Hotmatua Paralihan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
Pendahuluan
Mendirikan Negara merupakan kewajiban bagi manusia agar terpenuhi
kebutuhan, cita-cita, dan tujuan hidupnya. Dalam perakteknya pembentukan
negara memiliki bentuk yang berbeda satu dengan yang lain, tentunya berdasarkan
latar belakang maupun kepentingan serta dibutuhkan masyarakatnya.
Islam misalnya, tidak ada satu kesepakatan bersama sebagai bentuk negara
yang bisa diajukan sebagai model yang digariskan oleh Islam (al-Quran dan al-
Hadis) secara jelas. Kelihatannya para pakar politk Islam sepakat dan merujuk
pada apa yang diperaktekkan oleh Rasulullah di Madinah (Piagam Madinah)
sebagai model Negara Islam, namun perbedaan terjadi pada sudut pandang atau
paradigma yang digunakan untuk melihat apa yang diperaktekkan oleh Nabi dan
para Khulafaurrasidin. Sebagian milihat secara total tekstual, bentuk maupun
substansi harus diperaktekkan tetapi sebagaian pakar hanya melihat dari sudut
esensi Negara Madinah, sebagaimana tersimpul dalam kalimat masyarakat madani
(civil society).
63
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
1
Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptul dan Histories, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2002), h. 16.
2
Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, Terj. Filsafat Politik: Kajian
Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai dengan Modern, oleh Ahmad Baidlowi dan Imam
Bahehaqi, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 37.
3
Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Deokrasi Pasca Soeharto, (Yogyakarta: Pondok
Edukasi, 2004), h. 12.
4
Ignas Kleden, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam Ahmad
Suaedy (Ed.), Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, Yogyakarta: LKiS, 2000, h. 5-7.
64
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
5
Aden widjan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta, Safaria Insania
Press, 2007), h. 196.
6
Masykuri Abdillah, Demokrasi Dipersimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 71-72.
7
Robert A. Dhal, Dilemma Of Pluralist Democracy, (New Heaven and London: Yale
University Prees. Diambil dari Aden wijdan SZ). h. 197.
8
John. L. Esposito and John O. Vool, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim: Problem dan
Prospek, (Bandung: Mizan, 1999), h. 11.
65
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
9
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, Cet. I (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1992), h. 40.
10
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 52.
11
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 52.
66
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
satu sendi ajaran Islam yang lazimnya disebut sebagai amar ma’ruf nahi
munkar. Hak untuk diperlakukan sama didepan hukum ditegaskan dengan
merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW. Berkenaan
dengan keadilan. Contoh-contoh tentang keadilan khulafa’ al-Rasyidin sering
dikemukakan untuk memperkuatnya.
Yang terakhir ini lazim disebut dalil aqli. Tujuan syari’at Islam adalah
memelihara kemashlahatan manusia (agama, jiwa, akal, harta dan keturunan).12
Tujuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menegakkan demokrasi.
Berdasarkan kaidah “bila yang wajib tidak bisa ditegakkan kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”, maka demokrasi harus dijalankan
kaum muslimin.
Menurut Huwaydi sebenarnya Islam dan Demokrasi tidak ada
pertentangan, itu bisa dilihat dari ciri-ciri negara menurut Islam yang menjadi
tujuh ciri:13 Pertama, kekuasaan di pegang penuh oleh umat, kedua, masyarakat
ikut berperan dan bertanggung jawab, ketiga, kebebasan adalah hak bagi semua
orang, keempat, persamaan diantara semua manusia, kelima, kelompok yang
berbeda juga memiliki legalitas, keenam, kezaliman mutlak tidak diperbolehkan
dan usaha meluruskan adalah wajib, ketujuh, undang-undang di atas segalanya.
Ketika negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam melepaskan
diri dari penjajahan, mereka memilih sistem demokrasi ini.
Pada praktiknya, secara berangsur-angsur negara-negara Islam diperintah
secara otokratis. Orang yang mempromosikan demokrasi ketika mengajak
rakyat untuk menggulingkan rezim yang lama sejatinya mematikan
14
demokrasi. Bersamaan dengan itu, model-model pembangunan (ideology-
ideology) Barat gagal memenuhi harapan umat Islam. Timbul negativisme
terhadap pemikiran Barat, yang disertai dengan kecenderungan untuk
menampilkan alternatif Islam, seperti diperlihatkan dalam berbagai proyek
islamisasi. Demokrasi kini dipandang sebagai konsep Barat yang sekuler dan
ambigu, pemikir Islam mutakhir menolak demokrasi dalam pengertian ini,
dengan beberapa alasan antara lain:15
1. Demokrasi adalah pemerintahan yang sekuler, produk pemikiran politik
Barat, kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam Islam, kedaulatan berada
12
Tujuan syari’at Islam tersebut yang kemudian dalam ilmu filsafat hukum Islam
dinamakan “maqashid al-syari’ah”, yang artinya tujuan dari pembentukan hukum Islam. Tujuan
tersebut guna memelihara kemashlahatan manusia. Dalam hal ini, maqashid al-Syari’ah dibagi ke
dalam tiga peringkat, yaitu dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyyah untuk menjaga mukallaf dari lima
hal, agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl) dan
harta benda (hifdz al-maal). Untuk selebihnya, lihat: Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,
(Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 23-25.
13
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, (terj. oleh M. Abd.
Ghofar dalam al-Islam wa al-Dimuqratiyah, Bandung: Mizan, 1996), h. 161-176.
14
Lihat: Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 85.
15
Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan Amin Rais ,
(Cet. 1, Jakarta: Teraju, 2005), h. 40-44.
67
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
di tangan Tuhan. Suara terbanyak tidak dapat dan tidak boleh mengubah
syari’at. Syari’at bukan kehendak kebanyakan rakyat, yang harus
mengarahkan dan membimbing para penguasa. Le verite n’est pas jamais un
affair de majorite!
2. Dalam praktik, suara rakyat bisa dimanipulasikan, secara kasar, dengan
menggunakan kekerasan atau penipuan dan secara halus dengan teknik-
teknik persuasi. Ironisnya, suara rakyat yang diberikan tanpa kesadaran
politik mempunyai nilai yang sama dengan suara rakyat yang mempunyai
kesadaran politik tinggi.
Pepatah Latin, dikatakan bahwa suara rakyat adalah suarat Tuhan (Vox
Populi Vox Dei). Oleh karena itu, semestinya kedaulatan rakyat tidak boleh
dikompromikan dengan apa dan siapa pun, sehingga kehendak rakyat seakan-
akan kehendak Tuhan. Di samping itu, ada juga pepatah yang mengatakan
kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi (Salus Populi Supreme Lex).
Oleh karena itu, dalam demokrasi ditetapkan bahwa hukum yang paling tinggi
adalah kehendak rakyat.16
Isu negara Islam semakin kuat bergulir di tengah kehidupan public,
seakan-akan negara Islam dianggap sebagai formulasi ideal bagi kehidupan politik
di masa sekarang. Sehingga, teoritisasi dan konseptualisasi ulang terhadap al-
Qur’an dan hadits tentang Negara. Kemungkinan-kemungkinan ini perlu
ditelusuri lagi dalam doktrin Islam; penafsiran al-Qur’an dan al-hadits untuk
menemukan kejelasan teologis mengenai negara Islam. Dengan demikian karena
tidak semua ayat atau hadis menggariskan secara jelas, muamalat bukan ibadah,
sehingga dengan sendirinya membuka peluang munculnya intrepretasi baru
terhadap Al-Quran dan al-Hadis sebagai selusi problem yang dihadapi manusia.
Kenyataan ini juga tidak bisa dielakkan dalam memahami relasi Islam dan
demokrasi, paling tidak dalam pemetaan pemikiran Islam ada lima kecendrungan
dalam menerjemahkan al-Qur’an dan al-Hadis yaitu : Pertama, Pundamentalistik.
Kelompok yang sepenuhnya percaya kepada dokterin Islam sebagai satu-satunya
alternative bagi kebangkitan umat manusia. Mereka ini dikenal sangat commeted
dengan aspek religious budaya Islam. Kelompok pemikira ini antara lain, Sayyid
Husein Naser, Sayyid Qutuhb, Muhammad Qutuhb, Al-Maududi, Sayyid Hawa,
Abu Bakar Baasyir, Jakfar Umar Thalib. Kedua, Kelompok Tradisionalistik
(Salaf) kelompok ini berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang
mapan. Bagi mereka semua persoalan umat sudah diselesaikan dalam sejarah,
termasuk pada zaman Khulafaurrasyidin, tetapi perlu mengadopsi perubahan.
Diantara mereka adalah Said Khusein Naser, Muthaharri, Naquip Al Attas, dan
Ismail Faruqi. Ketiga. Kelompok reformistik, mereka berusaha merekonstruksi
ulang warisan Islam dengan penafsiran baru. Tradisi yang lama dan mapan
dalam Islam harus ditafsirkan dengan perkembangan modern, hal ini berbeda
dengan kelompok tradisional yang lebih mengembalikan, melanggengkan tradisi
16
M. Amien Rais, “Masalah-masalah yang Dihadapi Bangsa Indonesia”, dalam
Millennium: (Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor I Tahun 1, Januari-April 1998), h. 7.
68
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
lama. Mereka ini antara lain, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Bint Asy
Syathi, Amina Wadudu, M. Imarah. Bagi Hanafi Rekonstruksi adalah
pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan spirit modernitas
muslim komtemporer. Keempat, Postradisionalistik kelompok pemikir yang
berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan Standaar
Modernitas. Seperti Al-Jabiri, Arkoun, Fatimah Marnissi, Ulil Absar Abdallah,
Masdar F Masudi. Kelima, Modernistik yaitu kelompok yang hanya mengakui
sipat Rasionalitas Ilmiah, mereka ini dipengaruhi pemikiran Marxisme (Aspek
Intelektualnya Bukan Ideologi) seperti Kassim Ahmad, Thaiyyib Thayzini, Faud
Zakaria.17
Dari lima kecendrungan di atas, secara garis besarnya dapat di kecilkan
menjadi dua kelompok utama, yaitu yang lebih melihat al-Quran secara literalal
tekstual dan kelompok yang melihat al-quran secara esensial kontekstual yaitu :
Pertama, Kelompok yang sedikit tektual dan pundamental termasuk Abu
A’la al-Maududi (1967) yang berpendapat bahwa, “negara Islam diletakkan pada
prinsip utamanya pada pengakuan kedaulatan Tuhan sebagai sumber segala
hukum. Maka, tidak seorang pun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah
Swt. sebagai pemilik kedaulatan tunggal. Al-Maududi dalam “al-Hukumah al-
Islamiyah” menegaskan bahwa pemerintahan Islam atau negara Islam diambil dari
kata “khalifah” dalam al-Qur’an, yang pada hakikatnya adalah khilafah Ilahiyah
(khilafah Islamiah). Gagasan ini dapat dilihat dari rumusan konstitusi versi Abu
A’la Al-Maududi yang terkenal dengan “Tuntutan Empat Butir” di Pakistan: (1)
Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di (tangan) Allah, dan oleh karenanya
pemerintah (Pakistan) sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak boleh melampaui
batas yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan (Allah). (2) Syari’at Islam
merupakan hukum dasar bagi Pakistan. (3) Pembatalan semua undang-undang
yang ada dan bertentangan dengan Syari’at Islam dan kemudian menangguhkan
semua undang-undang yang tidak sesuai dengan Syari’at Islam. (4) Pemerintah
Pakistan (harus) mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang
telah ditetapkan oleh Syari’at Islam”.18
Senada dengan Abu A’la Al Maududi, Ibnu Khaldun, al-Mawardi, dan al-
Ghazali serta sejumlah pemikir politik Islam lainnya berpandangan bahwa
mendirikan negara adalah suatu naluri manusia yang hidup bermasyarakat. Dalam
prakteknya, pendirian negara Islam dimaksudkan untuk menjamin berlakunya
Syari’at Islam, seperti pelaksanaan hukum hudud/ jinayat. Karena itu, al-Qur’an
lebih sering menggunakan kalimat “ahkama bainahum” yang disertai dengan
17
Mulyadi Karta Negara (Pengantar), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta,
Jendela, 2013) h. xv-xxii.
18
Kedaulatan Tuhan sebagai prinsip dasar negara Islam sebenarnya diambil oleh para
pemikir berasal dari al-Qur’an ; “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
Al-Baqarah: 110) “Katakanlah Ya Allah yang memiliki kerajaaan, Engkau berikan kekuasaan
kepada siapa saja yang dikehendaki.” (QS. Ali Imran: 26-27)
69
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
19
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (UI Press, 1990) h. 70.
20
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, 70.
21
Abdurrahman Kasdi, Karakteristik Politik Islam: Mencari Relevansi Antara Doktrin Dan
Realitas Empirik, (Volume 9, Nomor 2, Desember 2015, STAIN Kudus), h. 305-308
70
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
22
(http://psikparamadina.blogspot.com/2006/06/masyarakat-madani-dalam)
23
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 148.
24
Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr.
Nurcholish Madjid (Jakarta: Kompas, 2014), h.29, dan lihat juga, Al-Lubb, (Vol. 2, No. 1, 2017),
h. 206-225.
25
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), h.
71.
71
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
72
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
dari itu, Nabi Saw yang ditegaskan sebagai suri tauladan umat manusia adalah
seorang pribadi yang sangat toleran kepada sesama manusia, khususnya para
sahabat karena adanya rahmat Allah Swt.32 Pola hidup manusia menganut hukum
Sunnatullāh tentang kemajemukan (pluralitas), antara lain karena Allah Swt
menetapkan jalan dan pedoman hidup (syir’ah dan minhāj) yang berbeda-beda
untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab
perselisihan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan kearah
kebaikan (alkhayrāt). 33
Musyawarah. konsep musyawarah selalu menjadi tema penting dalam
setiap pembicaraan tentang politik demokrasi, dan tidak dapat dipisahkan dari
konsep politik Islam. Musyawarah merupakan perintah Allah Swt yang langsung
diberikan kepada Nabi Saw sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu
proses pengambilan keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan
bersama. Mufakat (muwāfaqah atau muwāfaqat) adalah terjadinya persetujuan
atas suatu keputusan yang diambil melalui musyawarah.34 Dalam musyawarah
terkandung sejumlah elemen yang dengan sendirinya akan ditemukan berkaitan
dengan proses politik, yaitu yang disebut dengan istilah partisipasi, kebebasan,
dan persamaan. Tidak mungkin sebuah musyawarah dijalankan tanpa kehadiran
dari ketiga elemen tersebut. Musyawarah juga tidak mungkin diwujudkan tanpa
adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat atau freedom of expression.35
Masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip musyawarah, tidak ada kebenaran
mutlak ataupun dalil-dalil mati (artinya yang tidak dapat ditawar-tawar) yang
menentukan tingkah laku manusia. 36
Bebersapa poin penting di atas tentang civil sociaty merupakan inti dan
cita cita Negara dalam Islam. Sejak pemikir Islam kelasik sampai kontemporer
kelihatannya sampai pada kesimpulan akan pentingnya sebuah tatanan Negara
yang Islami, dimana urusan umat Islam dapat berjalan dengan baik, ibadah dan
muamalah. Menyangkut tujuan penegakan ibadah, pemikir Islam kontemporer
memberikan garisan yang jelas yaitu sebuah nilai melingkupi keduanya, ibadah
dan muamalah sehingga persoalan bentuk dan sipat negara tidak menajadi tujuan
seperti jargon yang disebutkan oleh Nur Cholish Madjid, Islam, Yes, Partai Islam,
No.37 Islam tidak mempersoalkan menawarkan bentuk negara, demokrasi,
dinasti, parlementer, presidencial, namun jauh lebih penting dari itu, nagara
menurut padangan Islam harus dapat mengakomodir kepentingan umat Islam, dan
32
Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
44.
33
Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban, h. 43.
34
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2004), h.8.
35
Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, (Jakarta: Paramadina,
1995), h. 350.
36
Nurcholish Madjid, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 214. Banyak ayat Alquran dan Hadis
Nabi Saw yang menyatakan tentang musyawarah, di antaranya lihat Q.S. Ali Imran:159.
37
Nur Cholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 226.
73
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
Politik Identitas
1. Pengertian
Dalam Kamus Inggris-Indonesia, identity dialihbahasakan menjadi
identitas, yaitu ciri-ciri dan tanda-tanda yang khas. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang
atau jatidiri. Dengan demikian, identitas merupakan situasi di mana manusia
mampu mengaca diri dan menemukan berbagai tanda khas atau unik yang
diperolehnya melalui pertautan kisi internalnya dengan yang eksternal dan
lingkungan sosialnya. Oleh karenanya identitas dapat mengacu pada bentuk
konotasi apapun, seperti: sosial, politik, budaya, psikoanalisis, dsb. Pencarian
identitas baik kolektif maupun individual sendiri. 40
Donald L. Morowitz (1998), pakar politik dari Univeritas Duke,
mendefinisikan: “Politik identitas adalah pemberian garis yang tegas untuk
menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena
garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai
anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Baik Agnes
Heller maupun Donald L. Morowitz memperlihatkan sebuah benang merah yang
38
Ibn Rusyd, Republik Plato ala Ibn Rusyd, (Sadra Press, 2016), h. 76
39
Ayumadi Azra, Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural, (Indo-Islamika, Vol. I no.
2. 2012/1433), h. 233
40
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) dan menurut Manuel Castell, merupakan
sumber paling dasar dari makna atau the fundamental source of meaning (Putranto, 2004), 86-87
74
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
41
Abdullah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. (Magelang: Yayasan Adikarya IKAPI), h.
147
42
Muhammad Habibi, (Jurnal 2017) Analisis Politik Identitas Di Indonesia (Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda),
https://www.researchgate.net/publication
43
Simposium ini diadakan oleh European Centre for Social Welfare Policy dan Dr. Karl
Renner Institute, serta disponsori oleh Jewish Museum of Vienna, dan Department of Scientifict
Affairs. Hasil simposium tersebut dibukukan dalam bentuk antologi yang dieditori oleh Agnes
Heller dan Sonja Puntscher Riekmann dengan judul Biopolitics: The Politics of The Body, Race
and Nature, (Brookfield:Avebury, 1996).
44
Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62
75
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
dapat dikenali melalui berbagai bentuk, mulai dari yang samar-samar hingga agak
jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa pembentukan partai nasional yang
berbasis agama dan daerah administratif setingkat provinsi dan kabupaten atas
dasar ikatan etnis di beberapa wilayah di luar Jawa merupakan indikasi akan
terjadinya kecenderungan itu. Dalam kasus yang terakhir, pembentukan daerah-
daerah administratif di beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya
teritorialisasi identitas.
Lebih lanjut Purwanto menjelaskan, “Politik identitas (dalam buku teks
sering disebut dengan dua terminologi yang saling dipertukarkan: “identity
politics” atau “politics of identity”) merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi
politik atas dasar identitas kolektif yang sebelumnya seringkali disembunyikan
(hidden), ditekan (suppressed), atau diabaikan (neglected), baik oleh kelompok
dominan yang terdapat dalam sistem demokrasi liberal atau oleh agenda politik
kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi yang lebih
progresif. Tidak semua politik identitas mengambil bentuk sebuah perjuangan
pemisahan diri. Gerakan gay dan lesbian—atau, perjuangan yang dilakukan oleh
kelompok “orang cacat” (diffable persons)—adalah contoh lain dari politik
identitas yang terutama ditujukan untuk memperoleh pengakuan politik yang lebih
mendasar untuk memungkinkan diterimanya perlakuan yang lebih adil atas dasar
kebedaan yang bersifat khusus (peculiar) yang dimiliki dan atau melekat pada
individu”.45
Identitas tidak pernah tunggal melainkan majemuk. Identitas selalu
“berubah” menurut konteks sosial. Dengan kata lain, identitas selalu ditemukan
dalam kaitannya dengan “yang lain” (“other”). Multiplicity of identity adalah
sebuah fenomena umum yang terbentuk oleh berbagai elemen dan melalui
interaksi sosial. Elemen-elemen penting identitas dapat mengambil bentuk yang
sangat beragam: dari yang fisik (misalnya warna kulit, rambut, dan mata) sampai
yang bersifat sosial seperti sejarah, nasionalitas, gender, etnisitas, agama, tradisi,
bahasa dan dialek, kelas dan gaya hidup, serta ideologi, kepercayaan dan
sentimen. 46
Identitas ini selalu dihubungkan dengan agama atau atnisitas. Dari sudut
pandang etimologis, etnis berasal dari bahasa Yunani ‘ethnos’ yang berarti
‘penyembahan’ atau pemuja berhala’. Di Inggris, terminologi ini digunakan mulai
pertengahan abad XIV yang dalam perjalanannya mengalami reduksi ke arah
penyebutan karakter ras. Sementara di Amerika Serikat, terminologi ini digunakan
secara massif pada saat Perang Dunia I sebagai penghalus penyebutan bangsa-
bangsa yang dianggap inferior.
Meskipun terjadi perbedaan pandangan mengenai etnis, namun ditangan
para ilmuwan politik konsepsi mengenai hakekat etnisitas dimaknai dua hal:
Pertama, pembacaan realitas perbedaan bentuk penciptaan, yaitu wacana batas
45
Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62
46
Ibid., h. 63-64
76
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
47
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal,
(http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya,
Malang).
48
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal
49
L.A. Kaufffman, ”The Anti‐ Politics of Identity,” Socialist Review, (No.1, Vol. 20
Jan.‐ March 1990), hal. 67‐ 80. Analisis yang lebih komprehensif tentang politik identitas ini
77
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
dapat dibaca dalam karya Amy Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 2003), setebal 211 halaman plus catatan akhir dan indeks.
50
Syafii Maarif, Politik Identitas Dunia, (Jakarta, edisi digital 2012)
51
Cynthia B. Dillard (Nana Mansa II of Mpeasem, Ghana), To stand steadfast and love
Blackness in these political times: a comparative reflection from Ghana to the US and back again
(InternatIonal Journal of QualItatIve StudIeS In educatIon, 2017 vol. 30, no. 10, 982–987
https://doi.org/10.1080/09518398.2017.1312611) , h. 983-987
78
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
b. Konteks lokal
Seiring dengan kajian Islam dan demokrasi, fenomena kontemporer yang
menjadi mengemuka baik perhatian dikalangan ekademisi maupun yang terjadi
dalam dunia politik peraksis termasuk persoalan politik identitas, yang menurut
realitasnya suatu hal yang tidak bisa dielakan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga
diseluruh dunia. Hampir di seluruh belahan dunia, para politisi menggunakan
strategi ini termasuk Donald Trump, di Amerika, pada pemilu 2016, pemilihan
Presiden Ghana di Afrika Selatan.
Menguatnya politik identitas di ranah lokal bersamaan dengan politik
desentralisasi. Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas
semakin jelas wujudnya. Bahkan, banyak aktor politik lokal maupun nasional
secara sadar menggunakan isu ini dalam power-sharing. Di Provinsi Riau,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya yang secara nyata
menunjukkan betapa ampuhnya isu ini digunakan oleh aktor-aktor politik, ketika
berhadapan dengan entitas politik lain. 53
Yosafat Hermawan Trinugraha, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi dan
Antropologi FKIP UNS menggambarkan, “Paska runtuhnya Orde Baru, terjadi
booming organisasi Tionghoa di Indonesia. Hal ini menjadi respon atas
pengekangan kebebasan organisasi bagi masyarakat Tionghoa selama Orde Baru.
Menurut catatan PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia), terdapat
176 organisasi sosial Tiong Hoa di Jakarta , Di luar data tersebut, terdapat pula
data dari Eddie Kusuma, seorang aktivis sosial yang mendukung pluralisme dan
Ketua Perkumpulan Marga Wu, yang menyebutkan bahwa jumlah organisasi
Tionghoa di Indonesia bisa mencapai 540 pada tahun 2008, dengan berbagai
52
Amanda Keddiea, British Journal of Sociology of Education, (Identity politics, justice
and the schooling of Muslim girls: navigating the tensions between multiculturalism, group rights
and feminism, http://www.tandfonline.com/loi/cbse20a School of Education, The University of
Queensland, Brisbane, Queensland, Australia. Published online: 28 May 2013).
53
Muhtar Haboddin , Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal (Jurnal Studi
Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, ttp://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007 Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang)
79
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
80
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
Aneka konflik yang terjadi di ranah lokal, pada 1995-an hingga Orde Baru rontok
membuktikan betapa dahsyatnya kekerasan politik di tanah air. Benturan yang
berbau politik identitas tidak hanya mempermalukan para penguasa tetapi juga
para cendekiawan-ilmuwan yang selama ini merasa optimis bahwa agama, ras dan
suku bangsa akan segera hilang kekuatannya karena sudah mengalami pencerahan
dan kemajuan. Pada kenyataannya optimisme itu meleset karena mereka lupa
bahwa sentimen-sentimen primordial yang sejak semula telah ada dan akan
selamanya tetap bertahan—bahkan identitas kelompok akan mengguncang tatanan
politik yang selama ini diduga kokoh bangunannya. Pengamatan Lucian W Pye
(1993) terbukti, goncangan politik karena ledakan politik etnisitas sudah kita
rasakan pengaruhnya. Celakanya negara absen dalam melindungi warganya. Hal
ini nampak dalam pertikaian Dayak-Madura, peristiwa kekerasan politik Mei
1998 di Jakarta, pengusiran etnis Buton-Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon.
Selain berbau kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas politik etnisitas juga hadir
dan mengental dalam era politik desentralisasi. Pencarian politik etnisitas, baik
kolektif maupun individual menjadi sumber paling mendasar dan bermakna untuk
menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah. 55
C. Kesimpulan
Demokrasi bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi
mewujudkan ajaran Islam itu wajib dalam kehidupan bernegara. Banyak ayat-
ayat al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan untuk bermusyawarah. Juga
dicontohkah oleh para shahabat Nabi, bahkan Tuhan menyatakan bahwa
pemerintahan yang Islami adalah khilafah. Dan khilafah ditandai antara lain
dengan syura (musyawarah).
Islam menginginkan terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang aman,
sejahtera, makmur dan bahagia, oleh sebab itu perangkat yang dibutuhkan dalam
menjalankannya adalah: keadilan, kebersamaan, kesamaan, musyarah, merupakan
instrument yang wajib ada dalam system pemerintahan yang Islam sehingga Islam
tidak menawarkan satu bentuk Negara yang baku dan menjadi kewajiban bagi
warganya untuk menggunakannya.
55
Muhtar Haboddin, Melacak Politik Etnisitas di Indonesia ; Menguatnya Politik Identitas
di Ranah Lokal (http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas
Brawijaya, Malang. Email: muhtar_76@yahoo.com)
81
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
82
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juni) 2019, p. 63-83.
------, Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 2/VII/96,
Jakarta: LSAF-PPM,
Simposium ini diadakan oleh European Centre for Social Welfare Policy dan Dr.
Karl Renner Institute, serta disponsori oleh Jewish Museum of Vienna,
dan Department of Scientifict Affairs. Hasil simposium tersebut
dibukukan dalam bentuk antologi yang dieditori oleh Agnes Heller dan
Sonja Puntscher Riekmann dengan judul Biopolitics: The Politics of The
Body, Race and Nature, (Brookfield:Avebury, 1996).
Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review
Politik Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62
Jurnal : (http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Brawijaya, Malang). Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik
Identitas di Ranah Lokal ,
British Journal of Sociology of Education:
(http://www.tandfonline.com/loi/cbse20a School of Education, The
University of Queensland, Brisbane, Queensland, Australia. Published
online: 28 May 2013).
Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, (Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang)
Jurnal Studi Pemuda. Vol. 2, No. 2, September 2013, Jurusan Pendidikan
Sosiologi Dan Antropologi Fkip Uns
83
Hotmatua Paralihan: Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di
Indonesia
Blank page
84