Anda di halaman 1dari 14

KERIDHAAN DENGAN SESUATU ADALAH RIDHA DENGAN YANG TERJADI

PADANYA DAN HAJAT KEDUDUKANNYA DHARURAT BAIK UMUM MAUPUN


KHUSUS

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah

“Kaidah-Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Syariah”

Disusun Oleh:

KELOMPOK 5

(10) SA’ADAH : 220105020021


(11) LUTHFIA ROFILASARI : 220105020022

Moderator

(24) Syifa Alayda Muhammad

Dosen Pengampu

Noorwahidah, Dra, M.Ag

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

S1 PRODI PERBANKAN SYARIAH

2024
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Swt yang telah menganugerahkan Al-qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan seluruh rahmatnya bagi segenap alam serta tidak lupa karunia-
Nya yang beriman sehingga dapat membedakan antara yang benar dan yang salah.

Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
dosen pengampu mata kuliah Kaidah-Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Syariah, Ibu
Noorwahidah, Dra, M.Ag yang telah memberikan pengarahan dan kesempatan untuk
memberikan tugas kepada kami yang berjudul “Ijarah dan Kontemporernya”. Selain itu kami
juga memberikan terima kasih kepada teman-teman yang berhadir pada kelas hari ini.

Akhir kata, kami menyadari bahwasanya kami jauh dari kata kesempurnaan. Maka
dari itu segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan di
masa yang mendatang.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................2

A. Kaidah Pertama................................................................................................................2

1. Makna Kaidah ‫الِّر َض ا ِبالَّش ْي ِء ِر َض ا ِبَم ا َيَتَو َّلُد ِم ْنه‬...................................................................2

2. Dasar Hukum Kaidah Pertama....................................................................................3

3. Contoh Penerapan Kaidah Pertama.............................................................................4

B Kaidah Kedua...................................................................................................................5

1. Makna Kaidah ‫َالْح َاَج ُة ُتَنَّز ُل َم ْنِز َلَة الَّضُرْو َرِة َعاَّم ًة َكاَنْت َأْو َخ اَّصة‬..............................................5

2. Dasar Hukum Kaidah Kedua.......................................................................................7

3. Penerapan Kaidah Kedua............................................................................................7

BAB III PENUTUP..................................................................................................................9

A. KESIMPULAN...............................................................................................................9

B. SARAN.........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ulama fiqih menyepakati bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah ialah
diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian,
kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum atau
tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah,
hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika
memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya.
Kemudian, fiqih muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan
kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak
menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup
hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak
kehidupan manusia. Dan dari setiap yang maslahat itu akan menimbulkan
kemudharatan akan hukum haram.
Maka dari itu kami akan menjelaskan terkait dua kaidah fiqih muamalah, yaitu
“Keridhaan dengan sesuatu adalah ridha dengan akibat yang terjadi dari padanya” dan
“Hajat kedudukannya dharurat baik umum maupun khusus”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian, dasar hukum, dan penerapan dari Kaidah Keridhaan dengan
sesuatu adalah ridha dengan akibat yang terjadi dari padanya?
2. Apa pengertian, dasar hukum dan penerapan dari Kaidah Hajat kedudukannya
dharurat baik umum maupun khusus?
3.

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Kaidah Pertama

1. Makna Kaidah ‫الِّر َض ا ِبالَّش ْي ِء ِر َض ا ِبَم ا َيَتَو َّلُد ِم ْنه‬


Kaidah ini mempunyai arti keridhaan dengan sesuatu adalah ridha dengan akibat
yang terjadi padanya. Kaidah itu mempunyai artian bahwasanya jika seseorang sudah
ridha (suka) dan bisa menerima sesuatu, maka seorang itu harus rela juga dengan
berbagai akibat yang akan terjadi dari apa yang sudah diterimanya itu. Disebabkan
pada akad, suatu akad lazimnya tidak bisa dibatalkan oleh salah satu pihak, misalnya
akad sewa menyewa, akad jual beli dan lain sebagainya.
Menurut dosen yang ada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari
Banjarmasin dalam buku yang berjudul Qawaid Fiqhiyyah Muamalah yang dibuat
oleh bapak Dr. H. Fathurrahman Azhari, M. H.I menjelaskan bahwa maksud dari
kaidah tersebut ialah apabila seseorang sudah ridha terhadap sesuatu, maka dia juga
harus menanggung konsekuensinya dari keridhaannya.1 Selain itu, menurut Duski
Ibrahim, kaidah ini menerangkan bahwa ridha terhadap sesuatu berarti ridha terhadap
sebab yang ditemukannya. Menurutnya ialah jika seseorang sudah rela atau sudah
menerima akan sesuatu, maka segala konsekuensinya dari apa yang diridhainya itu
haruslah diterima.2
Pembahasan kaidah ini ialah kata “ridha”. Kata ridha itu dimaknai menerima dan
menyetujui dengan suka sama suka mengenai transaksi yang dilaksanakan oleh orang
dengan orang lain pada salah satu akad yang diberlangsungkan. Disebabkan saat
melakukan pembayaran dalam Islam harus berlandaskan pada prinsip keridhaan atau
kerelaan antara kedua belah pihak. Keridhaan atau kerelaan tidak terpenuhi saat
melakukan transaksi sama dengan memiliki makna yaitu memakan harta dengan cara
yang bathil.
Menurut pendapat Sayyid Sabiq pada fiqh sunnah, dalam situasi jual beli, apabila
akad telah dilakukan atau dikontrak dan pembeli mengetahui bahwa ada cacat pada
barang yang dibeli atau disepakati tersebut, maka setiap pada akad dikatakan sah dan

1
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: LKPU Banjarmasin,
2015), hlm 187-188.
2
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah: Fikih Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 104.

2
tetap mengikat. Pembeli tidak memiliki pilihan untuk melakukan khiyar (pembatalan)
disebabkan dia sudah menyetujui keadaan barang tersebut.3
Maka dari itu, apabila seseorang terlibat dalam transaksi yang sesuai dengan
hukum Islam dan diketahui atau diidentifikasi bahwa objek atau barang yang
diperjualkan mempunyai cacat oleh salah satu pihak yang terlihat, misalnya pembeli,
maka akibat dari persetujuan pembeli akan ditanggung oleh dirinya sendiri. Dengan
kata lain, pembeli harus bertanggung jawab atas pilihannya dalam transaksi tersebut.

2. Dasar Hukum Kaidah Pertama


Dasar hukum pertama yaitu terdapat pada dalil Al-Qur’an QS. An-Nisa/4:29 yang
berbunyi:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َتُك ْو َن‬
‫ِتَج اَر ًة َع ْن َتَر اٍض ِّم ْنُك ْۗم َو اَل َتْقُتُلْٓو ا َاْنُفَس ُك ْۗم ِاَّن َهّٰللا َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh
dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Kedua, dari Hadis Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abi
Said al-Khudry:

‫َع ْن َأِبْي َسِع ْيٍد اْلُخ ْد ِرْي رضي هللا عنه َأَّن َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه‬
‫ ِإِّنَم ا اْلَبْيُع َع ْن َتَر اٍض‬: ‫َو َس َّلَم َقاَل‬
Artinya: “Dari Abi Sa’id al-Khudry berkata, Rasulullah Saw. Bersabda:
Sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas saling meridhai (suka sama suka)”. (HR.
Ibnu Majah).

3. Contoh Penerapan Kaidah Pertama


Berikut adalah contoh penerapan kaidah keridhaan dengan sesuatu adalah ridha
dengan akibat yang terjadi padanya diantaranya yaitu:
a. Seseorang ridha untuk bekerja pada suatu perusahaan dan dia telah
mengetahui job description nya, apabila ketika masa kerjanya dia dibebani

3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 5, terj. Abdurrahim dan Masrukhin (Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2009), hlm. 211.

3
banyak pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawabnya, maka
pekerjaan tersebut harus diterima karena dia sudah ridha dengan
konsekuensi yang akan diterimanya.4
b. Kevin melakukan transaksi jual beli dengan Fajar. Kevin membeli sepatu
Fajar dan mereka berdua sudah sepakat satu sama lain dengan harga yang
mereka tetapkan bersama. Maka Fajar wajib menyerahkan sepatunya
kepada Kevin, begitu pun dengan Kevin maka wajib menyerahkan
uangnya kepada Fajar. Apabila mereka berdua sudah sama sama meridhai
dengan hasil yang sudah disepakati kedua belah pihak, maka Fajar ridha
memberikan sepatunya dan Kevin ridha dalam membayar harga sepatu
tersebut.
c. Apabila seseorang yang telah ridha membeli barang yang telah cacat,
maka manakala cacat itu bertambah berat, dan tidak ada alternatif lain
baginya, kecuali harus menerimanya.
d. Jika seorang perempuan ridha dikawini oleh seorang pemuda yang melarat
dan setelah kehidupan rumah tangga berjalan beberapa bulan keadaan
suami bertambah melarat, maka gugatan istri untuk menfasakh
perkawinannya di muka hakim pengadilan agama lantaran
ketidakmampuan suaminya memberi nafkah, tidak dapat dibenarkan,
disebabkan kemalaratan yang kemudian adalah lahir dari kemalaratan yang
telah diridhakannya.
e. Apabila seseorang yang menggadaikan barangnya sebagai jaminan
utangnya telah mengizinkannya dengan keridhaannya kepada penggadai
untuk memanfaatkannya, kemudian ternyata barang yang digadai itu
terdapat kerusakan, maka si penggadai tidak harus menanggung
kerugiannya, disebabkan kerusakan tersebut timbul dari suatu perbuatan
yang telah diizinkan oleh orang yang menggadaikan.5
f. Rizal meminjamkan mobilnya kepada Syafi’i, apabila Syafi’i sudah
mendapatkan izin dari Rizal untuk memakai mobilnya tersebut, maka

4
https://id.scribd.com/document/633640232/pembahasan
5
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: LKPU Banjarmasin,
2015), hlm 188-189

4
Syafi’i boleh mengendarai mobil tersebut yang berarti jika Rizal ridha
mobilnya dipinjam, maka dia juga ridha mobilnya dinaiki.6
g. Apabila seseorang menyewakan rumahnya dengan ridha, maka si penyewa
rumah boleh kasih paku pada tembok rumah dengan seperlunya. Maka
orang yang menyewakan rumah tersebut harus ridha tembok rumah itu
dikasih paku.

B. Kaidah Kedua
1. Makna Kaidah ‫َالْح َاَج ُة ُتَنَّز ُل َم ْنِز َلَة الَّض ُرْو َر ِة َع اَّم ًة َك اَنْت َأْو َخ اَّصة‬
Kaidah ini mempunyai arti Hajat kedudukannya dharurat baik umum maupun
khusus. Maksud kaidah ini bahwa kemudahan dalam syariat yang dimunculkan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia, tidak terbatas hanya pada saat kondisi dharurat
saja, tetapi hajat yang menyangkut kepentingan umum juga menjadi perhatian untuk
mendapatkan kepentingan umum. Dimaksud dengan kepentingan umum dalam kaidah
ini adalah kepentingan yang menyangkut umat manusia secara menyeluruh, sementara
dari kepentingan khusus adalah kepentingan yang dibatasi oleh daerah atau profesi
tertentu, misalnya negara.
Dharurat merupakan keadaan atau kondisi yang mewajibkan seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum, disebabkan adanya
bahaya, misalnya melakukan perbuatan yang dilarang dalam keadaan terpaksa.
Apabila orang tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hukum itu, akan
menyebabkan bahaya pada dirinya. 7 Sedangkan yang dimaksud dengan hajat adalah
keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak
menurut hukum yang semestinya berlaku, karena adanya kesulitan dan kesukaran atau
seseorang yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari hukum semestinya
karena kesukaran dan kesulitan bahkan karena menghindari bahaya seperti pada
keadaan dharurat.
Adapun yang dimaksud ‘ammah ialah bahwa kebutuhan itu meliputi seluruh umat
manusia. Sedangkan yang dimaksud khashshah adalah kebutuhan bagi suatu golongan
atau kelompok tertentu. Kemudahan yang diberikan Allah bukan hanya terbatas pada
persoalan darurat saja. Namun kemudahan itu juga dapat disebabkan karena
6
https://www.ahdabina.com/kaidah-fiqih-12-ridha-dengan-sesuatu-berarti-ridha-dengan-
akibatnya
7
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: LKPU Banjarmasin,
2015), hlm 190

5
kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun khusus. Tapi tentu saja aturan dan syarat-
syarat yang dibuat para ulama sehingga bentuk kebutuhan itu sama posisinya dengan
keadaan dharurat.8
Kondisi dharurat dan hajat pada dasarnya berbeda. Orang yang berada pada
kondisi dharurat, dia bisa celaka bahkan jatuh pada kematian. Dan demi
menyelamatkan dirinya, dia boleh melakukan hal yang haram. Sedangkan hajat, orang
yang berada pada kondisi ini, tidak berpotensi mati atau cacat tubuh misalnya, tapi dia
akan jatuh pada kesulitan yang berat. Kondisi hajat pada umumnya tidak membuatnya
boleh melakukan hal yang haram.
Namun pada kondisi tertentu, hajat bisa menempatkan posisi dharurat, dalam
makna dia bisa membuat hal yang seharusnya dilarang menjadi boleh. Para ahli fiqih
menjelaskan bahwa kaidah ini hajat bisa menempati posisi dharurat, baik hajat itu
bersifat umum maupun khusus. Umum memiliki makna dia memang diperlukan oleh
seluruh orang di dunia atau mayoritas mereka. Dan khusus dalam artian dia
diperlukan oleh penduduk negeri tertentu atau oleh orang-orang dalam profesi
tertentu. Khusus di sini bukan berarti hajat tersebut hanya diperlukan oleh individu
tertentu, karena hajat individu tidak bisa menempati posisi dharurat.9
Menurut Wahbah Zuhaily perbedaan antara hajat dan dharurat, antara lain sebagai
berikut:
a. Dharurat lebih berat keadaannya, sedangkan hajat hanya sekedar
kebutuhan.
b. Hukum dharurat dalam mengecualikan terhadap hukum yang sudah
ditetapkan walaupun terbatas waktu dan kadarnya, contohnya wajib
menjadi mubah, haram menjadi mubah. Sedangkan hukum hajat tidak
dapat mengubah hukum nash yang jelas.

Dengan melihat penjelasan diatas, maka perbedaan yang mendasar akan


membedakan antara keadaan yang dalam tahapan hajat atau keadaan yang sudah pada
tahap dharurat. Adapun perbedaan yang paling mendasar ialah efek yang timbul dari
tidak terpenuhinya sesuatu. Apabila efek yang timbul dari tidak terpenuhinya sesuatu
tersebut hanyalah kesulitan semata, maka keadaan yang demikian, baru menempati

8
Shalih Ibn Ghanim as-Sadian, AL-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-
Balansiyyah,1417 H) hlm. 288.
9
Muhammad Az-Zuhaili, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-
Syafi’i , hlm 75-82 (Dar Al-Bayan, Damaskus).

6
tahapan hajat. Akan tetapi ketika tidak terpenuhinya sesuatu itu bisa menjadikan
binasa atau bahkan kematian, maka keadaan tersebut sudah mencapai pada keadaan
yang dharurat.10

2. Dasar Hukum Kaidah Kedua


Dasar hukum pertama yaitu terdapat pada dalil Al-Qur’an QS. Al-Baqarah/2:173
yang berbunyi:

‫َفَمِن اْض ُطَّر َغْيَر َباٍغ َّو اَل َع اٍد َفٓاَل ِاْثَم َع َلْيِه‬
Artinya: Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Kedua, dari Rasulullah Saw, riwayat dari Ahmad bin Hambal dari Ibnu Abbas:

‫َال َض َر َر َو َال ِض َر اَر‬


Artinya: Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan
(merugikan)

3. Penerapan Kaidah Kedua

a. Pada dasarnya dalam jual beli hanya dibolehkan atau dianggap sah apabila
rukun dan syarat dalam jual beli itu telah sempurna. Di antaranya adalah
barang yang diperjual belikan itu telah terwujud. Tanpa suatu alasan yang
bersifat dharurat tidak boleh diadakan keringanan yang dengan penyimpangan
dari hukum. Namun untuk keluasan hidup dan atau untuk menghilangkan
kesulitan dan kesukaran, diadakanlah keringanan dalam jual beli, yaitu dengan
membolehkan sah jua beli meskipun barang (objek) belum terwujud, seperti
jual beli salam.
b. Untuk menjaga kebutuhan orang banyak dalam menghindari spekulasi para
pedagang, maka pemerintah dibolehkan membatasi atau menetapkan harga
barang pokok yang diperjual-belikan. Meski sebenarnya tindakan pemerintah
itu membuat kerugian kepada pihak-pihak tertentu.
c. Laki-laki diperkenankan berhadapan muka dengan perempuan yang bukan
muhrimnya dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam bermuamalah.

10
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: LKPU Banjarmasin,
2015), hlm 191

7
d. Karena dihajatkan oleh para manusia pada umumnya, maka menjanjikan suatu
upah atau hadiah kepada siapa yang berjasa dibolehkan, meski menurut qiyas
tidak dibenarkan, karena di dalam hadiah terdapat sesuatu yang tidak jelas.
e. Karena suatu hajat yang mendesak dan bukan karena hiasan semata, seseorang
dibolehkan menambal bejananya yang retak dengan bahan dari perak.

8
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
 Makna Kaidah ‫ الرضى بالشيئ رضى بما َيَتَو َّلُد منه‬mempunyai arti keridhaan dengan sesuatu
adalah ridha dengan akibat yang terjadi padanya. Kaidah itu mempunyai artian
bahwasanya jika seseorang sudah ridha (suka) dan bisa menerima sesuatu, maka
seorang itu harus rela juga dengan berbagai akibat yang akan terjadi dari apa yang
sudah diterimanya itu. Pembahasan kaidah ini ialah kata “ridha”. Kata ridha itu
dimaknai menerima dan menyetujui dengan suka sama suka mengenai transaksi yang
dilaksanakan oleh orang dengan orang lain pada salah satu akad yang
diberlangsungkan. Disebabkan saat melakukan pembayaran dalam Islam harus
berlandaskan pada prinsip keridhaan atau kerelaan antara kedua belah pihak.
Keridhaan atau kerelaan tidak terpenuhi saat melakukan transaksi sama dengan
memiliki makna yaitu memakan harta dengan cara yang bathil.
 Kaidah ‫ الحاجة تنَّز ُل َم نِز ِلَة الَّضُرْو َرِة َعاَّم ًة كانت أْو خاَّص ًة‬mempunyai arti Hajat kedudukannya
dharurat baik umum maupun khusus. Maksud kaidah ini bahwa kemudahan dalam
syariat yang dimunculkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, tidak terbatas
hanya pada saat kondisi dharurat saja, tetapi hajat yang menyangkut kepentingan
umum juga menjadi perhatian untuk mendapatkan kepentingan umum. Dharurat
merupakan keadaan atau kondisi yang mewajibkan seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan yang berlawanan dengan hukum, disebabkan adanya bahaya, misalnya
melakukan perbuatan yang dilarang dalam keadaan terpaksa. Apabila orang tidak
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hukum itu, akan menyebabkan bahaya
pada dirinya. Sedangkan yang dimaksud dengan hajat adalah keadaan yang
menghendaki agar seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak menurut hukum
yang semestinya berlaku, karena adanya kesulitan dan kesukaran atau seseorang yang
melakukan perbuatan yang menyimpang dari hukum semestinya karena kesukaran
dan kesulitan bahkan karena menghindari bahaya seperti pada keadaan dharurat.

9
B. SARAN
Dengan adanya makalah yang sudah disusun oleh pemateri, diharapkan kepada
para pembaca dapat memahami dan mengetahui isi dari penjelasan “Kaidah-Kaidah
Fikih Ekonomi dan Keuangan Syariah”.

Menyadari akan halnya pemateri yang jauh dari kata sempurna sangat
diperbolehkan untuk para pembaca memberikan saran serta kritik kepada pemateri
jika terdapat sebuah kesalahan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Azhari Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: LKPU


Banjarmasin.
Az-Zuhaili Muhammad. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab
Asy-Syafi’i. Dar Al-Bayan, Damaskus
https://id.scribd.com/document/633640232/pembahasan
https://www.ahdabina.com/kaidah-fiqih-12-ridha-dengan-sesuatu-berarti-ridha-
dengan-akibatnya
Mardani. 2012. Hukum Ekonomi Syariah: Fikih Muamalah. Jakarta: Kencana.
Sabiq Sayyid. 2009. Fikih Sunnah, Jilid 5, terj. Abdurrahim dan Masrukhin. Jakarta:
Cakrawala Publishing
Shalih Ibn Ghanim as-Sadian. AL-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra. Riyadh: Dar al-
Balansiyyah,1417 H

11

Anda mungkin juga menyukai