Anda di halaman 1dari 3

Pemilu, Kekuasaan serta Bagaimana Memperolehnya?

Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) menyisakan waktu kurang lebih satu tahun. KPU dan Bawaslu
sebagai pihak penyelenggara telah mulai bekerja melaksanakan tahapan-tahapan yang sebelumnya
telah ditetapkan. Begitupun dengan partai politik (khususnya non-parlemen), mempersiapkan segala
perangkat untuk dapat memenuhi syarat lolos sebagai peserta pemilu, sehingga berpeluang
mendudukkan orang-orangnya di kursi kekuasaan, baik sebagai anggota legislatif (DPR, DPRD) atau
eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati serta Walikota).

Bagi negara republik khususnya yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, fungsi utama
pemilu untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat, atau
sebagai representasi dari kedaulatan rakyat (memilih langsung wakil dan pemimpinnya sendiri). Oleh
karenanya itu, pemilu merupakan salah satu sarana untuk legitimasi kekuasaan. Di Indonesia sendiri
pernah menerapkan jenis sistem politik yang berbeda dari waktu ke waktu, termasuk beberapa kali
pergantian sistem politik dari awal kemerdekaan hingga akhir Orde Lama, kemudian berlanjut rezim
Orde Baru, era Reformasi, hingga saat ini (era pemilihan langsung). Namun apakah kekuasaan itu?
Dan bagaimana memperolehnya?

Kekuasaan adalah wewenang yang diperoleh seseorang atau kelompok untuk menjalankan
kekuasaan sesuai dengan wewenang yang diberikan, kekuasaan tidak boleh dilakukan di luar
wewenang yang diperoleh. Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir
dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang dipengaruhinya. Secara umum kekuasaan dapat
berarti kekuasaan kelas, kekuasaan raja, kekuasaan resmi negara atau kekuasaan aparatur
bersenjata.

tidak salah bila kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain sesuai dengan
kehendak pemegang kekuasaan tersebut, baik berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma,
hubungan kerja, hukum ataupun kekuatan fisik (senjata). Kekuasaan seringkali dalam bentuk
hubungan, ada yang diperintah dan ada yang memerintah. Manusia bertindak sebagai subjek dan
objek kekuasaan itu sendiri. Misalnya Presiden membuat hukum (subject of power) tetapi juga
mentaati hukum (object of power). Di era modern sekarang, kekuasaan telah dibagi-bagi atau yang
sering kita dengar dengan istilah trias politica.

Seorang filsuf yang masuk dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia, bernama Machiavelli
melalui risalah politknya berjudul il Principe (sang pangeran) pada tahun 1532 sekarang italia, yang
dianggap sebagian besar para pemimpin dunia telah membacanya bahkan ada yang mengatakan
sebagai buku pedoman para diktator. Menjelaskan bahwa, ada dua pintu masuk seseorang dapat
memperoleh kekuasaan, yang pertama, ialah pintu keberuntungan dan yang kedua adalah pintu
kesempatan.

Maksud dari pintu keberuntungan ialah seseorang tersebut mendapatkan warisan kekuasaan dari
pendahulunya misalnya raja menurunkan tahtanya kepada anak-anaknya, atau darah garis
keturunannya mendapatkan bagian kekuasaan di wilayah yang lain. Sedangkan pintu kesempatan
ialah seseorang dengan waktu yang tepat, keberanian, daya upaya, strategi-taktik, mental juang,
pasukan sendiri, dengan kata lain, pengalaman dan sumber daya yang ia miliki, membangun
kekuasaan, baik berupa hasil peperangan ataupun penaklukan.
Apa yang dikatakan Machiavelli 6 abad yang lalu, masih kental terjadi di setiap level kontestasi
politik praktis hingga sekarang. Bahkan ada pintu baru yang lahir di dalam politik kekuasaan di
Indonesia, yang penulis sebut sebagai pintu samping yaitu militer. Sejak soeharto melalui pintu
kesempatannya mengambil-alih kekuasaan orde lama lalu berkuasa, Dwifungsi ABRI mulai di
terapkan. Angkatan Bersenjata bisa masuk dalam semua jaring lapisan masyarakat Indonesia.

Para perwira militer memegang posisi kunci dalam semua tingkat kekuasaan pemerintahan termasuk
wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, perusahaan milik negara, peradilan, dan dapat menjadi
anggota DPR tanpa proses pemilihan tapi melalui penunjukan (fraksi ABRI). Keterlibatan militer
didalam politik praktis juga ditopang oleh modal pengajaran/pendidikan politik secara formal
didalam sekolah-sekolah militer yang mereka dapatkan, baik ditubuh TNI atupun POLRI dan
puncaknya adalah LEMHANAS.

Ketika pertama kali presiden dipilih secara langsung pada tahun 2004, nampak ketiga unsur pintu
tersebut terwakili. Megawati Soekarnoputri (keberuntungan), SBY (militer) dan sisanya dari unsur
kecendikiawanan (kesempatan). Dipilpres selanjutnya pun terjadi sama, namun diluar dugaan
banyak pihak, prabowo yang merupakan jenderal militer, anak menteri dieranya sekaligus menantu
presiden dapat dikalahkan oleh seorang mantan pengrajin meubel, korban penggusuran melalui
jargon kerakyatan (populisme). Kondisi yang sama juga banyak terjadi di pemilihan kepada daerah
(pilkada).

Dari uraian sejarah politik yang ada, pintu keberuntungan/mempertahankan kekuasaan/ingin


mengulang kekuasaan keluarga yang dulu, merupakan unsur yang tidak pernah alpa dari setiap
kontestasi politik. Tapi yang menarik bagi penulis, ialah bagaimana seseorang yang awalnya masuk
melalui pintu kesempatan, menang lalu berkuasa kemudian secara sadar tanpa malu-malu
mentransformasikan dirinya membukakan pintu keberuntungan, pintu kekuasaan bagi keluarga dan
orang-orang disekitarnya, atau sering kita dengar dengan istilah politik dinasti.

Ataukah mungkin ini yang disebut sebagai penyakit dari kekuasaan, power syndrom (naluri untuk
selalu berkuasa)? Namun, bagi penulis, singkatnya, setiap orang mempunyai hak yang sama, tetapi
tidak semua orang memiliki hak yang sama untuk menikmati hak-hak tersebut. Proses perjalanan
politik anak seorang petani tentu berbeda dengan istri bupati, untuk bisa menjadi bupati. Dan yang
paling sering beruntung adalah menjadi menantu seorang yang tengah berkuasa.

Kemenangan joko widodo dalam dua kali pilpres melawan kekuatan lama yang kuat, serta tidak
terkalahkan dalam setiap kontestasi yang ia lakoni. Telah memberikan harapan kepada seluruh anak
bangsa agar tetap berani, tidak minder untuk menggantungkan cita-citanya setinggi langit, dalam hal
ini kepemimpinan apapun latar belakangnya.

Penulis berharap, agar pemilu/pilkada sebagai gerbang utama, arena perebutan mendapatkan
kekuasan politik, dapat dijalankan dengan kondusif, tidak dengan tipu muslihat, kecurangan,
kekerasan, serta sikap-sikap yang amoral, atau menghalalkan segala cara. Terhindar dari money
politik serta netralitas birokrasi yang terjaga.

Terakhir, bagaimana cara mengentaskan kemiskinan? ialah dengan memberikan kekuasaan pada si
miskin.
Penulis: Andi Affandil Haswat, S.H

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare

Anda mungkin juga menyukai