Anda di halaman 1dari 2

Demokrasi dan Oligarki yang Berjalin-Berkelindan

di Indonesia
Dikirim oleh humas3 pada 20 Desember 2011 | Komentar : 0 | Dilihat : 11971

Prof. Jeffrey A. Winters

Terdapat kesenjangan serius antara implementasi demokrasi di lapangan dan perasaan demokratis yang dirasakan
masyarakat. Demokrasi prosedural yang saat ini melanda Indonesia semakin menjauhkan mereka dari perasaan
demokratis karena keterwakilan yang semu. Guru Besar Departemen Ilmu Politik Northwestern University,
Chicago, Amerika Serikat menyampaikan hal ini dihadapan peserta kuliah tamu internasional bertajuk "Democracy
Versus Oligarchy in Indonesia", Senin (19/12) di gedung rektorat Universitas Brawijaya (UB). Berbagai
paradoksal dapat terlihat diantaranya dari prestasi yang diraih pada 2010 silam dimana Indonesia tercatat sebagai
negara paling demokratis di Asia tenggara sekaligus paling korup.

Menduduki posisi struktural sebagai hasil pemilihan umum merupakan salah satu indikasi gampang yang bisa
ditandai dari demokrasi yang dinilai sukses di Indonesia. Padahal menurutnya, hal tersebut bermodalkan mobilisasi
massa dan kekerasan. "Bahkan beberapa figure dalam sejarah juga menggunakan senjata dalam pendekatan
sumberdaya kekuasaan", katanya.

Sebagaimana dalam catatan sejarah Indonesia, mobilisasi massa merupakan salah satu bagian strategi dalam
meraih kemerdekaaan. Kemudian bergerak ke era 50-an hingga 60-an, dimana terjadi pergeseran dari mobilisasi
massa ke senjata dan klimaksnya pada era Soeharto, senjata menjadi modal politik yang menentukan dan
menggeser mobilisasi massa. "Pada era Soeharto, basis organisasi massa diperketat. Tidak ada mobilisasi dan
banyak massa mengambang", ujarnya. "Jika sebelumnya rakyat dimobilisir dan menjadi modal politik, maka
kemudian rakyat menjadi ancaman yang membahayakan", tambahnya.

Sepuluh tahun kemudian, pada era 70-an hingga 80-an, mulai muncul konglomerasi dan konsentrasi kekayaan
sehingga uang menjadi sumber daya kekuasaan dan senjata tidak relevan lagi. "Setelah 1998, mobilisasi dan
senjata bukan hal utama tetapi uanglah yang menjadi modal politik", katanya.

Oligarki Menguat di Indonesia

Sejak saat itu, Indonesia mulai masuk oligarki murni dan rakyat berkuasa melalui demokrasi. Setidaknya ada dua
transisi sekaligus pada saat itu, yakni dictatorship ke demokrasi prosedural serta sekelompok oligarki yang dibawa
oleh mafia sistem. "Tepat tahun 1998 tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun drastis bukan karena
demokrasi tetapi oligark tidak jinak lagi. Pada saat itu, para oligark dibiarkan liar dan berkompetisi satu sama lain",
ia menambahkan.

Dalam perpolitikan, melalui partai, oligarki menentukan siapa yang menjadi pilihan dan kemudian baru rakyat
memilih melalui demokrasi. "Politik uang dalam partai menentukan siapa yang menjadi pilihan", tandasnya.
Fenomena ini masih diperparah dengan hukum yang tebang pilih. "Figur-figur kuat dan oligark tidak tunduk
hukum tetapi hukum yang tunduk oligark", katanya. Menurut Winters, Indonesia bukanlah negara tanpa hukum (
lawless state) tetapi ada kekurangan dalam sistem hukumnya. Permasalahan teknis hukum ada ditataran bawah
sementara makin ke atas, bukan lagi masalah teknis tetapi kekuasaan. Karena itulah, Muncul fenomena Demokrasi
Kriminal, dimana hampir semua figure memiliki latar belakang kriminalitas.

Dalam bukunya, ia mencontohkan Akbar Tanjung sebagai contoh oligark pribumi. Akbar, menurutnya merupakan
sosok yang berjasa bagi sebagian besar politisi Indonesia dalam berbagai upayanya seperti menggalang massa dan
jejaring. Tetapi ia justru kalah di partainya sendiri ketika dua pentolan oligark lainnya muncul dalam Munas Partai
Golkar yakni Yusuf Kalla dan Aburizal Bakrie. "Akbar tidak punya kekuatan uang, karena hal paling penting di
Golkar bukan kekuasaan tetapi uang", kata Winters mengutip pernyataan salah seorang oligark yang enggan
disebut namanya.

Hal senada disampaikan pula oleh pembanding, Faishal Aminuddin, MSi. Menurutnya, ada perbedaan substansial
antara memahami dan melakukan upaya demokrasi. Pada level manapun, mulai daerah hingga pusat, menurutnya
backing positional tidak melahirkan pola baru atau bisa disebut dengan koalisi permanen. Dari daerah hingga pusat
juga, institusi publik hanya menjadi bagian dari negosiasi. Hal ini masih diperparah dengan penegakan hukum
yang mengalami pasang surut. "Komposisi kepemimpinan politik bukan dari kapasitas individu melainkan dari
backing-an", katanya.

Berbarengan dengan acara ini, dilakukan launching organisasi Center for Democratic Study and Electoral Politics
(CDEP) di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (FISIP) UB. Selain itu, dilaunching
juga buku berjudul "Demokrasi Versus Oligarki di Indonesia" yang ditulis oleh Prof. Jeffrey A. Winters. [nok]

Artikel terkait

FISIP UB Gelar Kuliah Umum Revitalisasi Komunikasi Kepresidenan


Rakyat Memilih Pemimpin yang Jujur dan Bersih dari Korupsi
Menyemarakkan Satu Abad, Jurusan HI Hadirkan Pakar Berbagai Negara
Psikologi UB Urutan Pertama 5-Year Score Publikasi "SINTA"
Akreditasi A Buktikan Kualitas Program Doktor Sosiologi FISIP UB

Anda mungkin juga menyukai