Anda di halaman 1dari 16

Tambahan buku

1. Buku pak syaiful ilmu negara. Dalam konteks negara huium modern. Yogyakarta:total
media.2010

C. Kekuasaan Negara dan Hukum Kekuasaan

Politik adalah mengenai pelaksanaan kekuasaan dalam kontrol masyarakat, dengan tujuan untuk
mengembangkan nilai-nilai atau gagasan-gagasan Sosial tertentu. Kehidupan yang melahirkan ranah
politik hanya dengan mengawinkan kapabilitas atau kekuasaan dengan faktor-faktor nilai normatif yang
relevan bagi umat manusia, Upaya itu, untuk melegitimasi pencarian akan kekuasaan. Sebaliknya hasrat
untuk kekuasaan harus diiringi oleh pengejawentahan nilai Sosial, atau seperangkat nilai, apabila ingin
memiliki kualitas politik, Sehingga kekuasaan dan politik selalu tampil bersama-sama, dan bahkan selalu
berada dalam sisi kehidupan manusia. (Iyan H Miller. Agenda Politik Internasional. Melukiskan
Perkembangan Politik Dunia Yang Luar Biasa Dramatis Dijadikan Referensi Untuk Mengetahui Hiruk
Pikuk Politik Internasional. Penerjemah Daryatno. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hlm 155.

Kekuasaan itu ada pada semua aspek kehidupan masyarakat seperti orang tua terhadap anak-anaknya,
ketua perkumpulan terhadap anggotaanggotanya, atasan dalam sistem birokrasi terhadap bawahannya
dalam lembaga legislatif, lembaga yudikatif, lembaga eksekutif, dan sebagainya. Secara umum
kekuasaan itu sering diartikan sebagai Suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain/kelompok
lain sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan itu sendiri. Oleh Miriam Budiardjo, kekuasaan
diartikan sebagai “kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku
seseorang atau orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan
dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu". Max Weber, mengartikan kekuasaan sebagai
“kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang-orang untuk menyadarkan masyarakat akan
kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan
perlawanan dari orangorang atau golongan-golongan tertentu".

Sedang Mac Iver, merumuskan kekuasaan sehagai "the capacity to control the behavior of others either
directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means", yang artinya “kemampuan untuk
mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung(pak syaiful hal. 116) dengan memberi
perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia”
Bila dihadapkan padapersoalan kekuasaan, maka orangberpendapatbahwa kekuasaan itu sering
diartikan hanya dalam bidang politik saja. kekuasaan ini dapat dilihat dari perjuangan partai-partai
politik untuk menduduki tempat-tempat yang penting di dalam negara sehingga mereka dapat
menentukan haluan negara yang menguntungkan bagi kedudukan mereka. Perjuangan-perjuangan
untuk merebut kekuasaan dalam negara sekarang ini pada umumnya sudah dihaluskan atau disublimasi
sifatnya, karena masih dipergunakan kekuatan-kekuatan fisik, maka kini perjuangan ini disalurkan
melalui badan-badan perwakilan dengan berdiskusi atau debat. Bila persoalan kekuasaan ini diartikan
dalam bidang politik saja, maka kekuasaan itu disebut monoform. Akan tetapi dalam kenyataan yang
hidup dalam masyarakat, kita juga mengenal kekuasaan-kekuasaan lain seperti kekuasaan dalam
hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya, guru dengan muridnya, majikan dengan buruhnya,
sehingga kekuasaan itu tidak berbentuk satu lagi melainkan banyak yang disebut polyform atau
multiform.(m. kusnardi op.cit)

Mengenai sifat kekuasaan yang polyform telah dikemukan oleh Beeling dalam bukunya, Kratos, Men en
Macht. la membagi kekuasaan

menurut sifatnya dalam tiga bagian yaitu:(ibid)

1. Sifat kekuasaan yang fundamental

Ialah bahwa selama manusia masih ada sejak dulu, sampai sekarang, maka kekuasaan itu selalu
merupakan dasar bagi manusia, untuk melaksanakan kehendaknya terhadap orang lain. 2. Sifat
kekuasaan yang abadi

Selama manusia masih ada, maka kekuasaan itu tidak akan hilang. Jadi sejak dahulu sampai sekarang
kekuasaan itu tetap ada.

3. Sifat kekuasaan yang multiform

Kekuasaan itu tidak hanya dikenal dalam bidang politik saja, tapi juga dalam bidang-bidang kehidupan
lainnya, (pak syaiful 117) seperti hubungan kekuasaan antara orang tua dan anaknya, hubungan
kekuasaan antara majikan dan buruhnya, hubungan kekuasaan antara guru dengan muridnya.

Selanjutnya Beeling mengatakan bahwa kekuasaan itu masih netral sifatnya selama ia masih belum
dipergunakan untuk tujuantujuan yang baik dan bermoral tinggi. Sebaliknya, jika kekuasaan itu dipakai
untuk tujuan yang tidak baik, maka akibatnya ia akan merugikan masyarakat dan negara. Bagaimanakah
jika kekuasaan itu kita hubungkan dengan negara? Negara mempunyai monopoli kekuasaan fisik kata
Von Yhcring, yang artinya negara sebagai salah satu organisasi dalam masyarakat dibedakan dengan
organ isasi-organisasi lainnya karena ia memiliki hak istimewa dalam mempergunakan kekuatan
jasmaniahnya, misalnya:

1. Negara bisa memaksakan warga negaranya untuk tunduk kepada peraturannya, jika perlu dengan
sanksi hukuman mati.

2. Negara bisa memerintahkan warga negaranya untuk mengangkat senjata untuk membela tanah
airnya, sekalipun ia berada di luar negeri.
3. Negara berhak menentukan mata uang yang berlaku dan berhak pula untuk memungut pajak.

Penggunaan kekuasaan tersebut bukan tanpa penyakit. Lord Acton mengetengahkan suatu dalil yang
amat populer yaitu, "power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”, yang artinya
"kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan” Dan Mariam
Budiarjo,mengemukakan "adalah benar, siapa saja yang memegang kekuasaan dan bagaimanapun
baiknya dijalankan, kekuasaan mempunyai penyakit-penyakitnya. Penyakit yang pertama adalah pada
pelaksanaan kekuasaan dengan lunak dan adil. Dalam kekuasaan sudah tersimpul sifatsifat tekanan dan
paksaan. Stransz-Hupe merumuskan kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan pada
orang lain. Juga Harold Laswell mengartikan kekuasaan tidak lain dan tidak bukan adalah penggunaan
paksaan yang kuat. Karena hal tersebut di atas maka timbul beberapa gagasan untuk membatasi
kekuasaan pemerintahan. Cara yang paling efektif adalah melalui hukum yaitu konstitusi, undang-
undang dan peraturan pelaksanaan lainnya. Karena pembatasan kekuasaan dilakukan melalui cara
hukum maka (pak syaiful 118) lahirlah konsep negara hukum yang demokratis, atau dengan kata Jain
pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap
warganegaranya. Negara Republik Indonesia adalah negara yang menganut konsep tersebut yang
terdapat di dalam konstitusinya.(ibid)

Suatu gerakan konstitusi lahir, karena keinginan mengatur dan membatasi hubungan kekuasaan yang
terdapat, antara negara dan warganya dan diantara organ-organ negara. Sehingga teori pembagian
kekuasaan dan pemisahannya. Maka fungsi negara hukum harus dipisahkan dalam tiga kekuasaan
negara yaitu; Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang. Kekuasaan Yudikatif, yang
menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang memberikan putusan, apabila terjadi perselisihan
antara para warganya, kekuasaan eksekutif, yang melaksanakan undang-undang memaklumkan
perang,mengadakan perdamaian dengan negaranegara lain, menjaga tata tertib, menindas
pemberontakan, dan lain-lain.(muhammad siddiq. op.cit. hlm. 76. perkembangan pemikiran teori ilmu
hukum . jakarta pradnya pramita. 2008)

1. Kewibawaan

Hal pokok dalam melaksanakan kekuasaan ialah bila kekuasaan itu diterima oleh masyarakat dan
dipatuhi. Kalau sudah dipatuhi maka segala kekuasaan berubah menjadi kewibawaan. Dengan
pengertian bahwa rakyat yang menerima kekuasaan yakin akan kebenaran dari kekuasaan itu.
Kekuasaan dalam arti kewibawaan diartikan bahwa pemegang kekuasaan memiliki sifat-sifat yang sesuai
dengan cita-cita dan keyakinan sebagian besar warga masyarakatnya. Kewibawaan ini tidak sama pada
setiap pemegang kekuasaan, karena itu dikenal beberapa macam kewibawaan. Max Weber membagi
tiga macam kewibawaan sebagai berikut :
a. Kewibawaan yang bersifat kharismatis

Kewibawaan ini terdapat pada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepribadian yang tinggi dan
istimewa. Sebagai contoh dari kewibawaan ini adalah kewibawaan para Nabi-nabi yang mempunyai
pengaruh besar terhadap pengikut-pengikutnya atau seorang presiden terhadap rakyatnya. (pak syaiful
hlm. 119) b. Kewibawaan yang bersifat tradisional. Kewibawaan ini lazimnya dimiliki oleh seorang Raja
yang karena hak warisnya mempunyai pengaruh terhadap rakyatnya. Keistimewaan pribadi yang dimiliki
oleh raja tidak ada, hanya ia menduduki tahta kerajaan berdasarkan hak waris dan karena itu rakyat
patuh kepadanya. Mungkin seorang raja tidak sepandai seorang presiden yang diplih oleh rakyatnya
tetapi ia memiliki kewibawaan sebagai simbol dari kerajaannya.

C. Kewibawaaan yang bersifat rasional Kewibawaan ini didasarkan atas pertimbangan akal pikiran
manusia yang banyak terdapat pada organisasi-organisasi modern dengan disertai disiplin yang kuat dan
birokrasi, misalnya dalam lapangan angkatan perang atau administrasi negara. (moh. kusnardi. op.cit)

Hampir sama dengan pendapat Max Weber adalah pendapat Logemann yang membagi lima macam
kewibawaan sebagai berikut:

1. Kewibawaan berdasarkan 'magic' atau kekuasaan gaib

Sebagai contoh adalah seorang guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap muridnya karena ia
mempunyai kekuatan gaib.

2. Kewibawaan berdasarakan 'dinasti' atau hak keturunan Sebagai contoh adalah seorang raja yang
dipatuhi oleh rakyatnya sebagai simbol karena hak keturunan.

3. Kewibawaan berdasarkan 'kharisma' Sebagai contoh adalah seorang Presiden yang memiliki
keistimewaan pribadi sehingga ia mempunyai pengaruh besar terhadap rakyatnya.

4. Kewibawaan yang berdasarkan atas 'kehendak rakyat melalui perwakilan' Kewibawaan ini merupakan
'mitos dari abad ke-19 yang berkumandang ke seluruh dunia sesudah Revolusi Prancis dengan semboyan
'Kedaulatan rakyat dan Perwakilan' atau Yolkssouvereinitet en representatie. (pak syaiful hal. 120) 5.
Kewibawaan daripada 'elite'

Kewibawaan ini dimiliki oleh segolongan kecil dari rakyat di dalam negara yang dapat menguasai negara.
Oleh Gaetano Mosca 'elite' disebut the ruling class, artinya klas yang memerintah. Kewibawaan ini juga
disebut sebagai'mitos dari abad ke 20. Yang dimaksud dengan golongan elite ini adalah kaum facsis dan
nasionalis sosialis atau kaum komunis sebagai perintis daripada proletariat yang ditugaskan untuk
menyebarkan pahamnya ke seluruh pelosok dunia.

2. Kedaulatan

Kedaulatan dalam perkembangan sejarah, pemikiran tentang Negara dan hukum, belum terdapat
kesatuan pendapat dari para ahli. Kedaulatan menurut Jean Bodin adalah sesuatu kekuasaan tertinggi
untuk membuat hukum di dalam suatu Negara yang sifatnya: Tunggal. Artinya hanya negaralah yang
memilinya. Asli. Maknanya kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lainnya. Abadi. Bahwa yang
mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu adalah Negara, karenanya Negara itu abadi. Tidak
dapat dibagi-bagi. Maknanya, bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang lain atau
badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya.(soehino.op.cit. hal.79)

Kekuasaan diartikan secara yuridis, maka kekuasaan disebut sebagai kedaulatan. Tentang pengertian
kedaulatan ini terdapat perbedaan pendapat. Mula-mula kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan
tertinggi yang bersifat mutlak, karena tidak ada kekuasaan lain yang mengatasinya (superlatif).
Kemudian dengan timbulnya hubungan antarbangsa dan negara, maka kedaulatan itu mulai terasa
terbatas lebih-lebih dengan adanya perjanjian-perjanjian internasional di mana dengan keterikatan
dalam perjanjian internasional tersebut berarti mengurangi kedaulatan negara keluar. Kedaulatan ke
dalam dengan dibatasi oleh hukum positifnya, sehingga arti kedaulatan ini menjadi relatif. Yang pertama
mengemukakan teori kedaulatan ini adalah Jean Bodin (1530-1596) yang mendefinisikan bahwa
'kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warganegara dan rakyat tanpa suatu pembatasan
udang-undang'. Raja tidak terikat oleh undang-undang. Ia sebagai yang dipertuan(pak syaiful hal. 121)
adalah orang yang menetapkan undang-undang. Raja mempunyai imperium, yakni hak berkuasa. Negara
adalah sama dengan raja. Dengan kata lsin rtajalah yang berdaulat.(moh. kusnardi. op.ciy.). Gagasan
kedaulatan berhubungan erat dengan dengan gagasan Negara modern. Meskipun konsep kedaulatan
bisa ditelusuri sampai ke kerajaan Romawi. Pada pertengahan abad ke 16, gagasan ini berkembang
sebagai suatu tema pokok dalam pemikiran politik. Kedaulatan merupakan cara berpikir baru mengenai
problem lama. Mengenai tempat yang tepar terhadap "kekuasaan tertinggi” dalam masyarakat, sumber
otoritas bagi kekuasaan tersebut, batasan-batasan atas kekuasaan terdebut dan tujuan-tujuan yang
menjadi arah kekuasaan. Teori kedaulatan berkembang dari pemikiran Jean Bodin, Thomas Hobbes,
Jhon Locke dan JJ Reussaeu.(david held. op cit. hlm. 46. demokrasi dan tatanan global dari negara
modern hingga pemerintah kosmopolitan. penerjemah damanhuri. yogyakarta.pustaka pelajar. 2004)

Kedaulatan, sebenarnya bersandar pada paham religious, untuk memberikan dasar yuridis, terhadap
kekuasaan Raja yang absolut pada waktu itu. Karenanya raja dianggap sebagai bayangan Tuhan. Jean
Bodin, telah berusaha meletakan dasar filosofis dari pengertian kedaulatan yang bersifat absolut.
Selanjutnya ajaran itu dikembangkan oleh Jhon Austin, seorang ahli yang berkebangsaan Inggris. (eddy
purnama. op.cit. hlm. 29. Jean Bodin, adalah berkebangsaan Perancis, dianggap orang yang pertama
melakukan pembahasan terhadap istilah, dalam kajian politik. Keda dihubungkan dengan Negara,
sebagai ciri, sebagai atribut, dari organisasi manusia. "negara kedaulatan negara analisis terhadap sistem
pemerintahan indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara lain". malang. nusa media.2007).
Pengertian kedaulatan tidak sama menurut beberapa Sarjana, karena itu kedaulatan itu sering ditinjau
menurut sejarahnya. Menurut urutan waktunya, sehingga berbagai macam kedaulatan dikenal sebagai
berikut :

a. Kedaulatan Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yakni

antara abad ke 5 sampai abad ke 15. Di dalam perkembangannya, teori ini sangat erat dengan
perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu. Yakni agama Kristen, yang kemudian diorganisir
dalam suatu organisasi keagamaan, yakni gereja yang dikepalai oleh Paus.(soehino. op.cit. hlm. 152-
153). Penganjur paham ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas. Kedaulatan yang dipegang oleh Tuhan
itu, dipegang oleh Raja, yang merupakan wakil Tuhan. Atau Raja itu dianggap Tuhan yang menjelma di
dunia. Oleh karena itu(pak syaiful hal 122) kekuatan Raja yang menjelma itu tidak boleh dibantah oleh
rakyatnya, karena membantah perintah Raja berarti menentang perintah Tuhan. Di dunia barat teori ini,
diterima sebagai teori teokrasi, yang diterima secara umum pada Zaman Reanissance, orang
membentangkan teori yang terlepas dari pengaruh kepercayaan pada Tuhan. Tetapi sampai sekarang
masih juga ada suatu kepercayaan di masyarakat, yang membesarkan kekuasaan hukum atas
kepercayaan pada Ketuhanan. Teori ini tidak hanya terdapat di dunia barat, tetapi juga di dunia timur.
Sehingg3 teori teokrasi ini tumbuh hingga sekarang , disebut juga sebagai teokrasi modern.
(samidjo.op.cit. hlm. 143-144. ilmu negara. bandung.armico.1986)

b. Kedaulatan Negara.

Penganutnya menyatakan, bahwa kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan. Negaralah yang berdaulat, yang
menciptakan hukum, sehingga segala sesuatu harus tunduk pada Negara. Hukum yang berlaku harus
dikehendaki oleh Negara. Ajaran ini dikembangkan oleh Jean Bodin. Dalam kenyataannya bahwa Negara
juga harus tunduk pada hukum. Demikian pendapat Leon Duguit. Sehingga di atas Negara masih ada
yang berdaulat, yakni hukum. (soehino.op.cit) Merenungkan kembali konflik agama dan sipil pada abad
ke 16, Bodin berpendapat, bahwa konflik itu hanya dapat dipecahkan, jika terdapat kemungkinan
mewujudkan suatu kekuasaan tertinggi yang kompeten membatalkan otoritas agama dan adat.
Kekuasaan adalah kekuasaan yang luas dan tak terbagi, untuk membuat aturan-aturan hukum.Penguasa
harus mempunyai kekuatan yang cukup, untuk menjamin agar undang-undang yang mengatur
kehidupan politik dan ekonomi dijunjung tinggi. Maka pengaruh Negara terhadap hal hal yang
dikontrolnya, merupakan pertahanan dari tatanan sosial yang dapat diatasinya, guna pencapaian
kesejahteraan rakyatnya. Pada prinsipnya, Negara, dapat menjadi Negara yang kuat dan makmur dalam
lautan konflik yang potensial. (david held. op.cit) Hukum adalah perintah dari penguasa yang
melaksanakan kekuasaannya yang tertinggi. Sehingga porsinya kedaulatan itu berada, tergantung pada
dominasi kekuasaan dan tindakan Negara. (pak syaiful hal 123)

Menurut teori ini, negara dianggap sebagai satu kesatuan ideal yang paling sempurna. Negara adalah
satu hal yang tertinggi, yang merupakan sumber dari segala kekuasaan, jadi negaralah sumber
kedaulatan dalam negara. Karena itu "negara" (dalam arti government = pemerintah) dianggap
mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty and property dari warganya. Warga negara
bersama-sama hak miliknya itu, apabila perlu dapat dikerahkan untuk kepentingan kejayaan negara.
Mereka taat kepada hukum, tidak disebabkan suatu perjanjian, tetapi karena hukum itu adalah
kehendak negara. Dalam praktik, kekuasaan negara itu dipegang oleh para penguasa saja, sehingga
menimbulkan negara kekuasaan misalnya: Jerman di bawah Adolf Hitler. Teori kedaulatan negara
tersebut lahir pada bagian kedua abad ke XIX, dan ada dua ahli hukum bangsa Jerman yang sangat
termashur, sebagai penganut teori kedaulatan negara, yaitu Paul Laband (1838 - 1918), George Jellinek
(1851 - 1911), Hans Kelsen (1881 - ) ( samidjo.op.cit.hlm.146)

1) Fase pertama : Paul Laband

Pendapat Paul Laband merupan paham pertama dari perkembangan teori positivisme atau merupakan
tumbuhnya aliran Deutche Publisizten Schule, dalam bukunya: “Dus Staatsrecht des Deutschen Reichs.”
(negara hukum kerajaan Jerman). Laband mengatakan: bahwa tidak ada negara yang tidak
berkekuasaan tertinggi. “Negara" satusatunya sumber segala kekuasaan tertinggi. Contoh: Italia di
zaman Mussolini. Aliran ini lahir sebagai reaksi terhadap hukum Romawi dan hukum Alam. Reaksi
terhadap hukum Romawi. Baik sebelumnya maupun pada waktu itu penyelidikan mengenai hukum
tergantung kepada hukum perdata, hal ini disebabkan karena terlalu memandang hukum perdata
Romawi, hingga dengan demikian maka metode penyelidikannya dikonstruksi sedemikian rupa menurut
cara hukum perdata. Maka timbullah reaksi yang menghendaki agar cara menjalankan hukum publik
jangan disamakan dengan cara yang dilakukan terhadap hukum perdata. Hal ini mengandung pengertian
bahwa bagi hukum publik seharusnya mencari objek dan metode(pak syaiful hal. 124) sendiri dengan
sifat-sifat hukum publik sendiri, sehingga dengan demikian hukum publik akan dijadikan ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri. Karena itulah para pelopor dari Deutsche Publisizten Schule (oleh von
Gerher) berusaha untuk memisahkan ilmu kenegaraan dari metode hukum perdata dan dicoba mencari
metode yang cocok untuk hukum publik. Mengapa demikian? Karena hukum perdata mengatur
hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara seseorang dengan seseorang lainnya atau antara individu
dengan individu lainnya, sehingga hubungan tersebut bersifat koordinatif, sedangkan hukum publik
mengatur hubungan hukum antara penguasa (overhead) dengan orang-orang lainnya, sehingga bersifat
subordinasi (pengabdian). Pendapat tentang hukum alam bahwa ketentuan-ketentuan (yang benar dan
baik menurut rasio, dan tidak mungkin salah, adil) dimana-mana saja ada, baik dalam negara modern,
maupun dalam negara yang primitif. Ketentuan tersebut sudah berlaku dan terdapat di dalam sanubari
manusia. Di samping itu ada ketentuan lainnya yang sesuai dengan rasio. Dan inilah yang disebut hukum
alam. Karena pemikiran tersebut, timbullah reaksi yang melahirkan positivism. Perkataan “positivism”
berasal dari bahasa Latin “positif” di mana perkataan tadi sering digunakan sehari-hari oleh rakyat jelata,
yang artinya sama dengan “relatif”, disebabkan tidak terdapatnya hukum yang bersifat abadi dan
langgeng seperti hukum alam. Hukum positif bersifat relatif karena berlakunya menurut waktu, tempat
dan bangsa yang bersangkutan. Jadi hukum yang telah lampau, berbeda dengan hukum yang sekarang,
juga hukum bagi bangsa Amerika, berbeda dengan hukum bangsa Belgia.(ibid.hlm.146-148)
2) Fase kedua: George Jellinek

Dalam perkembangan positivism pada tahap kedua diwakili oleh George Jellinek (1851 - 1911), dalam
bukunya yang sangat termashur: “Allgemeine Staatslehre”, dimana Jellinek mengatakan, bahwa negara
adalah organisasi yang dilengkapi dengan sesuatu kekuatan asli. Negara(pak syaiful hal. 125) itu “die mit
ursprunglicher Herrscher macht Ausgeruste Verbandseinheit sesshafter Mencschen” Jadi negara itu
merupakan gabungan manusia terorganisir di suatu daerah tertentu yang dilengkapi dengan suatu
kekuasaan asli akan pemerintah. "Kekuasaan/kekuatan asli" itu? Ialah kekuatan yang tidak diturunkan
dari sesuatu kekuatan atau kekuasaan lain yang derajatnya lebih tinggi. “Kekuatan asli” itu merupakan
kekuatan tertinggi. Di atas “kekuatan asli” itu tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain. Hukum ada
karena kehendak negara dan apabila negara bereaksi maka aksinya pada prinsipnya tidak dibatasi oleh
hukum. Bukankah, hukum itu buatan negara sendiri dan tidak mungkinlah negara harus tunduk pada
buatannya sendiri? Dengan lain perkataan: bahwa hukum diciptakan oleh negara sendiri, dan setiap
gerak gerik manusia dalam negara itu harus menurut kehendak negara. Sedang negara sendiri tidak
perlu tunduk di bawah hukum, karena negara sendirilah yang membuat hukum. George Jellinek
mendapat gelar “Bapak Ilmu Negara", karena memandang ilmu pengetahuan khususnya ilmu
pengetahuan kenegaraan tidak secara insidentil, melainkan secara keseluruhan yang berhasil
meletakkan seluruh lapangan penyelidikannya dalam suatu sistematik (samenhangende eenheid), yaitu
satu kesatuan dimana masing-masing bagian tidak simpang siur, melainkan ada hubungannya satu sama
lainnya, dan di dalamnya tidak ada hubungannya serta dicakup dalam satu rangka.(ibid.hlm.148)

3) Fase ketiga: Hans Kelsen (1881)

Hans Kelsen adalah seorang ahli pemikir besar tentang negaradan hukum dari Austria yang kemudian
menjadi warga negara Amerika. Bukunya antara lain: Allgemeine Ataatslehre (1925) dan Der
soziologische und der juridische Staatsbegriff (1922). Hans Kelsen adalah murid George Jellinek, sebagai
murid melanjutkan paham gurunya mengenai “Zweisseiten Theori" atau teori yang memandang negara
dari dua sudut, yakni dari sudut sosial dan dari sudut yuridis, atau lembagalembaga yuridis. Pelajaran
hukum dari Kelsen yang terkenal adalah “Reine Rechtslehre" atau pelajaran hukum murni (pak syaiful
hal. 126) (bersih). Hukum yang dibentangkan memberikan gambaran hukum yang dibersihkan dari
semua anasir yang tidak yuridis. Konsep hukum dibersihkan dari anasir etis, maka tidak memberik
tempat berlakunya hukum alam, sehingga hanya menganut ajaran hukum positif saja. Hukum sebagai
“wille des staates” (kehendak negara). Orang taat pada hukum, karena suatu keharusan sebagai
perintah negara. Hukum itu ketertiban. Kelsen hanya melihat hukum dari satu anasir saja, yakni hukum
positif, yang terdiri dari struktur piramid, yang tersusun (hierarki) “Stuvenbau des rechts", dimana yang
berlaku diatas sebagai kaedah yang tertinggi, sebagai sumbernya ialah Groundnorm. Negara identik
dengan hukum. Negara adalah suatu tertib hukum, yang bersifat memaksa, karena sifat memaksa itulah,
maka dalam negara itu ada hak memerintah dan kewajiban tunduk pada hukum, yang ditentukan oleh
negara.(ibid. hal. 150-151)
C. Kedaulatan Hukum

Kedaulatan yang tertinggi itu adalah hukum. Raja, warganya bahkan negara harus tunduk pada hukum.
Semuasikap tindaknya harus tunduk menurut hukum. Sebagaimana yang diajarkan oleh Krabbe. Yang
dalam banyak hal dipengaruhi oleh aliran historis yakni suatu aliran yang berkembang sesudah revolusi
Perancis. Dipelopori oleh Von Savigny, ajarannya, yakni hukum itu harus tumbuh di dalam masyarakat
itu, maka tidaklah mengherankan bahwa aliran ini menolak hukum yang dikodifikasikan oleh Napoleon.
Karena hukum itu adalah hukum asing yakni hukum Romawi.(soehino.op.cit). Sekitar tahun 1900, teori
kedaulatan negara (Hans Kelsen) mendapat tantangan dari beberapa pihak, antara lain dari seorang
maha guru pada Universitas Leiden yang bernama Huge Krabbe (1857 - 1936), dan bukunya yang
terkenal “Algemene Staatsleer”, Menurut Huge Krabbe, bahwa hukum itu ada, karena tiap-tiap orang
mempunyai perasaan bagaimana seharusnya

hukum itu. Hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum Seseorang, mempunyai kekuasaan (gezag).
Teori teori dinamakan teori kedaulatan hukum (theory van de rechtssouvereiniteit), jadi (pak syaiful
hal.127) hukum merupakan sumber kedaulatan. Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana adil
dan mana yang tidak adil. Mengenai hukum Krabbe mengatakan, “demikian juga halnya dengan
kekuasaan hukum yang harus kami cari dalam reaksi perasaan hukum. Jadi, kekuasaan hukum itu tidak
terletak di luar manusia, tetapi terletak di dalam manusia”. Bahkan, hukum itu tidak tergantung pada
kehendak manusia, yaitu hukum adalah sesuatu dengan kekuatan memerintah yang terdapat dalam
perasaan hukum manusia, yang sering memaksa manusia bertindak juga bertentangan dengan
kehendaknya sendiri atau bertentangan dengan suatu kecenderungan tertentu padanya. Bukan hanya
manusia di bawah perintah hukum, negara pun di bawah perintah hukum. Hukum berdaulat, yaitu di
atas segala sesuatu, termasuk negara.(samidjo.op.cit.hlm.151)

d. Kedaulatan Rakyat.

Ajaran dari kaum monarkomaken, khususnya ajaran dari Johannes Althusius, diteruskan oleh para
sarjana dari aliran hukum alam, tetapi yang terakhir ini mencapai kesimpulan baru, yaitu bahwa semula
individu-individu itu dengan melalui perjanjian masyarakat membentuk masyarakat dan kepada
masyarakat inilah para individu itu menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya masyarakat inilah
yang menyerahkan kekuasaan tersebut kepada raja.(soehino.op.cit). Menurut teori ini, negara
memperoleh kekuasaan dari rakyatnya, dan bukan dari Tuhan atau Raja. Teori ini tidak sependapat
dengan teori kedaulatan Tuhan. Mengemukakan kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh teori kedaulatan Tuhan. Kenyataan yang menimbulkan keraguan, yang mendorong
ke arah timbulnya, alam pikiran baru yang member tempat pada pikiran manusia (Renaissanse). Alam
pikiran baru ini di bidang kenegaraan melahirkan suatu alam pikiran baru yaitu teori kedaulatan rakyat.
Paham ini suatu reaksi atas kedaulatan Tuhan atau Raja, dan kemudian menjelma dalam revolusi
Prancis, sehingga dapat menguatkan seluruh dunia sekarang dalam bentuk, ” mytos abad XIX” yang
memuat paham kedaulatan rakyat dan perwakilannya.(psk syaiful hal. 128) Para penganjur paham ini
adalah, Roussesu, Montesguieu, Jhon Locke, yang terkenal dengan ajaran tentang pemisahan kekuasaan
negara, yang oleh Immanuel Kant disebut “Trias Politica”.(samidjo.op.cit.hlm.146)

Kedaulatan rakyat, kerapkali dihubungkan dengan demokrasi. Demokrasi memberikan pemahaman


bahwa sumber dari kekuasaan adalah rakyat. Dengan pemahaman seperti itu, akan melahirkan sebuah
aturan yang akan menguntungkan dan melindungi hak-haknya. Agar itu bisa terlaksana, diperlukan
sebuah peraturan bersama yang mendukung, dan menjadi dasar pijakan dalam kehidupan bernegara,
untuk menjamin dan melindungi hak-hak rakyat. Peraturan seperti itu, biasanya disebut Konstitusi.
Prinsip-prinsip demokrasi telah diterima secara luas, dan menjadi dasar bagi model pemerintahan di
dunia. Demokrasi telah menjadi tolak ukur yang fundamental, bagi ligitimasi politik pada era dewasa ini.
Pembuatan hukum dan penegakkan hukum menjadi benar, jika dilakukan secara demokratis. Banyak
negara yang dewasa ini telah menjadi negara demokrasi, meski dalam kenyataan sejarah, dari
lembagalembaga politiknya, menunjukan adanya kerentanan terhadap faktor-faktor tak demokratis.
Demokrasi modern, tidak hanya dihadapkan pada persoalan-persoalan intern demokrasi, tetapi juga
persoalan-persoalan eksternal demokrasi, karena isu demokrasi telah menembus batas-batas wilayah.
Proses dari ekonomi global, problem lingkungan hidup, serta perlindungan bagi kaum minoritas dan
yang tak teruntungkan, juga menjadi perhatian masyarakat Internasional.(harjono. transformasi
demokrasi.jakarta:sekretariat jenderal kepaniteraan, mahkamah konstitusi.2009).hlm.3-20)(pak syaiful
hal. 129).

2. Memahami ilmu politik. Ramlam surbakti. Jakarta. Pt granedia widiasarana indonesiq. 1992.

2.2.2 Thomas Hobbes

Thomas Hobbes mempunyai pandangan yang lain. Pada dasarnya manusia itu mementingkan diri sendiri
dan bersifat rasional. Oleh karena itu, secara alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesamanya.
Sifat mementingkan diri sendiri tampak dalam persaingan memperebutkan 'perolehan atau kekayaan,
ketidakberanian demi keselamatan, dan kemuliaan demi reputasi.3

Manusia disebut bersifat rasional karena akal budi dan kemampuan berbicara dan berargumentasi. Sifat
rasional ini yang memungkinkan manusia bersilang pendapat tentang apa yang baik, dan sifat itu pula
yang menyebabkan manusia mampu membedakan antara kepentingan sendiri dan kepentingan
komunitas bersama. Oleh karena itu, sifat rasional manusia cenderung menimbulkan konflik daripada
harmoni.

Karena sifat mementingkan diri sendiri cenderung merugikan orang lain, manusia harus setuju
mematuhi suatu pemerintahan yang ditetapkan berdasarkan persetujuan yang diperintah: Pemerintah
berfungsi menciptakan dan memelihara perdamaian di antara (ramlam hal.25) -
manusia. Untuk melaksanakan fungsi ini, pemerintah harus memiliki kewenangan politik yang absolut
sehingga semua warga masyarakat taat pada tertib sosial Warga masyarakat dapat lebih dipersatukan
tidak oleh suatu ikatan yang berasal dari ucapan atau kata-kata sebab ucapan atau janji manusia mudah
sekali diingkari tetapi oleh ketakutan karena akibat buruk yang akan ditimbulkan dari putusnya
hubungan antara warga masyarakat.4

Yang dimaksud dengan kewenangan yang absolut ialah putusan terakhir mengenai aturan
bertingkahlaku dalam masyarakat yang berada pada tangan pemerintah yang berdaulat. Namun,dalam
batasbatas yang ditetapkan oleh pemerintah, individu (warga masyarakat bebas hidup sesuai dengan
kehendaknya karena tujuan kewenangan yang absolut untuk mencegah seseorang bertindak yang
merugikan orang lain.

Bagi Hobbes, warga masyarakat hanya memiliki hak untuk diwakili dalam pemerintahan dan mereka
tidak memiliki hak untuk berperansertadalam pemerintahan, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles
dan Rousseau, karena adanya hak yang terakhir ini akan mengurangi kewenangan mutlak pemerintah.5

Dengan kata lain, Hobbes berpandangan kebebasan individu hanya dapat dipelihara dengan suatu
pemerintahan yang memiliki kewenangan mutlak.(ramlan hal. 26) 22.5 Karl Marx

Menurut Karl Marx" masyarakat bukan terdiri atas individuindividu — seperti pandangan Hobbes dan
Locke — melainkan terdiri atas kelas-kelas. Yang dimaksudkan dengan kelas ialah kelompok orang yarg
memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi. Karena mereka memiliki pola hubungan
yang sama terkadap sarana produksi, mereka mengembangkan pandargan yarg khas terhadap diri
mereka dan dunia sekitarnya.

Yang terpenting bagi manusia, menurut Marx adalah pekerjaannya, karena pekerjaan itulah yang
sebagian terbesar membentux wawasannya terhadap dunia sekitar. Pemilikan jenis pekerjaan yang
sama (memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi) merupakan basis alamiah suatu
kelas. Aristokrasi, intelektual, industrialis, dan pekerja merupakan cortoh-corich kelas di Eropa pada
zamannya.

Menurut Marx, seorang anggota masyarakat tidak mengembangkan dirinya secara individual dalam
situasi yang vakum, melainkan dari dan melalui kelas ia tergolong. Individu tidak membentuk nilai-nilai
mereka, tidak pula gagasan-gagasan mereka tentang politik ataupun apa saja yang menjadi kebutuhan
mereka.
Akan tetapi, gabungan dari individu itulah sebagai kelas yang membertuk nilai, gagasan, dan kebutuhan.
Seseorang mungkin ikut menyumbang pada pembentukan nilai dan gagasan, tetapi semua orang lain
juga demikian. Yang terjadi adalah setiap anggota masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh kelas mana
ia tergolong daripada sebaliknya.

Berdasarkan pengalaman dari Eropa, Marx mergajukan suatu teori dialektika-materialisme yang berisi,
semua sejarah rerupakan (ramlan hal.30) pergantian dominasi dari satu kelas terhadap kelas lain.
Dominasi suatu kelas berakhir dengan revolusi terhadap kelas yang dominan itu. Kemudian muncul kelas
baru yang mendominasi kelas lain, demikian seterusnya.

Pada abad pertengahan Eropa didominasi oleh kelas aristokrasi. Namun,di dalam kelas feodal ini
terdapat kontradiksi internal yang pada gilirannya akan menghancurkan. kelas itu sendiri. Kontradiksi
internal itu terjadi karena pada satu pihak mereka memerlukan pelayanan bank dan pedagang, namun
pada pihak lain secara etis status sosial kebangsawanan menghambat mereka melakukan pekerjaan-
pekerjaan ekonomi.

Guna melakukan pekerjaan itu, mereka membentuk kelas baru, yakni kelas kapitalis, yang bersamaan
dengan munculnya revolusi industri dan liberalisme. Kemudian kelas yang terakhir ini menjatuhkan kelas
feodal. Setelah itu, kelas kapitalis menguasai Eropa. Namun,menurut Marx, kontradiksi internal yang
melekat dalam kelas ini pula yang akan menghancurkan kelas kapitalis.

Menurut Marx, kontradiksi internal kapitalisme dapat berupa pada satu pihak persaingan bebas dan
sehat harus terwujudkan, pada pihak lain untuk dapat survive mereka memerlukan koordinasi dalam
pengadaan sarana produksi dan distribusi. Kontradiksi ini menimbulkan akumulasi kapital pada
kelompok kecil pengusaha, sedangkan di pihak lain timbul kemelaratan besar-besaran di kalangan buruh
dan penduduk pada umumnya. Mayoritas penduduk yang melarat ini kemudian melakukan revolusi
untuk menumbangkan kelas kapitalis yang minoritas. Lalu para pekerja mengambilalih pemerintahan,
dan pemerintah mengambilalih semua industri sehingga para pekerja — melalui pemerintah yang
mereka bentuk — mengendalikan industri-industri tempat mereka bekerja. Model produksi itu akan
menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap setiap pekerja.

Sejarah Eropa menunjukkan apa yang dikemukakan oleh Marx tidak seluruhnya benar. Dia benar dalam
hal jatuhnya kelas aristokrasi dengan revolusi industri dan liberalisme, tetapi dia keliru dalam perkiraan
atas kehancuran kelas kapitalisoleh kelas pekerja karena sampai sekarang kapitalisme tetap jaya di dunia
Barat, bahkan di Asia Timur dan Tenggara.

Fakta pula yang menunjukkan pemerintah negara komunis Polandia ditentang justru oleh kaum pekerja
(solidaritas) karena tidak diikutsertakan dalam manajemen industri. Runtuhnya rezim komunis di Uni
Soviet dan di negara-negara Eropa timur juga menunjukkan ide (kebebasan dan demokrasi) dan
kepemimpinan yang tepat dapat mengubah struktur masyarakat.(ramlan hal.31)

13.5 Sistem Politik Demokrasi

Dari sudut pandang struktural, sistem politik demokrasi secara ideal ialah sistem politik yang
memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus." Artinya, demokrasi memungkinkan
perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan di antara individu, di antara berbagai kelompok, di
antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara
lembaga-lembaga pemerintah.

Akan tetapi, demokrasi hanya akan mentolerir konflik yang tidak menghancurkan sistem. Untuk itu,
sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan
konflik sampai pada “penyelesaian” dalam bentuk kesepakatan (konsensus). Prinsip ini pula yang
mendasari pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi kewenangan, dan
hubungan politik dengan ekonomi. (ramlam. hal. 228)

3. Buku pokok-pokok filsafat hukum apa dan bagaimana filsafat hukum indonesia. Prof. Darii
darmodiharjo. Sidarta. Jakarta. Gramedia pustaka utama. 2008

C. POSITIVISME HUKUM

Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang “perlu memisahkan secara tegas antara hukum
dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das Sein dan das sollen).
Dalam kacamata positivis, | tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the
lawgivers). Bahkan, bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme,
berpendapat(filsafat hal.113) lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-Undang.

Positivisme Hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical
jurisprudence), dan (2) Aliran hukum murni (reine Rechtslehre). Aliran Hukum Positif yang pertama «
ipelopori oleh John Austin, dan aliran yang kedua oleh Hans Kelsen.

1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)

Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum sendiri menurut Austin, terletak pada
unsur "perintah" itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Dalam
bukunya the province of Jurisprudence Determined, Austin menyatakan, “A law is a command which
obliges a person or persons.... Laws and other commands are said to proceed from superiors, and to
bind or oblige inferiors.”
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang

menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia
memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah
yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau
sebaliknya (Lyons, 1983: 7-8).

Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: (1) hukum dari Tuhan untuk manusia , dan
(2) hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia ini dapat dibedakan
lagi dalam: (1) hukum yang sebenarnya, dan (2) hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang
sebenarnya ini (disebut juga hukum positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang
disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum -
yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olahraga. Hu (filsafat hal. 114) kum
yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu: (1) perintah (command), 2) sanksi (sanction),
(3)kewajiban(duty), dan (4) kedaulatan (sovereignty).

Buku terpenting yang pernah ditulis Austin adalah The Porvince of Jurisprudence Determined, dan
ajarannya dikenal dengan sebutan The Imperative School.

2. Aliran Hukum Murni: hans Kelsen (1881-1973)

Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis seperti unsur sosiologis,
politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre)
dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu sollenskategorie (kategori keharusan/ideal), bukan Seinskategorie
(kategori faktual).

Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.
Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah "bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law
ought to be), tetapi "apa hukumnya” (what the law is). Dengan demikian, walaupun hukum itu
Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif (tus constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius
constituendum).

Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pe. mikiran Austin, walaupun Kelsen mengatakan
bahwa waktu ja mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama sekali tidak mengetahui karya Austin
(Friedmann, 1990: 169). Walaupun demikian, asal usul filosofis antara pemikiran Kelsen dan Austin
berbeda. kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neo-kantianisme, sedangkan Austin pada
Utilitarianisme.

Kelsen dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan pemikiran kant tentang
pemisahan antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen hu um berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi
(materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum.Suatu hukum dengan demikian dapat
saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. (filsafat 115) Di sisi lain,
Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi.
Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada, dan biasanya dalam
keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum pidana,
misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan istilah dekriminalisasi dan
depenalisasi, sehingga suatu ketentuan dalam hukum positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku
lagi, terutama secara sosiologis.

Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murnri, juga dianggap berjasa mengembangkan
Teori Jenjang (Stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl (18361896). Teori ini melihat
hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari Susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih
rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan
semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma
tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama
Grundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm.

Teori jenjang dari Kelsen ini kemudian dikembangkan lagi oleh muridnya bernama Hans Nawiasky.
Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan pembahasannya pada norma hukum saja. Sebagai
penganut aliran hukum positif, hukum di sini pun diartikannya identik dengan perundangundangan
(peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa). Teori dari Nawiasky disebut die Lehre von dem
Stufenaufbau der Rechtsordnung.

Karya penting Hans Kelsen antara lain berjudul: (1) The Pure Theory of Law, dan (2) General Theory of
Law and State. Ajaran yang dikemukakan oleh Kelsen acapkali disebut Mazhab Wina.

sistem hukum indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh hans kelsen dan hans
nawiasky tersebut. hal ini tampak jelas dalam Ketetapan MPRS No.(filsafat hal.116) XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber tertib hukum republik indonesia dan Tata Urutan
Peraturan perundangan republik Indonesia. Ketetapan MPRS tersebut diperkuat lagi dengan Ketetapan
MPR No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang Berupa Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR No. IX/ MPR/1978 tentang
Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia No. V/MPR/1973.
Dua ketetapan yang disebutkan terakhir memperkuat keberlakuan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,
sekalipun dengan catatan "perlu disempurnakan”. Sayangnya, penyempurnaan yang diamanatkan oleh
dua ketetapan tersebut sampai sekarang belum optimal, sekalipun sudah diberlakukan Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 (lihat lampiran II buku ini). Beberapa ahli hukum, seperti A. Hamid S. Attamimi, telah
mencoba memberikan beberapa catatan untuk menyempurnakan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966.
Pembahas, an mengenai hal ini akan dibicarakan dalam Bab VI buku ini. (filsafat hal. 117)

Anda mungkin juga menyukai