Anda di halaman 1dari 5

Indonesia: Di Lingkar Luar Kebajikan Kekuasaan

PERILAKU kekuasaan yang dipertunjukkan setidaknya setahun terakhir ini di Indonesia, banyak
yang janggal dan ganjil. Menurut kriteria Machiavelli yang janggal dan ganjil itu justru sudah
tepat, tetapi tidak menurut ukuran demokrasi yang baik dan benar berdasarkan pemahaman
kebenaran yang mencipta keadilan yang berlaku universal. Suatu situasi yang bukan saja berada
di luar harapan publik, tetapi juga berjalan di luar akal sehat.
Berbagai contoh kejanggalan dan keganjilan bisa disebutkan.
Kegagalan kekuasaan eksekutif dan judikatif: Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
yang pilih-pilih tebu, pandang bulu dan kenal takut, sehingga tak kunjung tuntas, seperti kasus
Miranda Gultom dan Nyonya Nunun Nurbaeti, belakang layar kasus Mafia Hukum yang
melibatkan polisi, jaksa dan hakim; Mafia Perpajakan yang melibatkan pengusaha, aparat
keuangan negara dan akhirnya juga melibatkan polisi, jaksa dan hakim; Kasus Bank Century
serta berbagai kecurangan pemilu dan politik uang lainnya. Kesemuanya bersatu padu
mencerminkan kelemahan dan kelambanan pemerintahan SBY dalam menghadapi berbagai
persoalan.
Kegagalan kekuasaan eksekutif dan legislatif: Kekacauan pilihan sistem politik dan
pemerintahan, tarik ulur soal Undang-undang Pemilihan Umum berdasarkan selera dan
kepentingan; Kehidupan politik dan parlementer yang lebih dipenuhi pertengkaran dan bukannya
proses politik yang konstruktif; Perilaku politik koruptif, yang dilengkapi berbagai skandal
keuangan maupun sex (terbaru, anggota DPR yang mengakses situs porno saat sidang pleno);

METODE BERTENGKAR. "Kehidupan politik yang lebih dipenuhi pertengkaran dan bukannya
proses politik yang konstruktif". (Karikatur 1967, T. Sutanto)
Tekan menekan dan tawar menawar dalam penyelesaian hukum yang melibatkan kalangan
politik dan kekuasaan; Lahirnya berbagai undang-undang yang terkontaminasi berbagai
kepentingan politik dan ekonomi yang bersifat sesaat maupun berdampak jangka panjang;
Kecenderungan DPR mengabaikan aspirasi dan gagal membaca keinginan rakyat, seperti yang
terjadi dalam rencana pembangunan gedung baru DPR berbiaya 1,1 triliun rupiah lebih;
Kegagalan membersihkan pemerintahan dan kalangan politik maupun kepartaian dari unsur
korup dan anti demokrasi, anti kemanusiaan (HAM) dan mengabaikan kesetaraan gender.

Kegagalan kalangan kekuasaan dan pemuka sosial-keagamaan: Tarik menarik soal penyelesaian
yang menyangkut hak beragama dan menjalankan keyakinan agama setiap warga negara,
kekerasan dan tindas menindas dengan pengatasnamaan agama dan sebagainya; Kegagalan
memberi pencerahan dan kecerdasan dalam beragama, agar masyarakat terlepas dari
cengkeraman radikalisme dan fanatisme buta dalam kehidupan beragama.
Paling mendasar di atas segalanya, adalah kegagalan permanen dari masa ke masa, dalam
mencerdaskan bangsa dan dalam menciptakan kesejahteraan rakyat serta keadilan sosial untuk
seluruh rakyat.
APAKAH kekuasaan itu? Kekuasaan menurut Encyclopaedia Politik dalam media generasi
muda Mahasiswa Indonesia, yang banyak menjadi acuan gerakan mahasiswa 1966 dapat
diartikan sebagai daya untuk menyebarkan dan memaksakan pengaruh. Dengan kata lain,
kekuasaan adalah kemampuan yang bisa menimbulkan ketaatan orang lain. Tetapi kekuasaan
dibedakan dari kekuatan (force), wewenang (authority), kewibawaan dan pengaruh (influence).
Kalau kekuasaan dibagi dalam kekuasaan fisik dan kekuasaan psikis, maka kekuasaan fisik
itulah yang disebut kekuatan. Kekuasaan yang formal disebut wewenang atau authority.
Kekuasaan terjalin ke dalam individu atau subjek kekuasaan, sedangkan wewenang merupakan
atribut dari status (posisi). Kekuasaan adalah persetujuan yang dimotivasi oleh sanksi, sedangkan
wewenang adalah persetujuan yang dimotivasi oleh sikap ke arah legitimitasi. Dan apabila
kekuasaan itu diterima secara sukarela, maka kekuasaan itu dinamakan pengaruh (influence) atau
kewibawaan.
Kewibawaan adalah authority yang bersifat informal yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan
faktor-faktor yang ada di dalam dirinya sendiri.
Kekuasaan merupakan suatu gejala sosial yang fundamental, permanen dan serba bentuk. Di
mana saja kekuasaan selalu ada dan harus ada di dalam pergaulan manusia, dari masyarakat yang
sederhana sampai kepada masyarakat yang besar dan kompleks susunannya, dan muncul dalam
pelbagai variasi dan bentuknya. Ada kekuasaan formal dan informal, ada kekuasaan fisik dan
psikis, ada kekuasaan politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya.
Mengenai kekuasaan ini terdapat banyak teori dan analisa yang berbeda satu dengan lainnya.
Perbedaan-perbedaan itu bersumber pada bagaimana mengartikan kekuasaan itu. Ada dua
kelompok di antara teori-teori kekuasaan itu (khususnya teori-teori yang dikemukakan di
Amerika Serikat); yaitu pertama yang mengartikan kekuasaan itu sebagai dominasi yang pada
hakekatnya bersifat paksaan; dan yang kedua yang memandang kekuasaan itu sebagai
pengawasan (control).
Sangat terkenal diktum Lord Acton terhadap kekuasaan yang bertbunyi: Power tends to corrupt
and absolute power tends to corrupt absolutely (Kekuasaan cenderung untuk korup, dan
kekuasaan mutlak cenderung menjadi korup secara mutlak pula). Pandangan yang ekstrim dan
apriori dari Lord Acton ini banyak sedikitnya mengandung kebenaran, bila mengidentifikasikan
dengan individu subjek kekuasaan itu. Sifat manusia pada dasarnya ambisius, tamak dan haus
akan kekuasaan. Pengalaman menunjukkan bahwa nafsu berkuasa mudah berkembang, sehingga
orang-orang yang berkuasa mudah mempunyai pikiran yang memandang kedudukan dan
kekuasaannya lebih esensial dan lebih penting daripada guna kekuasaan itu bagi masyarakat.
Perangsang untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar akan terus berlangsung in optima
forma kekuasaan untuk kekuasaan, seperti yang telah ditunjukkan berbagai rezim di Indonesia.
Hampir sama dengan filsafat kekuasaan untuk kekuasaan yang sering yang diasosiasikan
dengan tokoh Shang Yang (Tiongkok), ialah apa yang disebut Machiavelli-isme yang berfilsafat
the end justified the means (tujuan menentukan cara).
Tetapi sesungguhnya secara objektif kekuasaan itu ansich ethis netral, tidak apriori buruk dan
tidak apriori baik, bergantung kepada manusia dalam menggunakannya. Kekuasaan itu sendiri

tidak hanya memperlihatkan segi kekerasannya yang jahat, tetapi juga segi-segi kebajikannya,
kesusilaannya, keindahannya dan segi religiusnya. Supaya sifat merusak dari kekuasaan bisa
dihindarkan, maka pemegang kekuasaan haruslah berpangkal pada penghormatan pribadi
manusia, dan memberikan tujuan-tujuan demokratis kepada kekuasaan itu.
NAMUN siapakah yang harus berperan menciptakan bangunan kekuasaan dalam konteks
kebajikan untuk membangun Indonesia? Sebenarnya, ini adalah persoalan keikutsertaan
bersama. Siapa yang bisa berperan sebagai ujung tombak?
Dalam sistem demokrasi, salah satu sumber kekuasaan adalah kepartaian.Tetapi untuk konteks
Indonesia per saat ini, dibutuhkan suatu jalan panjang sebelum partai-partai mampu
mempersembahkan suatu kekuasaan dalam konteks kebajikan itu, karena untuk sementara ini
mereka masih berkubang dalam lumpur ketidakbajikan. Kalangan militer? Itu sudah masa
lampau bagi Indonesia, meskipun sesekali masih terbersit adanya keinginan untuk kembali
mengambil peran.
Kalangan kekuatan sipil kemasyarakatan lainnya? Sembilan dari sepuluh berperilaku ala partai.
Kalangan cendekiawan perguruan tinggi? Sudah sejak lama ini perguruan tinggi difungsikan bak
kandang pemeliharaan untuk menumbuhkan spesis tukang ahli belaka, meskipun masih selalu
terjadi kekecualian. Kekuasaan tak membutuhkan terlalu banyak manusia cerdas. Kalangan
cendekiawan sendiri seringkali berperilaku cukup galak dan nalar saat masih berada di alam
bebas di tengah masyarakat, tetapi menjadi sebaliknya bila berhasil dipikat dan dijerat masuk
kandang kepentingan politik dan kekuasaan. Lihat saja perilaku sejumlah
cendekiawan/akademisi yang ada di lingkaran dalam kekuasaan, di pemerintahan maupun
kepartaian. Beberapa puluh tahun yang lalu, tokoh pers Mochtar Lubis dan kawan-kawan
menyebutkan perilaku seperti ini dengan menggunakan istilah yang amat tajam, sebagai gejala
pelacuran intelektual.
Indonesia memang masih berada di lingkar luar kebajikan kekuasaan.

Adagium Lord Acton


Boleh jadi seseorang ketika belum jadi apa-apa, ia sangat concern dengan kepapaan, tidakadilan,
intolerance, indemokratisaasi dan berbagai ketidakberfihakan terhadap rakyat kecil yang lain.
Ketika demontrasi, boleh jadi ia sebagai korlap atau sebagai orator sekaligus sebagai tameng
terdepan ketika bentrok dengan aparat. Itu terjadi ketika seseorang belum menjadi apa-apa.
Hanya orang biasa yangmencoba berontak dengan ketidak adilan.
Namun ketika sejarah telah berputar, dan seseorang tadi diberi kepercayaan untuk benar-benar
menjadi pimpinan politik dan masuk ke dalam lingkaran politik istana negara. Segera, akan
terlihat dengan serta merta maka akan muncul perubahan dalam diri individu tadi. Ia menjadi
otoriter, karena keotoriterannya ia akan berbuat nepotis alias menyingkirkan lawan-lawan politik
yang tidak berfihak pada golongan atau politiknya, bahkan untuk melanggengkan
otoritarianismenya ia harus melakukan korupsi.
Pola sikap seperti ini, jika kita cermati, maka tidak saja berlaku pada pribadi yang telah
mencapai karier politik besar menjadi Presiden misalnya, anggota dewan, menteri atau jabatan
teras yang lain. Bahkan pola sikap sepeerti ini sering dilakukan juga oleh kepala dusun, ketua rw,
ketua rt atau bahkan ketua kelas sekalipun. Ternyata tidak ada bedanya sikap politik di timur dan
di barat, begitulah adanya jika seseorang telah sampai ke atas. Maka sangat benarlah Lord Acton
yang jauh-jauh hari telah mengkaji pola prilaku politik yang demikian menjadi sebuah teori
politik yang diakui. Acton mengatakan dalam teorinya:Power tends to corrupt, absolut power
corrupt absolutely
KEKUASAAN CENDERUNG MENYELEWENG

Posted by yusufrahman on 10 Maret 2009


Politik uang (money politics) tergolong penyuapan dan dilarang oleh hukum positif dan hukum
syariah Sipenyuap dan sipemerima suap masuk neraka, tegas Nabi Muhammad SAW. Namun
perbuatan terkutuk itu sering menyertai pemilihan sesuatu jabatan politik seperti gubernur,
bupati/walikota dsb.
Kekuasaan demikian menggoda sehingga ada ada orang melakukan perbuatan terlarang guna
mencapainya. Kebiasaan buruk ini membawa kita kepada pertanyaan mengapa ada orang yang
mengejar kekuasaan bahkan melalui jalan tidak sah? Menjawab pertanyaan ini akan dirujuk teori
tentang kekuasaan.
Ada dua teori. Pertama , teori konservatif. Menurut teori ini, orang ingin memiliki kekuasaan
karena didorong oleh hasrat untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan umum. Ia sama sekali
tidak berniat untuk memperoleh keuntungan materiil dari kekuasaan yang diperolehnya. Bagi
banyak orang teori ini mungkin kedengaran aneh. Akan tetapi dalam sejarah ia pernah terjadi.
Ambillah Khalifah Umar bin Khaththab sebagai contoh. Di masa pemerintahannya uang
mengalir deras ke ibukota, Madinah. Ini sesudah ia menaklukkan dua kerajaan besar, yaitu Persia
dan Romawi Timur. Harta rampasan bertumpuk-tumpuk, dan tanah-tanah subur yang
ditinggalkan kedua kerajaan itu menghasilkan pajak yang melimpah ruah. Tanpa kecuali ia
membagi-bagikan kekayaan itu untuk seluruh rakyat, termasuk bayi sebagai tunjangan dari
negara. Besar kecilnya tunjangan ditentukan oleh suatu badan yang desebut Diwan. Untuk
keperluan itu ia mendata jumlah penduduk, dan oleh karena itu ia tercatat dalam sejarah umat
manusia sebagai orang pertama yang melakukan sensus penduduk. Siapa yang mendapat
tunjangan tertinggi? Bukan dia, tetapi Aisyah, janda Nabi. Ia sendiri tidak menerima apa-apa dari
negara. Untuk hidup ia berniaga. Diriwayatkan, ia memiliki hanya dua pasang pakaian dan tidur
di atas dedaunan pohon korma.
Sikap khalifah itu mungkin dinilai tidak realistis menurut ukuran sekarang. Dalam kontkes
moderen, bila seseorang pejabat menerima hak-hak yang diberikan negara kepadanya dan tidak
menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri atau orang lain, menurut hemat penulis,
pejabat itu sudah tergolong penganut teori konservatif. Sebagai contoh dapat disebut Zenko
Suzuki, mantan perdana menteri Jepang. Ia betul-betul bersih sehingga dijuluki Mr Clean. Di
Amerika, tidak ada presiden yang keluar dari Gedung Putih yang lebih kaya dari ketika ia masuk.
Untuk membeli sebuah rumah di New York, Hillary Clinton menulis memoar dan menjualnya.
Presiden tidak boleh menerima hadiah yang nilainya melebihi jumlah tertentu. Pada tahun 60-an
jumlah itu US$25. Hadiah yang nilainya melebihi jumlah itu menjadi milik negara. Maka,
seandainya Presiden Barrack Obama datang ke Indonesia dan oleh sekolah tempat ia pernah
belajar dihadiahi seperangkat tea service dari perak, hadiah itu tidak menjadi miliknya Ia baru
boleh memiliki hadiah misalnya berupa sehelai baju batik yang nilainya tidak lebih dari yang
dibolehkan undang-undang.
Teori kedua disebut teori liberal. Teori ini menjelaskan bahwa orang ingin memiliki kekuasaan
karena melalui kekuasaan itu ia berpeluang untuk memperoleh keuntungan materiil berupa
kekayaan. Bila pengusaha mengumpulkan kekayaan melalui aktivitas ekonomi, penganut teori
ini mengumpulkannya melalui kekuasaan. Maka baginya uang dan kekuasaan merupakan dua
sisi dari satu mata uang. Keduanya tak terpisahkan. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya
diberikan Lord Acton, negarawan Inggris abad XIX. Seperti bunyi judul tulisan ini, ia
berpendapat bahwa kekuasaan cenderung menyeleweng dan kekuasan tanpa batas pasti
menyeleweng (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely).
Pendapat Lord Acton itu sukar dibantah. Kasus jatuhnya Presiden Joseph Estrada dari Filipina
adalah akibat menerima uang suap jutaan dolar dari bandar judi. Mantan Presiden Marcos yang
represif-otoriter ditengarai mengkorup uang negara dalam jumlah besar. Di Indonesia,
penyelewengan (kita lebih suka menyebutnya KKN), demikian maraknya sehingga berbagai

lembaga survai internasioanal pernah menggolongkan negeri kita sebagai negara paling korup di
Asia ( di era pemerintahan SBY kita sudah jadi runner up). Korupsi dilakukan hampir semua
tingkatan birokrasi mulai yang tertinggi sampai yang terendah. Tidak salah kalau Bung Hatta
menyebutnya telah membudaya. Kalau hendak mencatat kelemahan Pak Harto, KKN paling
menonjol. Ia sendiri diduga terlibat di dalamnya. Maka bagaimana mungkin menciptakan
aparatur negara yang bersih dan berwibawa, bila ia sendiri tidak bersih. Hanya air yang bersih
yang bisa mencuci bersih, kata orang bijak.
Pada era reformasi, tindak pidana korupsi seharusnya berkurang.. Harapan pada mulanya
tertumpu pada Gus Dur, presiden yang paling legitimate sepanjang 55 tahun usia republik ini.
Tetapi harapan tinggal harapan. Sedikit sekali kasus-kasus besar korupsi yang dibawa ke meja
hijau. Di sisi lain, pelaku korupsi tidak lagi pihak eksekutif saja tetapi terdapat di semua lini
eksekutif, yudikatif dan legislatif. Ada yang masih jadi tersangka dan ada yang sudah divonis.
Kinerja buruk anggota dewan ini hendaknya tidak menyurutkan partisipasi pemilih mengikuti
pemilu. Bila itu menjadi alasan orang memilih golput maka pengembangan demokrasi akan
merosot.
Dari sudut pandang Islam, korupsi bisa ditangkal melalui ajaran taqwa. Tetapi mata kebanyakan
orang menjadi hijau bila berhadapan dengan uang, dan taqwa dilupakan. Oleh karena itu, korupsi
hanya bisa dihentikan bila hukum benar-benar ditegakkan (law enforcement). Namun, dari mana
harus dimulai mengingat pernuatan tercela itu seperti lingkaran setan. Ikan mulai membusuk dari
kepalanya, bunyi pepatah Arab. Yang busuk itu harus diamputasi agar tidak menjalar ke bagian
tubuh lain. Artinya, perlu diprioritaskan mengadili kasus berskala besar dan tanpa pandang bulu,
seperti diingatkan Nabi. Sesungguhnya kehancuran umat terdahulu disebabkan bila wong gede
yang mencuri hukum diabaikan, dan bila wong cilik yang mencuri hukum ditegakkan. Demi
Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri akan aku potong tangannya, tegas beliau.
Ada yang berpendapat tindak pidana korupsi dapat dikurangi dengan menerapkan sistem
pembuktian terbalik ( sang terdakwa harus bisa membuktikan di pengadilan bahwa kekayaannya
tidak diperoleh melalui cara melawan hukum) tetapi ditentang banyak orang karena sistem itu
dianggap bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocent). Maka
bagi umat Islam marilah kita berpegang teguh pada panduan Nabi dengan sungguh-sungguh
menegakkan hukum secara berkeadilan Bila Singapura dan Cina saja melaksanakan esensi ajaran
Nabi itu mengapa kita tidak?! Pekanbaru, 10 Maret 2009

Anda mungkin juga menyukai