TAWQITUHU
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah qawaid fiqhiyah fil mu’amalah
KELOMPOK 18
2019/2020
KATA PENGANTAR
Kelompok 18
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB I
Pendahuluan......................................................................................
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Kaidah
B. Cakupan Kaidah
C. Penerapan Kaidah Dalam Muamalah
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) terdiri dari kaidah umum dan kaidah khusus, kaidah
khusus terbagi lagi kepada beberapa bidang, salah satunya adalah di bidang Ekonomi
(Muamalah) Kaidah yang khusus di bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting
karena perhatian sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan Hadis terkait ibadah mahdhoh dan
hukum keluarga islam lebih dominan dibanding dengan fikih-fikih yang lain. Akibatnya, di
bidang fikih-fikih selain ibadah mahdhoh dan hukum keluarga islam, ruang lingkup ijtihad
menjadi sangat luas dan materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Karena
itu, dalam definisinya ia menyebutkan “kebanyakan persoalan parsial”. Definisinya ini banyak
diikuti oleh para ahli fiqih. Adapun definisi At-Taftazani tidak membatasi persoalan parsial yang
dapat dicakup oleh kaidah fiqih. Nama lain dari qawaid fiqhiyah adalah al-asybahah wan
nazhair, yang artinya kemiripan dan kesejajaran. Kaidah fiqih merupakan ketentuan yang bisa
dipakai untuk mengetahui hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada aturan pastinya di dalam
Al-Qur’an, Sunnah maupun ijmak sehingga lahirlah fiqih baru. Prosedur untuk mendapatkan
fiqih baru ini disebut dengan ilhaq, yaitu semacam proses kias yang contohnya tidak didapatkan
dari sumber wahyu, melainkan dari fiqih yang sudah jadi.Tata cara pemberian denda dan
pemotongan upah oleh pemberi kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah (“PP No. 8/1981”). Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan
dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya.
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 8/1981, pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.
Namun, sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain, dengan ketentuan bahwa nilainya
tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima oleh
buruh. Adapun, bentuk lain dari upah tidak dapat diberikan dalam bentuk alkohol, obat terlarang
atau bahan obat-obatan terlarang. Denda atas suatu pelanggaran hanya dapat dilakukan jika hal
tersebut diatur secara tegas di dalam perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan. Besarnya
denda untuk setiap pelanggaran harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang Rupiah.
Penjelasan Pasal 21 ayat (1) PP No. 8/1981 menyebutkan bahwa denda yang dikenakan oleh
pengusaha kepada buruh tidak dapat digunakan untuk kepentingan pengusaha atau untuk
kepentingan biaya operasional pengusaha. Apabila suatu perbuatan telah dikenakan denda oleh
pengusaha, maka pengusaha tersebut dilarang untuk menuntut ganti rugi terhadap buruh yang
bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah kullu mā yashihhu ta’bịduhu min al-‘uqūd al-mu’āwadhāt falā yashihhu
tawqituhu?
2. Apa saja cakupan kaidah kullu mā yashihhu ta’bịduhu min al-‘uqūd al-mu’āwadhāt falā yashihhu
tawqituhu?
3. Bagaimana penerapan kaidah dalam muamalah?
BAB II
PEMBAHASAN
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara”
Secara bahasa, Mu’awadhah berasal dari kata ‘awadha dalam bahasa arab yang artinya
tukar menukar, mengganti kerugian, membalas jasa, menebus dan memberi kompensasi.
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing
memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli atau akad yang dilakukan karena adanya
motif bisnis seperti jual beli, sewa atau lainnya sehingga cara yang ditempuh dapat berupa
pertukaran harta dengan uang atau uang dengan jasa (sewa benta atau upah untuk tenaga).
Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang.
Di pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap
barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya,
sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila w aktunya dibatasi, maka bukan jual
beli tapi sewa menyewa.
“setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh kedua pihak yang masing-masing
memiliki hak dan kewajiban , seperti hal nya dalam jual beli. Satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain yaitu
pembeli berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya.
Dalam akad semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebeb akad jual beli tidak
ada dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan akad jual beli tapi akad
adalam sewa menyewa.
Dalam kaidah ini tidak diberlakukan kurun waktu artinya akad tidak bisa dibatasi waktu .
C. Penerapan Kaidah Dalam Muamalah
Pada dasarnya setiap manusia memiliki banyak kebutuhan setiap harinya baik itu
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu terjadilah transaksi jual beli demi
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Namun pernahkah Anda bertanya-tanya, apakah
transaksi jual beli yang terjadi di kehidupan sehari-hari telah sesuai dengan hukum syariat Islam?
Karena mungkin saja dikarenakan ketidaktahuan kita, kita telah melanggar hukum Allah
sehingga mengurangi keberkahan di dalam hidup kita. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini
akan dibahas mengenai dasar-dasar hukum jual beli (ba’i) dalam Islam dengan harapan dapat
menghilangkan ketidaktahuan dan membuka wawasan kita sehingga menghindarkan kita dari
perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah SWT.
Contoh penerapan kaidah ini misalnya transaksi jual beli yaitu pertukaran sebuah barang
untuk mendapatkan barang lainnya, atau mendapat kepemilikan dari suatu barang yang
dibayar melalui suatu kompensasi atau iwad. Praktik jual beli dalam Islam sangat penting
kedudukannya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya aturan dan larangan yang tertulis dalam
Al-Qur'an mengenai rukun dan syarat jual beli dalam Islam.
Islam dengan perangkat ajarannya yang menempatkan alQur’an dan as-Sunnah sebagai
sumber hukum utamanya, telah hadir di muka bumi ini sebagai rahmatan lil alamin. Kodifikasi
ajaran Islam memuat semua dimensi kehidupan manusia, baik hubungan secara vertikal
(hubungan manusia dengan Allah) maupun hubungan secara horisontal (hubungan manusia
dengan manusia). Hubungan manusia dengan manusia dalam Islam termasuk dalam kajian
muamalah. Pengertian muamalah sendiri ialah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan
mengembangkan harta benda.1 Pada dasarnya segala kegiatan muamalah itu diperbolehkan
ٌ ْر ى تَ َ َلTََْ ْي
ِ ْع ل
hingga ada dalil yang melarangnya. Hal ini selaras dengan kaidah fiqh: ي َل د ُّ ُل Tِِْ اَ ِْه
صألَ ا
َ ُ ْلTُِع ْم ال ِ ِف
ُ ب ا َل ِ ةَ َل ا َم َ َ َد ي ْ نَ ا أ ا َل ِ ةArtinya: “Hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan
َ اح
sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.2
Adapun menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah Zuhaily, jual beli adalah:
ب ٍ َل ُم ةَ َل ا َذ بُ م Tََْ ىٍصْ ُوArtinya: “saling tukar harta dengan harta melalui
َِ ٍ ٍََم ْه َج ى و َ َل عTٍ ْص
ِ ال
cara tertentu”.4
Dalam bukunya Hendi Suhendi yang berjudul Fiqh Muamalah, jual beli didefinisikan
sebagai berikut:
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian
tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah
pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lainnya menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah disepakati dan dibenarkan syara’ Sesuai ketentuan yang
telah dibenarkan syara’ maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukunrukun, dan
lain-lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak
terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentuan syara’.6 Salah satu kegiatan dalam jual beli ialah
jual beli dalam bidang kesehatan, meliputi jual beli obat-obatan, dan hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan. Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat vital, karena dengan kesehatan
itulah manusia akan dapat melakukan segala aktivitas secara sempurna dan dengan kesehatan
pula manusia dapat berfikir. Tetapi semua aktifitas tersebut tidak akan berjalan secara sempurna
apabila kesehatan manusia tersebut terganggu baik gangguan (penyakit) itu berat maupun ringan.
Dalam hal ini agama Islam menganjurkan bahkan memerintahkan pemeluknya untuk bersabar.
Namun sabar dalam pengertian Islam, bukan sebagai konsep yang statis sebagaimana yang
sering disalahpahami yaitu menerima nasib apa adanya. Tapi sabar sebenarnya disertai dengan
upaya-upaya untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Sebagaimana perhatiannya
terhadap kesehatan, Islam juga memperhatikan masalah kedokteran (pengobatan), baik yang
bersifat represif (menghambat) maupun preventif (mencegah). Diantaranya penemuan obat-
obatan kimiawi seperti vaksin. Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah
sedemikian rupa sehingga patogenisitasnya hilang tetapi masih mengandung sifat anti
genitisnya.7 Sedangkan upaya pemberian vaksin adalah dengan cara imunisasi. Imunisasi adalah
suatu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara efektif terhadap cara untuk
meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara efektif terhadap suatu antigen, sehingga bila ia
kelak terkena antigen yang serupa, tidak mengakibatkan penyakit. Imunisasi bertujuan untuk
melindungi individu dan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah terurai dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
kesepakatan antara kedua puhak berkenaan dengan sesuatu hal atau kontrak antara beberapa
pihak atas dikursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu, terkait
dalam implementasinya tentu akad tidak terlepas dari rukun dan syarat. Islam merumuskan suatu
sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dengan sistem ekonomi lain yang selama ini kita
kenal. Islam memiliki tujuan-tujuan syariah ( maqa-sid al-syari’ah) serta petunjuk operasional
(strategi) untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan itu sendiri selain mengacu pada kepentingan
manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang
sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi serta menuntut tingkat kepuasan
yang seimbang. Dalam sistem ekonomi islam, Islam mengajarkan bagaimana ber muamalah
yang di ridhai Nya seperti tidak megandung riba, gharar, maysir, tadlis guna mencapai kepuasan
materi dan ruhani. Dengan segala petunjuk operasioanal dalam bertransaksi atau istilah akad.
Akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena berdasarkan hukum
Islam. Produk apa pun yang dihasilkan semua lembaga keuangan syariah tidak akan terlepas dari
proses transaksi yang dalam istilah fiqih muamalahnya disebut dengan ‘aqd Akad merupakan
prinsip fundamental dalam bertransaksi dengan segala jenisnya dan perkembangannya dimasa
sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asnawy, t.th. Nihayah al Ushul fi syarah Minhaj alWushul fi Ilmi al-Ushul, Mesir, Mathba’ah
Muhammad Ali Shabih wa Auladah.
Abdul Madjid, 1986, Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam,
Bandung, IAIN Sunan Gunung Djati.
Ali Haydar, t.th. Durar al-Hukkam Sharh Majallat alhkam, juz 1, Beirut: Dar al-Kutub
al‘Alamiyyah.
Karim, Adiwarman, 2009, Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan, Jakarta, Rajawali Press.
Malik bin Anas, 1991, al-Muwaththa, juz 2 dan 5, Damsiyq, Dar al-Qalam.
Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972, al-Mu’jam alWasith, jilid 1, Mesir, Dar al-Ma’arif.
Muhammad bin Ahmad ,Taqiyuddin Abu Baqa’, 1997, Syarah al-Kawakib al- Munir, juz 4,
Maktabah al-Ubaikan.
Munawwar, Ahmad Warson,1997, Kamus Munawwir Arab Indonesia, cet. XIV, Yogyakarta:
Pustaka Progresif.
Saleh, Abdul Mun’im, 2009, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, Yogjakarta, Pustaka
Pelajar.