Anda di halaman 1dari 20

TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI

“POTRET MANUSIA EKONOMI ISLAM”


DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

1. ELFA FITRIANI (0502183143)


2. MELIA SYAHFITRI (0502181028)
3. M. RIDWAN PINEM (0502183170)
4. NILA DERA PRISNA (0502183253)

DOSEN PENGAMPU : SYAUFIN NAZMI, MA

PRODI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Tafsir Ayat-ayat
Ekonomi dengan judul “Potret Manusia Ekonomi Islam” sebagaimana sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan kami juga berterimakasih
kepada Ibu Syaufin Nazmi, MA selaku Dosen mata kuliah Tafsir Ayat-ayat
Ekonomi yang telah memberikan tugas kuliah ini kepada kami. Tugas ini disusun
bertujuan untuk memenuhi tugas Tafsir Ayat-ayat ekonomi dalam menempuh
pendidikan di UIN-SU ( Universitas Islam Negeri Sumatera Utara ).
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam
penyajian makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini berguna dan dapat menambah wawasan bagi para pembaca.

Medan, 21 Maret 2020

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................1
C. Tujuan .................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kebutuhan Manusia Dalam Teori Ekonomi........................................2
B. Konsep Kebutuhan Ekonomi Dalam Islam.........................................5
C. Tafsir Ayat-ayat Potret Manusia Ekonomi Islam................................5
D. Konsektualisasi Ekonomi Islam...........................................................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia adalah tema yang paling banyak disebut di dalam Al-Qur’an.
Sebabnya adalah karena manusia itu sebagaimana disebut para filosof
makhluk misteri dan tidak mudah memprediksikannya. Oleh karena itu
konsep manusia kerap sangat bergantung pada disiplin yang digunakan. Pakar
biologi akan bebrbeda konsepnya dalam memandang manusia dibanding
dengan konsepnya para sosiologi dan ekonomi. Ini menunjukkan sulitnya
menjelaskan manusia hanya dari satu sudut ilmu.
Al-Qur’an juga demikian, terlihat dari banyaknya terminology yang
digunakan, tidaklah heran ada banyak studi-studi yang telah dilakukan para
pakar yang mencoba menggali dan mengkaji bagaimana konsep manusia
didalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kebutuhan Manusia Dalam Teori Ekonomi ?
2. Bagaimana Konsep Kebutuhan Ekonomi Dalam Islam ?
3. Bagaimana Tafsir Ayat-ayat tentang potret manusia ekonomi islam ?
4. Bagimana Konsektualisasi Ekonomi Islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Kebutuhan Manusia Dalam Teori Ekonomi ?
2. Untuk mengetahui Konsep Kebutuhan Ekonomi Dalam Islam ?
3. Untuk mengetahuiTafsir Ayat-ayat tentang potret manusia ekonomi
islam ?
4. Untuk mengetahui Konsektualisasi Ekonomi Islam ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebutuhan Manusia Dalam Teori Ekonomi


Ekonom merupakan aktifitas kegiatan manusia di muka bumi ini, sehingga
kemudian timbul motif ekonomi, yaitu keinginan seseorang untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang
cenderung menyamakan kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants).
Terkadang orang menyebutkan sesuatu sebagai kebutuhan yang harus
dipenuhi segera, padahal sesuatu tersebut berupa keinginan yang bisa saja
ditunda.
Meningkatnya jenis volume industri memudahkan masyarakat bersifat
konsumtif dan materialitis. Perilaku konsumtif ini menjadi kebiasaan semua
masyarakat dari berbagai kelas sosial. Implikasi sikap konsumtif ini dapat
membuat penghasilan masyarakat sebagian besar hanya untuk konsumsi
sehingga tidak adanya tabungan investasibaik untuk dunia maupun untuk
akhirat seperti zakat dan sebagainya.
Kebutuhan adalah keinginan manusia terhadap barang dan jasa yang harus
dipenuhi, bila tidak maka akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya.
Contohnya : makan nasi bagi orang yang lapar, minum obat bagi yang sakit.
Kebutuhan seperti ini harus dipenuhi jika tidak maka akan berdampak negatif
seperti sakitnya tambah parah atau perut sakit karena lapar. Keinginan sendiri
dibedakan menjadi 2 bentuk :
1. Keinginan yang disertai kemampuan untuk membeli barang dan jasa
yang diinginkan dan Keinginan yang tidak disertai kemampuan untuk
membeli barang dan jasa yang diinginkan
2. Keinginan yang disertai kemampuan untuk membeli dinamakan
permintaan efektif.

2
Macam-macam kebutuhan :
1. Kebutuhan menurut intensitas 
a. Kebutuhan primer : adalah kebutuhan utama untuk mempertahankan
kelangsungan hidup manusia. Contohnya : sandang, pangan, papan
b. Kebutuhan sekunder : yaitu kebutuhan yang baru boleh terpenuhi
setelah kebutuhan primer. Contohnya : lemari, kipas angin.
c. Kebutuhan tersier : disebut juga dengan kebutuhan mewah dan tertuju
untuk orang-orang yang berpenghasilan tinggi. Contohnya perhiasan
atau mobil.

2. Kebutuhan menurut waktu


a. Kebutuhan sekarang : merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda
lagi pemenuhannya. Misal, saat kamu sakit harus membutuhkan obat
atau ketika temanmu dahaga harus segera diberi minum.
b. Kebutuhan akan datang : adalah kebutuhan yang tidak berakibat fatal
pada kelangsungan hidup seseorang. Contohnya: tabungan.
c. Kebutuhan tidak terduga : harus dipenuhi ketika terjadi sesuatu yang
sifatnya tiba-tiba. Misalkan, anak tetangga sebelah mengalami
kecelakaan bersepeda, maka ia harus segera dibawa ke rumah sakit.
d. Kebutuhan sepanjang waktu : adalah sesuatu yang tidak berbatas
dalam pemenuhannya, contoh mudahnya belajar. Kamu harus
menuntut ilmu sepanjang waktu, Squad.

3. Kebutuhan menurut sifat


a. Kebutuhan jasmani : yang dirasakan oleh fisik/jasmani manusia,
seperti berolahraga.
b. Kebutuhan rohani : tidak tampak secara nyata sebab kebutuhan ini
dirasakan secara batiniah yang akan menyebabkan perasaan gembira,
lega, dan lain sebagainya. Contohnya adalah kasih sayang dari orang
tua atau menjalankan ibadah.

3
4. Kebutuhan menurut subjek
a. Kebutuhan individu : yang merupakan kepuasan pribadi, misalnya
seorang pelajar membutuhkan seragam, buku, dan alat tulis. 
b. Kebutuhan sosial : adalah yang bisa bermanfaat untuk kelompok/orang
banyak. Tujuannya agar bisa lebih sejahtera, tertib, dan aman. Nah,
contohnya seperti rumah ibadah atau rumah sakit.

Biasanya manusia tidak pernah merasa puas atas usaha yang diperoleh dan
prestasi yang dicapai. Jika keinginan yang satu telah terpenuhi maka akan
ada lagi keinginan-keingianan lain yang muncul. Contohnya : seseorang ingin
memiliki sepeda motor, setelah keinginannya itu terpenuhi maka ia
berkeinginan ingin memiliki sebuah mobil. Kebutuhan adalah keinginan
manusia terhadap suatu barang dan jasa dalam usahanya untuk
mempertahankan kehidupannya dimana pemuasannya dapat bersifat jasmani
dan rohani. Sedangkan keinginan merupakan suatu hal yang ingin kita miliki,
namun apabila kita tidak berhasil mendapatkannya maka kelangsungan
hidupnya tidak akan terancam.
Artinya kebutuhan bersifat utama sedangkan keinginan bersifat tambahan
atau pelengkap dari kebutuhan utama. Contohnya : seseorang ingin membeli
hp mahal bermerek seperti mek apple. Padahal jika dilihat dari sisi
kebutuhannya hanya sekedar bisa berkomunikasi lewat telfon, chat dan
aplikasi sosial media lainnya. Padahal tanpa merk apple pun kita bisa
berkomunikasi lewat hp merk lainnya. Hal ini dikarenakan pengaruh
globalisasi dan pergaulan yang konsumtif seseorang tersebut.
Sesuai dengan fitrah manusia, kebutuhan manusia itu tidak terbatas, baik
jumlah maupun macamnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut
ini, yaitu :
1. Karena kodrat manusia
2. Faktor alam dan lingkungan
3. Faktor lingkungan masyarakat
4. Faktor perdagangan internasional
5. Faktor demonstracy effect

4
B. Konsep Kebutuhan Ekonomi Dalam Islam
Dalam Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah, yaitu
mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan
yang merusak. Batasan konsumsi Islam tidak hanya memperhatikan aspek
halal haram saja tetapi termasuk pula yang yang diperhatikan adalah yang
baik, cocok, bersih, sehat, tidak menjijikan. Begitu pula batasan konsumsi
dalam syari’ah tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja, tetapi
juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya. Islam tidak hanya untuk materi
saja tetapi juga termasuk konsumsi sosial yang terbentuk dalam zakat dan
sedekah. Dalam Islam tujuan pemenuhan kebutuhan manusia terletak pada
halal, haram serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi. Misalnya
pengharaman terhadap minuman arak karena zat yang terkandungnya dapat
merusak tubuh manusia karena dari segi kesehatan dan manfaat lebih banyak
merusaknya atau lebih banyak mudharatnya dalam pandangan islam.
Dalam ekonomi Islam manusia dianjurkan untuk berusaha dan bekerja
mencukipi kebutuhan hidupnya, kekayaan harta seseorang tidak boleh
dipergunakan untuk kepentigan diri sendiri, tetapi harus disisihkan sebagian
dari nilai perolehannya untuk kepentingan zakat, infaq, shadaqah bagi
kepentingan umat. 1

C. Tafsir Ayat-ayat
Q.S. An-Nisa ayat 2

1
Gunawijaya Rahmat, April 2017.”Kebutuhan manusia dalam pandangan ekonomi
kapitalis dan ekonomi islam.”Jurnal Ekonomi Islam”. Vol.13, No.1,
https//www.researchgate.net/publication/325085171_KEBUTUHAN
_MANUSIA_DALAM_PANDANGAN_EKONOMI_KAPITALIS_DAN_EKONOMI_ISL
AM. Diakses pada tanggal 23 Maret 2020 pukul 14.40 wib.

5
Artinya : “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan
kamu maka harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan


Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) :
Dan berikanlah kepada anak-anak yang telah ditinggal mati oleh ayah-ayah
mereka sebelum usia baligh, (sedang kalian berstatus sebagai penerima
wasiat), harta-harta mereka ketika mereka telah mencapai usia baligh, dan
kalian telah dapat melihat dari mereka adanya kemampuan untuk menjaga
harta mereka. Dan janganlah kalian mengambil barang yang baik harta
mereka dan menukar harta tersebut dengan barang buruk dari harta kalian.
Dan janganlah kalian mencampuradukan antara harta mereka dengan harta
milik kalian denga tujuan supaya kalian bias mencari alasan untuk bias
memakan harta mereka dengan itu. Sesungguhnya orang yan lancang
melakukannya sungguh dia telah mengejakan dosa yang besar.

Tafsir Q.S. An-Nisa ayat 2 menurut Ibnu Katsir :


Allah memerintahkan untuk menyerahkan harta anak-anak yatim kepada
mereka apabila telah mencapai masa baligh secara sempurna serta melarang
memakan dan menggabungkannya dengan harta mereka. Untuk itu Allah
berfirman : “Dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.”
Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Abu Shalih : “Janganlah engkau tergesa-
gesa dengan rizki yang haram sebelum datang kepadamu rizki halal yang
ditakdirkan untukmu”. Sa’id bin Jubair berkata : “Janganlah kalian menukar
harta haram milik orang lain dengan harta halal dari harta kalian.” Ia
(Sa’id) pun berkata : “Janganlah kalian mengganti harta kalian yang halal
dan memakan harta baru mereka yang haram.” Sedangkan Sa’id bi al-
Musayyab dan az-Zuhri berkata : “Janganlah engkau member sesuatu yang
kurus dan mengambil sesuatu yang gemuk.”

6
Ajaran untuk memelihara anak yatim ini, diingatkan Allah SWT haruslah
dengan menjunjung nilai-nilai etika. “Janganlah kamu menukar atau
mencampuradukkan yang baik dengan yang buruk”. Bisa jadi harta anak
yatim yang berada dalam penjagaan kita, kualitasnya jauh lebih baik dari apa
yang kita miliki dan jauh lebih besar ketimbang yang kita punya sehingga kita
mempunyai nafsu untuk menguasai harta anak yatim tersebut.

Kesan dari ayat diatas adalah siapa yang menjadi wali bagi anak yatim,
semuanya berpotensi menjadi serakah dengan menjadikan hak orang lain
menjadi miliknya sendiri. Ada 2 bentuk perilaku wali sebagaimana
digambarkan ayat, yaitu :
1. tabaddul (tabaddalu) yang artinya menukar, tujuannya bukan untuk
menghabiskan harta tersebut dengan cara mengkonsumsinya tetapi
hanya sekedar memiliki harta tersebut.
2. Ta’kulu (memakan), dengan tujuan menikmatinya untuk kesenangan
pribadi dan menghabiskannya sehingga anak yatim tidak l agi
memiliki harta.

Ayat diatas juga menjelaskan bahwa yang dilarang sesungguhnya


memakan harta anak yatim dalam keadaan zuman (kezaliman). Maknanya
adalah dorongan kta memakan harta anak yatim disebabkan nafsu serakah
kita sehingga pada giliranny akita tidak peduli lagi dengan masa depan
anak yatim tersebut. Alih-alih membuatnya berbahagia kita malah
menjadikannya sengsara dan menderita. Poin dari ayat diatas adalah kta
diperintahkan Allah SWT untuk memeliara anak yatim dalam makna yang
utuh. Bukan hanya dirinya atau jiwanya tetapi juga hartanya.

Ada kecenderungan sebagian orang karena takut akan azab Allah ia pun
tidak menjaga harta tersebut dan terkesan menghindar dari beban berat
sehingga ia mengembalikan harta anak yatim kepada pemiliknya yang
mereka (anak yatim) pun belum sepenuhnya mampu untuk menjaga,

7
mengelola dan mengembankannya. Untuk lebih jelasnya perhatikan
berikut ini :

Q.S. An-Nisa ayat 5

Artinya:
” Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan


Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) :

(Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna


akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)) Yang dimaksud
disini adalah anak-anak dan orang yang lemah akalnya yang tidak
mengetahui hal-hal yang dapat memperbaiki hartanya dan tidak dapat
menjauhi hal-hal yang dapat menghancurkan dan menghilangkan hartanya.
‫( الَّتِى َج َع َل هللاُ لَ ُك ْم قِ ٰي ًما‬yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan) Yakni
harta yang dijadikan penopang urusan-urusan kalian, karena apabila harta
itu hilang atau rusak maka mereka akan menjadi tanggungan bagi kalian.

8
‫( َوارْ ُزقُوهُ ْم فِيهَ_ا َوا ْك ُس_وهُ ْم‬Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu)) Yakni mereka sebagian harta mereka untuk menafkahi diri
mereka dan mencukupi kebutuhan pakaian mereka.

۟ ُ‫( َوقُول‬dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik)


‫وا لَهُ ْم قَوْ اًل َّم ْعرُوفًا‬
Yakni berupa janji yang baik dengan mengatakan apabila kalian telah
dewasa maka kami akan mengembalikan harta ini kepada kalian.

Pada ayat diatas melarang kita untuk memberikan harta kepada


anak yatim yang safih. Kata safih atau sufaha diterjemahkan menjad
bodoh. Dalam konteks ekonomi, Allah melarang kita untuk member harta
kepada orang-orang yang belum memiliki kemampuan untuk mengelola,
memberdayakan dan mengembangkannya.
Rafiq Yunus mengawali pembahasannya dengan menagjukan
sebuah pertanyaan, kata wala tu’tu al-sufaha tersebut khitabnya
(tunjukkannya) kepada siapa ? apakah kepada wali-wali anak yatim, ayah,
suami atau secara umum kepada setiap wali. Dalam hal ini menurutnya
adab khilaf. Thabari misalnya, menjelaskan bahwa ayat tersebut
ditunjukkan kepada wali (al-wulat) karena merekalah yang berfungsi
sebagai qawwam (pengayom dan pelndung) dan juga sebagai (mudabbir)
pendidiknya. Sedangkan menurut Al-Razi, khitab ayat kepada 2 kelompok,
wali dan ayah. Sedangkan menurut Al-Biq’I, khitab ayat kepada suami dan
wali. Ada juga pakar tafsir yang menyatakan khitab ayat diatas ditunjukkan
kepada seluruh manusia (li al-nasi’umuman) dan bukan khusus untuk para
wali.
Selanjutnya yang disebut al-safih adalah anak-anak (shabuy),
peempuan dan setiap orang yang berperilaku mubazir. Dalam pengertian
lain, Muhammad Rawas Qal’aji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha
menjelakan safih atau sufaha adalah orang yang tingkat kecerdasannya
masih rendah (khiffah al-‘aql) dan tidak mampu mengurus harta (su’u
tasharruf). Menurut Prof.Amiur Nuruddun, kapasitas pribadi oengelolaan
harta menjadi perhatian pertama dalam ekonomi syari’ah, sehingga kepada

9
anak-anak yatim yang masih dibawah umur juga tidak diberi peluang ntuk
mengurus hartanya, dan kepada wakilnya terpikul tanggung jawab untuk
mengelola dan mengembangkan harta itu.
Lepas dari ragam penafsiran tentang safih, kita dapat melakukan
identifikasi bahwa esensi dari al-safih itu adalah perilaku mubazir, apakah
dalam konteks mentassarufkan (mengelola) harta atau bodoh dalam
mentasaruffkan (mendayagunakan) keuntungan yang diperolehnya. Dengan
kata lain, safih adalah siapa saja yang tidak memiliki kecerdasan finansial.
M. Quraish Shihab juga menyatakan pada ayat berikutnya Allah
SWT menggunakan kata “warzuquhum fiha”bukan”minha”, sesungguhnya
menunjukkan bahwa ajaran Al-Qur’an padaayat ini adalah harta yang
dimiliki seorang wali sejatinya garus dikembangkan atau diproduktifkan.
Apakah akan dijadkannya sebagai modal atau menambah modal usahanya
sendiri. Harta tersebut mesti dikembangkan dan tidak boleh dibiarkan
begitu saja dan berguna bagi anak yatim tersebut. Biaya kehidupan waki
dan ana yatim dapat diambil dari keuntungan harta yang diberdayakan
tersebut. Namun jikakata yang dipakai adalah warzuqum minha itu artinya
biaya hidup anak yatim bahkan bisa jadi walinya dapat diambil dari harta
yang ditinggalkan tersebut.
Tegasnya harta anak yatim itu tidak habis dipakai untuk
kepentingan konsumtif. Dari keuntungan harta itu, wali bisa menutupi
kebutuhan keseharian keluarganya, memberi makan anak yatim dan juga
memberikannya pakaian. Sampai disini wali telah melakukan tugasnya
untuk memenuhi kebutuhan material anak yatim. Namun ini tidaklah
cukup. Al-Qur’an menganjurkan untuk tidak mengatakan mewajibkan
kepada wali untuk memperhatikan perkembagan jiwanya. Bahkan
pemenuhan kebutuhan materialnya sama pentingnya dengan kebutuhan
jiwanya. Oleh karena itulah Al-Qur’an memerintahkan kepada seluruh
umat manusia untuk mengucapkan kepada mereka kata-kata yang baik.
Sampai dimana sesungguhnya batasan (waktu) kita dalam
memelihara anak yatim ? kapan masanya harta anak yatim harus
dikembalikan kepada pemiliknya ? berikut penjelasannya.

10
Q.S. An-Nisa ayat 6

‫وا ٱلنِّ َكا َح فَإ ِ ْن َءانَ ْستُم ِّم ْنهُ ْم ُر ْشدًا فَٱ ْدفَع ُٓو ۟ا إِلَ ْي ِه ْم‬ ۟ ‫وا ْٱليَ ٰتَم ٰى َحتَّ ٰ ٓى إ َذا بَلَ ُغ‬
ِ َ
۟ ُ‫َوٱ ْبتَل‬

‫ف ۖ َو َمن‬ ْ ِ‫ُوا ۚ َو َمن َكانَ َغنِيًّا فَ ْليَ ْستَ ْعف‬ ۟ ‫أَ ْم ٰ َولَهُ ْم ۖ َواَل تَأْ ُكلُوهَٓا إس َْرافًا َوبدَارًا أَن يَ ْكبَر‬
ِ ِ
۟ ‫ُوف ۚ فَإ َذا َدفَ ْعتُ ْم إلَ ْي ِه ْم أَ ْم ٰ َولَهُ ْم فَأ َ ْش ِه ُد‬
‫وا َعلَ ْي ِه ْم ۚ َو َكفَ ٰى‬ ِ ِ ِ ‫َكانَ فَقِيرًا فَ ْليَأْ ُكلْ بِ ْٱل َم ْعر‬
‫بِٱهَّلل ِ َح ِسيبًا‬

Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di
antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah
ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan
harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang
penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksianitu)”

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan


Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)
Dan ujilah orang-orang yang berda dalam pengasuhan kalian dari anak-anak
yatim untuk mengetahui kemapuan mereka mengelola harta mereka dengan
baik, sehingga apabila dia telah mencapai usia baligh dan kalian melihat
keshalihan pribadi mereka dalam beragama dan kemampuan untuk menjaga
harta benda mereka, maka serahkanlah (harta benda) itu kepada mereka, dan
janganlah kalian berbuat melampaui batas terhadapnya dengan
mempergunakannya bukan pada tempat yang sepatutnya dengan berlebih-
lebihan dan bersegera menghabiskannya sebelum mereka mengambilnya dari
kalian. Barangsiapa diantara kalian memiliki harta cukup ,hendaknya
menjaga diri dengan kecukupan yang ada pada dirinya dan tidak mengambil

11
sedikitpun dari harta anak yatim. Dan barang siapa yang miskin, hendaknya
mengambil sesuai kebutuhannya saja ketika darurat. Lalu apabila kalian telah
mengetahui bahwa mereka mampu menjaga harta-harta mereka setelah
mereka mencapai usia baligh dan kalian serahkan harta itu kepada mereka
maka persaksikanlah atas mereka, demi memastikan sampainya hak mereka
dengan sempurna kepada mereka, dan agar mereka tidak mengingkari di
kemudian hari. Dan cukuplah Allah bagi kalian bahwa DIA mengawasi kalian
dan memperhitungkan amal perbuatan kalian sesuai apa yang kalian perbuat.
Pada ayat diatas diceritakan bahwa para wali tidak saja memelihara anak
yatim tetapi juga menjaga hartanya. Lebih jauh dari itu, menjaga harta harus
dimaknai dengan memproduktifkan dan mengembangkan harta, apakah
dengan jalan perdagangan ataupun investasi.
Selanjutnya pada ayat diatas, Allah mengingatkan harta anak yatim tidak
semestinya dikelola selamanya. Harta anak yatim harus dikembalikan kepada
pemiliknya apabila mereka sudah dipandang layak untuk mengelolanya. Al-
Qur’an mengajarkan, untuk memastikan apakah anak yatim tersebut sudah
pantas untuk mengelola hartanya, ada dua hal yang dapat dilakukan.
Pertama, para wali dianjurkan untuk meguji (fit and proper test). Inilah
makna yang dikandung kata al-ibtila’. Ayat tersebut seolah memberi petunjuk
kepada para wali untuk memperhatikan kecerdasan emosi anak yatim tersebut
apakah mereka telah memiliki kesiapan uuntuk menikah. Agaknya, ia
dipandang telah mandiri, berani mengambil sikap, membuat keputusan dan
siap bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil. Kedua, adalah
menguji kecerdasan finansialyna. Apakah ia sudah mampu mengelola dan
membelanjakan uang. Apakah ia memiliki kecerdasan untuk membedakan
antara kebutuhan dan hasrat. Tegasnya, apakah ia memiliki skala prioritas
dalam berbelanja.
Dengan bahasa yang agak berbeda, kita bisa mengatakan bahwa Al-Qur’an
memnggunakan dua kategori untuk memastikan al-yatama layak untuk
mengelola hartanya.Pertama, ditinjau dari usia. Al-Qur’an memakai kata
“hatta iza balaghu al-nikah”. Kedua ditinjau dari kualitas intelektual dan

12
integritas pribadinya. Dalam hal ini Al-Qur’an menggunakan kata rusyda
yang maknanya adalah cerdas atau smart

D. Konsektualisasi Ekonomi Islam


Seorang penulis muda dalam bidang ekonomi Islam, Arif Hoetoro didalam
bukunya yang berjudul Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan
Metodologi membedakan antara apa yang disebutnya dengan
homoeconomicus dan homoislamicus.
Dalam kapitalisme homo economicus telah diposisikan ke dalam
keyakinan modern sebagai entitas ekonomi yang mengokohkan individualitas
dan eksploitasi apa saja yang dianggap penting dari motif-motif dasar
manusia, hasrat dan self interest, untuk dapat memproduksi standar
kehidupan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, homoeconomicus
merepresentasikan manusia rasional yang diformalkan dalam model-model
ekonomi tertentu yang mengaktualisasikan pemuasan self interest sebagai
cara untuk meraih tujuan-tujuan ekonomi.
Dalam perspektif Ekonomi kapitalis terdapat lima asumsi dasar yang
menjadi asas bangunan ekonominya sekaligus menjadi paradigma manusia-
manusianya. Pertama, Manusia pada dasarnya bersifat mementingkan diri
sendiri (selfish) dan bertindak secara rasional. Kedua, Kemajuan material
adalah tujuan yang utama. Ketiga, setiap orang-orang cenderung untuk
memaksimalkan kesejahteraan materialnya. Keempat, Manusia mempunyai
pengetahuan dan kemampuan untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.
Kelima, nilai guna (utility) setiap orang adalah independen dari nilai guna
orang lain.
Homoislamicus mengacu pada perilaku individu yang dibimbing oleh
nilai-nilai islam. Setidaknya ada dua nilai yang penting dalam konsep
homoislamicus ini. Pertama, self-interest. Sama dengan nilai yang dibangun
dalam konsep ekonomi konvensional bahwa manusia sesungguhnya tidak
dapat melepaskan diri dari kepentingan dirinya. Adalah tidak mungkin untuk
menghiindari keinginan dan kesenangan. Kita berhak untuk memperolehnya.

13
Berbeda dengan ekonomi kapitalis yang menempatkan, self-interestsebagai
fokus manusia, dalam islam, kendatipun islam sangat memperhatikan
kesejahteraan individual maupun masyarakat namun Islam juga menegaskan
bahwa setiap orang haruslah berperilaku alturistik dan menyesuaikan seluruh
tindakan ekonominya berdasarkan norma-norma agama. 2

2
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, (Medan : FEBI Press, 2019), hlm.44-47

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai makhluk sosial kebutuhan dan keinginan manusia adalah tidak
terbatas, sedangkan alat atau sumber daya pemuas kebutuhan manusia sangat
terbatas, selain itu manusia juga dibatasi oleh aturan-aturan dan kaidah-
kaidah dalam hal dan cara memperoleh alat pemenuhan kebutuhan tersebut.
Pemenuhan kebutuhan manusia sangat terikat dengan pertumbuhan ekonomi
dimana dengan permintaan konsumsi barang dan jasa yang tinggi maka akan
meningkatkan penawaran barang dan jasa tersebut dalam bentuk peningkatan
atau penambahan faktor-faktor produksi yang dharapkan meningkatkan
investasi, modal dan tenaga kerja yang selanjutnya meningkatkan upah atau
pendapatan yang memicu kanaikan daya beli dalam perekonomian
masyarakat.
Dalam Islam pemenuhan kebutuhan manusia tidak lepas dari kodrat
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, yang diatur secara syariat oleh
agama Islam dimana manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya harus
berprinsip kemaslahatan atau usaha dalam rangka memperoleh kebaikan di
dunia dan diakhirat dengan mempertimbangkan manfaat dan asas halal dan
haramnya jenis kebutuhan manusia, atau boleh tidaknya kebutuhan itu
dipenuhi.
Pemenuhan kebutuhan manusia dalam Islam tidak hanya memenuhi
kebutuhan duniawi seperti makan, minum, pakaian, dan kendaraan
transportasi, akan tetapi manusia juga harus memenuhi kebutuhan rohani atau
kebutuhan spiritual agar manusia menjadi manusia yang berakhlak baik,
berguna, dan bermanfaat bagi sesama manusia baik di dunia maupun di
akhirat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Gunawan, 2017.”Kebutuhan manusia dalam pandangan ekonomi


kapitalis dan ekonomi islam, Vol.13, No.1,
https//www.researchgate.net/publication/325085171_KEBUTUHAN
_MANUSIA_DALAM_PANDANGAN_EKONOMI_KAPITALIS_DAN_EKON
OMI_ISLAM. Diakses pada tanggal 23 Maret 2020 pukul 14.40 wib.

Azhari Akmal Tarigan, 2019, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, (Medan : FEBI Press)

https://tafsirweb.com/1534-qur’an-surat-an-nisa-ayat-2.html
( Diakses pada tanggal 22 Maret 2020 pukul 17.25 wib )

https://tafsirweb.com/1537-quran-surat-an-nisa-ayat-5.html
( Diakses pada tangal 22 Maret 2020 pukul 20.45 wib)

https://tafsirweb.com/1538-quran-surat-an-nisa-ayat-6.html
( Diakses pada tanggal 22 Maret 2020 pukul 21.58 )

16
17

Anda mungkin juga menyukai