Anda di halaman 1dari 5

Menag, Radikalisme, dan Moncong Oligarki

Oleh: Ans Gara


Mahasiswa STFK Ledalero
Rencana larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara
(ASN) oleh Menteri Agama, Fachrul Razil, berhasil menuai banyak tanggapan dan komentar
publik akhir-akhir ini. Sebagaimana diberitakan BBC.com (01/11), wacana larangan penggunaan
cadar itu disampaikan Menag dalam acara Lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam
Masjid di Best Western Hotel Jakarta. Sehari setelahnya, Fachrul Razil juga menyampaikan
rencana larangan penggunaan celana cingkrang bagi ASN. Bagi Fachrul, penggunaan dua atribut
keagamaan tersebut, selain tidak bersinggungan secara langsung dengan ketakwaan iman
seseorang dan merupakan produk kebudayaan Arab, juga dapat mengganggu keamanan dalam
lingkup pemerintahan.

Apabila menggunakan kerangka logika formal Aristoteles, alur pemikiran Fachrul dapat
dibedah sebagai berikut. Premis mayor dalam kerangka berpikir Fachrul ialah semua radikalis
mengganggu keamanan dalam lingkup pemerintahan. Sementara itu premis minornya ialah
pengguna(an) cadar dan cingkrang adalah radikalis. Dengan demikian, kesimpulan yang bisa
ditarik ialah pengguna(an) cadar dan celana cingkrang dapat mengganggu keamanan dalam
lingkup pemerintahan. Meskipun sang Menteri tidak secara eksplisit mencap pengguna(an) cadar
atau cingkrang sebagai radikalis, identifikasi seperti itu sebenarnya sudah terkandung secara
implisit dalam alur logikanya. Tampak bahwa logika berpikir sang menteri bertendensi
mereduksi problem besar radikalisme pada atribut dan keamanan. Konsekuensi logisnya ialah,
demikian dalam alur pemikiran Menag, mencegah penggunaan cadar dan cingkrang bagi ASN
merupakan upaya menjaga keamanan pemerintahan dari ekses negatif gerakan radikal. Lantas,
apakah problematika radikalisme berwajah agama hanya bersinggungan dengan atribut dan
keamanan sebagaimana tampak dalam alur pemikiran menteri Agama kita? Lalu, bagaimana kita
memahami wacana sang menteri dalam konteks posisinya sebagai bagian dari sebuah rezim
pemerintahan yang longgar terhadap hegemoni oligarki? Tulisan ini berusaha mengelaborasi dua
pertanyaan tersebut.

1
Dalam Moncong Oligarki

Studi demokrasi dari perspektif ekonomi politik menunjukkan bahwa demokrasi


Indonesia masih dibajak oleh kekuatan-kekuatan oligarkis baik pada jejaring lokal, nasional,
maupun transnasional. Monopoli kekuasaan pada sekelompok orang yang memiliki akses
mumpuni terhadap sumber daya ekonomi itu memang bukan merupakan kenyataan politik-
ekonomi yang baru dalam sejarah Indonesia. Hal itu sudah dimulai sejak zaman kerajaan,
kolononial, dan pasca kemerdekaan. Namun, monopoli sumber daya ekonomi dan politik pada
segelintir orang ini semakin mendapatkan momentum pasca naiknya Soeharto pada tampuk
kekuasaan selama lebih dari tiga dekade. Lewat narasi utama pembangunanisme, Soeharto telah
membidani lahirnya kapitalisme-neoliberal dalam geliat ekonomi Indonesia dan, sebagai
konsekuensi logisnya, melahirkan aliansi bisnis-politik yang bergantung pada kekusaan
Soeharto. Jelas, sebagaimana Robison (2008), kapitalisme dalam praktik demokrasi Indonesia
tidak mencuat sebagai buah keringat borjuis domestik yang otonom, tetapi timbul sebagai
realisasi imaji politik pembangunan penguasa, dalam konteks ini Soeharto. Sejurus dengan itu
Airlangga Pribadi (dalam AE Priyono dan Usman Hamid (eds.), 2014: 325) menulis, “formasi
kapitalisme yang ditopang oleh rezim otoritarianisme birokratik melahirkan kaum borjuasi
domestik yang sepenuhnya bergantung pada negara”. Di bawah kendali Soeharto, aliansi bisnis-
politik itu menancapkan taring predatorisnya pada tubuh belia demokrasi Indonesia.
Pasca reformasi, taring para oligark itu tidak serta merta keropos. Kekuatan-
keuatan yang terkoordinasi secara sentralistik di bawah patronase kekuasaan represif
Soeharto kini tersebar dan membentuk faksi-faksi sebagai suatu aliansi ekonomi politik yang
baru di Indonesia. Sebagaimana dikemukan Vedy Hadiz, mereka beradaptasi dengan konteks
baru dengan mengambil alih institusi-institusi demokrasi seperti parlemen dan partai politik
sehingga tidak tergantung lagi pada perlindungan dari aparat represif negara yang otoriter
(dalam pengantar terjemahan Indonesia Populisme Islam di Indonesia dan Timor Tengah,
2018: xvi). Kendati terfragmentasi pada sejumlah faksi, oligarki masih menghembuskan
spirit predatoris dan perburuan rente yang tidak berbeda pada masa rezim sultanik
sebelumnya. Mereka menguasai dan mengendalikan konsentrasi sumber daya mineral yang
bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial

2
eksklusifnya (Winters, 2011: 8). Untuk maksud itu, mereka bisa saja mengambil bagian
dalam kekuasaan politik yang dibentuk melalui demokrasi elektoral, tetapi juga dapat
menjadi pemain-pemain di belakang layar yang karena kekayaan materialnya memiliki
kemampuan untuk mengatur kebijakan-kebijakan berkaitan dengan kehidupan bersama agar
selalu terarah pada pengamanan status quo dan kepentingan mereka. Selain menguasai
insitusi-institusi demokrasi, kekuasaan oligarki juga merambah media-media mainstream
yang sudah barangtentu mempengaruhi formasi wacana yang beredar di ruang publik.
Sebagaimana dikemukakan Ross Tapsell (www.jstor.org, diakses 6/11/2019), para elite
politik itu menguasai media mainstream seperti TransCorp (dimiliki Chairul Tanjung), Visi
Media Asia (Aburizal Bakrie), Media Indonesia Group (Surya Paloh), MNC Group (Hary
Tanoesoedibyo), Jawa Pos Group (Dahlan Iskan), SCTV dan Indonesiar (Eddy Kusnadi
Sariaatmadja).

Dalam kekuasaan oligarki, akses terhadap politik dan ekonomi menjadi monopoli elite
politik dan kaum kapitalis. Pada titik ini, oligarki telah berhasil menciptakan jurang yang lebar
antara sebagian kecil kaum kaya dan sebagian besar masyarakat miskin. Oligarki bahkan
membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Temuan lembaga keuangan
Swiss, Credit Suisse tahun 2017 menunjukkan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai
49, 3 persen kekayaan nasional. Sementara itu Oxfam pada tahun 2017, sebagaimana ditulis
Wijayanto (transisi.org, diakses 5/11/2019), mengungkapkan bahwa empat orang terkaya di
Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin, atau sekitar
100 juta orang. Dalam satu hari, tambah Wijayanto, pendapatan dari bunga orang terkaya di
Indonesia melampaui 1000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun.
Sementara segelintir orang kaya tersebut menikmati buah manis pertumbuhan ekonomi di
Indonesia, mayoritas penduduk miskin di Indonesia masih berada pada posisi marginal dan
seringkali tidak diuntungkan dalam jagad pertarungan kepentingan ekonomi politik penguasa-
pebisnis di negeri ini. Hingga Maret 2019, BPS mencatat jumlah penduduk miskin dengan
pendekatan pengeluaran per kapita sebesar Rp425.250 per bulan sebanyak 25,14 juta penduduk
(CNNIndonesia.com). Data-data statistic tersebut secara gamblang menunjukkan adanya gap
yang besar antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia sebagai ekses negatif dari
menguatnya cengkraman oligarki dalam demokrasi Indonesia.
3
Politik Pengelabuan
Radikalisme bukanlah ideologi titisan dewa yang turun dari langit. Kendati mencuat
sebagai sebuah ideologi yang mendasari diri pada tafsiran yang kaku atas doktrin komprehensif
agama, radikalisme tidak dapat dilepaspisahkan dari struktur ekonomi politik yang menjadi
konteks percaturannya. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu, kelompok-
kelompok radikalis-fundamentalis kerapkali mencari kepastian pada doktrin komprehensif
agama. Sebagai bentuk ekstrim dari politik identitas, radikalisme atau ideologi sejenisnya tidak
berbeda jauh dari gerakan-gerakan berbasis identitas. Ide dasar kemunculan gerakan-gerakan
identitas dalam politik kontemporer ialah keadilan. Di Amerika Serikat sebagai misal, para
penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik pemerasanlah yang membangun
kesadaran golongan yang diperas, khususnya masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa
Spanyol, dan etnis-etnis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak
kepada pemilik modal yang umumnya dikuasai oleh golongan putih (L. A Kauffman, 1990
dikutip Ahmad Syafii Maarif, 2012: 4). Tidak berbeda dengan Indonesia, masifnya
perkembangan ideologi radikalisme, secara struktural, dapat dibaca sebagai reaksi atas
ketidakadilan yang menimpa kelompok tertentu. Kebijakan ekonomi politik yang dinilai
menguntungkan aliansi bisnis-politik di Indonesia itu telah berhasil membentuk struktur
ketidakadilan dan penindasan terselubung. Pada titik ini tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa pemerintah sebenarnya telah turut terlibat dalam formasi radikalisme di Indonesia melalui
kebijakan-kebijakannya yang tidak adil dan menguntungkan kekuasaan oligarki.
Ali-alih mengsimplifikasikan gerakan radikalisme pada atribut dan persoalan keamanan,
pembacaan ekonomi politik memproposalkan pentingnya dekontruksi struktur-struktur yang
tidak adil sebagai akibat dominasi aliansi politik-bisnis di Indonesia. Hal itu dapat dilakukan,
misalnya, dengan merumuskan kebijakan pembangunan yang tidak mendepolitisasi masyarakat
sebagai objek pembangunan, memperkecil angka ketimpangan dan kemiskinan, reforma agraria
yang berpihak pada kelompok marginal, jaminan sosial bagi elemen-elemen warga negara yang
paling dirugikan, dsb. Untuk konteks pemerintahan Jokowi, proposal ini seakan menjadi mimpi
di siang bolong. Sebab, rezim Jokowi masih dikitari oleh kekuatan aliansi oligarki. Kuatnya
posisi tawar mereka berpengaruh secara signifikan terhadap paket-paket kebijakan dan wacana-

4
wacana yang dihembuskan oleh kekuasaan rezim ini. Kebijakan dan wacana tersebut sangat
boleh jadi kental dengan kepentingan aliansi politik-bisnis penyokong kekuasaan.
Seturut kerangka berpikir di atas, pernyataan Fachrul Razil dapat dibaca sebagai salah
satu jurus ampuh untuk menjaga status quo dan politik pengelabuan dari sebuah rezim yang
dibajak oleh kekuatan oligarkis. Sebagai menteri pada Kabinet Kerja Jilid II pemerintahan
Jokowi, Fachrul telah turut masuk dalam sistem yang secara implisit dipandu oleh kekuatan-
kekuatan oligarkis. Preferensi seperti ini sebenarnya sudah dapat dibaca dari track record sang
menteri. Sebelum masuk dalam kabinet Jokowi, Fachrul Razi menjabat sebagai Presiden
Komisaris di PT Central Proteina Prima (CP Prima) dan Komisaris Utama di PT Antam Tbk
sejak 2015. Dia juga menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera Group milik Jenderal TNI (Purn)
Luhut Binsar Panjaitan (Tempo.co, 27/11/2018). Jelas bahwa posisi di dunia politik dan bisnis itu
menentukan disposisinya berhadapan dengan kekuasaan oligarki Indonesia. Seturut pendekatan
ekonomi politik di atas, pernyataan sang menteri sebenarnya menjadi salah satu wacana pro
kekuasaan oligarki. Oleh karena itu, dengan membalik logika sang menteri, penulis menegaskan
bahwa musuh besar kita bukanlah orang-orang bercadar atau bercingkrang yang oleh Fachrul
diidentifikasi sebagai kelompok radikalis. Musuh besar kita ialah kekuasaan oligarkis yang
membonsai gigantisme kapitalisme neoliberal yang tidak adil di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai