Anda di halaman 1dari 23

BAB II

PEMBAHASAN
A. NEGARA
1. PENGERTIAN NEGARA
Secara historis pengertian negara senantiasa berkembang sesuai sengan
kondisi masyarakat pada saat itu. Pada zaman Yunani kuno para ahli filsafat
negara merumuskan pengertian negara secara beragam. Aristoteles yang hidup
pada tahun 384-322 S.M, nerumuskan negara dalam bukunya Politica,yang
disebutnya sebagai negara polis, yang pada saat itu masih dipahami negara masih
dalam suatu wilayahyang kecil. Dalam pengertian itu negara disebut sebagai
negara hukum, yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yng ikut dalam
permusyawaratan (ecclesia). Oleh karena itu menurut Aristoteles keadilan
merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya negara yang baik, demi
terwujudnya cita-cita seluruh warganya.1(BUKU 7 HAL 99)
Yang dimaksud dengan Negara adalah organisasi yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan sekelompok masyarakat yang kemudian dinamakan warga Negara,
dengan memiliki sistem atau tata kerja yang dibentuk oleh alat. Alat yang
dimaksud adalah alat perlengkapan Negara yang berwenang untuk mengatur
warga Negara agar menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah
ditetapkan oleh Negara.
Negara merupakan organisasi yang dapat memaksakan kekuasaannya secara
sah terhadap semua kelompok masyarakat yang telah menyediakan diri untuk
mengikuti peraturan dan sistem yang berlaku. Untuk mencegah terjadinya
kekuasaan yang sewenang-wenang, maka Negara harus diberi batas-batas, sejauh
mana kekuasaan itu dapat diterapkan dalam kehidupan bersama, baik oleh
individu, golongan, maupun kedaulatan kelur.
Negara memiliki kekuasaan tertinggi yang berdaulat, baik kedaulatan ke
dalam maupun kedaulatan ke luar.

1
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta:
PARADIGMA, 2017), h, 99.

3
a. Kedaulatan ke Dalam (Internal)
Negara memonopoli kekuasaan di dalam wilayahnya, tanpa ada kekuasaan
lain yang dapat menandinginya. Kekuasaan apapun yang terdapat di dalam
Negara, harus patuh pada kekuasaan yang berdaulat.

b. Kedaulatan ke Luar (Eksternal)


Negara tidak terikat dan tidak harus tunduk pada kekuasaan lain, kecuali pada
ketentuan-ketentuang yang telah disetujui.2 BUKU 1 HAL 151

2. TEORI PEMBENTUKAN NEGARA


Banyak teori tentang terbentuknya sebuah negara. Di antara teori-teori
tersebut akan dipaparkan berikut ini.

a) Teori Kontrak Sosial (Social Contract)


Teori kontrak sosial atau teori perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi
sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi
negnara tirani, karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial
antara warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini,
antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ.Rousseau.

 Thomas Hobbes (1588-1679)


Yang menyatakan bahwa kehidupan manusia terpisah dalam dua zama, yakni
keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah (status naturalis,
state of nature), dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes keadaan
alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera, tetapi
sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau,
tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu
di dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau
perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan

2
Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung: ALFABETA,
2012), h, 151.

4
alamiah lalu menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada
seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.

 John Locke (1632-1704)


Berbeda denngan Hobbes yang melihat keadaan alamiah sebagai suatu
keadaan yang kacau, John Locke melihatnya sebagai suatu keadaan yang
damai, penuh komitmen baik, saling menolong antara individu-individu di
dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun keadaan alamiah dalam
pandangan Locke merupakan sesuatu yang ideal, ia berpendapat bahwa
keadaan ideal tersebut berpotensi memunculkan kekacauan lantaran tidak
adanya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Di
sini unsur pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi menghindari
konflik diantara warga negara.Bersandar pada alasan inilah negara mutlak
didirikan. Namun demikian menurut Locke, penyelenggara nrgara atau
pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Dasar pemikiran
kontrak sosial antara negara dan warga negara dalam pandangan Locke ini
merupakan suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak
pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Hal ini disebabkan karena dalam
melakukan perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak
menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-
hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga negara yang tidak
dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.

 Jean Jacques Rousseau (1712-1778)


Berbeda dengan Hobbes dan Locke menurut Rousseau keberadaan suatu
negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk meningkatkan diri
dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik.
Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya
organisasi politiklah yang dibentuk melalui kontrak Pemerintah sebagai
pimpinan organisasi negara dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan
merupakan wakil-wakil dari warga negara yang berdaulat adalah rakyat
seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih dari sebuah

5
komisi atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut.Melalui
pandangannya ini, Rousseau dikenal sebagai peletak dasar bentuknegara yang
kedaulatannya berada di tangan rakyat melaui perwakilan organisasi politik
mereka. Dengan kata lain , ia juga sekaligus dikenal sebagai penggagas
paham negara demokrasi yang bersumberkan pada kedaulatan rakyat, yakni
rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanyalah wakil-wakil rakyat
pelaksana mandat bersama.

b) Teori Ketuhanan (Teokrasi)


Teori ketuhanan juga dikenal dengan istilah doktrin teokratis. Teori ini
ditemukan baik di Timur maupun di belahan dunia Barat. Doktrin Ketuhanan ini
memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa
di abad pertengahan yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan
mutlak para raja.
Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki pra
raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat Tuhan untuk bertakhta sebagai
penguasa. Para raja mengklain segai wakil Tuhan di dunia yang
mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya pada Tuhan, bukan kepada
manusia. Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach
(penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya,
bahkan dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah
rakyat.
Dalam sejarah tata negara Islam, pandangan teokratis serupa pernah
dijalankan oleh raja-raja Muslim sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Dengan
mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia
(khalifatullahfi al-Ard, dzillullah fi al-Ard), para penguasa Muslim tersebut pada
umumnya menjalankan kekuasaan mereka secara absolut dengan atas nama Tuhan
dan hukumnya. Serupa dengan para raja-raja di Eropa abad pertengahan, raja-raja
Muslim merasa tidak harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada
rakyat, tetapi langsung kepada Allah. Paham teokrasi islam ini pada akhirnya
melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa

6
dawlah). Pandangan ini berkembang menjadi paham bahwa dalam islam tidak ada
pemisahan antara agama (churc) dan negara (state).

c) Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena
adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan
menjadi pembenaran (rasion d’etre) dari terbentuknya sebuah negara. Melalui
proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu bangsa atau kelompok (etnis)
tertentu atau kelompok lainnya, terbentuknya suatu negara karena pertarungan
kekuatan di mana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah
negara. Peristiwa ini dapat terjadi dalam sebuah kawasan yang ditempati oleh
beragan suku, atau kehadiran suatu bangsa pada sebuah kawasan yang didiami
kelompok atau suku tertentu.3BUKU 11 HAL 137-141

3. LATAR BELAKANG PERLUNYA NEGARA


Negara merupakan wadah bagi masyarakat untuk menjalani kehidupannya.
Perlunya negara untuk melindungi individu, wilayah, dan masyarakat yang lemah
dari individu atau penguasa yang otoriter. Menurut ahli tata Negara Sokrates,
Aristoteles, dan Plato, adanya Negara dimulai 400 SM. Keberadaan negara di
dalam masyarakat menurut Thomas Van Aquino didorong oleh dua hal yaitu
manusia sebagai makhluk social (Animal Social) dan manusia sebagai makhlik
politik (Animal Politicum) manusia sebagai makhlik sosial mempunyai sifat tidak
biasa hidup sendiri dan juga sebagai makhluk politik memiliki naluri untuk
berkuasa. Oleh karena itu, menurut Thomas Hobbes, keberadaan negara sangat
diperlukan sebagai tempat berlindung bagi individu, kelompok, dan masyarakat
maupun penguasa yang kuat (otoriter), karena menurutnya manusia dengan
manusia lainnya memiliki sifat seperti serigala (Homo Homini Lupus).
Jika negara sudah terbentuk, memang ketaatan warganegaranya itu dianggap
sebagai kebiasaan ataupun mungkin karena ketakutan, kuatir dipenjarakan, ingin
diberi hadiah, untuk meminta perlindungan dan lain-lain sebab, akan tetapi

3
A Ubaedillah, Pancasila Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), h, 137-141.

7
dengan demikian kita lalu tidak menyelidiki lahirnya rasa ketaatan itu, tetapi
hanya menyatakan adanya ketaatan itulah di dalam negarayang sudah terbentuj.
Penyelidikan tentang lahirnya rasa ketaatan itulah penyelidikan tentang asal
mulanya terjadi suatu negara.
Dengan demikian, lahirnya sebuah negara adanya sebuah proses panjang dan
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sehingga dibutuhkan perjuangan dan
pengorbanan dari anggota masyarakat. Hal tersebut dilaksanakan karena anggota
masyarakat menyadari betapa pentingnya sebuah negara bagi mereka. Dalam hal
melindungi dan mengayomi mereka dalam menjalani hidup ini. Selain itu negara
ini juga sebagai tempat tinggal mereka beserta keluarga mereka. Setiap negara
yang berdiri pasti memiliki peraturan, sehingga warga negaranya harus menaati
dan patuh peraturan tersebut. Agar adanya keharmonisan dan kesejahteraan di
dalamnya.4 BUKU 5 hal 1-2

4. KONSEP DASAR NEGARA


Apakah dasar negara Republik Indonesia? Jawabannya adalah Pancasila.
Adapun dasar itu haruslah berupa suatu falsafah yang menyimpulkan kehidupan
dan cita-cita bangsa dan negara Indonesia yang merdeka. Landasan atau dasar itu
harus kuat dan kokoh agar gedung yang berdiri diatasnya akan tetap tegak sentosa
untuk selama-lamanya. Landasan itu harus pila tahan uji terhadap serangan-
serangan baik dari dalam maupun dari luar.
Keputusan PPKI menetapkan UUD 1945, yang di dalam pembukaannya kita
temukan dasar negara “Pancasila”. Oleh karena itu, secara yuridis pancasila sah
menjadi dasar negara maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat
haruslah didasari oleh pancasila. Landasan hukum pancasila sebagai dasar
member akibat hukum dan filosofi, yaitu kehidupan negara dari bangsa ini
haruslah berpedoman pada pancasila. Peraturan-peraturan selanjutnya yang
disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul
berhubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus
didasarkan atas dan berpedoman pada UUD.

4
Elvira Dewi Ginting, Pendidikan Kewarganegaraan, (Medan: USU Pers, 2019), h, 1-2.

8
Negara indonesia merupakan negara yang kehidupan masyarakatnya diatur
UUD 1945, negara yang demokratis dimana Pancasila sebagai pedoman semua
hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Pancasila sebagai konsep negara,
seebagai wajah bahwa inilah Indonesia, yang memegang teguh kesatuan dari
berbagai keragaman. Sila-sila Pancasila saling berkaitan dan tidak bisa
dipisahkan. Karena sila diatas akan mencakup semua sila-sila dibawah.5 BUKU 4
(136-137)

5. UNSUR-UNSUR NEGARA
Negara terdiri dari beberapa unsur pembentuk. Unsur-unsur pembentuk
tersebut ada yang bersifat mutlak atau konstitutif, dan adapula yang bersifat
tambahan atau deklaratif. Unsur yang pertama merupakan syarat mutlak, sehingga
apabila satu unsur saja tidak ada, maka negarapun tidah ada. Adapun unsur-unsur
negara yang masuk kategori ini, dalam rumusan Konvensi Montevidio tahun
1933, disebutkan 3 unsur penting, yakni: rakyat, wilayah, dan pemerintah yang
berdaulat. Sementara unsur tambahan atau deklaratif adalah “pengakuan dari
negara-negara lain” berikut dibawah ini akan diuraikan satu persatu mengenai
unsur-unsur pembentuk negara tersebut.
a) Rakyat
Oppenheim-Lauterparcht menyatakan bahwa dimaksud dengan rakyat adalah
kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama merupakan suatu
masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan,
menganut kepercayaan yang berlainan, atau memiliki warna kulit yang berlainan.

b) Wilayah
Oppenheim dalam buku International Law, seperti dikutip Mochtar
Kusumaatmafja dan Etty R.Agoes, menerangkan bahwa tanpa adanya wilayah
dengan batas-batas tertentu suatu negara tidak akan dianggap segala
kedaulatannya dan eksistensinya. Peranan penting dari wilayah bagi negara adalah
pertama, sebagai tempat menetap rakyat dan tempat pemerintah

5
Eka Susanti dan Toni Nasution, Pendidikan Pancasila, (Medan: CV.Widya Puspita, 2018),
h, 136-137.

9
menyelenggarakan pemerintahannya.Wilayah negara ini meliputi: daratan, lautan,
udara dan daerah ekstra territorial.
Pertama, batas wilayah daratan biasanya ditentukan dalam perjanjian dengan
negara-negara tetangga.
Kedua, lautan adalah seluruh wilayah lautan disuatu negara dengan batas-batas
tertentu dan disebut laut territorial. Laut diluar itu disebut laut terbuka.
Ketiga, wilayah udara suatu negara ada diatas wilayah daratan dan lautan negara
itu. Kekuasaan atas wilayah udara suatu negara diatur dalam perjanjian Paris
tahun 1919.
Keempat, daerah ekstra territorial ini berdasarkan hukum internasional, misalnya
mencakupi kapal laut yang berlayar dilaut terbuka dibawah bendera suatu negara
tertentu dan tempat bekerja perwakilan suatu negara tertentu.

c) Pemerintah
Unsur ketiga dari negara yang sifatnya mutlak adalah pemerintah. Disini yang
dimaksud pemerintah adalah seorang atau beberapa orang dan memerintah
menurut hukum negaranya. Berkaitan dengan itu, Utrecht menerangkan bahwa
setidaknya ada 3 pengertian pemerintah:
1) Pemerintah sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan atau kelengkapan
negara yang berkuasa memerintah dalam arti luas, yang meliputi eksekutif,
legislative, dan yudikatif.
2) Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang
berkuasa memerintah di dalam wilayah negara.
3) Pemerintah dalam arti kepala negara (presiden) bersama-sama dengan
menteri-memnterinya, yang berarti organ eksekutif.
Pemerintah sebagai unsur negara adalah pemerintah dalam pengertian luas,
yaitu gabungan seluruh alat perlengkapan negara. Pemerintah itu harus berdaulat.
Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan
melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia.

10
d) Pengakuan Dari Negara Lain
Pengakuan dari negara-negara lain tidak merupakan unsur mutlak, dalam arti
kata lain, tidak merupakan pembentuk negara, melainkan hanya bersifat
menerangkan tentang adanya suatu negara. Pengakuan dari negara lain ini terdiri
atas 2 macam, yaitu pengakuan “de facto” dan pengakuan “de jure”. Pengakkuan
de facto adalah pengakuan berdasarkan kenyataan (fakta), bahwa diatas wilayah
itu diakui telah berdiri suatu negara. Sementara pengakuan de jure adalah
pengakuan berdasarkan hukum.6 BUKU 6 (HAL 94-99)

6. SIFAT HAKIKAT NEGARA


Sifat negara berkaitan erat dengan dasar-dasar terbentuknya negara, norma
dasar (fundamental norm) yang menjadi tujuannya, falsafah hidup yang hendak
diwujudkan, dan perjalanan sejarah serta tata nilai sosial buadaya yang telah
berkembang secara turun-menurun sebagai kristalisasi nilai-nilai suatu bangsa
dalam negara tersebut. Umumnya, sifat negara mencakup hal-hal berikut.

a) Sifat Memaksa
Max Weber berpendapat bahwa negara memiliki sifat memaksa, artinya
negara mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kekuasaan fisik secara legal
(sah). Dengan mempunyai kekuasaan yang memaksa, peraturan perundang-
undangan dan kebijakan lainnya dapat ditaati oleh masyarakat sehingga terwujud
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.
Menurut Harold J. Laski, sifat dan hakikat negara terletak dalam
kekuasaannya untuk melaksanakan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh
negara kepada setiap orang yang hidup dalam siatu negara.

b) Sifat Monopoli
Negara mempunyai sifat monopoli, artinya negara mempunyai kekuasaan
untuk menetapkan tujuan bersama masyarakat. Apabila warga negara dan
masyarakat mengingkari dan melanggar hal tersebut, maka negara dapat
mengambil tindakan sesuai dengan hhukum yang berlaku.

6
Usiono, Pendidikan Kewarganegaraan, (Medan: Perdana Publishing, 2018), h, 94-99.

11
c) Sifat Mencakup Semua (All-Encompasing, All-Emracing)
Negara mempunyai sifat mencakup semua, artinya semua peraturan
perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali, sebagaimana
ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1), “segala warga negara
bersamaankedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajid
menjunjung hukum dan pemerintahanitu dengan tidak ada kecualinya”.
Dalam sifat mencakup semua tidak ada warga negara kelas satu. Semua orang
sama di hadapan hukum dan tanpa diskriminasi politik, hukum, sosial budaya, dan
ras. Jika dalam suatu negara tidak terdapat kesamaan hak, berarti ada sebagian
warga negara yang boleh tidak menaati hukum. Dengan demikian negara tidak
mampu melaksanakan tugas dan tujuan utamanya.7 BUKU 8 (HAL 5-6)

7. BENTUK NEGARA
Secara umum, bentuk negara dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1) Negara Kesatuan (Unitaries)
Negara kesatuan merupakan negara merdeka dan berdaulat yang
pemerintahannya diatur oleh pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan
pemerintah pusat mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk mengatur seluruh
wilayah negara. Melalui pembentukan pemerintahan daerah seperti provinsi,
kotamadya/kabupaten dan seterusnya sampai kepada pemerintahan yang paling
rendah.
a) Negara Kesatuan dengan Sistem Sentralisasi
Negara kesatuan dengan sisten sentralisasi, seluruh kegiatan pemerintahan
disenggarakan oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya
melaksanakan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat. Jadi, daerah tidak
mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan daerahnya sendiri.

b) Negara Kesatuan dengan Sistem Desentralisasi


Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi memberi hak otonim kepada
daerah, yaitu kekuasaan untuk mengatur urusan daerahnya berdasarkan inisiatif

7
Hasim, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bogor: PT.QUADRA INTI SOLUSI , 2011), h, 5-
6.

12
sendiri. Meskipun demikian, kekuasaan tertinggi tetap terletak pada pemerintah
pusat atau tidak dibagi-bagikan kepada pemerintah daerah yang ada di wilayah
negara tersebut. Sekalipun ada pembagian daerah, tetapi tidak dalam bentuk suatu
negara.
2) Negara Federasi ( Serikat = Bondstaat )
Negara serikat adalah suatu bentuk negara yang terdiri dari gabungan
beberapa negara bagian. Kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah serikat, antara
lain sebagai berikut
a) Hal-hal yang menyangkut kedudukan negara sebagai subjek hukum
internasional.
b) Hal mutlak mengenai keselamatan negara dan bangsa.
c) Mengenai konstitusi dan organisasi pemerintahan dan hal yang dipandang
perlu oleh pemerintah federal.
d) Hal yang berhubungan dengan pembiayaan pemerintahan federal
e) Hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama antar negara bagian8 BUKU
8 (HAL 12-15)

8. TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA


a) Tujuan Negara
 Menciptakan keadaan agar rakyat dapat mencapai keinginan secara
maksimal.
 Memajukan kesusilaan manusia sebagai individu dan sebagai makhluk
sosial.
 Untuk mencapai kehidupan dan penghidupan yang aman dan tentram
dengan taat kepada Tuhan.
 Memelihara dan menjamin terlaksananyahak asasi manusia.

b) Fungsi Negara
 Menjaga keamanan dan ketertiban.
 Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

8
Hasim, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bogor: PT.QUADRA INTI SOLUSI , 2011), h, 12-
15.

13
 Melaksanakan pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar
dengan perlengkapan alat-alat pertahanan modern.
 Menegakkan keadilan yang dilaksanakan oleh badan badan peradilan.9
BUKU 1 hal 152

B. WARGANEGARA
1. PENGERTIAN WARGANEGARA
Warganegara adalah mereka yang berdasarkan undang-undang yang berlaku
diakui sebagai warga negara atau melaui proses naturalisasi (pewarganegaraan).
Pada umumnya ada 2 kelompok warga negara dalan suatu negara. Yakni
warga yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel pasif atau
dikenal juga dengan warga negara by operation law (berdasarkan hukum yang
berlaku) atau melalui stelsel aktif atau yang lebih dikenal dengan by registration
(menyediakan diri untuk mrnjadi warganegara).
Dalam penjelasan umum UU No. 62/1958 bahwa ada 7 cara memperoleh
kewarganegaraan Indonesia yaitu:
1) Karena kelahiran
2) Karena pengangkatan
3) Karena dikabulkannya permohonan
4) Karena pewarganegaraan
5) Karena perkawinan
6) Karena turut ayah atau ibu
7) Karena pernyataan
Berdasar Undang-undang yang sama, umtuk memperoleh status
kewarganegaraan Indonesia diperlukan bukti-bukti sebagai berikut:
1) Surat Bukti Kewarganegaraan untuk mereka yang mendapatkan
kewarganegaraan karena kelahiran yaitu, akte kelahiran
2) Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pengangkatan adalah kutipan pernyataan
sah Catatan pengangkatan Anak Asing sari Peraturan Pemerintah No.

9
Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung: ALFABETA,
2012), h, 152.

14
67/1958, sesuai dengan surat Edaran menteri kehakiman No. JB.3/2/25, butir
6 tanggal 5 januari 1959.
3) Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah
Petikan keputusan Presiden tentang permohonan tersebut.
4) Surat Bukti Kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur
dalam surat edaran materi kehakiman No. JB 3/166/22, tanggal 30 September
1958 tentang memperoleh/ kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
dengan pernyataan.
Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pewarganegaraan adalah petikan keputusan
presiden tentang pewarganegaraan tersebut yang diberikan setelah pemohon
mengangkat sumpah dan janji setia.10BUKU 1 HAL 153

2. ASAS DAN SYARAT SEBAGAI WARGA NEGARA


Warga negara merupakan anggota sebuah negara yang mempunyai tanggung
jawab dan hubungan timbal balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui
sebagai warga negara dalam suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan
ketentuan yang telah disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan ini menjadi asas
atau pedoman untuk menentukan status kewarganegaraan untuk menentukan asas
kewarganegaraan seseorang.
Dalam memnerapkan asas kewarganegaraan ini, dikenal dengan dua
pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas
kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada dua asas
kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius
sanguinis (keturunan). Adapun dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan
hukum dan asas persamaan derajat.

10
Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung: ALFABETA,
2012), h, 153.

15
1. Dari Sisi Kelahiran
Pada umumnya penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada sisi kelahiran
seseorang (sebagaimana disebut diatas) dikenal dengan dua asas
kewarganegaraan, yaitu ius soli dan ius sanguinisis. Kedua istilah tersebut berasal
dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, Soli berasal dari kata
solum yang berarti negeri, tanah atau daerah dan sanguinis berasal dari kata
sanguis yangn berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman
kewarganegaraan yang bebrdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius
sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan dara atau kelahiran.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asasius soli, maka seorang yang
dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak sebagai warga negara. Begitu pula
dengan asas ius sanguinis. Jika sebuah negara menganut asas ius sanguinis, maka
seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara,
Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak mendapatkan status
kewarganegaraan orang tuanya, yakni warganegara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya satu,
yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang
lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis dia menjadi warga negara
tersebut. Akan tetapi, dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia,
diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran
saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain juga berdasarkan realitas empirik
bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini
akan bermasalah jika kemudian orangtua tersebut melahirkan anak ditempat salah
satu orangtuanya. Jika menganut asas ius soli, maka si anak hanya akan
mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas
status kewarganegaraan bapaknya.atas dasar itulah, maka maka asas ius sanguinis
dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status kewarganegaraan bapaknya.

2. Dari Sisi Perkawinan


Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan
seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencakup asas kesatuan
hukum dan asas persamaan derajat. Asas Kesatuan Hukum berdasarkan pada

16
paradigma bahwa suami istri maupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat
yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya suami istri maupun keluarga
yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami istri,
maka semuanya harus tunduk pada hukukm yang sama. Dengan adanya kesamaan
pemahaman dan komitmen menjalankan kesamaan atas dasar hukukm yang sama
tersebut, menisacayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-
masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan
kesejahteraan keluarga.
Adapun asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak
menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik
suami ataupun istri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain,
sekalipun sudah menjadi suami istri, mereka tetap memiliki status
kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi
suami istri.
Asas ini dapat menghindari tetrjadinya penyelundupan hukum. Misalnya,
seseorang berkewarganegaaran asing ingin memperoleh status kewarganegaraan
suatu negara dengan cara atau berpura-berpura melakukan pernikahan dengan
perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebur
memperoleh kewrgamegaraan yang diinginkan, maka selanjutnya ia menceraikan
istrinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara
menggunakan asas persamaan derajat dan peraturan kewarganegaraannya.
Unsur-unsur penentu kewarganegaraan
Dalam penentuan kewarganegaraan seseorang ada beberapa cara yang
dilakukan. Cara tersebut di dasarkan pada beberapa unsur (baca; Ubadillah dan
Abdul Rozak, 2016: 126-129) yaitu:
a. Unsur darah keturunan (Ius Sanguinis)
Dalam unsur ini cara memperoleh suatu kewarganegaraan didasarkan pada
kewarganegaraan orang tuanya maksutnya, kewarganegaraan orang tuanya
menentukan kewarganegaraan anaknya. Misalkan jika seseorang dilahirkan dari

17
orang tua yang berkewarganegaraan di indonesia, maka ia dengan sendirinya telah
berkewarganegraan di indonesia.
Prinsip ini merupakan prinsip yang asli telah berlaku sejak dahulu, hal
tersebut terbukti dalam sistem kesukuan, dimana seorang anak terlahir dalam
suatu suku dengan sendirinya ia langsung menjadi suku tersebut. Sekarang prinsip
tersebut diterapkan beberapa negara di dunia, yaitu negara Inggris, Amerika
Serikat, Francis, Jepang, dan juga negara yang kita cintai, Indonesia
Jadi pada cara penentuan kewarganegaraan ini didaasarkan pada salah satu
asas kewargamegaraan, yaitu asas keturunan (Ius Sanguinis), yang dimana
seseorang dengan sendirinya atau seacara langsung tanpa melalui beberapa tahap
yang rumit dapat memilih kewarganegaraan seperti yang dimiliki oleh kedua
orang tuanya.

b. Unsur daerah tempat kelahiran (ius soli)


Pada unsur ini, kewarganegaraan seseorang dapat ditentukan bebrdasarkan
daerah tempat ia dilahirkan. Misalkan ada seseorang dilahirkan didalam daerah
atau wilayah hukum negara Indonesia, maka dengan sendirinya pun ia memiliki
kewarganegaraan Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps di politik dan
anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Disamping dan bersama-
sama dengan prinsip ius smguinis, prinsip ius soli ini juga berlaku di negara
Amerika Serikat, Inggris Prancis, dan juga Indonesia.

c. Unsur kewarganegaraan (naturalisasi)


Seseorang yang tidak memenuhi syarat kewarganegaraan ius soli dan ius
sanguinis tetap bisa mendapatkan atau memperoleh kewarganegaran, yaitu
dengan kewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur unsur ini
diberbagai negara itu berbeda. Perbedaan tersebut dikarenakan kondisi dan situasi
negaranya.
Dalam kewarganegaraan ini ada yang aktif adapula yang pasif. Dalam
pewarganegaraan aktif, seorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau
mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Adapun
pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan oleh suatu

18
negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang
bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak
pemberian kewarganegaraan tersebut.11 BUKU 3 hal (102-106)

Asas kewarganegaraan khusus :


a. Asas Kepentingan Nasional
Adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaran
mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan
kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya
sendiri.

b. Asas Perlindungan Maksimum


Adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan
perlindungan penuh kepada setiap warga nengara Indonesia dalam keadaan
apapun, baik didalam maupun diluar negeri.

c. Asas Persamaan Di Dalam Hukum Dan Pemerintahan


Adalah asas yang menentukan bahwa peraturan setiap warga negara Indonesia
mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

d. Asas Kebenaran Substansif


Adalah asas dimana prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat
administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

e. Asas Non-Diskriminatif
Adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis

11
Saidurrahman dan Arifinsyah, Pendidikan Kewarganegaraan NKRI Harga Mati, (Jakarta:
KENCANA, 2018), h, 102-106.

19
kelamin serta harus menjamin, melindungi, dan memuliakan HAM pada
umumnya dan hak warga negara pada khususnya.

f. Asas Pengakuan dan Penghormatan Terhadap HAM


Adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga
negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin serta harus menjamin
melindungi, dan memuliakan HAM pada umumnya dan hak warga negara pada
khususnya.

g. Asas Keterbukaan
Adalah asas yang menentukan bahwa segala hal ikhwal yang berhubungan
dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

h. Asas Publisitas
Adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh dan atau
kehilangan kewarganegaraan RI agar masyarakat mengetahuinya.

Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap warga negara


dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas
problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Apatride
adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride
adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan rangkap (dua).
Bahkan dapat muncul multipratide yaitu istilah untuk orangn-orang yang
memiliki kewarganegaraan banyak (lebih dari dua).12 BUKU 5 hal 49-50

3. WUJUD HUBUNGAN WARGA NEGARA DENGAN NEGARA


Wujud hubungan antara warga negara dengan negara pada umumnya berupa
peran (role), hak dan kewajiban. Peran pada dasarnya adalah tugas apa yang
dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki dalam hal ini sebagai warga negara.
Istilah peran dapat dipersamakan dengan partisipasi warga negara, sebagai salah
satu atribut kewarganegaraan. Secara teoritis status warga negara meliputi status

12
Elvira Dewi Ginting, Pendidikan Kewarganegaraan, (Medan: USU Pers, 2019), h, 49-50.

20
pasif, aktif, negatif dan positif. Peran warga negara juga meliputi peran yang
pasif, aktif, negatif, dan positif (Cholisin, 2000).
Peran pasif adalah kepatuhan warga negara terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau kebijakan politik yang ada. Peran aktif merupakan
aktifitas warga negara untuk terlibat (berpartisipasi) serta ambil bagian dalam
kehidupan bernegara, terutama dalam memengaruhi keputusan publik. Peran
positif merupakan aktivitas warga negara untuk meminta pelayanan dari negara
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peran negatif merupakan aktifitas warga
negara untuk menolak campur tangan negara dalam persoalan pribadi warga.
Di Indonesia, bentuk hubungan antara warga negara dengan negara secara
legal telah diatu dalam UUD 1945. Hubungan antara warga negara dengan negara
Indonesia tersebut digambarkan dengan baik dalam pengaturan mengenai hak dan
kewajiban. Baik itu hak dan kewajiban warga negara terhadap negara maupun hak
dan kewajiban negara terhadap warganya. Ketentuan selanjutnya mengenai hak
dan kewajiban warga negara di berbagai bidang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dasar. Akan tetapi, disamping
pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara, sebuah undang-undang
kadang pula memuat bentuk-bentuk partisipasi warga negara di bidang yang
sesuai dengan isi undang-undang tersebut.13 BUKU 2 HAL 50

4. HAK DAN KEWAJIBAN WARGANEGARA


a) Hak-Hak Warga Negara
Hak-hak warga negara RI rumusannya secara umum dapat kita temukan
dalam UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
1) Hak WN diperlakukan sama di depan hukum dan pemerintah
2) Hak WN atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
3) Hak/kemerdekaan WNI berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran
secara lisan/tulisan
4) Hak/kemerdekaan WNI untuk memeluk agama
5) Hak dan kewajiban WN dalam upaya pertahanan dan keamanan (hankam)

13
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah Di Perguruan
Tinggi, (Jakarta: PT.BUMI AKSARA, 2013), h, 50.

21
6) Hak WN mendapatkan pendidikan dan pengajaran
7) Hak fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.14 BUKU 9 (HAK)
HAL: 23-28

b) Kewajiban Warga Negara Indonesia


1) Kewajiban menanti hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
yaitu segala warga negarakedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
2) Kewajiban membela negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
3) Kewajiban dalam upaya pertahanan negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945
menyatakan: Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.15 BUKU 10(KWJ) hal 44-45

5. TANGGUNG JAWAB SEBAGAI WARGA NEGARA


Dalam UUD 1945 pasal 26 dinyatakan bahwa yang menjadi warga negara
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan
oleh undang-undang sebagai warga negara. Warga negara memiliki peranan yang
sangat besar dalam kemajuan negaranya bahkan di sebagian besar negara di dunia
peranan warga negara memiliki pengaruh yang jauh lebih besar daripada
pemerintahannya. Dalam hal ini tentu saja warga negara yang dapat memajukan
negaranya adalah warga negara yang bertanggung jawab.

14
Mardenis, Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Rangka Pembangunan Kepribadian
Bangsa, (Depok: PT.RAJA GRAFINDO PERSADA, 2018), h, 23-28.
15
Sarbaeni Saleh, Pendidikan Kewarganegaraan Mewujudkan Masyarakat Madani,
(Bandung: Cita Pustaka Perintis, 2017), h, 44-45.

22
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, maka tentu memiliki
karakteristik yang positif terhadap negaranya. Adapun karakter yang dimaksud
yaitu sebagai berikut:
a) Saling Menghormati dan Bertanggung Jawab
b) Kritis dalam Berpikir dan Bertindak
c) Saling Diskusi dan Pikiran
d) Terbuka dan rasional
e) Jujur dan Adil.16 BUKU 3 hal 112-119

16
Saidurrahman dan Arifinsyah, Pendidikan Kewarganegaraan NKRI Harga Mati,(Jakarta:
KENCANA, 2018),

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebuah negara akan maju atau tidak semua tergantung pada warga negara
karena negara adalah sekelompok orang yang telah lama mendiami suatu tempat
tertentu, jadi dalam suatu negara hukum harus bersikap tegas karena tanpa adanya
ketegasan hukum terhadap warga negara maka warga negara tidak akan pernah
sadar bahwa hidup mereka tergantung pada negara. Bila suatu negara maju maka
warga negaranya akan aman, tenteram dan sejahtera begitupun sebaliknya

B. Saran
Untuk menjaga keutuhan negara, kita harus saling menghormati satu sama
lain. Dan yang terpenting adalah meninggalkan kebiasaan untuk melanggar
hukum, karena hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan sebuah negara. Kita
harus terus mengeratkan tali persaudaraan antara warga negara. Dan bertekat
untuk terus mempertahankan kemerdekaan negara dan mengembangkannya.
Dilihat dari sisi pemerintah, hendaknya pemerintah membuat peraturan yang
terbuka kepada rakyat

24
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, Hamid. 2012. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:


ALFABETA.
Ginting, Elvira Dewi. 2019. Pendidikan Kewarganegaraan. Medan: Perdana
Publishing.
Hasim. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Bogor: PT.QUADRA INTI
SOLUSI.
Kaelan. 2017. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: PARADIGMA.
Mardenis. 2018. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Rangka Pembangunan
Kepribadian Bangsa.
Saidurrahman, dan Arifinsyah. 2018. Pendidikan Kewarganegaraan NKRI Harga
Mati. Jakarta: KENCANA.
Saleh, Sarbaeni. 2017. Pendidikan Kewarganegaraan Mewujudkan Masyarakat
Madani. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Susanti, Eka, dan Toni Nasution. 2018. Pendidikan Pancasila. Medan: CV.
Widya Puspita.
Ubaedillah, A. 2015. Pancasila Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi. Jakarta:
PRENADA MEDIA GROUP.
Usiono. 2018. Pendidikan Kewarganegaraan. Medan: Perdana Publishing.
Winarno. 2013. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah
Di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT.BUMI AKSARA.

25

Anda mungkin juga menyukai