JUAL BELI
DISUSUN OLEH :
NAMA NIM
S1 ILMU HUKUM
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami hadiahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah
mengenai “Jual Beli”. Kami juga berterima kasih kepada Dosen mata kuliah Fiqih
Muamalah Ibu Zuraidah, M.Ag yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami.
Sehingga kami dapat ilmu yang lebih dari penyusunan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN...........................................................................................2
2.1 Pengertian dan Landasan Hukum Jual Beli.................................................2
2.2 Syarat dan Rukun Jual Beli......................................................................... 4
2.3 Macam-Macam Jual Beli.............................................................................7
2.4 Jual Beli yang Dilarang dalam Islam...........................................................9
BAB III : PENUTUP.................................................................................................10
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 10
3.2 Saran.......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I : PENDAHULUAN
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang
telah dibenarkan secara syara’ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum
maksudnya ialah memenuhi persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada
kaitanya dengan jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi
berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.
Jual beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh masyarakat, karena
dalam setiap pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling
untuk meninggalkan akad ini. Dari akad jual beli ini masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan pokok (primer), kebutuhan tambahan
(sekunder) dan kebutuhan tersier.
a. Pengertian
Jual beli secara bahasa adalah mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu,
sedangkan menurut istilah menukarkan suatu harta dengan harta benda yang lain dan
keduanya menerima harta untuk dibelanjakan dengan ikrar penyerahan dan jawab
penerimaan (ijab qabul) menurut cara tertentu yang sudah diatur syara’. Jual beli ialah
menukar sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan berdasarkan pendapat istilah ialah
menukar harta dengan harta berdasarkan pendapat caracara yang telah di tetapkan-
syara’. Hukum jual beli ialah halal atau boleh. Dalam Kitab Kifayatul Ahyar disebutkan
Definisi Jual beli berdasarkan pendapat bahasa ialah: “memberikan sesuatu karena ada
pemberian (imbalan tertentu)”.
Berdasarkan pendapat Syeh Zakaria al-Anshari jual beli ialah: “Tukar menukar
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sayyid sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah menerangkan
jual beli secara etimologi bahwa jual beli berdasarkan pendapat Definisi lughawiyah
ialah saling menukar (pertukaran)”. Sedangkan berdasarkan pendapat Hamzah Ya’qub
dalam bukunya ‚Kode Etik Dagang Berdasarkan pendapat Islam menjelaskan: “jual beli
berdasarkan pendapat bahasa yakni ‚menukar sesuatu dengan sesuatu”. Dari defnisi di
atas dapat dipahami bahwa inti jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar
benda atau barang yang memiliki nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
peraturan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
1
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah, ( klasik hingga temporer), ( UIN-Maliki, Malang Press, 2018), hlm 29-30.
2
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 68
2
b. Landasan Hukum34
Adapun dasar hukum jual beli yakni mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an,
Hadist, dan Ijma’. Landasan al-Qur’an ,Ulama Fiqih berpendapat bahwa yang menjadi
dasar diperbolehkan jual beli adalah sebagaimana disebutkan dalam (Q.S Al-Baqarah,
2:275) yang berbunyi:
ۗاَﻟﱠﺬِﯾْﻦَ ﯾَﺎْٔﻛُﻠُﻮْنَ اﻟﺮﱢﺑٰﻮا ﻻَ ﯾَﻘُﻮْﻣُﻮْنَ اِﻻﱠ ﻛَﻤَﺎ ﯾَﻘُﻮْمُ اﻟﱠﺬِيْ ﯾَﺘَﺨَﺒﱠﻄُﮫُ اﻟﺸﱠﯿْﻄٰﻦُ ﻣِﻦَ اﻟْﻤَﺲﱢ
ٗذٰﻟِﻚَ ﺑِﺎَﻧﱠﮭُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮْٓا اِﻧﱠﻤَﺎ اﻟْﺒَﯿْﻊُ ﻣِﺜْﻞُ اﻟﺮﱢﺑٰﻮاۘ وَاَﺣَﻞﱠ ﷲُّٰ اﻟْﺒَﯿْﻊَ وَﺣَﺮﱠمَ اﻟﺮﱢﺑٰﻮاۗ ﻓَﻤَﻦْ ﺟَﺎۤءَه
ُﻣَﻮْﻋِﻈَﺔٌ ﻣﱢﻦْ رﱠﺑﱢﮫٖ ﻓَﺎﻧْﺘَﮭٰﻰ ﻓَﻠَﮫٗ ﻣَﺎ ﺳَﻠَﻒَۗ وَاَﻣْﺮُهٗٓ اِﻟَﻰ ﷲِّٰ ۗ وَﻣَﻦْ ﻋَﺎدَ ﻓَﺎُوﻟٰۤٮِٕﻚَ اَﺻْﺤٰﺐ
َاﻟﻨﱠﺎرِ ۚ ھُﻢْ ﻓِﯿْﮭَﺎ ﺧٰﻠِﺪُوْن
Artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, ialah: disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu ialah: penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”. (QS Al Baqarah: 275 ).
3
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah, ( klasik hingga temporer), ( UIN-Maliki, Malang Press, 2018), hlm 30.
4
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 15
3
jangka waktu tertentu dan pada sisi lain keuntungan melalui penundaan pembayaran
yang telah jatuh tempo. 5Keuntungan yang berasal dari jual beli tidaklah sama dengan
keuntungan dari hasil bunga riba karena Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan
mnegharamkan riba.
Landasan ijma’ ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibuthukan itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Allah SWT
mensyariatkan jual beli sebagai pemberian peluang dan keleluasaan untuk
hambahambaNya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa
sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tidak pernah terputus dan tidak
henti-henti selama manusia masih hidup , tidak seorang pun dapat memenuhi hajat
hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut untuk berhubungan dengan yang lainnya
dalam hal mencapai kebutuhannya terutama dalam hal mencari rezeki dengan jalan jual
beli. Dalam hal ini tidak ada satu hal pun yang lebih sempurna dari pertukaran, dimana
seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh susuatu yang
berguna dari orang lain sesuai kebutuhan masing-masing.
Menurut Ulama Maliki, jual beli dianggap sah apabila memiliki syarat-syarat yaitu:
1. Orang yang melakukan akad adalah mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat, dan
merupakan pemilik dari barang yang akan diperjual belikan.
2. Adanya pengucapan lafaz dalam suatu majelis dan antara ijab dan Kabul tidak
terputus.
5
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 15
4
3. Objek yang diperjualbelikan harus suci, bermanfaat, diketahui oleh penjual dan
pembeli, serta objek tersebut dapat diserahterimakan.6
Berbagai aktifitas akad, setiap praktik jual beli memiliki rukun yang harus dipenuhi,
baik oleh penjual maupun pembeli. Hendi Suhendi dalam bukunya ”Fiqih Muamalah”
bahwa yang menjadi rukun jual beli adalah sebagai berikut:
6
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 17-20
5
Menurut Sayid Sabiq, objek akad harus mempunuyai kriteria sebagai berikut: 789
1. Benda tersebut suci dan halal (tidak boleh menjual barang yang diharamkan)
2. Benda tersebut dapat dimanfaatkan
3. Benda tersebut milik yang melakukan akad jual beli(dilarang menjual barang
yang bukan miliknya.
4. Benda tersebut dapat diserahkan.
5. Benda tersebut diketahui bentuknya, keberadaannya, spesifikasinya dan
harganya juga harus jelas.
Adapun menurut Rahmat Syafe’i dalam bukunya Fiqih Muamalah bahwa rukun jual
beli menurut jumhur ulama ada empat yaitu:
1. Ba’i (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shigat (ijab dan kabul)
4. Ma’qud alaih (benda atau barang)
Dalam pelaksanaan jual beli ada lima rukun yang harus dipenuhi seperti dibawah ini:
Jika dilihat dari pendapat masing-masing sebenarnya rukun jual beli yang mereka
ungkapkan sama saja tetapi ada perbedaan sedikit, yang terpenting dalam suatu
perbuatan jual beli semua rukun ini hendaknya dipenuhi oleh kedua belah pihak karena
7
Hendi Suhendi. Op. cit.,hlm.68
8
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah yang diterjemahkan oleh Mujahidn Muhaya (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2010), hlm. 129
9
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung, Pustaka Setia, 2001), hlm. 73
6
salah ketika salah satu rukun tidak terpenuhi maka perbuatan tersebut tidaklah dapat
dikatagorikan 10sebagai perbuatan jual beli.
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa sisi, yakni dari sisi obyek dan Subjek jual beli.
Pembahasannya sebagai berikut:
a. Ditinjau dari sisi benda yang dijadikan obyek jual beli ada tiga macam:
1) Jual beli benda yang kelihatan, yakni pada waktu mengerjakan akad jual beli
benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal
ini lazim dilaksanakan masyarakat Umum.
2) Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian, yakni jual beli salam
(pesanan). Salam merupakan jual beli yang tidak tunai (kontan), pada awalnya
meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu,
maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barangbarangnya
ditangguhkan hingga masa-masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah
diputuskan ketika akad.
3) Jual beli benda yang tidak ada serta tidak bisa dilihat, yakni jual beli yang
dilarang oleh agama Islam, sebab barangnya tidak pasti atau masih gelap,
sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan
yang akibatnya dapat memunculkan kerugian diantara pihak”.
1) Bai’ al-muqayadhah, yakni jual beli barang dengan barang, atau yang lazim
disebut dengan barter. Seperti menjual garam dengan sapi.
2) Ba’i al-muthlaq, yakni jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau
menjual barang dengan saman secara mutlaq, seperti dirham, dolar atau rupiah.
10
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah, ( klasik hingga temporer), ( UIN-Maliki, Malang Press, 2018), hlm 36-37
7
3) Ba’i al-sharf, yakni menjual belikan saman (alat pembayaran) dengan saman
13
lainnya, seperti rupiah, dolar atau alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku
secara umum.
4) Ba’i as-salam. Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai
mabi’ melainkan berupa dain (tangguhan) sedangkan uang yang dibayarkan
sebagai saman, bisa jadi berupa ‘ain bisa jadi berupa dain namun harus
diserahkan sebelum keduanya berpisah. Oleh karena itu saman dalam akad
salam berlaku sebagai ‘ain”.
c. Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi menjadi tiga bagian, yakni:
1) Akad jual beli yang dilaksanakan dengan lisan, yakni akad yang dilaksanakan
oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat yang merupakan
pembawaan alami dalam menampakkan kehendak, dan yang dipandang dalam
akad ialah maksud atau kehendak dan Definisi, bukan pembicaraan dan
pernyataan.
2) Penyampaian akad jual beli melewati utusan, perantara, tulisan atau surat-
menyurat, jual beli seperti ini sama dengan ijab kabul dengan ucapan, misalnya
JNE TIKI dan lain sebagainya. Jual beli ini dilaksanakan antara penjual dan
pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad, tapi melalui JNE TIKI. Jual
beli seperti ini dibolehkan berdasarkan pendapat syara’. Dalam pemahaman
sebagian Ulama’ , format ini hampir sama dengan format jual beli salam, hanya
saja jual beli salam antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu
majlis akad. Sedangkan dalam jual beli via pos dan giro antara penjual dan
pembeli tidak berada dalam satu majlis akad.
3) Jual beli dengan tindakan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah
mu’athah, yakni mengambil dan menyerahkan barang tanpa ijab dan qabul,
seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label harganya,
dibandrol oleh penjual dan kemudian memberikan uang pembayaranya kepada
13
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah, ( klasik hingga temporer), ( UIN-Maliki, Malang Press, 2018), hlm 36-37
8
penjual. Jual beli dengan cara demikian dilaksanakan tanpa ijab qabul antara
penjual dan pembeli, berdasarkan pendapat sebagian ulama’ Syafi’iyah tentu hal
ini dilarang, tetapi berdasarkan pendapat sebagian lainnya, seperti Imam
Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang
demikian, yakni tanpa ijab qabul terlebih dahulu”.14
Adapun jenis-jenis jual beli yang dilarang, yang dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly,
dkk dalam buku kifayah al akhyar karangan Imam Tamiyuddin adalah sebagai berikut:
Bentuk jual beli yang termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
a. Jual beli yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan. Seperti
babi, berhala, bangkai dan khamr (minuman yang memabukkan). Seperti
Contoh :
اِﻧﱠﻤَﺎ ﺣَﺮﱠمَ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢُ اﻟْﻤَﯿْﺘَﺔَ وَاﻟﺪﱠمَ وَﻟَﺤْﻢَ اﻟْﺨِﻨْﺰِﯾْﺮِ وَﻣَﺂ اُھِﻞﱠ ﻟِﻐَﯿْﺮِ ﷲِّٰ ﺑِﮫٖۚ ﻓَﻤَﻦِ اﺿْﻄُﺮﱠ
ٌﻏَﯿْﺮَ ﺑَﺎغٍ وﱠﻻَ ﻋَﺎدٍ ﻓَﺎِنﱠ ﷲَّٰ ﻏَﻔُﻮْرٌ رﱠﺣِﯿْﻢ
(Qs. An-Nahl 16: 115)
Ayat di atas dapat dijelaskan, bahwa jelas sekali dalam ayat Al-Quran, surah An-Nahl
ayat 115 adanya larangan untuk memakan bangkai, darah, daging babi, dan apapun yang
disembelih selain menyebut nama selain Allah, apabila ada yang terpaksa untuk
memakan untuk bertahan hidup itu diperbolehkan dengan cara tidak berlebihan dan
hanya dalam keadaan darurat saja.
14
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 23-32
9
a) Jual beli yang belum jelas15
sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar haram untuk diperjualbelikan, karena
dapat merugikan salah satu pihak, terutama pembeli.Yang dimaksud dengan samar-
samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa pembayarannya,
maupun ketidakjelasan yang lainnya. Jual beli yang dilarang karena samar-samar antara
lain:
a) Jual beli buah- buahan yang belum tampak hasilnya. Misalnya, menjual putik
mangga untuk dipetik kalau telah tua atau masak nanti.
b) Jual beli barang yang belum tampak. Misalnya, menjual ikan di kolam atau laut,
menjual ubi singkong yang masih ditanam, menjual anak ternak yang masih
dalam kandungan. Contohnya menjual anak kambing yang masih dalam
kandungan induknya ataupun tidak sesuai dengan keinginan, ditakutkan anak
kambing yang lahir itu mati, cacat, ataupun tidak sesuai dengan keinginan pada
saat lahirnya, itulah alasan jual beli seperti ini dilarang yang pastinya akan
merugikan pihak pembeli.
Jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada
kaitannya dengan jual beli atau ada unsur-unsur yang merugikan dilarang oleh agama.
15
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 23-32
10
d) Jual beli yang dilarang karena dianiaya
Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti
menjual anak binatang yang masih membutuhkan (bergantung) kepada induknya.
Jual beli Muhaqalah yaitu menjual tanaman yang masih disawah atau diladang. Hal ini
dilarang agama karena jual beli ini masih samar-samar dan mengandung tipuan.
Misalnya saja, dalam satu petak sawah yang berisikan padi yang baru muncul lalu dibeli
secara borongan, hal ini tidak dperbolehkan karena belum jelas ukurannya dalam hal
apakah padi tersebut akan bagus hasilnya maupun apakah uang yang diterima akan
sesuai dengan penjualan hasil panen.
Menjual buah-buahan yang masih hijau (belum pantas dipanen), seperti menjual
rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil. Hal ini dilarang karena
buah ini masih samar, dalam artian mungkin saja buah ini jatuh tertipu angin kencang
dan layu sebelum diambl oleh pembelinya.
Jual beli ini terjadi secara sentuh menyentuh. Misalnya, seorang menyentuh sehelai kain
dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti
telah membeli kain ini. Hal ini dlarang karena mengandung tipuan dan akan menjadi
kerugan dari phak pembeli.
Jual beli ini dilakukan dengan cara lempar-melempar. Seperti seorang berkata
‘lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa
16
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 23-32
11
yang ada padaku’. Setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli. Hal ini dilarang
karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab qabul.
yaitu menjual buah yang basah dengan yang kering. Seperti menjual padi kering dengan
bayaran padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang sehingga akan merugikan
pemilik padi kering.
2. Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait
a) Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar Apabila ada dua orang
masih tawar menawar atas sesuatu barang, maka terlarang bagi orang lain
membeli barang itu, sebelum pertama diputuskan.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar. Dilarang untuk
menghadang barang dari luar kota sebelum sampai pasar supaya mendapat harga
yang murah, dan apabila diijual di pasar harganya akan lebih mahal, hal ini tidak
diperbolehkan karena merugikan pihak penjual, terutama yang mengetahui harga
pasar.
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun kemudian akan dijual
ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut. Dapat dipahami bahwa
jual beli dengan cara menimbun ini sangat merugikan pihak pembeli, sebab
mereka tidak memperoleh bahan kebutuhannya saat harga masih standar, ketika
barang kebutuhan itu langka, penjual dengan sengaja melambungkan harga
barang. Sehingga pembeli pun terpaksa untuk membeli barang dengan harga
yang mahal, hal seperti ini tidak diperbolehkan karena orang yang menahan
barang itu adalah termasuk orang yang salah dan yang menimbun itu telah
berbuat zalim.
17
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 23-32
12
d) Jual beli barang rampasan atau curian , Jika si pembeli telah tahu bahwa barang
tersebut adalah curian atau rampasan, maka keduanya telah bekerja sama dalam
perbuatan dosa.
Selain, pembagian jual beli yang dilarang diatas, adapun pembagian jual beli yang
19
dilarang yang sangat merugikan, yaitu jual beli yang mengandung maysir (Perjudian)
dan jual beli yang mengandung unsur riba.
Yang dimaksud dengan maysir atau perjudian adalah suatu permainan yang
menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain, akibat permainan
tersebut, suatu perbuatan atau kegiatan dianggap sebagai maysir ketika terjadinya zero
same game, yaitu kegiatan yang menempatkan salah satu pihak atau beberapa pihak
yang harus menanggung beban pihak lainnya dari kegiatan atau permainan yang
dilakukannya.
Riba dilarang oleh syariat Islam berdasarkan kepada nas Al-Quran dan hadis.
ۙﻓَﺒِﻈُﻠْﻢٍ ﻣﱢﻦَ اﻟﱠﺬِﯾْﻦَ ھَﺎدُوْا ﺣَﺮﱠﻣْﻨَﺎ ﻋَﻠَﯿْﮭِﻢْ طَﯿﱢﺒٰﺖٍ اُﺣِﻠﱠﺖْ ﻟَﮭُﻢْ وَﺑِﺼَﺪﱢھِﻢْ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﯿْﻞِ ﷲِّٰ ﻛَﺜِﯿْﺮًا
(Qs. An-Nisa 4: 160)
Ayat di atas diturunkan di Madinah, ayat ini menceritakan tentang larangan riba bagi
kaum Yahudi tetapi mereka melanggarnya sehingga menurunkan laknat terhadap
mereka.Ayay ini mengharamkan riba secara tidak langsung kepada kaum muslimin
karena ayat ini hanya menceritakan hukum haramnya kepada kaum yahudi.
19
BAB II Jual dan Beli ( UIN Raden Fatah) hlm 23-32
13
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Makalah dengan tema penegakan jual beli ini dikembankan dengan Teknik literature
melalui beberapa jurnal. Kami masih merasa jika makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar maklah kami
kedepannya lebih baik lagi.
10
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Farroh Hasan, 2018. Fiqih Muamalah (klasik hingga temporer), UIN
Maliki Malang Press
Sayid Sabiq, 2010. Fiqih Sunnah yang diterjemahkan oleh Mujahidn Muhaya,
Jakarta: Pena Pundi Aksara.