akibat kesuksesan atau keberhasilan dari demokrasi itu
sendiri.2

Misal dari kesuksesan tersebut adalah perkembangan ekonomi yang


spektakuler; meluasnya perbaikan social dan ekonomi, meliputi kurangnya
konflik kelas dan semakin besarnya kelas menengah. Partai-partai politik
dari aneka ragam ideology bersaing murni di setiap pemilu regular guna
membentuk pemerintahan. Pihak yang kalah kemudian membangun
oposisi di level parlemen.
Warganegara, baik secara individu maupun kelompok, berpartisipasi
secara aktif dalam politik lebih dari masa-masa sebelumnya. Hak-hak
warganegara tatkala berhadapan dengan pemerintah semakin jelas
jaminannya dan dilindungi. Selain itu, lembaga-lembaga kerjasama
internasional bertumbuh di Eropa baik dengan tujuan ekonomi maupun
politik. Ini misalnya antara Amerika Utara dengan Eropa dalam hal militer,
dan di antara Eropa sendiri, Amerika Serikat, dan Jepang dengan tujuantujuan ekonomi.
Namun, kesuksesan demokrasi ini justru mengakibatkan tantangan
tersendiri di Negara yang menerapkan demokrasi tersebut. Misalnya,
bertumbuhnya kelas menengah telah meningkatkan harapan dan aspirasi
yang kerap memunculkan reaksi tatkala tidak menemui pencapaiannya.
Meluaskan partisipasi politik meningkatkan tuntutan terhadap pemerintah.
Juga, perluasan penikmatan barang-jasa di kalangan anak muda dan
kaum intelektual kelas professional telah meningkatkan porsi adaptasi
nilai-nilai social politik dan gaya hidup baru. Akibat munculnya efek-efek
demokrasi ini, ketiga peneliti memperkenalkan konsep anomic
democracy.
Meningginya derajat ketidakpuasan warganegara dan ketidakpercayaan
diri pemerintah, adalah efek dari kesuksesan demokrasi itu sendiri. Ini
misalnya kentara tatkala banyak kebijakan pemerintah yang dicemooh
kalangan warganegara (khususnya kelas menengah) dan problematikan
implementasi kebijakan. Salah satu hal yang mengakibatkan ini adalah
ketiadaan common purpose atau tujuan bersama. Partai, warganegara,
dan kelompok-kelompok warganegara memiliki visi dan tujuan sendiri
dalam aktivitas politik. Ini akibat meluas dan bervariasi kepentingan
akibat hal-hal yang sudah disebut di bagian atas. Ketiadaan tujuan
bersama berakibat pada berkurangnya legitimasi dan support yang
seharusnya diberikan kepada pemerintah.
Pemerintahan di Negara-negara demokrasi tidak lagi bermasalah dalam
hal consensus (kesepakatan) dalam aturan main demokrasi. Masalah yang
muncul kemudian adalah, apa yang seharusnya dicapai suatu kelompok di
dalam permainan tersebut. Atau, apa yang seharusnya dicapai oleh suatu
partai atau kelompok warganegara di dalam suatu periode pemerintahan.
Demokrasi, sebagai mesin pemerintahan, tetap berjalan. Namun,
kemampuan orang-orang yang menjalankan mesin tersebut guna
membuat keputusan cenderung menurun. Tanpa adanya tujuan bersama,
tidak ada dasar bagi prioritas bersama. Tanpa prioritas, tidak ada dasar

guna membedakan kepentingan dan klaim pribadi dengan Negara. Sebab


itu, anomic democracy terjadi apabila terjadi konflik antara tujuan
bersama (Negara) dengan kepentingan pribadi/kelompok, yang terjadi
antara eksekutif, cabinet, parlemen, dan birokrat. Anomic democracy
adalah politik demokrasi menjadi sekadar arena penegasan kepentingan
yang saling berkonflik tersebut, bukan lagi sebagai arena di mana proses
pembangunan tujuan bersama dilakukan. Anomic democracy ini muncul,
sekali lagi, akibat kesuksesan demokrasi itu sendiri.
Guna meringkas proses sebab akibat, antara keberhasilan demokrasi dan
masalah yang dilahirkannya, dapat diperhatikan beberapa point berikut:

1.

Pengejaran keutamaan demokrasi atas persamaan hak dan


individualism membawa pada delegitimasi otoritas secara umum, juga
hilangnya kepercayaan pada suatu kepemimpinan;

2.

Perluasan partisipasi politik dan keterlibatan warganegara, telah


menciptakan overload di sisi pemerintah serta ketidakseimbangan
perluasan di sisi aktivitas pemerintahan, termasuk memperburuk
kecenderungan inflasi di tingkat ekonomi; Overload ini akibat: (a)
Perluasan partisipasi politik warganegara; (b) Terbentuknya kelompok dan
kesadaran baru dari kelompok lama, termasuk pemuda, kelompok
regional, dan minoritas etnik; (c) Diversivikasi alat dan taktik politik yang
digunakan tiap kelompok dalam memenuhi kepentingannya; (d)
Meningkatknya
harapan
sebagian
kelompok
bahwa
pemerintah
bertanggung jawab atas kebutuhan mereka; dan (e) Peningkatan pada
apa yang disebut sebagai kebutuhan.

3.

Persaingan politik, yang jadi esensi demokrasi, terus menjadi


intensif, yang membawa pada polarisasi kepentingan dan fragmentasi
partai-partai politik;

4.

Responsivitas pemerintah demokratis akan masalah pemilu dan


tekanan masyarakat meningkatkan parokialisme-nasionalistik
Problem dari demokrasi, di antaranya lagi adalah akibat persaingan,
masalah menang-kalah menjadi krusial. Setiap konstituen pemilu selalu
ingin menang dan menguasai pemerintahan. Namun, sesungguhnya
terdapat sejumlah fenomena di mana yang justru menjadi pengendali
kebijakan pemerintah adalah konstituen yang kalah dari suatu pemilu
lewat koalisi. Kajian ini secara dirangkum di dalam sebuah buku bertajuk
Losers Consent (terbit 2005) yang disusun oleh Christopher J. Anderson,
Andre Blais, Shaun Bowler, Todd Donovan, dan Ola Listhaug.3 Namun,
pada kesempatan ini saya tidak akan membahasnya terlebih dahulu.
Kesimpulan

Pertama. Perlu dibedakan pengertian tatkala pembicaraan mengenai


demokrasi dilakukan.
Kedua. Pengertian demokrasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu : (1)
Demokrasi secara Konstitusional, (2) Demokrasi secara Substantif, (3)
Demokrasi secara Prosedur, dan (4) Demokrasi secara Orientasi-Proses.
Perbedaan pengertian berefek pada perbedaan focus kajian dan kritisi.
Ketiga. Demokrasi juga berhubungan dengan masalah StateCapacity, yaitu kemampuan Negara dan pejabatnya dalam mengubah
distribusi sumber daya, kegiatan, dan hubungan antarorang. Sebab itu,
ada yang dinamakan Strong State dan Weak State.
Keempat.
Kelemahan
atau
keterbatasan
demokrasi
yang
diperlihatkan di sini bercorak Demokrasi secara Substansial. Ternyata
justru suksesnya demokrasi itu sendiri yang memunculkan keterbatasan
dan kelemahan dirinya sendiri.
Kelima. Anomic Democrasi atau demokrasi anomik adalah kondisi
disfungsi demokrasi anomic democracy. Anomic democracy terjadi apabila
tercipta konflik antara tujuan bersama (Negara) dengan kepentingan
pribadi/kelompok, yang terjadi antara eksekutif, cabinet, parlemen, dan
birokrat. Anomic democracy adalah politik demokrasi menjadi sekadar
arena penegasan kepentingan yang saling berkonflik tersebut, bukan lagi
sebagai arena di mana proses pembangunan tujuan bersama dilakukan
------------------------------------------Referensi
Charles Tilly, Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press,

2007)

Christopher J. Anderson, et.al, Losers Consent: Elections and


Democratic Legitimacy, (Oxford: Oxford University Press, 2005).
David Adesnik and Michael McFaul, Engaging Autocratic Allies to
Promote Democracy, The Center for Strategic and International Studies
and the Massachusetts Institute of Technology, The Washington Quartertly
Spring 2006.
Michel Crozier, Samuel P. Huntington, and Joji Watanuki, The Crisis
of Democracy: Report on the Governability of Democracies to the
Trilateral Commision, (New York: New York University Press, 1975)

The Swedish Collegium fo Advanced Study, The Democratic


Boundary Problem, Universit Paris Descartes.

Anda mungkin juga menyukai