“HADITS RIBA”
Hadits Ekonomi
1. Bela Syahputri
2. Deva Indriana
3. Elsa Tania
Sholawat serta salam mari kita hadiahkan kepada baginda nabi kita
Muhammad SAW, semoga kita kita, orang tua kita, seluruh keluarga kita dan
orang-orang terdekat kita mendapatkan syafaat Beliau di Yaumul Mahsyar kelak.
Amin ya Rabbal Alamin.
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kulian Hadits Ekonomi, dan judul makalah ini adalah “Hadits Riba”.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................2
A. Definisi Riba........................................................................................2
B. Jenis-Jenis Riba...................................................................................3
C. Pelarangan Riba...................................................................................5
Kesimpulan...............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................16
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Selain
fungsi hadits yang gunanya memperkuat apa-apa yang telah diterangkan
dalam al-Qur’an juga untuk menerangkan ayat-ayat di dalam al-Qur’an
yang masih bersifat umum. Disini peran hadits juga tidak kalah pentingnya
dengan al-Qur’an. Apalagi kita sebagai orang yang beriman dan akademisi
haruslah mampu mengkombinasikan ilmu-ilmu sosial atau sains dengan
Islam yang diperkuat dalam al-Qur’an dan Hadits agar kecerdasan yang
dimiliki tetap berlandaskan pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-
Nya, sehingga menggunakan kecerdasan tersebut untuk mencari ridho
Allah sebagai tujuan utama, bukan mencari harta atau kekayaan semata-
mata.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Riba
Riba ( )الـربـاsecara bahasa bermakna: ziyadah ( )زيـادة- tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistic riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip mu amalat dalam Islam.1
ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al-
Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan :
2
penggunaan si penyewa mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti
menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli
membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam
proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena
di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko
kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya
dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan
mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung
bisa juga rugi.2
B. Jenis-Jenis Riba
1. Riba Qardh merupakan tambahan pokok pinjaman yang diisyaratkan
dan diambil oleh pemberi pinjaman dari yang berhutang sebagai
kompensasi atas tangguhan pinjaman yang diberikannya tersebut.4 Allah
melarang dan mengharamkan kegiatan demikian, sebagaimana firman
Allah Swt dalam surah al-Baqarah ayat 280 yang begitu jelas
3
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-
Baqarah : 280).
Dari firman Allah di atas, dapat disimpulkan bahwa jika telah jatuh
tempo hutang seseorang tersebut, sedangkan ia masih dalam kesulitan
hendaknya orang yang menghutangkan bersasabar dan tidak menagihnya.
Sedangkan jika orang yang berhutang telah memiliki, dan dalam keadaan
lapang, maka wajib baginya membayar hutangnya tersebut, dan dia tidak
perlu menambah nilai dari tanggungan hutang yang dipinjamnya, baik
orang yang berutang tersebut sedang memiliki uang atau sedang keadaan
sulit. Bahkan dari ayat tersebut memberikan pelajaran yang luar biasa
mengenai mengikhlaskan uang yang kita hutangkan kepada saudara kita,
terlebih saudara kita tersebut dalam keadaan kesulitan. Karena Allah akan
menggantinya dengan pahala sedekah.5
2. Riba Fadhl, merupakan yang sejenis yang disertai tambahan baik berupa
uang maupun berupa makanan. Istilah dari riba Fadhl diambil dari kata al-
fadhl, yang artinya tambahan dari salah satu jenis barang yang
dipertukarkan dalam proses transaksi. Di dalam keharamannya syariat
telah menetapkan dalam enam hal terhadap barang ini, yaitu: emas, perak,
gandum putih, gandum merah, kurma, dan garam. Jika dari enam jenis
barang tersebut ditransaksikan seara sejenis disertai tambahan, maka
hukumnya haram. Sebagaimana hadits Rasul Saw:
5
Muhammad Tho’in, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, (Surakarta: STIE-ASS JURNAL
VOL 02 NO 02, 2016), HLM. 65-66.
4
Dari dalil di atas, maka tukar menukar sesama jenis harta dari salah
satu keenam harta itu menjadi haram, kalau berbeda ukurannya.
C. Pelarangan Riba
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan
juga Al Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk
menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al Quran,
pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal
9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam
yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia
pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba,
oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu
adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan.”6
5
g. Menjauhkan sikap malas bekerja atau berusaha keras untuk kebutuhan
hidupnya.7
Hadits di atas merupakan hadits yang shahih yang disepakati oleh para
ulama hadits. Hadits ini diriwayatkan para Imam hadits yang sangat
banyak, diantaranya: Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat,
Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995. Imam Ahmad bin
Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits
no 13744.
7
Saleh al Fauzan, Fiqh Sehari – hari, (Jakarta : Gema Insani, 2006), hlm. 390.
8
Riska Maulan, Dahsyatnya Riba: Bunga Bank dan Riba, (Jakarta: Majelis Ta’lim
Wirausaha, 2016), hlm. 67.
9
Machfuddin Aladip, Terjemah Bulughul Maram, (Semarang: PT. Karya Toha, 2012),
hlm. 409.
6
Makna hadits secara umum di atas, menggambarkan mengenai
bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk
dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla Saw
melarang serta melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya,
pencatatnya maupun saksisaksinya. Dan keesemua golongan yang terkait
dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua
adalah sama,yaitu sama dosanya.”
Pelarangan serta pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku
riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat
Rasulullah Saw tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan
keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam
skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama‟ atau
masyarakat secara luas. 10
Oleh karena itu, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari
praktek riba dalam segenap aspekkehidupannya. Karena jika tidak
kehancuran diri dan masyarakat yang akan di dapatkan.
7
konvensional ada yang mengatakan riba, ada pula yang mengatakan tidak.
Hal itupun terjadi pada bank syariah yang notabenya adalah lembaga
syariah, dimana dalam prakteknya masih jauh dari kata syariah. Bahkan
syariah dijadikan bumbu untuk menutupi praktek ribawi.
Hal tersebut karena perbankan syariah di Indonesia saat ini masih
berlandaskan pada pasar, bukan berlandaskan ideologi. Praktek tersebut
tidak saja dilakukan oleh lembaga, bahkan orang per orang melakukan
pinjaman secara pribadi dengan dasar untuk memperoleh keuntungan
berupa tambahan pinjaman.
Dalam konteks lain, di masyarakat masih sering melakukan
pertukaran barang atau uang yang sejenis tapi dalam kadar yang berbeda.
Misalnya, saat menjelang lebaran ada beberapa orang melakukan usaha
tukar uang baru dengan uang lama, tetapi jumlah yang di tukar nilainya
berbeda, dan lain-lain. Dari praktek-praktek riba tersebut, Allah dan Rosul
melaknat siapapun yang ikut terlibat di dalam praktek tersebut tanpa
kecuali. Sehingga kita perlu waspada di dalam melakukan kegiatan
ekonomi sehari-hari. Secara rinci atau garis besar konteks hadits
pelarangan dan pelaknatan riba yang terjadi sehari-hari di masyarakat
adalah sebagai berikut:11
a. Transaksi perbankan
Sebagaimana kita diketahui bersama, bahwa basis pendekatan atau
sistem yang digunakan dalam praktik khususnya perbankan konvensional
menggunakan pendekatan berbasis bunga baik dari aspekpenghimpunan
maupun penyaluran dananya dari dan untuk masyarakat. Dimana pihak
nasabah sebagai peminjam dana bank serta pihak bank bertindak selaku
pemberi pinjaman dana tersebut. Atas dasarpinjaman dana tersebut,
nasabah akan dikenakan bunga dalam prosentase tertentu atas pinjaman
pokok sebagai kompensasi atau imbalan dari pertangguhan waktu atas
pembayaran hutang atau pinajaman nasabah tersebut, dimana pihak bank
tidak memperdulikan hasil usaha nasabahnya, apakah usaha nasabah
tersebut berhasil danberkembang sehingga memperoleh keuntungan atau
11
Ibid., hlm. 71.
8
bahkan mengalami gagal sehingga mengalami kebangkrutan. Kasus seperti
di atas, sebenarnya hampir sama dengan praktik kegiatan riba jahiliyah
pada zaman dulu. Tetapi memiliki sedikit perbedaan, riba jahiliyah
bungaatau tambahan baru akan dikenakan ketika peminjam tidak mampu
membayar atas hutangnya pada waktu yang ditentukan kepada peminjam,
sebagai imbalan atas penambahan waktu pembayaran yang
mengalamikemunduran. Sedangkan kasus pada praktik perbankan saat ini,
besarnya bunga telah ditetapkan dimuka atau pada saat akad kedua belah
pihak terjadi. Sehingga dapat disimpulkan sebenarnya praktik riba di
perbankkan saat ini jauh lebih jahiliyah di bandingkan dengan riba
jahiliyah itu sendiri. Hal itu diakui pula oleh sebagaian besar para ulama.12
Jika dari aspek pembiayaan demikian, tidak berbeda pula dalam hal
penghimpunan dana, sebut saja produk tabungan. Pada saat menabung
nasabah dijanjikan terlebih dahulu akan memperoleh bunga yang pasti.
Berbeda dengan sistem yang ada pada bank syariah, di mana bank syariah
tidak menjanjikan keuntungan tetap, melainkan hanya nisbah bagi hasil
keuntungan bukan dari pokok uangnya. Sehingga keuntungan kedua belah
pihak tergantung hasilusahanya. Meskipun demikian, ada pula bank
syariah yang secara struktur menggunakan sistem bagi hasil tapi
kenyataannya secara kultur atau pelaksanaan juga sama bank konvensional
hanya beda namanya saja.karena sesungguhnya sampai saat ini saya
melihat bahwa bank syariah baru dibangun dari sistem pasar bukan
ideologi. Sehingga transaksi perbankan yang dilakukan masyarakat setiap
hari sangat rentan terlibat praktik riba yang dilarang dan dilaknat oleh
Allah dan Rasul.13
b. Transaksi Asuransi
Praktik asuransi yang ada saat ini, masih banyak yang mengandung
unsur ribawi. Karena dalam asuransi saat ini, khususnya asuransi
konvensional terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban diantara
keduanya. Sehingga kecenderungan yang terjadi pihak konsumen sering
12
Ibid., hlm. 72.
13
Ibid., hlm. 73.
9
mengalami kerugian. Sehingga hal-hal yang seharusnya menjadi hak
konsumen tidak diberikan.
14
Ismail, Perbankan Syariah, (Surabaya: Kencana, 2015), hlm. 21.
10
b. Ketergantungan ekonomi
Peminjaman akan selalu membayar bunga kepada pemberi
pinjaman. Pembayaran pinjaman pada umumnya tidak dilakukan
secara sekaligus, akan tetapi dilakukan secara angsuran. Angsuran
pinjaman terdiri dari unsur pengambilan pokok pinjaman dan
pembayaran bunga selama jangka waktu tertentu. Pembayaran
angsuran pinjaman akan menimbulkan kecenderungan bagi
peminjam untuk melakukan pinjaman lagi setelah lunas, sehingga
terdapat ketergantungan bagi pihak peminjam terhadap pemberi
pinjaman. Pembayaran pinjaman pokok akan mengurangi sisa
pinjamannya, namun pembayaran bunga merupakan beban dari
pihak peminjam.15
2. Dampak Sosial
a. Ketidakadilan
Bunga akan diterima oleh pihak pemberi pinjaman, sedangkan
pihak peminjam akan membayar bunga. Pemberi pinjaman akan
menerima bunga sebagai pendapatan. Sebaliknya, peminjam akan
membayar bunga sebagai pengeluaran. Pemberi pinjaman akan
selalu diuntungkan karena mendapat bnga dari peminjam,
sebaliknya peminjam akan selalu rugi karena dibebani biaya atas
uang yang dipinjam.
b. Ketidakpastian
Peminjam akan selalu membayar bunga sesuai dengan persentase
yang telah diperjanjikan. Pemberi pinjaman tidak
mempertimbangkan apakah dana yang dipinjamkan kepada
peminjam telah digunakan untuk usaha dan meghasilkan
keuntungan. Pemberi pinjaman selalu mendapatkan keuntungan
meskipun peminjam menderita kerugian. Dalam perjanjian,
dipastikan bahwa peminjam akan mendapat keuntungan atas uang
pinjamannya, padahal usaha yang dilakukan oleh peminjam masih
15
Ibid., hlm. 22.
11
mengandung unsur ketidakpastian apakah akan mendapat
keuntungan atau menderita kerugian. Bila peminjam mendapat
keuntungan, maka sepantasnya bila peminjam membagi hasil
keuntungan. Sebalknya, bila peminjam menderita kerugian,
tentunya tidak perlu membayar tambahan kepada pemberi
pinjaman.
16
Rachmad Risqy Kurniawan, Dampak Riba Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Bogor:
Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul Qur’an JURNAL VOL 10 No 10, 2020), hlm. 7.
12
hadits diatas maka azab dari riba bukan hanya menimpa para pelaku-
pelaku riba saja tapi setiap orang yang ada disekitarnya juga, bahkan
menimpa seluruh negeri.
5. Riba mendatangkan paceklik atau kekeringan Dari Amru bin Ash RA,
Rasulullah SAW bersabda: ِ
Artinya: Tidaklah riba merajalela pada suatu kaum kecuali akan ditimpa
paceklik. Dan tidaklah budaya suap merajalela pada suatu kaum kecuali
akan ditimpakan kepada mereka ketakutan.31 Dosa riba juga
mendatangkan azab Allah berupa paceklik dan kekeringan, sehingga akan
memperparah kondisi perekonomian.17
17
Ibid., hlm. 8.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan siatas dapat disimpulkan bahwa :
14
DAFTAR PUSTAKA
Aladip, Machfuddin. 2012. Terjemah Bulughul Maram. Semarang: PT. Karya
Toha.
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.
Fauzan, Saleh al. 2006. Fiqh Sehari – hari. Jakarta : Gema Insani.Suhendi, Hendi.
2007. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasan, Nurul Ichsan. 2014. Perbankan Syariah. Ciputat: Gaung Persada Press
Group.
Ismail. 2015. Perbankan Syariah. Surabaya: Kencana.
Kurniawan, Rachmad Risqy. 2020. Dampak Riba Menurut Al-Qur’an dan Hadits.
Bogor: Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul Qur’an JURNAL VOL 10
No 10.
Maulan, Riska. 2016. Dahsyatnya Riba: Bunga Bank dan Riba. Jakarta: Majelis
Ta’lim Wirausaha.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. 2013. Jakarta: Tinta Abadi Gemilang.
Tho’in, Muhammad. 2016. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Surakarta: STIE-ASS
JURNAL VOL 02 NO 02.
15