Anda di halaman 1dari 22

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam

Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-84.

Hubungan antara Islam dan Demokrasi


(Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di Indonesia)

Hotmatua Paralihan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Abstrak: Artikel ini mengeksplorasi hubungan demikrasi dan Islam. Demokrasi


bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi mewujudkan ajaran Islam itu
wajib dalam kehidupan bernegara. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang
memerintahkan untuk bermusyawarah. Juga dicontohkan oleh para shahabat
Nabi, bahkan Tuhan menyatakan bahwa pemerintahan yang Islami adalah
khilafah. Dan khilafah ditandai antara lain dengan syura (musyawarah). Dunia
yang semakin menggelobal menciptakan keterkaitan, dan ketergantungan satu
dengan yang lain semakin kuat, namun kenyataannya di masyarakat kesenjangan
semakin menganga, baik antar individu mapun kelompok atau Negara. Menurut
Ronald F. Inglehart, peneliti bidang ekonomi dan politik Universitas Michigen,
“populis terjadi dua faktor, kesenjangan sosial, dan benturan kebudayaan”.
Inilah diantara pemicu munculnya politik identitas. Dalam konteks ke
Indonesiaan Politik Identitas dipersubur antara lain oleh kesenjangan sosial,
lemahnya literasi, buruknya kelembagaan politik, polarisasi politik yang tidak
merata. Politik identitas sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam dan
merusak sendi-sendi kehidupan bernegara bahkan bertentangan dengan nilai
kemanusiaan, dan keadilan.

Kata Kunci: Musyawarah; Nilai Kemanusiaan; Politik Identitas

Pendahuluan
Mendirikan Negara merupakan kewajiban bagi manusia agar terpenuhi
kebutuhan, cita-cita, dan tujuan hidupnya. Dalam perakteknya pembentukan
negara memiliki bentuk yang berbeda satu dengan yang lain, tentunya berdasarkan
latar belakang maupun kepentingan serta dibutuhkan masyarakatnya.
Islam misalnya, tidak ada satu kesepakatan bersama sebagai bentuk negara
yang bisa diajukan sebagai model yang digariskan oleh Islam (al-Quran dan al-
Hadis) secara jelas. Kelihatannya para pakar politk Islam sepakat dan merujuk
pada apa yang diperaktekkan oleh Rasulullah di Madinah (Piagam Madinah)
sebagai model Negara Islam, namun perbedaan terjadi pada sudut pandang atau
paradigma yang digunakan untuk melihat apa yang diperaktekkan oleh Nabi dan
para Khulafaurrasidin. Sebagian milihat secara total tekstual, bentuk maupun
substansi harus diperaktekkan tetapi sebagaian pakar hanya melihat dari sudut
esensi Negara Madinah, sebagaimana tersimpul dalam kalimat masyarakat madani
(civil society).

63
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

Power tends to Corrupt sebuah gambaran terhadap kekuasaan yang cendrung


korup, pernyataan ini selalu menggambarkan fenomena dalam sebuah Negara,
dalam hal inilah pencari kekuasaan sering menggunakan segala cara untuk
mendapatkannya, termasuk penggunaan strategi politik identitas, yang sipatnya
primordial, latar suku, ras, agama, daerah dipaksakan menjadi sebuah alat untuk
mendapatkannya. Identitas politik sering mengabaikan hakikat kepentingan dalam
sebuah Negara, namun strategi ini sudah berjalan berabad abad, pada setiap
komunitas dan bangsa.

Islam dan Demokrasi


Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos
(kekuasaan) yang bermakna kekuasaan oleh rakyat. 1 Secara historis demokasi
telah dikenal sejak abad ke-5 SM, suatu periode yang dikenal dengan “Masa
Keemasan Pericles”, yang pada mulanya sebagai respon terhadap pengalaman
buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani Kuno. Pada waktu
itu demokrasi dipraktekkan, dimana setidaknya, satu dari empat atau lima warga
melakukan pelayanan publik baik sebagai legislatif, administratif atau judisial.2
Dunia modern, pengertian demokrasi itu lebih ditekankan pada makna
kekuasaan tertinggi pada urusan politik yang berada di tangan rakyat. Karena itu
dalam wacana politik modern, demokrasi diartikan sebagai apa yang dirumuskan
oleh negarawan Amerika, Abraham Lincoln, pada tahun 1963, yaitu
“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (government of the
people, by the people, for the people).3
Pemerintahan dari rakyat (government of the people) berhubungan dengan
legitimasi, berarti suatu pemerintahan dan kepemimpinan baru sah kalau
kekuasaan itu diberikan oleh rakyat, pemerintahan oleh rakyat (government by
the people ). Pemerintahan menjalankan kekuasaaan atas nama rakyat dan juga
pengawasan dilakukan oleh rakyat, pemerintah harus tunduk pada pengawasan
rakyat, pemerintahan untuk rakyat (governmen for the people), pemerintahan
menjalankan apa yang menjadi aspirasi rakyat, bukan menjalankan kekuasaan
untuk kepentingan kekuasaan sendiri. 4
Pada awalnya konsep demokrasi dijalankan tanpa adanya pemisahan
kekuasaan yang jelas, semua pejabat pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya
pada Majlis Rakyat yang memenuhi syarat untuk mengontrol berbagai persoalan

1
Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptul dan Histories, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2002), h. 16.
2
Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, Terj. Filsafat Politik: Kajian
Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai dengan Modern, oleh Ahmad Baidlowi dan Imam
Bahehaqi, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 37.
3
Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Deokrasi Pasca Soeharto, (Yogyakarta: Pondok
Edukasi, 2004), h. 12.
4
Ignas Kleden, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam Ahmad
Suaedy (Ed.), Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, Yogyakarta: LKiS, 2000, h. 5-7.

64
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

eksekutif, yudikatif, dan legislatif.5 Ide-ide demokrasi modern berkembang dari


tradisi pencerahan yang di mulai pada abad XVI. Tradisi tesebuat adalah ide-ide
sekularis yang di prakasai oleh Niccolo Macchivelli (1469-1527), ide negara
kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi negara dan
liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan
lembaga federal oleh Jhon Locke (1632-1704), yang disempurnakan oleh
Montesqiue (1689-1755) yang idenya mengenai pemisahan kekuasaan menjadi
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta konsep tentang kedaulatan
rakyat dan kontrak sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712
1778).6
Pada saat ini istilah demokrasi telah diterima oleh hampir seluruh
pemerintahan di dunia, bahkan pemerintah otoriter sekalipun menggunakan
terminology demokrasi, untuk mengkarakterisasikan aspirasi mereka.
Konsekwensi yeng muncul menjamurnya pengertian demokrasi, seperti
demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan, demokrasi sosialis
dan sebagainya. Terlepas dari demokrasi model apapun dan dimodifikasi dengan
nilai apapun, meminjam istilah Robert A. Dahl, demokrasi harus memiliki tujuh
kreteria.
Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara
konstitusional diberikan pada para pejabat yang dipilih. Kedua, para pejabat
dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur dimana paksaan dianggap sebagai
sesuatu yang tidak umum. Ketiga, secara praksis semua orang dewasa berhak
untuk memilih dalam memilih pejabat. Keempat, secara praksis semua orang
dewasa mempuyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan di
pemerintahan, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih
ketat ketimbang hak pilihnya. Kelima, rakyat mempuyai hak untuk menyuarakan
pendapat tanpa ancaman hukuman yang berat. Keenam, rakyat mempuyai hak
untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif. Ketujuh, rakyat berhak
untuk membentuk lembaga atau organisasi independen.7
Kebangkitan Islam dan demokratisasi berlangsung dalam konteks global
yang dinamis. Di berbagai belahan dunia, orang-orang beramai-ramai menyerukan
kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga keduanya menjadi tema yang
paling penting dalam persoalan dunia dewasa ini.8 Kuatnya tuntutan demokrasi,
khususnya di negara-negara berkembang, termasuk di negara yang mayoritas
berpenduduk Islam, tak lain karena adanya anggapan bahwa demokrasi merupakan
suatu sistem yang bisa menjamin keteraturan politik, sekaligus mendorong

5
Aden widjan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta, Safaria Insania
Press, 2007), h. 196.
6
Masykuri Abdillah, Demokrasi Dipersimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 71-72.
7
Robert A. Dhal, Dilemma Of Pluralist Democracy, (New Heaven and London: Yale
University Prees. Diambil dari Aden wijdan SZ). h. 197.
8
John. L. Esposito and John O. Vool, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim: Problem dan
Prospek, (Bandung: Mizan, 1999), h. 11.

65
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

transformasi masyarakat, menuju struktur sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan


yang lebih ideal.
Resfon Islam mengenal demokrasi umumnya setelah perang dunia II.
Walaupun karya-karya filosof Yunani telah dikenal lebih awal, pembahasan
demokrasi mereka hampir tidak pernah dikemukakan. Ada yang tertarik dengan
Aristoteles mungkin mencemooh demokrasi, yang oleh Aristoteles dianggap
sebagai bentuk pemerintahan degeneratif. Sebagian tertarik dengan Plato justru
terpesona dengan pemerintahan para filosof yang sangat elitis. Pemerintahan
“Paltonis” sangat nampak. Misalnya pada Ibnu Sina dan al-Farabi. 9
Ketika umat Islam berjuang melawan penindasan baik dari kaum kolonial
maupun dari sesama mereka, demokrasi kelihatan sebagai sistem yang menarik.
Banyak buku ditulis untuk menunjukkan justifikasi umat Islam terhadap
demokrasi. Salah satu contohnya adalah karya Khalid Muhammad Khalid, al-
Dimuqratiyah. Demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan yang
ditegakkan di atas dua prinsip: pemerintahan partisipatif (participatory politics)
dan hak-hak asasi manusia. Mereka melihat demokrasi sebagai sistem
pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat dalam mengambil keputusan dan
memperhatikan hak-hak yang diperintah, hak berekspresi, hak mengontrol
tindakan penguasa, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before
the law). 10
Demokrasi dalam pengertian di atas bukan saja tidak bertentangan dengan
Islam, tetapi mewujudkan ajaran Islam itu dalam kehidupan bernegara. Secara
singkat argumentasinya adalah sebagai berikut: 11
1. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan untuk
bermusyawarah. “Dan urusan meraka dimusyawarahkan di antara mereka”
(QS. 42: 38), disebut sebagai ciri masyarakat mukmin. “Bermusyawarahlah
dengan mereka dalam segala urusan”. (QS. 3: 159) adalah perintah kepada
Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits Nabi bersabda: “Tidak akan gagal
orang yang bermusyawarah”. Konsultasi dengan yang diperintah,
dicontohkah oleh para shahabat Nabi, bahkan Tuhan menyatakan bahwa
pemerintahan yang Islami adalah khilafah. Khilafah ditandai antara lain
dengan syura (musyawarah). Ia membandingkan pemerintahan pada masa
Khulafa’ al-Rasyidin dengan pemerintahan Muawiyah seraya memberikan
contoh-contoh berkenaan dengan ada atau tidaknya syura.
2. Islam seperti termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah menganjurkan orang
untuk berani mengatakan yang benar. Nabi Muhammad SAW. Mengatakan
kebenaran di depan penguasa yang dzalim, Islam melarang rakyat menanti
pimpinan yang dzalim. Kontrol terhadap penguasa bahkan merupakan salah

9
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, Cet. I (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1992), h. 40.
10
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 52.
11
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 52.

66
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

satu sendi ajaran Islam yang lazimnya disebut sebagai amar ma’ruf nahi
munkar. Hak untuk diperlakukan sama didepan hukum ditegaskan dengan
merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW. Berkenaan
dengan keadilan. Contoh-contoh tentang keadilan khulafa’ al-Rasyidin sering
dikemukakan untuk memperkuatnya.
Yang terakhir ini lazim disebut dalil aqli. Tujuan syari’at Islam adalah
memelihara kemashlahatan manusia (agama, jiwa, akal, harta dan keturunan).12
Tujuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menegakkan demokrasi.
Berdasarkan kaidah “bila yang wajib tidak bisa ditegakkan kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”, maka demokrasi harus dijalankan
kaum muslimin.
Menurut Huwaydi sebenarnya Islam dan Demokrasi tidak ada
pertentangan, itu bisa dilihat dari ciri-ciri negara menurut Islam yang menjadi
tujuh ciri:13 Pertama, kekuasaan di pegang penuh oleh umat, kedua, masyarakat
ikut berperan dan bertanggung jawab, ketiga, kebebasan adalah hak bagi semua
orang, keempat, persamaan diantara semua manusia, kelima, kelompok yang
berbeda juga memiliki legalitas, keenam, kezaliman mutlak tidak diperbolehkan
dan usaha meluruskan adalah wajib, ketujuh, undang-undang di atas segalanya.
Ketika negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam melepaskan
diri dari penjajahan, mereka memilih sistem demokrasi ini.
Pada praktiknya, secara berangsur-angsur negara-negara Islam diperintah
secara otokratis. Orang yang mempromosikan demokrasi ketika mengajak
rakyat untuk menggulingkan rezim yang lama sejatinya mematikan
14
demokrasi. Bersamaan dengan itu, model-model pembangunan (ideology-
ideology) Barat gagal memenuhi harapan umat Islam. Timbul negativisme
terhadap pemikiran Barat, yang disertai dengan kecenderungan untuk
menampilkan alternatif Islam, seperti diperlihatkan dalam berbagai proyek
islamisasi. Demokrasi kini dipandang sebagai konsep Barat yang sekuler dan
ambigu, pemikir Islam mutakhir menolak demokrasi dalam pengertian ini,
dengan beberapa alasan antara lain:15
1. Demokrasi adalah pemerintahan yang sekuler, produk pemikiran politik
Barat, kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam Islam, kedaulatan berada

12
Tujuan syari’at Islam tersebut yang kemudian dalam ilmu filsafat hukum Islam
dinamakan “maqashid al-syari’ah”, yang artinya tujuan dari pembentukan hukum Islam. Tujuan
tersebut guna memelihara kemashlahatan manusia. Dalam hal ini, maqashid al-Syari’ah dibagi ke
dalam tiga peringkat, yaitu dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyyah untuk menjaga mukallaf dari lima
hal, agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl) dan
harta benda (hifdz al-maal). Untuk selebihnya, lihat: Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,
(Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 23-25.
13
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, (terj. oleh M. Abd.
Ghofar dalam al-Islam wa al-Dimuqratiyah, Bandung: Mizan, 1996), h. 161-176.
14
Lihat: Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 85.
15
Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan Amin Rais ,
(Cet. 1, Jakarta: Teraju, 2005), h. 40-44.

67
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

di tangan Tuhan. Suara terbanyak tidak dapat dan tidak boleh mengubah
syari’at. Syari’at bukan kehendak kebanyakan rakyat, yang harus
mengarahkan dan membimbing para penguasa. Le verite n’est pas jamais un
affair de majorite!
2. Dalam praktik, suara rakyat bisa dimanipulasikan, secara kasar, dengan
menggunakan kekerasan atau penipuan dan secara halus dengan teknik-
teknik persuasi. Ironisnya, suara rakyat yang diberikan tanpa kesadaran
politik mempunyai nilai yang sama dengan suara rakyat yang mempunyai
kesadaran politik tinggi.
Pepatah Latin, dikatakan bahwa suara rakyat adalah suarat Tuhan (Vox
Populi Vox Dei). Oleh karena itu, semestinya kedaulatan rakyat tidak boleh
dikompromikan dengan apa dan siapa pun, sehingga kehendak rakyat seakan-
akan kehendak Tuhan. Di samping itu, ada juga pepatah yang mengatakan
kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi (Salus Populi Supreme Lex).
Oleh karena itu, dalam demokrasi ditetapkan bahwa hukum yang paling tinggi
adalah kehendak rakyat.16
Isu negara Islam semakin kuat bergulir di tengah kehidupan public,
seakan-akan negara Islam dianggap sebagai formulasi ideal bagi kehidupan politik
di masa sekarang. Sehingga, teoritisasi dan konseptualisasi ulang terhadap al-
Qur’an dan hadits tentang Negara. Kemungkinan-kemungkinan ini perlu
ditelusuri lagi dalam doktrin Islam; penafsiran al-Qur’an dan al-hadits untuk
menemukan kejelasan teologis mengenai negara Islam. Dengan demikian karena
tidak semua ayat atau hadis menggariskan secara jelas, muamalat bukan ibadah,
sehingga dengan sendirinya membuka peluang munculnya intrepretasi baru
terhadap Al-Quran dan al-Hadis sebagai selusi problem yang dihadapi manusia.
Kenyataan ini juga tidak bisa dielakkan dalam memahami relasi Islam dan
demokrasi, paling tidak dalam pemetaan pemikiran Islam ada lima kecendrungan
dalam menerjemahkan al-Qur’an dan al-Hadis yaitu : Pertama, Pundamentalistik.
Kelompok yang sepenuhnya percaya kepada dokterin Islam sebagai satu-satunya
alternative bagi kebangkitan umat manusia. Mereka ini dikenal sangat commeted
dengan aspek religious budaya Islam. Kelompok pemikira ini antara lain, Sayyid
Husein Naser, Sayyid Qutuhb, Muhammad Qutuhb, Al-Maududi, Sayyid Hawa,
Abu Bakar Baasyir, Jakfar Umar Thalib. Kedua, Kelompok Tradisionalistik
(Salaf) kelompok ini berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang
mapan. Bagi mereka semua persoalan umat sudah diselesaikan dalam sejarah,
termasuk pada zaman Khulafaurrasyidin, tetapi perlu mengadopsi perubahan.
Diantara mereka adalah Said Khusein Naser, Muthaharri, Naquip Al Attas, dan
Ismail Faruqi. Ketiga. Kelompok reformistik, mereka berusaha merekonstruksi
ulang warisan Islam dengan penafsiran baru. Tradisi yang lama dan mapan
dalam Islam harus ditafsirkan dengan perkembangan modern, hal ini berbeda
dengan kelompok tradisional yang lebih mengembalikan, melanggengkan tradisi

16
M. Amien Rais, “Masalah-masalah yang Dihadapi Bangsa Indonesia”, dalam
Millennium: (Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor I Tahun 1, Januari-April 1998), h. 7.

68
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

lama. Mereka ini antara lain, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Bint Asy
Syathi, Amina Wadudu, M. Imarah. Bagi Hanafi Rekonstruksi adalah
pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan spirit modernitas
muslim komtemporer. Keempat, Postradisionalistik kelompok pemikir yang
berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan Standaar
Modernitas. Seperti Al-Jabiri, Arkoun, Fatimah Marnissi, Ulil Absar Abdallah,
Masdar F Masudi. Kelima, Modernistik yaitu kelompok yang hanya mengakui
sipat Rasionalitas Ilmiah, mereka ini dipengaruhi pemikiran Marxisme (Aspek
Intelektualnya Bukan Ideologi) seperti Kassim Ahmad, Thaiyyib Thayzini, Faud
Zakaria.17
Dari lima kecendrungan di atas, secara garis besarnya dapat di kecilkan
menjadi dua kelompok utama, yaitu yang lebih melihat al-Quran secara literalal
tekstual dan kelompok yang melihat al-quran secara esensial kontekstual yaitu :
Pertama, Kelompok yang sedikit tektual dan pundamental termasuk Abu
A’la al-Maududi (1967) yang berpendapat bahwa, “negara Islam diletakkan pada
prinsip utamanya pada pengakuan kedaulatan Tuhan sebagai sumber segala
hukum. Maka, tidak seorang pun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah
Swt. sebagai pemilik kedaulatan tunggal. Al-Maududi dalam “al-Hukumah al-
Islamiyah” menegaskan bahwa pemerintahan Islam atau negara Islam diambil dari
kata “khalifah” dalam al-Qur’an, yang pada hakikatnya adalah khilafah Ilahiyah
(khilafah Islamiah). Gagasan ini dapat dilihat dari rumusan konstitusi versi Abu
A’la Al-Maududi yang terkenal dengan “Tuntutan Empat Butir” di Pakistan: (1)
Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di (tangan) Allah, dan oleh karenanya
pemerintah (Pakistan) sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak boleh melampaui
batas yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan (Allah). (2) Syari’at Islam
merupakan hukum dasar bagi Pakistan. (3) Pembatalan semua undang-undang
yang ada dan bertentangan dengan Syari’at Islam dan kemudian menangguhkan
semua undang-undang yang tidak sesuai dengan Syari’at Islam. (4) Pemerintah
Pakistan (harus) mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang
telah ditetapkan oleh Syari’at Islam”.18
Senada dengan Abu A’la Al Maududi, Ibnu Khaldun, al-Mawardi, dan al-
Ghazali serta sejumlah pemikir politik Islam lainnya berpandangan bahwa
mendirikan negara adalah suatu naluri manusia yang hidup bermasyarakat. Dalam
prakteknya, pendirian negara Islam dimaksudkan untuk menjamin berlakunya
Syari’at Islam, seperti pelaksanaan hukum hudud/ jinayat. Karena itu, al-Qur’an
lebih sering menggunakan kalimat “ahkama bainahum” yang disertai dengan

17
Mulyadi Karta Negara (Pengantar), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta,
Jendela, 2013) h. xv-xxii.
18
Kedaulatan Tuhan sebagai prinsip dasar negara Islam sebenarnya diambil oleh para
pemikir berasal dari al-Qur’an ; “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
Al-Baqarah: 110) “Katakanlah Ya Allah yang memiliki kerajaaan, Engkau berikan kekuasaan
kepada siapa saja yang dikehendaki.” (QS. Ali Imran: 26-27)

69
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

kalimat “bima anzalallah,” atau kalimat “litahkuma bainannas” dibarengi dengan


kalimat “bima arakallah.”19
Dari sinilah kemudian ditarik pengertian bahwa mendirikan negara bagi
pendukung negara Islam adalah untuk menegakkan Syari’at Islam. Pendapat ini
dianut oleh al-Nasafi, al-Syahrastani dan Ibnu Taimiyah bahwa kaum Muslimin
berkewajiban mendirikan negara (mengangkat imam) untuk memberlakukan
hukum Islam. Menjadi jelas, negara Islam adalah negara yang memberlakukan
Syari’at Islam. Sebaliknya, negara yang tidak memberlakukan Syari’at Islam
bukan disebut sebagai negara Islam. 20
Kedua, Berbeda dengan aliran di atas, aliran esensial dan kontekstual
seperti ; Asghar Ali Engineer (2000) berpendapat, “tidak ada konsep baku tentang
negara Islam, apalagi yang bersifat ilahiah dan kekal. Al-Qur’an hanya
menjelaskan konsep tentang masyarakat, bukan tentang negara. Teori negara
Islam mengalami proses perubahan dan cenderung menyesuaikan diri terhadap
situasi konkret, bukannya terhadap suatu keadaan tertentu. Apa yang dilakukan
Nabi Muhammad di Madinah adalah negara historis, yang senantiasa berubah
sesuai dengan kebutuhan. Evolusi negara yang dimulai sejak Nabi Muhammad di
Madinah sampai masa Khilafah Turki Utsmani adalah negara historis, bukan
negara ideologis-teokratik yang sudah dibakukan di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Karena itu, negara di Madinah hanyalah sekadar kebutuhan manusiawi, yang
aturannya diserahkan kepada manusia. 21
Beberapa pemikir Islam kontemporer lebih cendrung melihat bahwa Islam
bukan menawarkan bentuk Negara seperti kelopok pertama tetapi secara
substansinya termasuk dalam masyarakat madani (civil society), Budi Munawwar
menggariskan beberapa ciri dan cita-cita masyarakat madani. Pembicaraan
tentang masyarakat madani ini pada umumnya dikaitkan dengan soal politik,
yakni “civil” dalam pengertian “pemerintahan sipil yang berlawanan dengan
pemerintahan militer, atau eklesiastik.” Lebih spesipik menurut Mulyadi Karta
Negara sebagai ciri dan tujuan masyarakat madani ini terdiri dari beberapa hal :
Pertama: Ingklusif, Sipat keterbukaan masyarakat terhadap kebaikan dari
berbagai sumber dan kitab suci. Kedua; Humanisme, (Egalitarianisme) yang
dimaksud dengan humanisme disini adalah cara pandang yang memperlakukan
manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti
ras, kasta, warna kulit, kedududukan, kekayaan atau bahkan agama. Al-Hujwiri
mengisahkan sikap Nabi Muhammad disaat seorang kepala suku datang
menemuinya, secara spontan Nabi melepas dan menghamparkan jubahnya untuk
tempat duduk sang kepala suku, (padahal ia tahu bahwa ia bukanlah seorang
Muslim), seraya berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Hormatilah setiap kepala
suku, (apapun agamanya).” Ini adalah contoh Humanis Nabi Muhammad, yang

19
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (UI Press, 1990) h. 70.
20
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, 70.
21
Abdurrahman Kasdi, Karakteristik Politik Islam: Mencari Relevansi Antara Doktrin Dan
Realitas Empirik, (Volume 9, Nomor 2, Desember 2015, STAIN Kudus), h. 305-308

70
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

memandang manusia, bukan karena keturunan maupun agamanya, tetapi karena


kemanusiaannya.
Ketiga, Toleransi, umat Islam dapat dilihat pada waktu yang relatif
singkat telah menaklukan beberapa wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan
Persia. Di pusat-pusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para
sarjana Kristen tetap berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati
kebebasan berfikir yang diberikan oleh para penguasa Muslim. Keempat,
Demokrasi: (kebebasan berpikir) Menurut Abdolkarim Soroush, dalam bukunya
Reason, Freedom and Democracy in Islam, salah satu sifat yang tidak boleh
ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan
pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berpikir.22
Sejalan dengan pokok pikiran di atas Nur Cholish Madjid, Islam dan
Negara, “menekankan pentingnya kualitas daripada kuantitas, esensi daripada
eksistensi, yang te-rangkum dalam bentuk masyarakat Madani. Civil society
adalah tidak hanya sekedar campuran berbagai bentuk asosiasi, tetapi pengertian
civil society juga mengacu pada kualitas civility, tanpa civility lingkungan hidup
sosial hanya terdiri dari faksi-faksi, klik-klik, dan serikat-serikat rahasia yang
saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi, kesediaan individu-
individu untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku
sosial, bersedia untuk menerima pandangan penting bahwa tidak ada jawaban
yang selalu benar atas suatu permasalahan”. 23
Civil society juga musuh dari otrokrasi, kediktatoran dan bentuk-bentuk
lain dari kekuasaan arbitrer. Civil society merupakan bagian organik dari
demokrasi, dan dia musuh atau lawan dari rezim-rezim absolutis.24 Mewujudkan
masyarakat madani dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi
berpandangan hidup dengan semangat ketuhanan, dengan konsekuensi berbuat
baik kepada sesama manusia, dan juga dibutuhkan adanya keterlibatan dan
partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, Nabi SAW telah
memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri masyarakat madani, yaitu:
egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi,
kemajemukan, dan musyawarah.
Egalitarianisme, menyatakan bahwa faktor yang sangat fundamental dan
dinamis dari etika sosial yang diberikan oleh Islam ialah egalitarianisme, semua
anggota keimanan, tidak peduli warna kulit, ras, maupun status sosial atau
ekonominya adalah partisipan yang sama dalam komunitas. Selain tercermin pada
berbagai peristilahan seperti bahasa, egalitarianisme adalah sebagai aspek paling
dinamis dari ajaran sosial-politik Islam.25 Egalitarianisme diwujudkan oleh Nabi

22
(http://psikparamadina.blogspot.com/2006/06/masyarakat-madani-dalam)
23
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 148.
24
Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr.
Nurcholish Madjid (Jakarta: Kompas, 2014), h.29, dan lihat juga, Al-Lubb, (Vol. 2, No. 1, 2017),
h. 206-225.
25
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), h.
71.

71
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

Saw. dalam rintisannya untuk membentuk komunitas negara yang berkonstitusi.


Setiap konstitusi mengikat semua warga masyarakat, dan harus ditaati dan
dipatuhi dengan konsekuen sesuai dengan perintah agama untuk mentaati setiap
perjanjian dan kesepakatan bersama. 26
Keterbukaan yaitu kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai
(duniawi) yang mengandung kebenaran. Perintah al-Quran bagi kaum Muslim
untuk mendengarkan ide-ide (pikiran-pikiran) dan mengikuti mana yang paling
baik, Nurcholish mengibaratkannya sebagai berdada sempit dan sesak seperti
orang yang terbang ke langit, dan itu merupakan salah satu tanda kesesatan.
Sedangkan sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang
memperoleh petunjuk dari Allah Swt.27 Korelasi pandangan hidup yang seperti
ini merupakan sikap terbuka kepada sesama manusia dalam bentuk kesediaan
untuk mengikuti mana yang terbaik. Tidak hanya itu, sikap terbuka sesama
manusia dalam arti saling menghargai dan tidak lepas dari sikap kritis adalah
indikasi dari adanya petunjuk dari Tuhan, karena rasa itu sejalan dengan rasa
ketaqwaan.28
Penegakan Hukum dan Keadilan, keadilan dalam al-Quran dinyatakan
dengan istilahistilah ‘adl dan qisth. Pengertian adil dalam al-Quran juga terkait
dengan sikap seimbang dan menengahi (fair dealing), dalam semangat
moderniasasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan).
Dengan sikap berkeseimbangan tersebut, kesaksian dapat diberikan dengan adil,
karena dilakukan dengan pikiran tenang dan bebas dari sikap berlebihan. Seorang
saksi tidak bisa mementingkan diri sendiri, melainkan dengan pengetahuan yang
tepat mengenai suatu persoalan dan mampu menawarkan keadilan. 29 Penegakan
hukum dan keadilan, Nabi tidak pernah membedakan antara orang kaya dengan
orang miskin, orang atas dengan orang bawah. Nabi menegaskan bahwa
hancurnya bangsa-bangsa pada zaman dahulu itu karena jika orang atas berbuat
kejahatan dibiarkan begitu saja, tetapi jika orang bawah yang berbuat kesalahan
maka akan dan pasti dihukum.30
Toleransi dan kemajemukan, toleransi adalah salah satu asas masyarakat
madani (civil society) yang dicita-citakan oleh semua orang. Berpangkal dari
berbagai pandangan asasi mengenai toleransi Islam, al-Quran mengajarkan bahwa
umat Islam harus menghormati semua pengikut kitab suci (Ahl al-Kitâb).31 Maka
26
Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 73-74.
27
Ahmad Gaus Af., Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2010), h. 98.
28
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 117.
29
Ibid., h. 116., (Q.S. An-Nisa: 135) Mendalamnya makna keadilan juga terlihat dari tugas
Nabi Saw yang utama, yaitu menegakkan keadilan dan tugas ini sebenarnya juga merupakan
tanggung jawab bagi seluruh masyarakat dan badan-badan pemerintahan. Lihat juga, Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 240.
30
Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, (Jurnal Ulumul Quran, No. 2/VII/96,
Jakarta: LSAF-PPM, 1996), h. 51-55. Berikut hadis Nabi mengenai keadilan: Artinya: Demi
Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalau seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri,
niscaya akan aku potong tangannya. (HR. Bukhari)
31
Ibid., h. 34, (Lihat dalam Q. S. Al-Maidah: 82).

72
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

dari itu, Nabi Saw yang ditegaskan sebagai suri tauladan umat manusia adalah
seorang pribadi yang sangat toleran kepada sesama manusia, khususnya para
sahabat karena adanya rahmat Allah Swt.32 Pola hidup manusia menganut hukum
Sunnatullāh tentang kemajemukan (pluralitas), antara lain karena Allah Swt
menetapkan jalan dan pedoman hidup (syir’ah dan minhāj) yang berbeda-beda
untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab
perselisihan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan kearah
kebaikan (alkhayrāt). 33
Musyawarah. konsep musyawarah selalu menjadi tema penting dalam
setiap pembicaraan tentang politik demokrasi, dan tidak dapat dipisahkan dari
konsep politik Islam. Musyawarah merupakan perintah Allah Swt yang langsung
diberikan kepada Nabi Saw sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu
proses pengambilan keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan
bersama. Mufakat (muwāfaqah atau muwāfaqat) adalah terjadinya persetujuan
atas suatu keputusan yang diambil melalui musyawarah.34 Dalam musyawarah
terkandung sejumlah elemen yang dengan sendirinya akan ditemukan berkaitan
dengan proses politik, yaitu yang disebut dengan istilah partisipasi, kebebasan,
dan persamaan. Tidak mungkin sebuah musyawarah dijalankan tanpa kehadiran
dari ketiga elemen tersebut. Musyawarah juga tidak mungkin diwujudkan tanpa
adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat atau freedom of expression.35
Masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip musyawarah, tidak ada kebenaran
mutlak ataupun dalil-dalil mati (artinya yang tidak dapat ditawar-tawar) yang
menentukan tingkah laku manusia. 36
Bebersapa poin penting di atas tentang civil sociaty merupakan inti dan
cita cita Negara dalam Islam. Sejak pemikir Islam kelasik sampai kontemporer
kelihatannya sampai pada kesimpulan akan pentingnya sebuah tatanan Negara
yang Islami, dimana urusan umat Islam dapat berjalan dengan baik, ibadah dan
muamalah. Menyangkut tujuan penegakan ibadah, pemikir Islam kontemporer
memberikan garisan yang jelas yaitu sebuah nilai melingkupi keduanya, ibadah
dan muamalah sehingga persoalan bentuk dan sipat negara tidak menajadi tujuan
seperti jargon yang disebutkan oleh Nur Cholish Madjid, Islam, Yes, Partai Islam,
No.37 Islam tidak mempersoalkan menawarkan bentuk negara, demokrasi,
dinasti, parlementer, presidencial, namun jauh lebih penting dari itu, nagara
menurut padangan Islam harus dapat mengakomodir kepentingan umat Islam, dan

32
Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
44.
33
Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban, h. 43.
34
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2004), h.8.
35
Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, (Jakarta: Paramadina,
1995), h. 350.
36
Nurcholish Madjid, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 214. Banyak ayat Alquran dan Hadis
Nabi Saw yang menyatakan tentang musyawarah, di antaranya lihat Q.S. Ali Imran:159.
37
Nur Cholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 226.

73
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

menjalankan perintah Allah didalamnya. Inilah tujuan dan cita-cita masyarakat


madani, civil society. Hal inilah yang juga dimaksudkan oleh Ibn Rusyd, bahwa
“tujuan kota utama adalah memberi kemudahan pada setiap penduduknya dalam
mencapai kesempurnaan-kesempunaan manusia”. 38
Sepertinya sangat pentas di sampaiakan dalam makalah ini, Azyumadi
Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, menggambarkan, “dua wajah Islam
yang ada di Indonesia, Islam kultural dan Islam politik namun memiliki tujuan
yang sama, yaitu penerapan hukum Islam dalam sebuah Negara dan pendirian
Negara Islam (Negara berdasarkan Syariat Islam). Menyimpulkan bahwa Islam
politik dengan agenda tersebut telah melahirkan, dalam batas-batas tertentu,
radikalisme. Azra lebih jauh menegaskan dan menawarkan wajah Islam yang lain
yaitu Islam kultural yang demokratis di Indonesia.39 Islam politik ini
digambarkan berorientasi pada kekuasaan dan jabatan yang menjadikan partai
sebagai media untuk mendapatkannya, seperti DII/TII zaman Orde baru, dan
partai partai Islam seperti PKS, PPP, Partai Bintang Reformasi, Partai Bulan
Bintang pada zaman orde reformasi. Sedangkan Islam kultural yang
menginginkan Islam sebagai pedoman hidup namun melakukannya dengan jalan
dakwah, seperti yang dilakukan oleh ormas seperti NU dan Muhammadiyah.

Politik Identitas
1. Pengertian
Dalam Kamus Inggris-Indonesia, identity dialihbahasakan menjadi
identitas, yaitu ciri-ciri dan tanda-tanda yang khas. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang
atau jatidiri. Dengan demikian, identitas merupakan situasi di mana manusia
mampu mengaca diri dan menemukan berbagai tanda khas atau unik yang
diperolehnya melalui pertautan kisi internalnya dengan yang eksternal dan
lingkungan sosialnya. Oleh karenanya identitas dapat mengacu pada bentuk
konotasi apapun, seperti: sosial, politik, budaya, psikoanalisis, dsb. Pencarian
identitas baik kolektif maupun individual sendiri. 40
Donald L. Morowitz (1998), pakar politik dari Univeritas Duke,
mendefinisikan: “Politik identitas adalah pemberian garis yang tegas untuk
menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena
garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai
anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Baik Agnes
Heller maupun Donald L. Morowitz memperlihatkan sebuah benang merah yang

38
Ibn Rusyd, Republik Plato ala Ibn Rusyd, (Sadra Press, 2016), h. 76
39
Ayumadi Azra, Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural, (Indo-Islamika, Vol. I no.
2. 2012/1433), h. 233
40
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) dan menurut Manuel Castell, merupakan
sumber paling dasar dari makna atau the fundamental source of meaning (Putranto, 2004), 86-87

74
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik berbedaan. Sementara


Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan,
menyebutkan bahwa: Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin
sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki
kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan.
Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi—alat
untuk menggalang politik-guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.
41

Muhammad Habibi, ahli politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda42


menjelaskan, “Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik
perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul
dari perbedaan tubuh. Dalam filsafat, sebenarnya wacana ini sudah lama muncul,
namun penerapannya dalam kajian ilmu politik mengemuka setelah
disimposiumkan pada suatu pertemuan internasional Asosiasi Ilmuan Politik
Internasional di Wina pada 1994.43 Pertemuan tersebut menghasilkan konsepsi
tentang dasar-dasar praktek politik dan menjadikannya sebagai kajian dalam
bidang ilmu politik. Agnes Haller mengambil definisi politik identitas sebagai
konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference)
sebagai suatu kategori politik yang utama.
Setelah kegagalan narasi besar (grand narative), ide perbedaan telah
menjanjikan suatu kebebasan (freedom), toleransi dan kebebasaan bermain (free
play), meskipun kemudian ancaman baru muncul. Politik perbedaan menjadi suatu
nama baru dari politik identitas; rasisme (race thinking), biofeminimisme dan
perselisihan etnis menduduki tempat yang terlarang oleh gagasan besar lama.
Berbagai bentuk baru intoleransi, praktek-praktek kekerasan pun muncul.
Purwanto, seorang ahli politik menyebutkan, “politik identitas merujuk
pada praktik politik yang berbasiskan identitas kelompok— sering atas dasar
etnis, agama, atau denominasi sosial-kultural lainnya—yang merupakan kontras
terhadap praktik politik yang berbasiskan kepentingan (interest). Kecenderungan
akan berkembangnya politik identitas sama sekali tidak berkait dengan sistem
politik tertentu. Politik identitas bahkan dapat berkembang subur dalam sistem
demokrasi sekalipun. 44
Di Indonesia, kecenderungan itu terlihat lebih jelas justru ketika terdapat
ruang untuk mengekspresikan kebebasan. Praktik politik identitas di negeri ini

41
Abdullah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. (Magelang: Yayasan Adikarya IKAPI), h.
147
42
Muhammad Habibi, (Jurnal 2017) Analisis Politik Identitas Di Indonesia (Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda),
https://www.researchgate.net/publication
43
Simposium ini diadakan oleh European Centre for Social Welfare Policy dan Dr. Karl
Renner Institute, serta disponsori oleh Jewish Museum of Vienna, dan Department of Scientifict
Affairs. Hasil simposium tersebut dibukukan dalam bentuk antologi yang dieditori oleh Agnes
Heller dan Sonja Puntscher Riekmann dengan judul Biopolitics: The Politics of The Body, Race
and Nature, (Brookfield:Avebury, 1996).
44
Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62

75
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

dapat dikenali melalui berbagai bentuk, mulai dari yang samar-samar hingga agak
jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa pembentukan partai nasional yang
berbasis agama dan daerah administratif setingkat provinsi dan kabupaten atas
dasar ikatan etnis di beberapa wilayah di luar Jawa merupakan indikasi akan
terjadinya kecenderungan itu. Dalam kasus yang terakhir, pembentukan daerah-
daerah administratif di beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya
teritorialisasi identitas.
Lebih lanjut Purwanto menjelaskan, “Politik identitas (dalam buku teks
sering disebut dengan dua terminologi yang saling dipertukarkan: “identity
politics” atau “politics of identity”) merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi
politik atas dasar identitas kolektif yang sebelumnya seringkali disembunyikan
(hidden), ditekan (suppressed), atau diabaikan (neglected), baik oleh kelompok
dominan yang terdapat dalam sistem demokrasi liberal atau oleh agenda politik
kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi yang lebih
progresif. Tidak semua politik identitas mengambil bentuk sebuah perjuangan
pemisahan diri. Gerakan gay dan lesbian—atau, perjuangan yang dilakukan oleh
kelompok “orang cacat” (diffable persons)—adalah contoh lain dari politik
identitas yang terutama ditujukan untuk memperoleh pengakuan politik yang lebih
mendasar untuk memungkinkan diterimanya perlakuan yang lebih adil atas dasar
kebedaan yang bersifat khusus (peculiar) yang dimiliki dan atau melekat pada
individu”.45
Identitas tidak pernah tunggal melainkan majemuk. Identitas selalu
“berubah” menurut konteks sosial. Dengan kata lain, identitas selalu ditemukan
dalam kaitannya dengan “yang lain” (“other”). Multiplicity of identity adalah
sebuah fenomena umum yang terbentuk oleh berbagai elemen dan melalui
interaksi sosial. Elemen-elemen penting identitas dapat mengambil bentuk yang
sangat beragam: dari yang fisik (misalnya warna kulit, rambut, dan mata) sampai
yang bersifat sosial seperti sejarah, nasionalitas, gender, etnisitas, agama, tradisi,
bahasa dan dialek, kelas dan gaya hidup, serta ideologi, kepercayaan dan
sentimen. 46
Identitas ini selalu dihubungkan dengan agama atau atnisitas. Dari sudut
pandang etimologis, etnis berasal dari bahasa Yunani ‘ethnos’ yang berarti
‘penyembahan’ atau pemuja berhala’. Di Inggris, terminologi ini digunakan mulai
pertengahan abad XIV yang dalam perjalanannya mengalami reduksi ke arah
penyebutan karakter ras. Sementara di Amerika Serikat, terminologi ini digunakan
secara massif pada saat Perang Dunia I sebagai penghalus penyebutan bangsa-
bangsa yang dianggap inferior.
Meskipun terjadi perbedaan pandangan mengenai etnis, namun ditangan
para ilmuwan politik konsepsi mengenai hakekat etnisitas dimaknai dua hal:
Pertama, pembacaan realitas perbedaan bentuk penciptaan, yaitu wacana batas

45
Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62
46
Ibid., h. 63-64

76
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

yang bersifat oposisioner dan dikotomis. Kedua, suatu konstruksi pemahaman


yang didasarkan atas pandangan dan bangunan sosial. Etnis merupakan konsep
relasional yang berhubungan dengan indetifikasi diri dan askripsi sosial. Dua
makna ini bisa kita tarik sebuah pemahaman bahwa etnisitas selalu akan terbaca
sebagai realitas perbedaan yang selalu dipandang dikotomis dalam
mengidentifikasi diri. Karena itu identitas etnis relatif sulit diubah karena
pemahaman ini dibangun di atas persamaan darah (kelahiran), warna kuliat,
kepercayaan yang mencakup ‘suku’, ‘ras’ , ‘nasionalitas’ dan ‘kasta’.47
Sejalan dengan Purwanto, Muhtar Haboddin menjelaskan, “dalam literatur
ilmu politik, politik identitas dibedakan secara jelas antara identitas politik
(political identity) dengan politik identitas (political of identity). Political identity
merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam
ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada
mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun
identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik”. 48

2. Menguatnya Politik Identitas


a. Konteks Gelobal
Dilihat dari rentang waktu, ilmuwan sosial baru tertarik kepada isu politik
identitas pada 1970-an, bermula di Amerika Serikat, ketika menghadapi masalah
minoritas, jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya
yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Perkembangan selanjutnya cakupan
politik identitas ini meluas kepada masalah agama, kepercayaan, dan ikatan-ikatan
kultural yang beragam.
Politik identitas kerangkat teori dan bentuk praksisnya di berbagai
kawasan, L.A. Kauffman yang pertama kali menjelaskan dengan melacak asal-
muasalnya pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC
(the Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak-
hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an. Secara substantif, politik identitas
dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang
merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau
negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. Di
Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik
pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya
masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis
lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada
pemilik modal yang umumnya dikuasai go longan kulit putih tertentu.49

47
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal,
(http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya,
Malang).
48
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal
49
L.A. Kaufffman, ”The Anti‐ Politics of Identity,” Socialist Review, (No.1, Vol. 20
Jan.‐ March 1990), hal. 67‐ 80. Analisis yang lebih komprehensif tentang politik identitas ini

77
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

Bentuk ekstrem politik identitas adalah mencuatnya sampai batas-batas


tertentu gagasan tentang separatisme. Ini terlihat misalnya di Quebeck, yang
berbahasa dan berbudaya Perancis, yang ingin memisahkan diri dari bangsa
Kanada yang berbahasa Inggris. Begitu juga terbaca dalam gerakan Islam tipikal
Louis Farrakhan (l. 1933) dengan The Nation of Islam-nya di Amerika Serikat,
tetapi yang ditolak oleh kelompok hitam Muslim arus besar lainnya. Tetapi pada
tahun 2000 politik identitas keagamaan model ini dapat diatasi dengan tercapainya
perdamaian antara Farrakhan dengan Wareeth Din Muhammad, mantan
saingannya, untuk meredam politik identitas kelompok Muslim Hitam untuk
kemudian menyatukan dirinya dengan arus besar bangsa Amerika yang plural.
Dalam pandangan Gutmann, politik identitas, yang juga terlihat pada gerakan
Martin Luther King dan uskup-uskup Katolik di Amerika, sesungguhnya lebih
didorong oleh argumen keadilan sosial, bukan karena alasan agamanya.50
Kajian terbaru dikemukakan oleh, Cynthia B. Dillard, penulis di
International Journal of Qualitative Studies in Education, menggambarkan
peragaan politik identitas, “momen politik di AS dan dunia, diiringi oleh
pemilihan dan pemerintahan seseorang yang, menurut pendapat saya,
mengesahkan pandangan rasis, seksis, otoriter dan narsis secara terbuka dalam
keputusannya maupun sebagai Presiden AS. Protes yang terjadi diberbagai
belahan dunia termasuk Inggris, kami melihat hal ini dalam sikap moral yang
telah mengerahkan dalam gerakan hitam hidup masalah dan protes lainnya
sebagai akibat dari meningkatnya direstui negara kekerasan di AS, bahkan sebagai
protes terhadap kebijakan yang tidak adil dan tidak manusiawi rezim dalam
respon langsung terhadap negara-negara ketidakadilan dan kebrutalan berdasarkan
ras, gender, sexualitas, kebangsaan dan akses untuk hidup. Kuncinya di sini
adalah bahwa setiap orang hitam harus bekerja dengan kebebasan untuk kita
semua, terlepas dari mana kita berada di dunia.51
Kegelisahan meningkatnya politik identitas juga tergambar dalam tulisan
Amanda Keddiea, seorang penulis British Journal Inggris “perjuangan siswa
imigran muslim di Inggris, dimana pada satu sisi pelajar muslim yang telah
memiliki budaya agama (etno religious) berhadapan dengan kaum liberalis, dan
perjungan jender. Posisi ini berjalan sangat rumit sehingga perlu lahirnya sebuah
“pengaturan kongkrit”, “Keragaman budaya yang belum pernah terjadi
sebelumnya dari negara-negara liberal barat dan meningkatnya kehadiran dalam
politik pengakuan telah melihat peningkatan tuntutan publik untuk menghormati
dan melestarikan budaya kelompok minoritas.

dapat dibaca dalam karya Amy Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 2003), setebal 211 halaman plus catatan akhir dan indeks.
50
Syafii Maarif, Politik Identitas Dunia, (Jakarta, edisi digital 2012)
51
Cynthia B. Dillard (Nana Mansa II of Mpeasem, Ghana), To stand steadfast and love
Blackness in these political times: a comparative reflection from Ghana to the US and back again
(InternatIonal Journal of QualItatIve StudIeS In educatIon, 2017 vol. 30, no. 10, 982–987
https://doi.org/10.1080/09518398.2017.1312611) , h. 983-987

78
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

Tuntutan ini cenderung didukung oleh kekhawatiran bahwa budaya


minoritas 'terancam punah dan harus dilindungi oleh hak-hak khusus'. Anggapan
abadi yang tetap menonjol dalam wacana populer - di mana praktik gender
kelompok minoritas secara teratur diposisikan sebagai oposisi terhadap kerangka
liberal barat yang lebih tercerahkan - adalah bahwa melindungi budaya-budaya ini
sama dengan mempertahankan tradisi patriarki”. Dengan demikian ruang-ruang
penentuan nasib sendiri bagi perempuan dan anak perempuan Muslim harus
memberikan status kepada, dan disajikan di dalam, wacana framing tentang
agama, gender dan budaya yang membentuk kehidupan mereka. Pendekatan ini
mencerminkan perhatian feminis Muslim untuk mendukung pemberdayaan atau
pemerataan perempuan dalam konteks mempertahankan integritas agama. 52

b. Konteks lokal
Seiring dengan kajian Islam dan demokrasi, fenomena kontemporer yang
menjadi mengemuka baik perhatian dikalangan ekademisi maupun yang terjadi
dalam dunia politik peraksis termasuk persoalan politik identitas, yang menurut
realitasnya suatu hal yang tidak bisa dielakan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga
diseluruh dunia. Hampir di seluruh belahan dunia, para politisi menggunakan
strategi ini termasuk Donald Trump, di Amerika, pada pemilu 2016, pemilihan
Presiden Ghana di Afrika Selatan.
Menguatnya politik identitas di ranah lokal bersamaan dengan politik
desentralisasi. Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas
semakin jelas wujudnya. Bahkan, banyak aktor politik lokal maupun nasional
secara sadar menggunakan isu ini dalam power-sharing. Di Provinsi Riau,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya yang secara nyata
menunjukkan betapa ampuhnya isu ini digunakan oleh aktor-aktor politik, ketika
berhadapan dengan entitas politik lain. 53
Yosafat Hermawan Trinugraha, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi dan
Antropologi FKIP UNS menggambarkan, “Paska runtuhnya Orde Baru, terjadi
booming organisasi Tionghoa di Indonesia. Hal ini menjadi respon atas
pengekangan kebebasan organisasi bagi masyarakat Tionghoa selama Orde Baru.
Menurut catatan PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia), terdapat
176 organisasi sosial Tiong Hoa di Jakarta , Di luar data tersebut, terdapat pula
data dari Eddie Kusuma, seorang aktivis sosial yang mendukung pluralisme dan
Ketua Perkumpulan Marga Wu, yang menyebutkan bahwa jumlah organisasi
Tionghoa di Indonesia bisa mencapai 540 pada tahun 2008, dengan berbagai
52
Amanda Keddiea, British Journal of Sociology of Education, (Identity politics, justice
and the schooling of Muslim girls: navigating the tensions between multiculturalism, group rights
and feminism, http://www.tandfonline.com/loi/cbse20a School of Education, The University of
Queensland, Brisbane, Queensland, Australia. Published online: 28 May 2013).
53
Muhtar Haboddin , Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal (Jurnal Studi
Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, ttp://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007 Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang)

79
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

klasifi kasi seperti organisasi yang berdasarkan nasionalisme, partai politik,


organisasi yang berdasarkan kelompok bahasa, berdasarkan kesamaan nama
keluarga, berdasarkan kesamaan daerah asal di Tiongkok, berdasarkan kesamaan
visi Indonesia-Tionghoa, alumni sekolah menegah Tionghoa, perkumpulan
keagamaan, dan organisasi yang berdasarkan kesamaan minat dan aktivitas.
Politik Identitas Anak Muda Minoritas bertujuan untuk regenerasi juga untuk
mengumpulkan pengusaha-pengusaha muda agar punya jaringan dalam
54
berbisnis”.
Senada dengan Muhatar Ubaddin menjelaskan, “politik identitas
merupakan bentukan dari Negara Orde Baru. Pandangan ini senada dengan
Rachmi Diyah Larasati yang mengatakan bahwa ‘negara sangat berperan dalam
pembentukan politik identitas’. Dua pandangan ini menguatkan pemahaman
bahwa politik etnisitas merupakan kreasi negara yang monumental dalam rangka
pelabelan warga negaranya. Pelabelan ini menjadi penting dalam urusan politik
pengaturan atau bisa juga sebagai politik kontrol negara terhadap warganya untuk
mengetahui ‘siapa lawan’ dan ‘siapa kawan’. Pengaturan dan kontrol negara
terhadap warganya tidak berhenti sampai di sini. Menurut pandangan Henk (2007)
ada empat kebijakan yang dijalankan Orde Baru untuk melemahkan politik
identitas di tanah air. Pertama, tidak ada daerah yang asli. Maksud semua daerah
terbuka sebagai daerah migrasi maupun transmigrasi sehingga semua komunitas
tercerabut dari akar sosio-kultural dan politiknya. Kedua, pemerintah Orde Baru
menghindari terbentuknya kelas karena itu persoalan SARA dikontrol sedemikian
ketat. Dan yang berhak menggunakan SARA hanya pemerintah dalam
menjustifikasi kelompok mana yang bersalah dan dikucilkan relasi sosial-
politiknya. Ketiga, modernisasi dijalankan supaya pengaruh etnis dan agama
merosot. Keempat, negara mengatur supaya jangan ada yang tumpang tindih
antara agama dan suku. Karena dengan cara ini persatuan tidak pernah ada dan
pemerintah pusat tidak terancam. Keempat kebijakan diatas, mempunyai implikasi
politis yang sangat besar dalam pengelolaan relasi pusat dengan daerah,
pemerintah dengan rakyatnya. Karena itu gairah etnisitas dan agama tidak lagi
menjadi tempat orang mengespresikan diri secara politik dan mengungkapkan diri
secara budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri
secara politik dan mencari keamanan diri secara budaya. Pilihan politik maupun
budaya masyarakat menutup diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak
langkah politik kekuasaan Orde Baru.
Karena itu ketika Negara sudah mengalami pelemahan basis materialnya
maka masyarakat meminjam istilah Henk (2007) mencari perlindungan pada
kelompok agama maupun etnistas. Pencarian perlindungan masyarakat kepada
etnisitas maupun agama cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah
dalam bangunan relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan
sangat berbahaya dalam relasi horizontalnya. Ternyata, dugaan ini benar adanya.
54
Yosafat Hermawan Trinugraha, Politik Identitas Anak Muda Minoritas: Ekspresi
Identitas Anak Muda Tionghoa melalui Dua Organisasi Anak Muda Tionghoa di Surakarta Pasca
Orde Baru, (Jurnal Studi Pemuda • Vol. 2, No. 2, September 2013, Jurusan Pendidikan Sosiologi
dan Antropologi FKIP UNS) h. 172

80
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

Aneka konflik yang terjadi di ranah lokal, pada 1995-an hingga Orde Baru rontok
membuktikan betapa dahsyatnya kekerasan politik di tanah air. Benturan yang
berbau politik identitas tidak hanya mempermalukan para penguasa tetapi juga
para cendekiawan-ilmuwan yang selama ini merasa optimis bahwa agama, ras dan
suku bangsa akan segera hilang kekuatannya karena sudah mengalami pencerahan
dan kemajuan. Pada kenyataannya optimisme itu meleset karena mereka lupa
bahwa sentimen-sentimen primordial yang sejak semula telah ada dan akan
selamanya tetap bertahan—bahkan identitas kelompok akan mengguncang tatanan
politik yang selama ini diduga kokoh bangunannya. Pengamatan Lucian W Pye
(1993) terbukti, goncangan politik karena ledakan politik etnisitas sudah kita
rasakan pengaruhnya. Celakanya negara absen dalam melindungi warganya. Hal
ini nampak dalam pertikaian Dayak-Madura, peristiwa kekerasan politik Mei
1998 di Jakarta, pengusiran etnis Buton-Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon.
Selain berbau kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas politik etnisitas juga hadir
dan mengental dalam era politik desentralisasi. Pencarian politik etnisitas, baik
kolektif maupun individual menjadi sumber paling mendasar dan bermakna untuk
menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah. 55

C. Kesimpulan
Demokrasi bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi
mewujudkan ajaran Islam itu wajib dalam kehidupan bernegara. Banyak ayat-
ayat al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan untuk bermusyawarah. Juga
dicontohkah oleh para shahabat Nabi, bahkan Tuhan menyatakan bahwa
pemerintahan yang Islami adalah khilafah. Dan khilafah ditandai antara lain
dengan syura (musyawarah).
Islam menginginkan terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang aman,
sejahtera, makmur dan bahagia, oleh sebab itu perangkat yang dibutuhkan dalam
menjalankannya adalah: keadilan, kebersamaan, kesamaan, musyarah, merupakan
instrument yang wajib ada dalam system pemerintahan yang Islam sehingga Islam
tidak menawarkan satu bentuk Negara yang baku dan menjadi kewajiban bagi
warganya untuk menggunakannya.

Dunia yang semakin menggelobal menciptakan keterkaitan, dan


ketergantungan satu dengan yang lain semakin kuat, namun kenyataannya di
masyarakat kesenjangan semakin menganga, baik antar individu mapun kelompok
atau Negara. Menurut Ronald F. Inglehart, peneliti bidang ekonomi dan politik
Universitas Michigen, “populis terjadi dua factor, kesenjangan sosial, dan
benturan kebudayaan”. Inilah diantara pemicu munculnya politik identitas. Dalam
konteks ke Indonesiaan Politik Identitas dipersubur oleh, kesenjangan sosial,
lemahnya literasi, buruknya kelembagaan politik, polarisasi politik yang tidak

55
Muhtar Haboddin, Melacak Politik Etnisitas di Indonesia ; Menguatnya Politik Identitas
di Ranah Lokal (http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas
Brawijaya, Malang. Email: muhtar_76@yahoo.com)

81
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

merata. Politik identitas sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam dan


merusak sendi-sendi kehidupan bernegara bahkan bertentangan dengan nilai
kemanusiaan, dan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Yayasan Adikarya


IKAPI.
Abdurrahman Kasdi, Karakteristik Politik Islam: Mencari Relevansi Antara
Doktrin Dan Realitas Empirik, (Volume 9, Nomor 2, Desember 2015,
STAIN Kudus)
Ahmad Gaus Af., Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner
(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010)
Amy Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 2003)
Ibn Rusyd, Republik Plato ala Ibn Rusyd, (Sadra Press, 2016)
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) dan menurut Manuel Castell,
merupakan sumber paling dasar dari makna atau the fundamental source
of meaning
L.A. Kaufffman, ”The Anti‐Politics of Identity,” Socialist Review, No.1, Vol. 20
(Jan.‐March 1990)
Mulyadi Karta Negara (Pengantar) Pemikiran Islam Kontemporer, .
Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Jakarta: Kompas, 2014)
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (UI Press, 1990)
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia,
2008)
Muhammad Habibi, (Jurnal 2017) ANALISIS POLITIK IDENTITAS DI
INDONESIA (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Mulawarman, Samarinda), https://www.researchgate.net/publication
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi
--------, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994)
--------, Islam, Doktrin dan Peradaban Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof.
Dr. Munawir Sjadzali, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1995)
-------, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996)

------, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cet-XI (Bandung: Mizan, 1998)


-------, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan
Masyarakat, Cet. III (Jakarta: Paramadina, 2004)

82
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.

------, Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 2/VII/96,
Jakarta: LSAF-PPM,
Simposium ini diadakan oleh European Centre for Social Welfare Policy dan Dr.
Karl Renner Institute, serta disponsori oleh Jewish Museum of Vienna,
dan Department of Scientifict Affairs. Hasil simposium tersebut
dibukukan dalam bentuk antologi yang dieditori oleh Agnes Heller dan
Sonja Puntscher Riekmann dengan judul Biopolitics: The Politics of The
Body, Race and Nature, (Brookfield:Avebury, 1996).
Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review
Politik Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62
Jurnal : (http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Brawijaya, Malang). Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik
Identitas di Ranah Lokal ,
British Journal of Sociology of Education:
(http://www.tandfonline.com/loi/cbse20a School of Education, The
University of Queensland, Brisbane, Queensland, Australia. Published
online: 28 May 2013).
Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, (Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang)
Jurnal Studi Pemuda. Vol. 2, No. 2, September 2013, Jurusan Pendidikan
Sosiologi Dan Antropologi Fkip Uns

83
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia

Blank page

84

Anda mungkin juga menyukai