Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HADIS MUAMALAH

“SYUF’AH”

Di susun guna memenuhi satu tugas makalah pada mata kuliah Hadis Muamalah

Dosen : Dr. Abdul Ghani,S.AM.,M.HI

Disusun Oleh :

Firly Hariandini (90200121028)

Kiki Resky Rahayu (90200121031)

Andi Muhammad Syahrul syam (90200121037)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN MANAJEMEN

2022 – 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah hanya kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kita kekuatan iman dan islam,memberikan kesehatan jasmani dan rohani, dan semoga kita
termasuk orang-orang yang selamat dan diselamatkan oleh Allah SWT.Sholawat dan salam
tetaplah kita curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kita kepada jalan yang terang dan mengurangi kerumitan hidup menjadi jalan yang amat
indah berupa ajaran Agama Islam.
Penulis telah merasa sangat lega karena telah menyelesikan makalah dengan judul
“SYUF’AH” ini sebagai tugas salah satu mata kuliah Bahasa Indonesia.Dalam makalah ini
telah sedikit kami sajikan tentang karya tulis ilmiah.Semoga karya ini akan mampu memberi
manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya makalah ini.dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya
kami dilain waktu.

Gowa, 22 Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................2
C. TUJUAN .................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. PENGERTIAN SYUF’AH......................................................................................4
B. KETENTUAN SYUF’AH.......................................................................................4
C. RUKIN DAN SYARAT SYUF’AH........................................................................5
D. DASAR HUKUM SYUF’AH ................................................................................6
BAB III PENUTUP...........................................................................................................7
A. KESIMPULAN ......................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................8
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam menetapkan beberapa peraturan dalam bidang mu’amalah yang bertujuan
untuk mendapatkan ke-maslahat-an pada pihak yang saling berhubungan dan
menghindari terjadinya ke-mudarat-an ataupun kerugian, diantara ketentuan
yang ditetapkan adalah di-syari’at-kannya syuf’ah terhadap harta serikat yang
akan dijual oleh salah satu pihak dari peserikat tersebut. Syuf’ah adalah hak
untuk membeli secara paksa yang ditetapkan untuk serikat lama atas serikat baru
dengan sebab adanya perserikatan terhadap harta yang mereka miliki bersama.
Berdasarkan defenisi tersebut jelas bahwa teman serikat (syafi’) mempunyai hak
membeli dengan paksa barang serikat yang telah dijual oleh teman serikatnya
kepada orang lain baik dia rela menjual kembali barang yang telah dibelinya
atau tidak rela, dengan kata lain ditetapkannya hukum syuf’ah agar salah
seorang peserikat tidak menjual barang serikatnya kepada orang lain sebelum
ditawarkan kepada teman serikatnya lebih dahulu. Hal ini bertujuan agar tidak
menimbulkan ke-mudharat-an pada teman serikatnya jika seandainya ia harus
berserikat dengan orang yang baru
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian syuf’ah
2. Ketentuan,syarat dan dasar hukum syuf’ah
C. TUJUAN
1. Mengetahui apa itu Syuf’ah
2. Mengetahui apa saja Ketentuan, syarat dan dasar hukum syuf’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SYUF’AH
Kata syuf’ah berasal dari bahasa arab ‫ )شفع‬syafa’a) yang berarti menggabungkan
kepadanya yang sepertinya. Dikatakan demikian karena orang yang mempunyai
hak syuf’ah menggabungkan benda serikat yang dijual oleh temannya kepada
miliknya dalam serikat itu sehingga terlihat seolah-olah berpasangan.
Adapun pengertian syuf’ah menurut terminologi adalah berikut ini: Dan yang
dimaksud dengan syuf’ah menurut syara, syuf’ah adalah Pemilikan barang
syuf’ah oleh syafi’, sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga
barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli
lain.
Adapun menurut jumhur ulama selain ulama Hanafiyyah syuf’ah adalah hak
seorang peserikat untuk mengambil (membeli) benda yang dijual teman
serikatnya berupa benda tidak bergerak, dengan mengganti harga atau nilainya
yang telah dibayarkan oleh pihak ketiga itu dengan shighat (lafaz).
Hak syuf’ah dapat diberikan kepada pihak-pihak tertentu atas dasar kepercayaan.
Menurut Pasal 1009 KUH Perdata Islam (Majalla Al-Ahkam Al-‘Adaliyah), hak
syuf’ah itu dimiliki oleh
(1) orang yang menjadi anggota pemilik bersama suatu barang
(2) orang yang memiliki percampuran hak atas harta yang dijual
(3) orang yang bertetangga langsung.
Pada zaman Jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun mereka
selalu didatangi oleh tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta syuf’ah
dari apa yang akad jualnya. Kemudian pemilik menjual dengan memprioritaskan
yang lebih dekat daripada yang jauh, terlebih lagi pihak yang belum dikenal.
Hikmahnya dibolehkannya syuf’ah ialah untuk mencegah terjadinya
kemudharatan. Karena hak pemilikan oleh syafi’ dapat menghindari pembelian
pihak asing (ajnabi) yang keberadaannya belum dikenal.

B. KENTENTUAN SYUF’AH
Syuf’ah merupakan ketetapan Rasulullah yang tidak ada alasan membantahnya.
Untuk mencapai tujuan Syuf’ah, beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan
adalah:
(1) Syafi’ sebagai pihak yang menerima hak syuf’ah harus memenuhi syarat
sebagai subjek hukum. Syafi’ yang akan membeli melalui hak syuf’ah adalah
parner syirkah yang terkait dengan objek (musya).
Berlakunya hak syuf’ah ditentukan berdasarkan kesediaan syafi’. Syuf’ah adalah
berlaku bagi siapapun yang mengusulkannya. Maksudnya, apabila syafi’
mengetahui adanya penjualan benda yang termasuk kategori syuf’ah dan
berminat untuk membelinya,maka wajib baginya untuk segera menggunakan
haknya. Karena apabila tidak menyegerakan meskipun telah mengetahui, maka
hak syuf’ahnya menjadi gugur. Ketentuan ini dibuat untuk mencegah terjadinya
kemudharatan bagi pihak yang akan menjual. Dikatakan demikian, karena
kepemilikannya terhadap barang yang akan dijual belum bersifat tetap, sehingga
tidak memungkinkan untuk dikelola dan dikembangkan.
(2) Adanya objek yang di-syuf’ahkan(masyfu’). Pada prinsipnya, objek syuf’ah
berlaku terhadap segala sesuatu. Berlakunya objek syuf’ah pada harta benda, ada
yang bersifat bergerak maupun tidak bergerak. Dalam hal ini, kalangan ulama
ada dua pendapat, Menurut Jumhur fuqaha, objek syuf’ah adalah benda yang
tidak bergerak (mal al-‘uqar).
(3) Objek syuf’ah berlaku terhadap kepemilikan bersama (al-mal almusytarak)
yang belum dibagi.
Syarat dibolehkannya pembagian harta benda dalam syuf’ah adalah selama tidak
mengurangi nilai kemanfaatan benda tersebut. Karenanya apabila dalam
pembagiannya ternyata tidak mendatangkan manfaat, maka syuf’ah itu menjadi
tidak berlaku.”Rasulullah SAW menetapkan syuf’ah untuk segala jenis (harta
bersama) yang belum dibagi, apabila terjadi batasan hak dan telah jelas
tindakannya, maka tidak ada syuf’ah.”
(4) Pengalihan barang syuf’ah melalui akad jual beli.
Menurut Mazhab Hanafi, hak syuf’ah hanya boleh berlaku pada barang tertentu
melalui jual beli. Dengan demikian, berarti tidak ada syuf’ah yang berpindah
kepemilikan selain akad jual beli. Syuf’ah merupakan bentuk kepemilikan harta
tertentu oleh syafi’ dari hasil pembelian dengan harga sesuai dengan nilai yang
biasa (berlaku) dibayar oleh pembeli lain. Untuk memiliki barang syuf’ah, syafi’
disyaratkan mengambil barang secara keseluruhan. Apabila syafi’ hanya
mengambil sebagian saja, maka hak syuf’ah gugur secara keseluruhan. Setelah
barang diambil alih, syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sebagai pemilik
hak syuf’ah sejumlah harga sesuai yang telah diakadkan.

C. RUKUN DAN SYARAT SYUF’AH


1. Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang al-Syuf’ah
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang dijadikan
benda syuf’ah.
a. Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (‘uqar), seperti tanah, rumah,
dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman, bangunan, pintu-
pintu, pagar, atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat
dilepas. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli fiqh, sedangakan alasan yang
digunakan adalah sebuah hadist dari Jabir r.a : “Rasulullah SAW menetapkan untuk
setiap benda syirkah yang tidak dapat dibagi-bagi seperti rumah atau kebun”.
2. Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah.
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
a. Orang yang membeli secara syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang
tersebut. Perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak adanya
perbedaan batasan diantara keduanya sehingga benda itu menjadi milik mereka
berdua secara bersamaan.
“Rasulullah SAW menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis yang tidak dipecah dan
apabila terjadi batasan hak (had), kemudian perbedaan hak sudah jelas, maka tidak
ada syuf’ah.”
b. Syarat yang kedua adalah bahwa Syafi’I meminta dengan segera. Maksudnya,
Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal itu
memungkinkan. Jika ia telah mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan
tanpa adanya uzur, maka haknya gugur. Alasannya ialah jika Syafi’i memperlambat
permintaannya niscaya hal ini berbahaya buat pembeli, karena kepemilikannya
terhadap barang yang dibeli tidak mantap (labil) dan tidak memungkinkan ia
bertindak untuk membangunnya karena takut tersia-sianya usaha dan takut
disyuf’ah.
c. Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan ketika
akad, kemudian Syafi’I mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu
mitslian atau dengan suatu nilai jika dihargakan.
d. Syafi’I mengambil keseluruhan barang. Maksudnya, Jika syafi’I meminta untuk
mengambil sebagian, maka semua haknya gugur. Apabila syuf’ah terjadi antara dua
syafi’I atau lebih, sebagian syafi’I melepaskannya, maka syafi’I yang lain harus
menerima semuanya. Hal ini dimaksudkan agar benda syuf’ah tidak terpilah-pilah
atas pembeli.
3. Masyfu’ min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah.
Disyaratkan pada masyfu’ min hu bahwa ia memiliki benda terlebih dahulu secara
syarikat.
D. DASAR HUKUM SYUF’AH
Sebagai salah satu jalan untuk menghindari ke-mudharat-an yang bakal terjadi
antara pihak yang berserikat, maka syuf’ah ditetapkan dengan memiliki dasar
hukum berlakunya baik dari hadis maupun ijma’.
Adapun dasar hukum berlakunya syuf’ah dari hadis Rasul adalah berikut ini:
Artinya: Dari Jabir, bahwa Nabi SAW. menetapkan syuf’ah pada setiap barang
yang belum dibagi. Karena itu, apabila batas-batasanya sudah tetap dan jalan-
jalannya sudah diatur maka tidak ada syuf’ah. (HR. Ahmad dan Bukhari).
Hadis di atas dapat dilihat bahwa Rasulullah SAW. memutuskan syuf’ah pada
barang serikat yang belum dilakukan pembagian dimana keadaan barang tersebut
memungkinkan untuk dibagi, maka jika telah ditetapkan batasan bagian di antara
peserikat maka tidak berlaku syuf’ah.
Misalnya si X berserikat dengan Y, Y menjual bagiannya dalam serikat kepada si Z
tanpa izin si X, dalam hal ini X berhak membeli benda yang telah dijual Y kepada
Z walaupun tidak disukai Z.
1. Perkongsian sumur antara Ibu Anik dengan Bapak Makmur
Timbul permasalahan ketika Ibu Anik menjual rumahnya beserta bagiannya atas
sumur itu kepada Ibu Ummi, tanpa meminta pendapat kepada Bapak Makmur.
Awalnya dia tidak keberatan tetapi setelah Ibu Ummi membeli sanyo dan
meletakkannya di dalam sumur tersebut yang menyebabkan Bapak Makmur sering
tidak kebagian air dan kesulitan mengambil air. Perdebatan pun sering terjadi
sehingga Bapak Makmur ingin membeli sumur itu dengan alasan menurutnya dia
lebih berhak atas sumur itu.
2. Perkongsian sumur antara Ibu Khadijah dengan Ibu Nur Alinak keduanya
bersaudara Timbul permasalahan ketika Ibu Linak menjual rumahnya beserta
bagiannya atas sumur itu kepada Ibu Erlina, tanpa meminta pendapat kepada Ibu
Khadijah, tapi kalau dia pun meminta pasti tidak diberikan. Permasalahan yang
terjadi terletak pada jumlah keluarga, dimana Ibu Khadijah anaknya cuma tiga,
sedangkan Ibu Erlina anaknya tujuh. Keadaan tersebut membuat keluraga Ibu
Khadijah merasa tidak adil karena keluarga Ibu Erlina lebih banyak memakai air
menyebabkan Ibu Khadijah keberatan dan dia ingin memiliki sumur tersebut karena
dia merasa milik sumur tersebut dulunya dia dan adiknya yaitu Ibu Linak.
3. Perkongsian sumur antara orang tua Bapak Caman dan Bapak Safaruddin,
sumur tersebut warisan kepada Bapak Caman dari orang tuanya. Selama ini belum
pernah ada pertengkaran diantara mereka, perdebatan mulai muncul setelah Bapak
Caman menjual rumah beserta sumur tersebut kepada Ibu Rosiah. Bapak
Safaruddin keberatan karena dia tidak terima harus satu sumur dengan orang yang
baru, kalau seandainya sumur tersebut bisa dibagi maka kemungkinan besar Bapak
Safaruddin tidak keberatan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Dengan keadaan
tersebut dia mengkrat sumur itu menjadi memiliki sendiri dengan alasan dia lebih
berhak atas sumur itu.
Ketiga kasus di atas menjelaskan adanya perbedaan persepsi antara pihak pertama
dan pihak kedua, dimana persepsi pihak pertama bahwa dia lebih berhak atas sumur
itu, persepsi pihak kedua pun begitu juga bahwa dia 20 yang lebih berhak atas
sumur itu bukan pihak ketiga (pembeli) karena dulu yang membuat sumur itu dia
dengan kawan serikatnya.
Menurut Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm berkata:
Artinya:
Menurut Imam syafi’i tidak ada syuf’ah pada sumur kecuali seseorang memiliki
tanah kosong yang memungkinkan untuk dibagi. Jika sumur tersebut luas dan
memungkinkan untuk dibagi, maka sumur itu dibagi menjadi dua dengan masing-
masing ada mata airnya. Sedangkan jalan, karena ia tidak bisa dimiliki, maka tidak
ada syuf’ah padanya. Sedangkan pekarangan rumah yang ada diantara suatu kaum,
yang memungkinkan untuk dibagikan dan kaum tersebut sudah memiliki jalan
sendiri menuju ke rumah mereka, apabila sebagian darinya dijual, maka syuf’ah
dalam hal ini diperbolehkan.5 Segala sesuatu yang tidak dapat dibagi, seperti kamar
mandi, sumur, jalan, pintu, tidak ada syuf’ah padanya. Demikianlah menurut
pendapat Syafi’i. Maliki mempunyai pendapat yang berbeda, pendapat pertama ada
syuf’ah. Kedua tidak ada syuf’ah. Al-Qhadhi ‘Abdul Wahab al-Maliki memilih
pendapat yang pertama. Dan ini juga pendapat Hanafi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Syuf’ah adalah pemilikan barang yang merupakan milik bersama oleh salah
satu pihak, dengan jalan membayar harganya kepada mitranya sesuai
dengan harga yang biasa dibayar oleh pembeli lain. Dasar hukumnya adalah
berdasar hadis Nabi. Nabi menetapkan syuf’ah untuk barang yang belum
dipecah, dan jika ada batasannya (had) serta batasan-batasannya sudah
dapat dibedakan, maka sudah tidak ada syuf’ah lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Karim Helmi, Fiqh Muamalah, PT: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Rasjid Sulaiman, Fiqh, PT: Sinar Baru, Bandung, 1954.
S Burhanuddin, Hukum Kontrak Syari’ah, PT: BpFe, Yogyakarta,2009.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT: Rajawali Pers, Jakarta,1997.
Lubis, Ibrahim. Suatu Pengantar Ekonomi Islam. Juz II. Jakarta: Kalam Mulia,
1995.
https://www.depokpos.com/2022/03/pengertian-syufah-dalam-ekonomi-islam/

Anda mungkin juga menyukai