Nim : 1152200054 Tugas : Pendidikan Pancasila / KA Hari/Tanggal : Kamis,17 November 2022
5.Kedaultan negara bisa mengarah kepada praktek pemerintahan yang
Oligarkhis, apa yang Kalian ketahui dan bagaimana upaya pemerintahan itu (Oligarkhi) mempertahankan kekuasaannya? Berikan penjelasan dan solusi pencegahannya dari salah satu kecenderungan tersebut! JAWABAN oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer. Semua bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, teokrasi, dan monarki dapat dikendalikan oleh oligarki. Adanya konstitusi atau piagam formatif serupa tidak menghalangi kemungkinan oligarki memegang kendali yang sebenarnya atas pemerintahan.
Istilah oligarki dan plutokrasi sering membingungkan. Para pemimpin
plutokrasi selalu kaya, sedangkan para pemimpin oligarki tidak perlu kaya untuk mendapatkan kendali. Jadi, plutokrasi selalu oligarki, tetapi oligarki tidak selalu plutokrasi. Pada 600-an SM, ketika Yunani negara-kota dari Sparta dan Athena diperintah oleh kelompok elit bangsawan berpendidikan, pemerintahan oligarki berjaya. Selama abad ke-14, negara-kota Venesia dikendalikan oleh bangsawan kaya yang disebut "aristokrat". Saat Afrika Selatan berada di bawah sistem apartheid kulit putih hingga 1994, adalah contoh klasik dari sebuah negara yang diperintah oleh bentuk pemerintahan oligarki berbasis rasial. Penguasa atau pemimpin dalam sistem pemerintahan ini hanya memikirkan mempertahankan kekayaan. Hal ini disebabkan, sistem ini menganut siapa yang punya uang dialah yang akan berkuasa, sehingga mempertahankan kekayaan wajib hukumnya agar tetap berkuasa. Jadi tujuan oligarki hanya mementingkan kekayaan dan kekuasaan. Inilah yang membuat penguasa yang banyak uang bisa terus berkuasa demi meningkatkan pundi-pundi kekayaannya.
Oligarki di Indonesia Seperti diketahui, sistem pemerintahan di Indonesia
menganut sistem demokrasi. Namun, sistem demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia, mempunyai tujuan untuk memeratakan kekuasaan serta ekonomi. Jeffrey Winters yang merupakan analisis politik, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia ternyata dikuasai oleh kelompok oligarki, akibatnya sistem demokrasi semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Winters juga menjelaskan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia jauh lebih merata antara kelompok kaya dengan kelompok miskin saat tahun 1945 jika dibandingkan saat ini. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kelompok elit dan oligarki di Indonesia sudah menguasai serta mengontrol sistem demokrasi dan berlanjut Indonesia mempunyai oligarki demokrasi. Winters pun menambahkan jika sistem demokrasi yang sedang berkembang akan semakin membuat oligarki merajalela. Hal ini bukan kesalahan sistem demokrasi, melainkan kurangnya penegakan hukum. Oligarki menjadi faktor utama dalam mempengaruhi ekonomi politik di Indonesia. Oligarki sudah ada sejak masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Dan terus berlanjut hingga runtuhnya pemerintahan Soeharto, yang semula oligarki sultanistik menjadi oligarki penguasa kolektif. Lantas oligarki tidak hilang begitu saja, justru terdapat penekanan tentang bagaimana kekuasaan oligarki di Indonesia kontemporer. Richard Robison serta Vedi R. Hadiz di dalam bukunya yang berjudul Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market. Mereka menjelaskan jika oligarki yang terjadi di Indonesia tidak hilang pasca reformasi. Justru oligarki terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh Neoliberalisme. Dalam jangka pendek masyarakat pada dasarnya masih dapat “memanfaatkan” keberadaan oligarki. Hal ini karena pada wilayah konstituennya oligarki harus cerdik memahami kebutuhan masyarakat guna meraih simpati dan akhirnya memperoleh kekuasaan. Kerap ini berdampak pada munculnya kebijakan yang relevan bagi konstituen. Namun kondisi itu jelas tidak terus-menerus dapat dipertahankan. Masyarakat berpotensi besar akan larut dalam kekuasaan oligarki hingga akhirnya benar-benar sepenuhnya dikendalikan. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, perbaikan kehidupan ekonomi bangsa. Dalam catatan Jeffery Winters dalam kajiannya mengenai oligarki kurang dari 0,0000002% dari total penduduk menguasai 10% GDP di Indonesia (Jeffry Winters 2013, 1). Saat ini situasinya masih memprihatinkan karena situasi ekonomi bangsa yang belum menggembirakan, terutama bagi rakyat kebanyakan. Kondisi ini menyebabkan segelintir kalangan akhirnya dapat membeli, memengaruhi dan bahkan memanipulasi pilihan politik orang banyak, termasuk partai. Pada level politik lokal ini terjadi atau bahkan sudah dimulai saat prosesi pencarian kandidat yang akan berkontestasi. Dengan kata lain sejauh disparitas kekuatan ekonomi itu demikian tinggi, potensi oligarki akan sama tingginya. Kedua, pembenahan institusi-institusi politik dan sistem pemilu. Saat ini sudah diakui banyak kalangan terjadi politik biaya tinggi (high cost) yang disebabkan pelaksanaan pemilu yang mahal. Kemahalan itu menyebabkan eksistensi oligarki menjadi selalu relevan. Situasi ini diperburuk dengan lemahnya pelembagaan partai dan institusi demokrasi yang menyebabkan tingginya ketergantungan finansial pada pihak-pihak tertentu yang akhirnya memberi peluang pada oligarki atau plutokrat untuk memiliki akses politik. Tidak itu saja, perlu ada pemodernan partai politik seperti keharusan kaderisasi yang diharapkan akan menguatkan aspek ideologis dan mereduksi spirit pragmatisme. Dengan itu juga ketergantungan finansial yang berujung pada pelemahan kemandirian partai dapat saja pelan-pelan diakhiri. Dalam konteks pembenahan institusi, juga amat perlu adanya akselerasi dari modernisasi dan reformasi ASN secara murni dan konsisten. Ini termasuk pene- gakan disiplin yang keras atas pelanggaran ASN yang terbukti terlibat dalam politik praktis. Ini mengingat ASN kerap masih saja menjadi suatu bagian dari rekayasa oligarkis. Ketiga, penguatan budaya berdemokrasi dan masyarakat sipil. Meski dalam berbagai survei terlihat mayoritas masyarakat kita mengakui demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, budaya berdemokrasi kita tetap belum kuat. Tidak saja budaya politik uang, tetapi juga bahkan hingga level pemilihan desa yang masih marak. Namun bersikap menjadi pihak yang menang atau kalah yang baik juga masih sulit terwujud.bJuga belum berkembangnya kesadaran menjadi oposisi-kritis-objektif menyebabkan masyarakat dan elite kita masih memandang minor oposisi dan mudah sekali terbawa dalam arus kuat kekuasaan. Selain itu adalah juga mental “konservatif”, feodal, dan kelanjutan spirit illiberal democracy (David Bourchier 2015) yang memberikan jalan bagi pembenaran atas penguasaan oleh segelintir orang/oligarki. Dalam nuansa ini, keberadaan oligarki akan selalu mendapat tempat dan diterima meski jelas-jelas bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Kesemuanya jelas membutuhkan asupan penyadaran budaya berdemokrasi yang kuat. Selain itu perlu penguatan masyarakat sipil. Saat ini dalam kondisi ketika hampir semua partai ada dalam jajaran pemerintahan, maka melalui pengutatan masyarakat sipil adalah sebuah keharusan. Hanya dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam politik sajalah perlawanan atas oligarki dan elitisme akan tetap dapat diharapkan. Untuk itu masyarakat sipil (berkolaborasi dengan partai-partai oposisi yang tersisa) harus terus mengupayakan penggalangan kekuatan moral rasional secara kontinum agar pemerintah dapat terus sejalan dengan aspirasi masyarakat banyak.