Anda di halaman 1dari 16

Politik Dinasti: Definisi, Fenomena Global, dan

Ancaman Demokrasi
Isu politik dinasti kembali mengemuka setelah putra Presiden Joko Widodo, Gibran
Rakabuming Raka terpilih sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo pada
Pilpres 2024. Apa sebenarnya politik dinasti? Benarkah politik dinasti mengancam
demokrasi?

Seorang Indonesianis dari Yale University, Harry Jindrich Benda, pada tahun 1964
mengutarakan Republik Indonesia tak akan pernah paripurna menjadi negara demokratis karena
para elitenya turut membangun budaya politik yang mewarisi tradisi politik feodal dari masa
lalu. Kurang lebih enam dekade berlalu kecemasan Harry Jindrich Benda menemui relevansinya
seiring maraknya kekuasaan yang dilanggengkan berdasar garis keturunan, baik dalam skala
daerah maupun nasional.

Fenomena regenerasi kekuasaan mengandalkan darah dan keturunan dikenal dengan istilah
politik dinasti yang memiliki berbagai macam definisi. Menurut KBBI politik dinasti merupakan
suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa. Dikutip dari
laman Mahkamah Konstitusi, politik dinasti merujuk pada sebuah kekuasaan politik yang
dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Dalam buku Politik Lokal & Otonomi Daerah (2014), Leo Agustino menjabarkan politik dinasti
sebagai “kerajaan politik” yang elite politiknya menempatkan keluarga, saudara, dan kerabatnya
di beberapa posisi penting pemerintahan baik lokal ataupun nasional, atau membentuk strategi
semacam jaringan kerajaan yang terstruktur dan sistematis.

Dari penelusuran arsip, Harian Kompas pertama kali menggunakan istilah politik dinasti pada
artikel India masa kini: Politik dinasti, dinasti politik yang dimuat 9 Juli 1985. Artikel ini
memberitakan tentang Rajiv Gandhi yang disumpah menjadi Perdana Menteri India, hanya 40
menit setelah pengumuman resmi pemerintah Indira, tewas dibunuh dua pengawal pribadi di 1
Safdarjung Road, New Delhi.

Sebelum istilah “politik dinasti” muncul, Kompas sempat memuat istilah “dinasti politik” pada 4
April 1983 dalam artikel yang mengulas suksesi kepemimpinan di Filipina dengan judul Dinasti
Politik Keluarga Marcos. Walaupun dua istilah ini tampak mirip, sebenarnya memiliki makna
berbeda.

Menurut Lusi Andriyani, Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ), politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh
sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga, dinasti politik sengaja mengonstruksi
bahwa kekuasaan hanya boleh dikuasai oleh satu keluarga saja.

Wacana politik dinasti mulai ramai saat Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Tubagus
Chaeri Wardana alias Wawan, adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dalam kasus dugaan
suap ke Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada tahun 2013. Kasus ini memunculkan
dugaan praktik politik dinasti di Banten.

Dalam lingkup negara, pola politik dinasti di Indonesia saat ini tampak pada trah Presiden
Soekarno yang menurun ke Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani.

Selain itu, trah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menurun kepada Agus Harimurti
Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono dalam hal kepemimpinan di internal partai.

Terkini, trah Presiden Joko Widodo dalam kancah politik yang menurun ke Gibran Rakabuming
Raka sebagai Walikota Surakarta dan Kaesang Pangarep yang saat ini memimpin Partai
Solidaritas Indonesia (PSI).

Hampir semua presiden di Indonesia membangun politik dinasti. Pada masa Orde Baru, Presiden
Soeharto bahkan secara terang-terangan memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga
dan kroninya. Hingga pada akhir periode kekuasaannya, Siti Hardiyanti Rukmana, puteri
Soeharto, secara gamblang diangkat sebagai Menteri Sosial.
Setelah Soeharto lengser, romantisme Orde Baru belum pudar. Sejumlah partai lahir di tangan
generasi kedua Soeharto seperti Partai Karya Peduli Bangsa yang dimotori Siti Hardiyanti
Rukmana, dan Partai Berkarya oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto

Fenomena politik dinasti tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di ranah global. Walau tak
kekal, dinasti politik tumbuh dan berkembang di dunia antara lain dinasti politik Kennedy dan
Bush di Amerika Serikat, keluarga Marcos, Aquino, Duterte di Filipina, Nehru-Gandhi di India,
dan Bhutto di Pakistan.

Pengaruh pada Demokrasi


Berbagai studi dan fenomena politik dinasti di dunia menunjukkan, dinasti politik menjadi gejala
memburuknya demokrasi dan pembangunan. Meski mayoritas berakhir tak sesuai harapan, tidak
semua negara mengalaminya. Singapura yang dikuasai dinasti politik Lee Kuan Yew berhasil
membangun negara dan menyejahterakan rakyat. Namun perlu digaris bawahi, Singapura sudah
memiliki sistem pemerintahan yang solid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Merujuk buku Dasar-dasar Ilmu Politik, karya Profesor Miriam Budiardjo, politik memiliki
unsur-unsur pokok meliputi negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation). Dalam konteks pokok-pokok politik tidak ada yang salah dengan politik dinasti,
tetapi konsep politik dinasti dapat mengancam demokrasi.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berbincang-bincang dengan Wali Kota Surakarta Gibran
Rakabuming Raka, di Angkringan Omah Semar, Kota Surakarta, Jawa Tengah (20/5/2023). Dalam
kesempatan itu, Prabowo diberi dukungan oleh kelompok sukarelawan pendukung Gibran dan Jokowi. Ia
dinilai sebagai sosok yang mampu meneruskan program-program yang telah dirintis Jokowi semasa
memimpin.
Robertus Robet, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus aktivis HAM, dalam
tulisan di Kompas 23 April 2013 menyinggung ancaman politik dinasti terhadap demokrasi.
Politik dapat diartikan sebagai proses sekelompok masyarakat mengambil keputusan, sementara
dinasti merupakan bentuk regenerasi kekuasaan primitif mengandalkan keturunan. Secara
alamiah politik dinasti merupakan ancaman dari demokrasi karena dalam dinasti peran publik
tidak dipertimbangkan.

Salah satu mahzab demokrasi yang terkenal disampaikan oleh Montesquieu (1689-1755), trias
politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Tujuan adanya trias politika agar tidak terjadi
pemusatan kekuasaan di satu pihak. Terkait politik dinasti, secara tegas Deklarasi Hak Manusia
dan Warga Negara di Perancis pada 1789 menyebutkan, “kedaulatan ada di tangan bangsa”,
bukan keluarga. (Litbang Kompas)

BARU

Evolusi Dinasti Politik dan Pemilu 2024


Elite dinasti politik berkonsolidasi dan berekspansi ke partai dengan modal
popularitas serta akses politik dan ekonomi.

Dinasti politik berevolusi dengan cepat dari yang kita perkirakan. Tak butuh waktu lama bagi
generasi kedua dinasti politik untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan di pusat ataupun daerah.

Evolusi cepat ini mengubah struktur dan komposisi elite dan level kompetisi politik. Sistem
kepartaian yang lemah, kesempatan politik yang terbuka, serta akses kekuasaan dan ekonomi
menopang tumbuh suburnya dinasti politik. Para elite dari dinasti politik berhasil
mengonsolidasikan diri dan berekspansi ke banyak partai dengan modal popularitas serta akses
politik dan ekonomi.

Lebih dari satu dekade belakangan, kita melihat para elite dari dinasti politik berhasil melakukan
regenerasi pada saat elite dari generasi awal tengah menjabat. Demokrasi kita seperti mundur ke
titik terendah sejak reformasi. Partai yang seharusnya menjadi lokus kompetisi politik justru
tidak kompetitif.

Sistem kepartaian yang lemah dan miskin inovasi membuat partai terdorong untuk mencari tokoh
populer untuk bisa bertahan dari kompetisi yang ketat. Partai rela memburu para tokoh populer
hanya untuk kebutuhan jangka pendek menghadapi pemilu.
Sistem kepartaian yang lemah, kesempatan politik yang terbuka, serta akses kekuasaan dan
ekonomi menopang tumbuh suburnya dinasti politik.

Dua debat

Beberapa studi merujuk dinasti politik pada pejabat yang terpilih saat keluarganya tengah
menjabat di pemerintahan, baik saat ini atau di masa lalu (Cruz dan Mendoza, 2015). Secara
umum, ada dua pola dari dinasti politik, yaitu anggota keluarga yang mengisi jabatan-jabatan
yang sama yang pernah diisi oleh anggota keluarga, atau keluarga yang mengisi suatu jabatan
secara bersamaan pada saat anggota keluarganya tengah menjabat (Albert, dkk, 2015).

Dalam merespons diskursus politik dinasti, ada dua pandangan yang terbelah. Ada kelompok
yang beranggapan bahwa dalam negara yang demokratis, semua orang punya kesempatan yang
sama untuk mencalonkan diri dalam kompetisi politik. Para pendukung argumen ini mengambil
contoh sejumlah negara demokratis seperti AS dan India, yang memperlihatkan anak-anak dari
keluarga Bush, Kennedy, dan Gandhi terpilih melalui pemilihan yang demokratis.

Kelompok lain berargumen lebih kritis. Bagi kelompok ini, elite dinasti politik tak melewati
proses regenerasi politik dan hanya menikmati akses politik dan ekonomi dari keluarga generasi
pertama. Masuknya elite dari dinasti politik juga dianggap tak menciptakan ruang kompetisi
politik yang setara dan adil.

Di tingkat global, terutama negara-negara di Amerika Latin, sejak lama sudah ada
kecenderungan untuk membatasi politik dinasti. Studi Cruz dan Mendoza (2015) menunjukkan,
level demokratisasi negara-negara di Amerika Latin mengalami peningkatan setelah mengadopsi
kebijakan antipolitik dinasti.

Aturan yang paling lama berasal dari konstitusi Kosta Rika tahun 1949 yang melarang keluarga
dari mantan presiden dan wakil presiden maju pada jabatan pemerintahan tertinggi dan juga
melarang anggota keluarga dua tingkat di bawahnya untuk maju dalam pemilihan legislatif.
Bahkan, dalam konstitusi terbaru, capres dan cawapres tidak dapat berasal dari anggota keluarga
(hubungan darah/pernikahan) dari presiden yang tengah menjabat atau pernah menjabat sebagai
presiden dan wakil presiden.
Sebagian besar negara-negara di Amerika Latin mengadopsi pengetatan/pelarangan bagi dinasti
politik sejak terjadinya gelombang ketiga demokratisasi. Honduras mengadopsinya tahun 1982,
diikuti El Salvador (1983), Guatemala (1985), Nikaragua (1987), Brasil (1990), Kolombia
(1991), dan Paraguay (1992).

Di Indonesia, tahun 2015, pemerintahan Joko Widodo yang baru berumur satu tahun
mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota (UU Pilkada). Dalam revisi, ada klausul yang melarang anggota keluarga dari
dinasti politik maju di pilkada, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Pada Pasal 7 tentang huruf r dalam UU itu disebutkan syarat calon kepala daerah haruslah ”tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana”, yaitu tak memiliki hubungan darah, ikatan
perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan
petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak menantu, kecuali telah
melewati jeda satu kali masa jabatan. Usaha pemerintah dan DPR untuk membuat politik yang
inklusif terbentur palu Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan untuk membatalkan pasal
antipolitik dinasti dan hal ini akhirnya menjadi pintu masuk berakarnya dinasti politik di
Indonesia.

Dalam revisi, ada klausul yang melarang anggota keluarga dari dinasti politik maju di
pilkada, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Struktur elite

Pertanyaannya, kenapa dinasti politik bisa bertahan dan berkembang? Temuan Kenawas (2015)
menunjukkan bahwa faktor kekuatan jaringan informal keluarga dan kemampuan dalam
mengakumulasi modal dalam kompetisi dengan mengandalkan status anggota keluarga sebagai
petahana membuat dinasti politik yang bertahan pada tingkat daerah.

Bahkan, saat ini jumlah dinasti politik di Indonesia tumbuh tiga kali lebih cepat dibandingkan
dengan tahun 2010 dan 2018 (Kenawas, 2023). Beberapa studi berkesimpulan, semakin lama
seseorang menjabat atau berada di kekuasaan, semakin berpeluang membangun dinasti politik
(Dal Bo, Dal Bo, dan Synder 2009; Coppenolle, 2017).
Meningkatnya jumlah politikus dari keluarga dinasti membuat perubahan yang besar dalam
struktur elite di Indonesia. Elite pengusaha-politik yang menguat tahun 2000-an saat ini digeser
oleh elite politikus dinasti. Sementara, elite politik yang berasal dari kelompok aktivis,
profesional, dan akademisi, jumlahnya terus menurun. Hal ini disumbang oleh keterbatasan
modal, rendahnya popularitas, hingga mahalnya biaya politik, akibat penggunaan sistem
proporsional terbuka di pemilu legislatif.

Pada awalnya, dinasti politik berkembang di daerah sejak keran demokratisasi dibuka tahun
1998-1999. Elite-elite lokal yang punya akses pada kekuasaan lama berhasil mengonsolidasikan
diri dengan cepat. Dengan sumber daya ekonomi yang kuat dan jaringan politik yang terbangun
lama, para elite dinasti politik berhasil menjadi ”elite baru” di daerah dan lalu merangkak ke
tingkat pusat.

Elite dari dinasti politik memiliki kecenderungan untuk ”berkarier” pada daerah yang sama
dengan generasi awal. Hal tersebut lebih memudahkan untuk mendapatkan dukungan publik dan
suara dalam pemilihan karena sudah memiliki pendukung yang loyal.

Ilustrasi

Kasus yang paling kentara, misalnya, keluarga Duterte. Rodrigo Duterte adalah mantan presiden
Filipina yang membangun karier politik mulai dari anggota kongres, wakil wali kota dan wali
kota, hingga menjadi presiden. Ia pernah menjadi wali kota di Davao, kota dengan populasi
terbesar kelima di Filipina.

Saat menjadi presiden, anaknya, Sara, menjadi wali kota di tempat yang sama. Pada 2022, Sara
yang masih menjadi wali kota maju menjadi cawapres saat Duterte masih menjabat presiden.
Sara, yang berpasangan dengan Bong Bong, putra Ferdinand Marcos—diktator yang
ditumbangkan dalam people power 1986—menang dengan angka 58,7 persen.
Risiko

Pertanyaannya: apakah pilihan Presiden Joko Widodo ”merestui” Gibran Rakabuming Raka,
Wali Kota Solo yang juga putranya, akan memiliki risiko politik atau tidak? Bila iya, seberapa
besar risikonya dan apakah dampaknya?

Risiko ini dipengaruhi oleh tiga kondisi. Pertama, respons publik terhadap isu politik dinasti
yang menyeruak, terutama setelah putusan MK yang dianggap sebagian orang janggal. Jika
terjadi eskalasi ketidakpuasan publik terhadap hal ini, mungkin akan jadi kabar buruk bagi
dukungan publik pada Gibran.

Kedua, risiko dari sisi kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan. Survei teranyar
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan turunnya persentase publik yang mengatakan
situasi ekonomi dan penegakan hukum dalam kondisi baik. Survei LSI (Oktober 2023)
menemukan persentase ekonomi baik turun dari 28,7 persen ke 23,3 persen, sementara
responden yang mengatakan situasi ekonomi memburuk naik dari 26,4 persen ke 32,9 persen.

Jika terjadi eskalasi ketidakpuasan publik terhadap hal ini, mungkin akan jadi kabar
buruk bagi dukungan publik pada Gibran.

Jika terjadi eskalasi ketidakpuasan terhadap dinasti politik, bukan tak mungkin ketidakpercayaan
pada pemerintah juga akan menurun, dan ini tentu akan memengaruhi legacy politik dari
pemerintah Jokowi yang sudah terjaga dengan baik sejak periode pertama.

Ketiga, risiko berhadapan secara langsung dengan PDI Perjuangan (PDI-P). Sebagai kader dan
presiden yang diusung sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga dua periode
presiden, tentu pilihan Jokowi berhadapan secara langsung dengan PDI-P, tak menguntungkan
secara politik.

Menguatnya peran elite dinasti politik tentu menjadi tantangan dalam pembangunan demokrasi
Indonesia ke depan, terutama dalam menyediakan ruang kompetisi yang setara dan potensi
meningkatnya korupsi politik (Rahman, 2013). Di tingkat global, inisiatif untuk membatasi
politik dinasti sudah muncul sejak lama dan menjadi tren, terutama di negara-negara Amerika
Latin.

Meskipun persepsi terhadap politik dinasti sering kali negatif, dalam sejarahnya beberapa dinasti
berkontribusi bagi pembangunan demokrasi dan pembangunan, seperti keluarga Kennedy dan
Rockefeller, di AS.

BBBARU

Penghapus Nilai Demokrasi Itu Bernama Dinasti Politik


Semua orang memiliki hak yang sama dalam berpolitik. Nilai demokrasi terancam
terhapus ketika ada pihak mendapat keistimewaan tertentu di tengah kontestasi politik
yang semestinya berjalan adil.

Melintasi gerbang lengkung di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Ketua Umum Partai
Golkar Airlangga Hartarto tampak bergegas menuju mobilnya, Selasa (10/10/2023). Airlangga
yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut baru saja mengikuti rapat.

Pada hari itu ada beberapa rapat internal yang digelar di Istana Kepresidenan, termasuk
menyangkut lumbung pangan. Melihat Airlangga keluar, para wartawan yang menunggu di pilar,
area luar ruangan yang biasanya menjadi lokasi penyampaian keterangan pers, pun segera
mengerumuninya.

Belakangan, wacana duet Prabowo-Gibran untuk maju di Pemilihan Presiden 2024 mencuat di
tengah rencana MK membacakan putusan mengenai pengujian konstitusionalitas syarat usia
capres dan cawapres.

”Pak, nanya soal politik, dong, Pak,” kata seorang jurnalis.

”Apa itu?” jawab Airlangga sambil tak menghentikan langkah kakinya menuju mobil.
Jurnalis itu pun menanyakan pertimbangan Golkar perihal nama Gibran Rakabuming Raka, Wali
Kota Surakarta, Jawa Tengah, yang masuk sebagai salah satu calon wakil presiden
(cawapres) Prabowo Subianto, bakal calon presiden (capres) yang diusung oleh Koalisi
Indonesia Maju di mana Airlangga merupakan salah satu pimpinan partai politik yang tergabung
dalam koalisi itu.

Airlangga pun menjawab singkat. ”Ya, kita tunggu dari MK (Mahkamah Konstitusi),” ujarnya.

Belakangan, wacana duet Prabowo-Gibran untuk maju di Pemilihan Presiden 2024 mencuat di
tengah rencana MK membacakan putusan mengenai pengujian konstitusionalitas syarat usia
capres dan cawapres. Ada sejumlah gugatan terkait syarat usia capres-cawapres itu yang
diajukan oleh berbagai kalangan, baik itu partai politik maupun perseorangan. Salah satu
permohonan yang diajukan adalah agar syarat usia capres-cawapres bisa di bawah 40 tahun.
Adapun Gibran saat ini berumur 36 tahun.

Tak terbantahkan, di ranah politik dan hukum, salah satu yang kini ditunggu banyak pihak adalah
putusan MK terkait pengujian konstitusionalitas syarat usia capres-cawapres. Putusan mengenai
syarat usia capres-cawapres tersebut menurut rencana akan dibacakan pada Senin, 16 Oktober
2023.

Syarat usia capres-cawapres itu diatur dalam Pasal 169 Huruf q di Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu menyebutkan antara lain usia capres-cawapres
minimal 40 tahun. Pihak yang mengajukan uji materi ke MK terkait dengan pasal itu adalah
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, lima kepala daerah, dan sejumlah pihak
lainnya.

Salah satu pemohon tersebut meminta MK menurunkan syarat usia capres-cawapres dari 40
tahun menjadi 35 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah atau penyelenggara negara.

Kembali ke kompleks Istana Kepresidenan, para wartawan pun mencoba mencari tanggapan dari
figur lain perihal disebut-sebutnya nama Gibran sebagai pendamping Prabowo. Menteri
Perdagangan Zulkifli Hasan, yang juga menjabat Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN),
pun dianggap sebagai orang yang tepat untuk ditanya perihal nama Gibran yang menguat
menjadi cawapres pendamping Prabowo. Seperti halnya Golkar, PAN merupakan salah satu dari
sejumlah partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju.

”Gibran, kan, keren. Wali kota sukses. Apa-apa sukses. Tapi, saya ngusulkan Pak Erick (Menteri
Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir), kan? Iya, gitu,” kata Zulkifli seusai mengikuti rapat di
Istana Kepresidenan.

Baca juga: PAN Tetap Usung Erick Thohir sebagai Bakal Calon Wakil Presiden

Pandangan tiap orang atau pihak memang beragam, tak terkecuali menyangkut nama-nama yang
digadang menjadi capres dan cawapres pada Pilpres 2024. Beragam pula pandangan menyangkut
proses-proses politik dan hukum yang kini tengah berjalan, khususnya proses pengujian di MK
menyangkut ketentuan usia capres-cawapres.

Pandangan Presiden Jokowi

Lalu bagaimana pandangan Presiden Joko Widodo terkait isu-isu tersebut? Jawaban pertanyaan
ini kiranya dapat didekati dari penelusuran terhadap pernyataan Jokowi ketika menjawab
pertanyaan seputar isu tersebut.

Berdasarkan catatan Kompas, perihal uji materi usia capres-cawapres di MK, yakni agar batas
minimal diturunkan menjadi 35 tahun, ini sempat ditanyakan kepada Jokowi saat mengunjungi
Pasar Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, pada 4 Agustus 2023.

Saat itu Presiden menuturkan bahwa dirinya tidak mengurusi soal tersebut. ”Saya enggak
mengintervensi, itu urusan yudikatif,” katanya.

Adanya dugaan bahwa uji materi itu untuk meloloskan Gibran, yang merupakan anak sulungnya,
menjadi pasangan Prabowo, Jokowi pun menolak berandai-andai. ”Jangan menduga-duga.
Jangan berandai-andai,” jawabnya menanggapi pertanyaan tersebut.

Baca juga: Prabowo Klaim Duet dengan Gibran Aspirasi Publik


Di tempat terpisah, pada sesi keterangan pers pada Hari Konstitusi sekaligus Hari Ulang Tahun
Ke-78 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) di Gedung MPR RI,
Jakarta, Jumat (18/8/2023), pertanyaan senada juga ditujukan kepada Presiden.

Namun, saat itu pertanyaannya adalah terkait tanggapan Presiden mengenai pernyataan Ketua
DPP PDI Perjuangan Puan Maharani terkait peluang Gibran sebagai pendamping Ganjar
Pranowo apabila gugatan batasan usia capres-cawapres menjadi 35 tahun dikabulkan MK.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Jokowi menjawab singkat sambil tersenyum, ”Tanyakan Bu
Puan.”

Konsep dinasti versus nilai demokrasi

Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, Feri Amsari, saat dihubungi dari Jakarta,
Rabu (11/10/2023), mengatakan, dinasti politik adalah dinasti yang memberikan karpet merah
pada keluarga tertentu untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan politik. Persaingannya
berbasis kepada kepentingan keluarga tertentu yang menguasai atau mendominasi wilayah atau
kekuasaan tertentu.

”Kalau kita lihat, ya, ruang itu sudah sangat terasa, tidak hanya berada di daerah-daerah tertentu.
Sampai sekarang kita bisa lihat kebiasaan dinasti politik itu muncul di tingkat nasional, terutama
dalam keluarga Istana,” kata Feri.

Kalau kemudian syarat suatu proses demokrasi diubah untuk memberi jalan kepada
keluarga istana atau elite kepentingan tertentu, itulah yang disebut dinasti yang
merusak.

Ketika sistem pengisian jabatan berbasis keluarga, menurut Feri, demokrasi menjadi kehilangan
nilai. Hal ini karena konsep dinasti adalah konsep kerajaan yang menempatkan keluarga
bangsawan dalam posisi-posisi yang signifikan. Proses ini berjalan secara garis keturunan.

Sebaliknya, persaingan dalam konsep demokrasi harus fair atau adil. Semua orang mempunyai
kesempatan yang sama untuk mengisi jabatan atau posisi signifikan. Kesempatan ini termasuk
untuk keluarga yang mempunyai kepentingan atau elite politik.
”Tidak ada salahnya anak presiden punya kesempatan. Tetapi jangan kesempatan itu
diistimewakan sehingga menutup kesempatan yang lain. Itu sebabnya syarat-syarat menjadi
penting. Kalau kemudian syarat suatu proses demokrasi diubah untuk memberi jalan kepada
keluarga istana atau elite kepentingan tertentu, itulah yang disebut dinasti yang merusak,” kata
Feri.

Ada berbagai syarat, semisal menyangkut syarat ketentuan orang masuk partai politik atau aturan
mengenai batasan berapa tahun seseorang bisa menjadi ketua umum partai politik. ”Misalnya,
dia harus mengabdi dulu lima atau tujuh tahun di partai baru (kemudian) bisa dicalonkan” ujar
Feri.

Baca juga: Antara Partai Kader dan Partai Massa

Atau, untuk dapat mengikuti pemilu, maka seseorang harus mengabdi dulu tiga tahun di partai
agar bisa menjadi peserta pemilu di tingkat kabupaten kota. ”(Harus mengabdi) tujuh tahun di
tingkat provinsi, tujuh tahun untuk bisa jadi calon DPR RI, dan mungkin sepuluh tahun mungkin
untuk bisa jadi calon presiden. Ini juga untuk perlindungan partai agar jauh lebih baik, agar
kemudian orang tidak diberikan keistimewaan,” kata Feri.

Adapun Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo saat dimintai pandangan menuturkan,
dinasti politik yang kerap dikaitkan dengan terminologi beternak kekuasaan itu adalah perilaku
untuk memasukkan keluarga ke dalam posisi-posisi penting di kekuasaan. ”Dan, (dinasti politik)
ini bukan hanya merusak demokrasi, menurut saya, melainkan juga merupakan pembusukan
demokrasi karena mencederai prinsip kesetaraan dan kesamaan. Sebab, dalam perilaku dinasti
politik ada privilege, fasilitas, dan koneksi,” katanya.

Dari sisi kelembagaan, independensi dan posisi MK dalam menjalankan marwah sebagai penjaga
konstitusi dan prinsip-prinsip bernegara kini menjadi hal yang dipertaruhkan. ”Tapi
yang utama juga adalah bagaimana mengembalikan posisi kekuatan masyarakat sipil untuk dapat
menjalankan fungsi check and balance dalam dinamika demokrasi,” ujar Ari.

Secara kelembagaan, lembaga demokrasi di negara kita secara prosedural baik karena
sudah ada semua.
Menurut Ari, kekuatan kelompok kepentingan, entah itu politik atau modal, yang sangat
dominan menguasai kelembagaan demokrasi dapat menghambat fungsi yang semestinya
diemban. ”Secara kelembagaan, lembaga demokrasi di negara kita secara prosedural baik karena
sudah ada semua. Tapi memang, katakanlah, menjadi disfungsi jika penempatan posisi orang-
orangnya atau dalam relasi kelembagaannya dikuasai kelompok kepentingan,” katanya.

Penguasaan secara amat dominan oleh kelompok kepentingan, baik itu oligarki, partai politik,
maupun kelompok modal, dapat menjadikan lembaga demokrasi tidak kemudian membela atau
menjalankan praktik bernegara dan berpolitik dalam konteks kepentingan rakyat. Di titik ini,
demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat pun menghadapi ancaman serius.

BARU

Konsistensi MK Dinanti
Di tengah rencana MK membacakan putusan terkait pengujian konstitusionalitas
syarat usia capres-cawapres, mencuat wacana Prabowo-Gibran untuk maju di Pilpres
2024.

JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian


konstitusionalitas syarat usia calon presiden-calon wakil presiden akan menguji konsistensi
lembaga itu dengan putusan-putusan sebelumnya, khususnya yang berkaitan dengan
wilayah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk
undang-undang. Putusan tentang syarat usia capres-cawapres, menurut rencana, dibacakan pada
16 Oktober 2023.

”Hakim yang tidak konsisten dengan putusan-putusannya dapat dipastikan punya kepentingan
terkait dengan putusan itu,” kata pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Feri
Amsari, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/10/2023).

Baca juga: Gugatan Diputus Senin, MK Diharap Tak Kesampingkan ”Open Legal Policy”
Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan terkait dengan pengujian syarat minimal
usia capres-cawapres yang dibatasi minimal 40 tahun, seperti diatur dalam Pasal 169 huruf q
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi itu diajukan Partai
Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, lima kepala daerah, dan sejumlah pihak lain.

Para pemohon itu meminta MK menurunkan syarat usia capres-cawapres menjadi 35 tahun atau
berpengalaman sebagai kepala daerah atau penyelenggara negara.

Dalam putusan-putusan sebelumnya berkaitan dengan usia atau angka, MK sering kali
menyatakan, hal itu merupakan open legal policy yang menjadi ranah pembentuk undang-
undang untuk mengaturnya. Salah satunya terkait syarat ambang batas pencalonan presiden
(presidential threshold) yang oleh MK dipandang sebagai open legal policy.

”Kalau MK memutus hal-hal yang sifatnya kebijakan hukum terbuka, hakim mengabaikan
putusan-putusan MK terdahulu,” ujarnya.

Praktisi hukum Viktor Santoso Tandiasa pun meyakini MK tidak akan mengabulkan
permohonan pengujian konstitusionalitas syarat usia capres-cawapres. ”Jika dikatakan usia 40
tahun diskriminatif terhadap calon muda berusia 35 tahun, lalu dikabulkan MK jadi 35 tahun,
bagaimana calon usia 30 tahun?” tanya Tandiasa.

Dalam putusan-putusan sebelumnya berkaitan dengan usia atau angka, MK sering kali
menyatakan, hal itu merupakan open legal policy yang menjadi ranah pembentuk
undang-undang untuk mengaturnya.

Baca juga: Duet Prabowo-Gibran Mencuat Sporadis

Prabowo-Gibran mencuat

Menjelang pembacaan putusan batas usia capres-cawapres oleh MK, wacana menduetkan bakal
calon presiden dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto, dengan Wali Kota
Surakarta Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, mencuat secara
sporadis.
Baliho yang memuat dua tokoh itu sebagai capres-cawapres muncul di sejumlah daerah. Sayap
Partai Gerindra, Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria), pun mengusulkan keduanya sebagai
capres-cawapres.

Kepala Badan Komunikasi Strategis sekaligus Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky
Mahendra Putra juga mengonfirmasi bahwa Gibran menjadi salah satu dari empat figur potensial
cawapres bagi Prabowo. Tiga figur lainnya adalah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga
Hartarto, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah
Indar Parawansa.

Gibran yang saat ini berumur 36 tahun mengaku sudah beberapa kali ditawari menjadi bakal
cawapres Prabowo. Penawaran disampaikan langsung oleh Prabowo. ”Sudah lebih dari satu kali
(ditawari),” ucapnya.

Baca juga: KPU Matangkan Persiapan Pendaftaran Capres-Cawapres

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan tidak terpengaruh oleh rencana MK membacakan
putusan soal batas usia capres-cawapres. Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, semua
persiapan yang sudah dijadwalkan akan dilaksanakan tanpa menunggu putusan MK meski
putusan itu bisa berdampak pada syarat pencalonan capres-cawapres.

KPU telah mengagendakan rapat koordinasi mengenai regulasi dan hal teknis pendaftaran
capres-cawapres dengan partai politik yang bisa mengusung pasangan capres-cawapres pada
Kamis (12/10/2023). ”Semua berjalan sesuai tahapan dan jadwal yang dirancang dan ditetapkan
KPU,” ujar Idham Holik.

Anda mungkin juga menyukai