Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER-TAKE HOME EXAM (THE)

UNIVERSITAS TERBUKA SEMESTER: 2023/2024 Ganjil (2023.2)


Pengantar Ilmu Politik ISIP 4212

NAMA : MUHAMMAD FAQIHURRAHMAN


NIM : 051402542
1. Pasal 28C Berikut ini isi pasal yang mengatur hak asasi manusia, tepatnya Pasal 28C:
 Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Alasan saya memilih pasal tersebut Makna yang terkandung dalam pasal tersebjut
yakni negara menjamin hak asasi manusia secara menyeluruh yang mencakup hak
hidup, hak membentuk keluarga, mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
perlakuan yang sama di mata hukum, hak memeluk agama, dan beribadat menurut
agamanya, dan hak-hak lainnya.

2. A. Budaya Politik Parokial


Budaya politik parokial adalah budaya politik yang level partisipasi masyarakatnya
masih sangat rendah. Dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah atau buta
huruf.
Ciri-ciri budaya politik parokial adalah:
 Orientasi politik individunya terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang
kecil dan sempit.
 Tingkat kesadaran individu terhadap adanya kekuasaan pusat dalam negara
sangat rendah.
 Individu tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
 Tidak ada peranan politik yang bersifat khas dan beridri sendiri.
 Biasanya terjadi dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pedesaan.
Dalam pemilu baik legislatif maupun eksekutif, untuk di daerah pedalaman
masyarakatnya cenderung melakukan sikap apatis. Hal ini jika ditinjau dari
budaya politik yang berkembang di masyarakat indonesia sekarang menunjukkan
adanya budaya politik parokial.
2.B. Ketika era Orde Baru demokrasi dikekang, baik segala bentuk media dikontrol
dan diawasi oleh pemerintah agar tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah.
Awalnya Orde Baru berupaya untuk memperbaiki keadaan bangsa dan melakukan
koreksi atas segala penyimpangan dan kebobrokan pada masa Orde Lama. Pada
awalnya memang rakyat merasakan peningkatan dalam berbagai bidang terutama
bidang ekonomi. Namun lama-kelamaan terdapat berbagai penyimpangan dan
parahnya adalah monopoli kekuasaan Presiden Soeharto. Sistem monopoli
kekuasaan yang berpangkal pada Soeharto tersebut dapat dilihat bagaimana
dominannya kekuasaan Soeharto pada masa pemerintahannya yang berlangsung
lebih dari tiga dekade. Kelangsungan masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah
terlepas dari peran mesin politik yang digerakkan oleh Soeharto yaitu Golongan
Karya (Golkar). Untuk menambah dominasi kekuasaan politiknya, Soeharto juga
menerapkan sistem Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI menerapkan bahwa
Militer/ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidak lagi hanya bertugas
sebagai lembaga yang berperan dalam ketahanan negara melainkan juga ikut ambil
bagian dalam kekuasaan politik dengan menempatkan orang-orangnya di lembaga
legislatif. Kekuasaan pada saat itu juga diisi oleh orang-orang yang memiliki
kedekatan dengan Soeharto. Secara tidak langsung birokrasi pada masa Orde Baru
didominasi oleh orang-orang yang memiliki loyalitas terhadap Soeharto. Selama
lebih dari tiga puluh tahun, bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang
menganut sistem politik otoriter. Kekuasaan Orde Baru menjadi kekuasaan otoriter
yang memakai embel-embel demokrasi. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak
dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan
dimanipulasi demi kepentingan sang penguasa. Hal itu terbukti dengan adanya
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai
media untuk propaganda kekuasaan Orde Baru (Andriani Purwastuti, 2002:45).

3. A. Inglehart dan Norris


Gerakan politik identitas dinilai sangat efektif dalam mendulang suara masyarakat
dominan karena “menyentuh” ranah identitas yang sensitif seperti isu SARA (Suku,
Agama, Ras dan Antargolongan).

Hal ini pula yang diterapkan oleh Donald Trump semasa kampanye untuk mendulang
suara mayoritas. Donald Trump yang semasa kampanye dikritik sebagai seorang rasis,
narsis, megalomania dan masih banyak yang lainnya kini duduk sebagai orang nomor
satu di Amerika Serikat berkat gerakan politik identitas yang ia gunakan.

Menurut pengamat politik seperti Inglehart dan Norris, mereka mengatakan bahwa
pada dasarnya penyebab dari menguatnya politik identitas yang erat kaitannya dengan
paham populisme adalah kesenjangan ekonomi dan pertentangan kultural. Dua
hipotesis ini dirasa mewakili semua aspek yang menjadi pondasi dasar bagaimana
sebuah gerakan politik identitas dan paham populisme bisa menguat dewasa ini.

Kesenjangan ekonomi yang menjadi penyebab menguatnya populisme dan gerakan


politik identitas berawal dari krisis finansial global pada 2008-2009. Krisis ini
menyebabkan perekonomian di negara-negara Barat untuk mencari keseimbangan
yang baru. Di saat yang sama, globalisasi ekonomi menyebabkan banyak lapangan
pekerjaan khususnya pada bidang manufaktur untuk pindah ke Meksiko, India,
Tiongkok dan bahkan Afrika. Di lain sisi, bidang produksi jasa juga mengalami
perpindahan, revolusi teknologi dan informasi yang terjadi mendorong pekerjaan yang
tadinya harus dilakukan di tempat, kini bergeser dan bisa dikerjakan dari jarak jauh.

Inglehart dan Norris namun mengatakan bahwa penyebab utama dari menguatnya
politik identitas dan populisme bukanlah kesenjangan ekonomi, melainkan
pertentangan kultural. Kesenjangan ekonomi tidak bisa menjelaskan hubungan yang
erat di antara tingkat pengangguran, tingkat pendapatan rumah tangga atau status
pekerjaan dengan preferensi pilihan politik.
Faktor kesenjangan ekonomi mungkin bisa menjelaskan mengapa Hillary Clinton
kalah dalam koridor industri di Philadelphia dan Detroit. Tetapi selebihnya,
kesenjangan ekonomi hanya berhenti dalam perbincangan yang dinilai kurang mampu
menggambarkan bagaimana sebenarnya gerakan populisme dan politik identitas bisa
menguat hari ini.

3.B. Tulisan Ahmad Syafii dalam Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita
(2012), mencantumkan penjelasan Abdillah mengenai politik identitas. Menurutnya,
politik identitas berfokus pada perbedaan asumsi tubuh, politik etnis, primordialisme,
perbedaan agama, bahasa, dan lain-lain. Perbedaan tersebut ternyata dapat digunakan
dalam politik oleh suatu kelompok. Dengan menggunakan acuan atau landasan
kesamaan simbol, mereka dapat dengan mudah memperoleh dukungan masyarakat.
Tujuan tersebut memang bersifat positif ketika kelompok tersebut hidup di tengah
dunianya. Namun, Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam
identitas. Oleh sebab itu, satu sama lain masing-masing identitas ini bisa saja
berkonflik karena politik identitas.

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang diklaim merendahkan suatu surat di Al-
Quran. Secara garis besar, Ahok menjelaskan agar orang Indonesia dapat menerima
golongan non-Muslim sebagai pemimpin. Akan tetapi, penyertaan ayat yang diucap
dalam kampanyenya tersebut membuat umat Islam tak terima. Dalam politik identitas
yang memanfaatkan berbagai cara, situasi Ahok pun sangat dekat dengan klaim
“bersalah”. Kendati sebagian ada yang mengecam Basuki untuk bertanggung jawab
terhadap ucapannya saja, tentu ada juga beberapa pihak yang menggunakannya demi
keperluan politik.

Politik identitas adalah alat politik yang dipraktikkan demi tujuan tertentu oleh sebuah
kelompok. Biasanya identitas tersebut mengacu pada kegiatannya yang
memanfaatkan ciri khas suku, budaya, agama, etnis, dan kesamaan-kesamaan lainnya.
Dalam perpolitikan di Indonesia, termasuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang
digelar 14 Februari 2024 nanti, isu ini dianggap penting untuk dibahas. Kendati
terlihat baik lantaran mencari suara berdasarkan kesamaan, politik ini menjadi
terkesan negatif ketika digunakan secara ekstrem. Terlebih lagi, Indonesia merupakan
negara yang menganut demokrasi. Dukungan yang seharusnya diperoleh dari
penilaian masing-masing individu, malah dilandaskan pada kesamaan identitas saja.

4. A. Lembaga Legislatif

Berbeda dari lembaga eksekutif yang melaksanakan undang-undang, lembaga


legislatif adalah lembaga yang bertugas untuk membuat atau merumuskan undang-undang
yang diperlukan negara. Contoh lembaga legislatif ini adalah MPR, DPR, dan DPD.

Dilanjutkan oleh Nurul Huda, lembaga legislatif dikenal dengan beberapa nama, seperti
parlemen, kongres, atau asembli nasional. Lebih dari itu, dalam sistem parlemen, lembaga
atau badan legislatif memiliki kedudukan tertinggi dan berhak untuk menunjuk badan atau
lembaga eksekutif.
Kemudian, dalam sistem presidensial, legislatif merupakan cabang pemerintahan yang sama
dan bebas dari badan eksekutif.

Selanjutnya, mengingat tugas lembaga legislatif sebagai pembuat atau perumus undang-
undang, segala peraturan yang dibuat oleh lembaga ini wajib ditaati dan memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.

Jika dirincikan, peraturan-peraturan yang dibuat lembaga legislatif adalah peraturan terkait
ekonomi, politik, budaya, hukum, keamanan, pajak, penyiaran, kekayaan intelektual, dan
lainnya.

Fungsi Utama Lembaga Legislatif

Sebagai perumus peraturan, lembaga legislatif tentu memiliki banyak fungsi. Namun,
menurut Miriam Budiarjo, lembaga legislatif memiliki dua fungsi penting. Adapun dua
kekuasaan legislatif yang paling penting adalah:

Presiden merupakan lembaga pemerintahan yang bersifat eksekutif atau lembaga yang
bertugas melaksanakan undang-undang.

Pertama, menentukan suatu kebijakan dan membuat undang-undang. Sehubungan


dengan itu, lembaga legislatif diberikan hak inisiatif yakni hak untuk mengadakan
amandemen terhadap rancangan undang-undang, dan terutama di bidang anggaran.

Kedua, mengontrol lembaga eksekutif. Dalam konteks ini, lembaga legislatif diharapkan
untuk menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang
telah ditetapkan. Untuk menjalankan tugas tersebut, badan-badan perwakilan rakyat diberikan
hak-hak khusus.

4.B. Hak-Hak Legislatif sebagai Pengawas Eksekutif

Berikut ini adalah hak-hak yang dimiliki oleh fungsi legislatif sebagai pengawas eksekutif,
diantaranya adalah :

1. Pengawasan Legislatif Terhadap Eksekutif

Legislatif kini memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan mengevaluasi kinerja
pemerintahan eksekutif.

Proses ini dapat mencakup langkah-langkah seperti impeachment atau mosi tidak percaya
terhadap kepala pemerintahan atau pejabat eksekutif tertentu, apabila dianggap melanggar
tugas atau melakukan pelanggaran.

2. Pengesahan Anggaran dan Pengawasan Keuangan

Hak legislatif dalam menyetujui anggaran pemerintah dan mengontrol pengeluaran


keuangan memberikan kontrol penuh terhadap sumber daya finansial negara.

Hal ini memastikan bahwa penggunaan dana publik sejalan dengan kebijakan dan program
yang telah disetujui.
3. Pemeriksaan dan Investigasi

Fungsi legislatif juga memiliki hak untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi terhadap
kebijakan dan tindakan pemerintah.

Ini mencakup pertanyaan kepada pejabat eksekutif, perolehan informasi, serta


penyelidikan apabila diperlukan.

4. Peran dalam Pembentukan Undang-Undang

Legislatif tidak hanya memiliki hak untuk mengusulkan undang-undang, tetapi juga
berperan dalam membahas dan mengesahkan undang-undang.

Dengan kendali terhadap proses pembentukan dan perubahan undang-undang, fungsi


legislatif dapat memberikan arah dan batasan terhadap kebijakan dan tindakan eksekutif.

5. Konfirmasi dan Persetujuan

Di beberapa sistem politik, legislator memiliki hak untuk mengonfirmasi atau menolak
penunjukan pejabat eksekutif tertentu, seperti menteri atau duta besar.

Persetujuan ini memastikan bahwa pejabat eksekutif memiliki kualifikasi dan dukungan
yang memadai.

6. Pertanyaan dan Debat

Legislatif memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan dan berpartisipasi dalam debat
tentang kebijakan dan tindakan eksekutif.

Ini menciptakan wadah untuk ekspresi pandangan serta evaluasi terhadap kinerja
pemerintah.

7. Pelaporan Rutin

Legislatif berhak menerima laporan rutin dari pemerintah mengenai berbagai aspek
kebijakan dan pelaksanaan program-program tertentu.

Hal ini memungkinkan legislator untuk tetap terinformasi dan memahami tindakan
eksekutif.

Hak-hak ini mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dan pengawasan yang telah tertanam
dalam sistem politik pasca reformasi di Indonesia.

Perubahan amandemen pada UUD 1945 telah memperkuat peran dan hak fungsi legislatif,
membentuk landasan bagi sistem politik yang lebih demokratis dan terbuka.

Anda mungkin juga menyukai