Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

"JUAL BELI, HUTANG-PIUTANG, DAN RIBA"

Dosen pengempuh: Dr. Abd Rahman R,M.Ag

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 6

A. NUR ANNISA : (4040012204)

NUR RAMADAYANI :(40400122048)

JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT.karna atas berkat karunia dan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

kami yaitu”jual beli, hutang-piutang, riba”.

Makalah ini telah kami selesaian dengan semaksimal mungkin dengan diskusi bersama dan bantuan dari berbagai sumber baik

online maupun melalui bacaan buku.Kami menyadari bahwa makalah kami masih memiliki banyak kekurangan baik dalam
penulisan,bahasa serta penyusunan kalimat. Demikian yang dapat kami sampaikan,semoga makalah ini dapat menambah

wawasan kita bersama serta dapat memberikan dampak positif bagi kita semua.

Gowa,13 April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................................

BAB l PENDAHULUAN..............................................................................................

A. Latarbelakang....................................................................................................
B. Rumusan masalah..............................................................................................
C. Tujuan penulisan................................................................................................

BAB ll PEMBAHASAN................................................................................................

A. JUAL BELI......................................................................................................
Pengertian jual beli............................................................................................
Hukum jual beli.................................................................................................
macam-macam jual beli.....................................................................................
rukun jual beli....................................................................................................
sebab-sebab di larangnya jual beli.....................................................................
B. HUTANG-PIUTANG.......................................................................................
Pengertian hutang-piutang.. ..............................................................................
Dasar hukum utang........................................................................ ...................
Rukun dan syarat berutang................................................................................
C. RIBA
Pengertian pelarangan riba. ..............................................................................
Tahapan pelarangan riba......................................................... . .......................
Macam-macam riba..........................................................................................

BAB lll PENUTUP.............................................................................................................

A.KESIMPULAN....................................................................................................

B.SARAN ...............................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri danselalu
membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.Terutama
dalam hal muamalah, seperti jual beli, pinjam meminjam, sewamenyewa hingga
urusan utang piutang maupun usaha- usaha yang lain, baikdalam urusan diri
sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.Namun seringkali dalam kehidupan
sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangandalam urusan muamalah
ini, seperti riba yang sangat meresahkan danmerugikan masyarakat.Untuk
menjawab segala problema tersebut, agamamemberikan peraturan dan
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kita yang telah di atur sedemikian rupa
dan termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits, dan tentunya untuk kita pelajari
dengan sebaik-baiknya pula agar hubungan antar manusia berjalan dengan lancar
dan teratur.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentuyang
setiap hari pasti dilakukan namun kadang kala kita tidak mengetahui apakah
caranya sudah memenuhi syara’ ataukah belum. Begitu pula dengan utang
piutang yang sering kali tidak dapat kita hindari karena sangat kentaldengan
kehidupan manusia. Kita perlu mengetahui bagaimana cara utang piutang
menurut syariat. Kegiatan jual beli dan utang piutang ini juga seringdikait-
kaitkan dengan yang namanya riba.
Riba menurut syariat hukumnyaadalah haram karena tidak
menunbuhkan manfaat tetapi menimbulkanmadharat.Oleh karena itu, dalam
makalah ini, sengaja kami bahas mengenai jual beli, utang piutang dan riba
karena ketiganya sangat kental dengan kehidupanmasyarakat. Disini pula akan
banyak dibahas mulai dari tata cara jual beli danutang piutang yang benar
sampai hal-hal yang diharamkan atau dilarang.Begitu pula dengan riba juga akan
dibahas mulai dari hukumnya.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian jual beli, hukum jual beli, macam-macam jual beli, rukun jual

beli, sebab-sebab dilarangnya jual beli ?

2. Apa Pengertian hutang-piutang, dasar hukum utang, rukun dan syarat

berutang?

3. Apa pengertian riba, tahapan pelarangan riba, macam-macam riba?


BAB II

PEMBAHASAN

A. JUAL BELI
1. Pengertian Jual Beli
Dalam kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin Abu Bakar
bin Muhammad al-Husaini diterangkan lafaz Bai’ menurut Lughat artinya:
memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu yang lain. Bai’ menurut syara’ jual
beli artinya: membalas suatu harta benda seimbang dengan harta benda yang
lain, yang keduanya boleh dikendalikan dengan ijab qabul menurut cara yang
dihalalkan oleh syara’.1
Menurut kitab Fathul mu’in karangan Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz
dijelaskan: menurut bahasanya, jual beli adalah menukarkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’ ialah menukarkan harta dengan
harta pada wajah tertentu. 2
Dalam kitab Fiqih Muamalah karangan Dimyaudin Djuwaini
diterangkan, secara linguistik, al-Bai’ (jual beli) berarti pertukaran sesuatu
dengan sesuatu. Secara istilah menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Disini harta
diartikan sebagai sesuatu yang memiliki manfaat serta ada kecenderungan
manusia untuk menggunakannya. Dan cara tertentu yang dimaksud adalah sighat
atau ungkapan ijabdan qabul.3

1
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayatul Akhyar Fii Ahlli Ghayatil Ihktisar, alih bahasa
Syarifudin Anwar dan Misbah Mustofa, ( Surabaya: CV Bina Iman, 1995), 534.
2
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in , ahli bahasa Aliy As’ad( Kudus: Menara Kudus, 1979), 158
3
Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar , 2008), 69.
Orang yang terjun ke dunia usaha,berkewajiban mengetahui hal-hal yang
dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak. Hal ini dimaksudkan agar
muamalat berjalan sah dan segala sikap atau tindakannya jauh dari kerusakan
yang tidak dibenarkan.

2. Hukum Jual Beli


Jual beli pada dasarnya merupakan akad yang di perbolehkan, hal ini
berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al- Qur’an, Hadits,dan Ijma’
Ulama. Diantaranya dalil yang memperbolehkan pratek jual beli adalah sebagai
berikut:

‫َوأَ َح َّل ٱ َّ ه‬
۟‫ّلل ٱلبَي َع َوح ََّر َم ٱ ِّلربَوا‬
“dan Allah menghalalkan jual beli dan menghatamkan riba”.4

Ayat tersebut menjelaskan tentang dasar kehalalan (kebolehan) hukum


jual beli dan keharaman (menolak) riba. Allah SWT adalah dzat yang maha
mengetahui atas hakikat persoalan kehidupan. Maka, jika dalam suatu perkara
terdapat kemaslahatan, maka akan diperintahkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya
jika menyebabkan kemudharatan, maka Allah SWT akan melarangnya. Dan
dalam ayat lain yang artinya: bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari
tuhanmu.
Nabi SAW berabda: “dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk
saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling
jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan
cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila
keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya, maka akan

4
Al-Qur’an, 2( al-Baqarah) : 275
dicabut barokah jual beli dari keduanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886) 5
para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun
qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara
jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang
lain baik berupa harga atau sesuau yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak
dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain,
maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai
kepada tujuan yang dikehendaki.

3. Macam-Macam Jual Beli


Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang.
Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan objeknya yaitu:
1. Jual beli umum
2. Jual beli As-Sharf (money changer)
3. Jual beli muqayadhah

b. Berdasarkan Standardisasi Harga yaitu:


1) Jual beli Bargainal (tawar menawar)
2) Jual beli amanah, dengan dasar ini jual beli terbagi menjadi 4 jenis:

o Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan
yang diketahui
o Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan
kerugian yang diketahui
o Jual beli tauliyah, yitu jual beli dengan menjual barang sama dengan
harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian

5
H. Sulaiman Rasyid, fiqih Islam pada bab kitab muamalah.
o Cara pembayaran (jual beli kont`n, jual beli nasi’ah, jual beli dengan
penyerahan barang tertunda, jual beli dengan penyerahan barang dan
pembayaran sama-sama tertunda.

4. Rukun Jual Beli


Menurut Imam Nawawi dalam syarah al-Muhadzabrukun jual beli meliputi tiga
hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud alaihi
(barang yang diakadkan) dan shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul
(penerimaan).6
o Akid adalah: pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang terdiri
dari penjual dan pembeli. Baik itumerupakan pemilik asli, maupun orang
lain yang menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia
memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikanya. 7
o Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-
sifatnya dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual
beli barang yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau
salah satu dari keduanya, maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’i telah
mengatakan, tidak sah jual beli tersebut karena ada unsur penipuan. Para
Imam tiga dan golongan ulama madzhab kita juga mengatakan hal yang
serupa.8
o Shighat (ijab dan qabul). Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti “aku
jual barang ini kepadamu dengan harga sekian”. Dan qabul adalah
ucapan dari pembeli, seperti “aku beli barang ini darimu dengan harga
sekian”. Dimana, keduanya terdapat persesuaian maksud meskipun
berbeda lafaz seperti penjual berkata “aku milikkan barang ini”, lalu
pembeli berkata “aku beli” dan sebaliknya. Selain itu tidak terpisah lama

6 Taqiyuddin Abu bakar, Kifatul Akhyar, (CV Bina Iman, 1995), 535.
7 Dimyaudin djuwaini, pengantar figih muamallah,....,56.
8 Taqiyuddin Abu bakar, Kifatul Akhyar, (CV Bina Iman, 1995), 537
antara ijab dan qabulnya, sebab terpisah lama membuat boleh keluarnya
(batalnya) qabul tersebut9

5. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli


Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
· Berkaitan dengan objek
o Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada,
menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih)
atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
o Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti
menjual barang najis, haram dan sebagainya.
o Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual.
· Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
o Jual beli yang mengandung riba
o Jual beli yang mengandung kecurangan.

B. HUTANG-PIUTANG
1. Pengertian Hutang Piutang
Dalam bahasa Arab, utang merupakan sesuatu yang berada dalam
tanggung jawab orang lain. Dayn disebut juga Dengan ‫ )مة الذ وصف‬sesuatu yang
harus dilunasi atau diselesaikan. Menurut Hanafiyah, dayn termasuk kepada al-
Milk. Utang dapat dikatagorikan pada al-Māl al-Hukmi: “sesuatu yang dimiliki
oleh pemberi utang, sementara harta itu berada pada orang yang berutang.”
Sehingga utang negara adalah Milik rakyat dan dipergunakan untuk keperluan
rakyat. Selain Itu, utang secara bahasa utang juga dapat bermakna Memberikan
pinjaman. Al Dayn mensyaratkan jangka waktu Tertentu dalam pengembalian
utang, hal ini yang membedakan Al-Qardh yang tidak mensyaratkan jangka

9 Taqiyuddin Abu bakar, Kifatul Akhyar, CV Bina Iman, 1995., 537.


waktu tertentu dalam Pengembalian utangnya, dayn lebih umum dari al-qardh
(Nurul Huda, 2012: 239).
Hutang secara terminologi adalah memberikan harta kepada orang yang
akan memanfaatkannya dan mengembalikan ganti rugi dikemudian hari
(Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, 2009: 152). Sedangkan menurut
kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hutang adalah penyediaan dana atau
tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam untuk
melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam dalam jangka waktu
tertentu.

Menurut Sayid Sabiq Al-Qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi
utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian
dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah
mampu membayarnya.10

2. Dasar Hukum berutang

Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam.


Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di
dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan
disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini:

‫ش ِديْد‬
َ ‫ّللا‬
َ ٰ ‫ّللا ۗاِن‬ ِ ‫اْلثْ ِم َو ْالعد َْو‬
َ ٰ ‫ان ۗ َواتقوا‬ ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫َو َْل تَ َع‬
َ ‫اون ْوا‬

ِ ‫ْال ِعقَا‬
‫ب‬
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan

10 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr1981), 182.


bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
(Q.S. Al Maidah/5: 2)

Ayat ini memerintahkan manusia agar saling tolong menolong sesama


manusia, hal ini dikarenakan manusia tidak akan dapat hidup tanpa bantuan
orang lain dan selalu membutuhkan orang lain. Niat tolong-menolong yang
begitu baik dan ikhlas terkadang akan menimbulkan permasalahan dikemudian
hari, Allah telah memberikan peringatan dalam firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 282 yang artinya:

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu Bermu’amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya, dan hendaklah seorang Penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa
yang akan ditulis Itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan Persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak
ada dua oang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak m Wenimbulkan
keraguanmu. Tulislah mu’amalahmu itu, kecuali Jika mu’amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada
dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal
itu adalah suatu kefasikan pada dirimu, dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Ayat ini menjelaskan, bahwa dalam bertransaksi yang dilaksanakan


idealnya harus tercatat agar ada pegangan diantara pihak yang bertransaksi
sebagai bukti etintik. Pada era sekarang ini, sering terjadi permasalahan
dikarenakan tidak ada bukti tertulis, sehingga pihak yang bertransaksi saling
menyangkal, hal ini memungkinkan karena memiliki nilai yang menguntungkan
pada salah satu pihak sehingga ada pihak yang dirugikan.

3. Rukun Dan Syarat Utang

Adapun yang menjadi syarat dan rukum yang harus dipenuhi dalam utang-
piutang adalah sebagai berikut:

a. Sighat
Yang dimaksud sighad akad adalah ijab dan kabul. Tidak ada perbedaan
diantara fukaha bahwa ijab kabul itu sah dengan lafaz utang dan dengan
satu lafaz yang menunjukan maknanya, seperti kata, “aku memberimu
utang”, atau “aku mengutangimu. Demikian pula kabul sah dengan
semua lafaz yang menunjukkan kerelaan, seperti “aku berutang”, “aku
menerima” atau “aku ridha”.
b. Akad
Akad yang dimaksud adalah akad kedua belah pihak yang melakukan
teransaksi yang memberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat
bagi pengutang adalah merdeka, balig, berakal sehat dan pandai yang
bisa membedakan baik dan buruk.
c. Harta yang dihutangkan
Rukun harta yang diutangkan adalah sebagai berikut:
1. Harta yang berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta
yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak
berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilai, seperti uang,
barang-barang yang ditukar, ditimbang, ditanam dan yang
dihitung.
2. Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah
mengutangkan manfaat (jasa).
3. Harta yang diutangkan diketahui, yang diketahui kadarnya dan
diketahui sifatnya (Mardani, 2013: 335).

C. RIBA
1. Pengertian Riba
Secara bahasa (lughah), menurut al-Razi, riba berarti tambahan. Hal ini
didukung dengan sebuah ungkapan rabā al-syay‟ yarbū; arbā al-rajul idzā
„amala fī al-ribā. Di samping itu juga dikuatkan oleh QS. al-Hajj [22]:5:
...‫…(وربت اهتزت‬hiduplah bumi itu dan suburlah…).11 Arti kata riba dalam ayat
ini adalah bertambahnya kesuburan atas tanah. Sejalan dengan ini bisa dilihat
QS. al-Nahl [16]:92: … disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak
jumlahnya (arba) dari golongan yang lain. Senada dengan al-Razi, al-Shabuni
berpendapat bahwa riba adalah tambahan secara mutlak. 12 Demikian pula al-
Jurjani dalam kitab al-Ta„rīfāt-nya menjelaskan bahwa riba secara bahasa
bermakna ziyādah(tambahan). 13

11 Iman Fahruddin al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr aw Mafātīh al-Ghaib, jilid 7-8, Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.tt., hlm. 75.
12 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, jilid 1, Beirut:

Dār al-Fikr, t.tt., hlm. 383.


13 Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta„rifāt, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tt., hlm.

109.
Menurut Quraish Shihab, kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”.
Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang
dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu
mereka berkata (sebagaimana diungkapkan al-Qur‟an –bahwa “jual beli sama
saja dengan riba” (QS. al-Baqarah [2]:275), Allah menjawab mereka dengan
tegas bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun
dapat dipastikan bahwa tentu ada alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan
dan jual beli dihalalkan.14
Sedangkan secara terminologis, menurut al-Shabuni, riba adalah
tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai
perumbangan dari masa (meminjam). Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai
tambahan atau kelebihan yang tiada bandingannya bagi salah satu orang yang
berakal. Sementara Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitāb al-Fiqh alā Madzāhib al-
Arba„ah menjelaskan bahwa riba menurut istilah fukaha adalah tambahan pada
salah satu dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan/imbangan
terhadap tambahan tersebut. Dalam madzhab Syafi‟i, riba dimaknai sebagai
transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya
maupun ukuran waktunya kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan
kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya. 15
2. Tahapan Pelarangan Riba
Menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur‟an, kata riba diulang sebanyak
delapan kali yang terdapat dalam empat surah, yakni al-Baqarah Ali Imran, al-
Nisa‟ dan al-Rum. Tiga surah pertama adalah “ayat madaniyah” (turun setelah
Nabi Hijrah ke Madinah), sedangkan surah al-Rum adalah “ayat Makkiyah”
(turun sebelum Nabi Hijrah).22 Ini berarti ayat pertama yang membahas tentang
riba adalah firman Allah:

14 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟I atas berbagai Persoalan Umat, Bandung:
Penerbit Mizan, 1998, hlm. 413
15 Al-Nawawi, al-Majmū‟, jilid IX, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hlm. 403-404
َٓ‫ٱّللٓۖ َو َمآ َءاتَ ْيت ُم ِّمن زَ ك ََٰوةٓ ت ُِّريدُونَٓ َوجْٓه‬
َِّّٓ ‫ل ي َْربُوآ عِّن َٓد‬ ٓ ِّ َّ‫َو َمآ َءاتَ ْيت ُم ِّمن ِّربًا ِّلي َْربُ َوآ فِّىٓ أَ ْم َٰ َو ِّٓل ٱلن‬
َٓ َ‫اس ف‬
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah
Pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)” (QS. Al-Rum [30]:39).
Ali al-Shabuni menggambarkan secara detail tahap-tahap tersebut. Tahap
pertama, Allah menurunkan QS. al-Rum [30]39. Ayat ini diturunkan di Makkah
yang pada dasarnya belum menyatakan secara tegas mengenai keharaman riba,
namun dalam ayat tersebut mengindikasikan kebencian Allah terhadap praktik
riba dan tidak adanya pahala di sisi Allah Swt.
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah swt
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba. Pada tahap ini Allah menurunkan QS. al-Nisa‟ [4]:160-161
Ayat ini termasuk ayat madaniyah yang memberi pelajaran bagi kita bahwa
Allah swt menceritakan tentang perilaku orang Yahudi yang telah diharamkan
untuk memakan riba, namun mereka tetap memakannya. Lalu Allah swt
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang tetap
memakan riba. Ayat ini memang bukan merupakan dilalah keharaman riba bagi
kaum muslimin. Akan tetapi memberi gambaran yang buruk terhadap praktik
riba.
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan
yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada
masa tersebut. Pada tahap ini, Allah menurunkan QS. Ali Imran [3]:130.
Menurut al-Shabuni, ayat ini termasuk madaniyah yang di dalamnya telah
menerangkan keharaman riba secara jelas namun bersifat juz‟i tidak bersifat
kulli. Sebab, pengharamannya „hanya‟ ditujukan pada riba al-fāhisy; riba yang
sangat buruk dan keji di mana dengan riba tersebut hutang seseorang dapat
menjadi berlipat-lipat.
Seluruh ulama tanpa kecuali telah bersepakat J/berkonsensus (berijma’)
bahwa riba qardh dan riba buyu’ itu diharamkan dalam Islam. Berdasarkan dalil-
dalil di atas yang shahih dan sharih (jelas dan tegas) menunjukan bahwa riba
qardh (riba nasi’ah/riba jahiliyyah) termasuk yang tsawabit dan qath’iyyah
(prinsipil dan fundamental) dalam agama Islam.

3. Macam-Macam Riba
Menurut jumhur ulama, riba dibagi menjadi dua Bentuk, yaitu sebagai berikut:
• Riba akibat utang-piutang disebut riba qardh atau Riba duyun (jamak
dari dayn) yaitu suatu manfaat, Tingkat kelebihan, atau tambahan
(ziyadatul maal) Tertentu yang disyaratkan atau diperjanjikan Terhadap
orang yang berhutang (muqtaridh/debitur) atas pokok utangnya, dan riba
Jahiliyah, yaitu tambahan yang dibayar diatas Pokok utangnya akibat si
peminjam (debitur) Tidak mampu membayar utangnya tepat waktu.
Definisi riba pada kelompok pertama ini relevan Dengan arti riba secara
harfiah, yakni tambahan (al-ziyadah).
• Riba akibat jual-beli disebut riba buyu’ (jamak Dari kata bai’) mencakup
riba fadhl riba nasa’ (riba yad), dan riba nasi’ah yaitu pertukaran antar
Barang sejenis yang berbeda kuantitas, kualitas, Atau waktu
penyerahannya dan barang yang Dipertukarkan termasuk dalam jenis
barang ribawi (al-amwaal al-ribawiyat) yaitu: emas, perak, Gandum,
kurma, dan garam.
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan


menggunakan cara tertentu. Jual beli pada dasarnya merupakan akad
yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat
dalam al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ Ulama. Rukun jual beli meliputi tiga
hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud
alaihi (barang yang diakadkan) dan shighat, yang terdiri atas ijab
(penawaran) qabul (penerimaan).

Dalam agama islam prilaku utang piutang diperkenankan asal


dengan bil baik dan benar sesuai ketentuan agama. Dalam transaksi
utang piutang setiap muslim diwajibkan untut mencatat setiap utang
yang dilakukan, karena dengan begitu akan mengantisipasi hal-hal buruk
yang akan terjadi selama proses akad masih berlangsung.

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan.


Berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut di atas, para ulama sepakat
bahwa riba merupakan sesuatu yang dilarang karena ayat-ayat yang
menjelaskan tentang keharaman riba dinilai sangat jelas dan secara
kronologis dapat dipahami esensi pelarangan tersebut.

B.SARAN

Setelah membaca makalah dan kesimpulan diatas kami berharap agar


pembaca bisa mengetahui apa saja yang di maksud dengan jual beli, hutang-
piutang dan riba.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Taqiyyudin, bin Muhammad, Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghayatil
Ikhtisar, alih bahasa Syarifudin Anwar dan Misbah Mustofa, Surabaya: CV Bina
Iman, 1995.

As-Sa’di, Abdurrahman, dkk, Fiqh al-Bai’ wa as-Sira’, alih bahasa Abdullah, cet. I,
Jakarta Selatan: Senayan Publising, 2008.

Bahreisj, Hussein, Hadits Shahih al-Jamius Sholih, Bukhori-Muslim, Surabaya:


Karya Utama, 1997.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 2012. Tafshîl âyât al-Quran al-Hakîm.

Fikri, Ali. 1356 H. Al-Muamalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah. Mesir:

Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi,


Jakarta: Penerbit Teraju, 2002.

Anda mungkin juga menyukai