Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIQH MUAMALAH

SYUF’AH DAN SHULH


Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu : Mushofikin Sahidin S.H,M.S.I

Disusun Oleh:

1. Citra Novita Sari (1902056115)


2. Aisyah Rizki Amellia (1902056118)
3. Muhammad Mirza Kurniawan (1902056111)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan,
menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang
lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang
mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan
hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda
yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan
menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan pembagian terhadap
barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu
atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari
benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka
bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga
yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu.
Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang
disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak dijelaskan
jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya diketahui antara
dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada Syuf’ah karena dampak
persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak ada, yang karenanya ada
penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang dijual dari
pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah dan Shulh.
Mengenai Ash-shulhu (perdamaian). Karena di dalam perdamaian ini banyak
hal yang dapat kita gali untuk menjadi tambahan ilmu serta wawasan, entah itu dari
rukun, syarat, macam-macam, dan hikmah Shulhu itu sendiri. Selain itu, kita sebagai
umat islam patut mengetahui bahwa di dalam islam, perdamaian diperbolehkan,
asalkan tidak merubah hukum (yang haram menjadi halal atau sebaliknya).
Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan “As-Shulhu” , secara
harfiah atau secara etimologi mengandung pengertian “memutus
pertengkaran/perselisihan”. Yang dimaksud dengan al-Shulh adalah suatu akad yang
bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan. Perdamaian dalam
syariat islam memiliki dasar hukum yang kuat, yakni terdapat di dalam Al-Quran dan
Sunah Nabi SAW. Serta ijtihad para ulama. Didalam perdamaian tidak terjadi secara
begitu saja namun ada rukun dan syarat-syarat yanag harus dipenuhi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Dasar Hukum syuf’ah?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Syuf’ah?
3. Adakah pewaris dalam Syuf’ah ?
4. Bagaimana tindakan pembeli Syuf’ah?
5. Apa hikmah dengan adanya Syuf’ah?
6. Apa Pengertian shulh?
7. Apa dasar hukum shuluh
8. Apa saja rukun shulh dan syarat shulh?
9. Apa saja macam-macam shulh?
10. Apa saja ketentuan-ketentuan terkait shulh?
11. Bagaiman berakhirnya shulh?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi Syuf’ah
2. Mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat Syuf’ah
3. Mengetahui pewarisan dalam Syuf’ah
4. Mengetahui bagaimana tindakan pembeli syuf'ah
5. Mengetahui hikmah adanya Syuf’ah
6. Mengeetahui apa itu pengertian shulh
7. Mengetahui dasar hukum shulh
8. Mengetahui apa saja rukun dan syarat syarat shulh
9. Mengetahuu macam-macam shulh
10. Mengetahui ketentuan-ketentuan terkait shulh
11. Mengetahui berakhirnya shulh
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Syuf’ah

1. Pengertian Syuf’ah
Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu
(menggabungkan), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman
jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga,
partner (mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa
yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat
hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.1
Sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’
sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya,
sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. Berbeda dengan para ulama
menafsirkan al-syuf’ah sebagai berikut :
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri, yang dimaksud dengan Syuf’ah adalah “Hak
memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru
disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya,
disyariatkan untuk mencegah kemudharatan”.2

Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i
sebagai pengganti dan pembeli denan membayar harga brang kepada pemiliknya
sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.3

Menurut Idris ahmad, Al-syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat
lama atas syarikat barudengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik
bersama.

1
Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah, (Dar al-fiqr: Kairo, 1997), hlm 45.
2
Syaikh Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang, t.t), hlm 15.
3
Ibid, hlm 45.
Setelah diketahui ta’rif-tar’rif yang dikkemukakan oleh para ulama beserta contohnya,
kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan
dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.4

Dari pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa as-
syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak
lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota
perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang
diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik
secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang
sudah dilakukan.5

Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta
perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk
dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara
mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Dengan demikian syuf’ah tidak bisa
dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan (syarikah), atau
syuf’ah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi’ terhadap penjualan milik bersama oleh
perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah memperoleh persetujuan atau
kerelaan anggota perserikatan (syarikah) terlebih dahulu atau karena ketidak
sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti hak milik anggota yang
menjual miliknya itu.

Di sisi lain, anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota
pemilikan bersama itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para
pemegang hak perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang
yang terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syuf’ah.

‫صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِال ُش ْف َع ِة فِى ُك ِّل ِشرْ َك ٍة لَ ْم تُ ْق َس ْم رُ ْب َعةٌ أَوْ َحا ِءطٌ الَيَ ِحلُّ لَهُ أَ ْن يَبِ ْي َع َحتّى يُٶ ِذنَ َش ِر ْي ُكهُ فَإ ِ ْن‬ َ ِ‫قَضاى َرسُوْ ُل هللا‬
‫ق بِه‬ َ ‫َشآ َء أَ َخ َذ َوإِ ْن َشآ َء تَ َر‬
ُّ ‫ك فَاإِ َذا بَا َع َولَ ْم يُٶْ ِذ ْنهُ فَهُ َو اَ َح‬

“Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas tiap perserikatan
terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan
itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika seorang
4
Idris Ahmad, fiqh al- Syafiiyah, (Karya Indah: Jakarta, 1986), hlm 121.
5
Ibid, hlm 122
anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh partnernya)
maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh meninggalkannya.
Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya dalam pemilikan itu,
maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual
tersebut”. 6

2. Rukun dan Syarat Syuf’ah


Rukun-rukun Syuf’ah diantaranya :
1) Barang yang diambil (sebagian yang sudah diambil), syaratnya keadaan
barang tidak bergerak. Adapun barang yang bergerak berarti dapat
dipindahkan, dan tidak berlaku padanya Syuf’ah, melainkan dengan jalan
mengkuti kepada yang tidak bergerak.
2) Orang yang mengambil barang (partner lama) : disyari’atkan keadaannya
orang yang tidak bersyari’at pada zat yang diambil, dan memiliki akan
bagiannya. Maka tetangga tidak berhak mengambil Syuf’ah menurut madzhab
Syafi’i, begitu juga yang bersyari’at pada manfaat, dan orang yang
mempunyai hak pada harta wakaf.
3) Yang dipaksa (partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya dengan
jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun pemberian.7

Syarat-syarat Syuf’ah :

1) Barang yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah, rumah
dan yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan, pintu-
pintu, atap-atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat
dilepas. Berdalil kepada hadits dari Jabir r.a.:

‫ ُر ْب َع ٍة أَوْ َحائِ ٍط‬: ‫فى ُكلِّ ِشرْ َك ٍة لَ ْم تُ ْق َس ْم‬


ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِال ُّش ْف َع ِة‬ َ َ‫ق‬
َ ِ‫ضى َرسُوْ ُل هللا‬

“Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah (perseroan)


yang tidak dapat dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun”.

Berbeda dengan pendapat penduduk Makkah dan ad-Dhahiriyah, serta suatu


riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan: “Bahwa Syuf’ah berlaku untuk segala
6
Al-asqalani,al-hafidz ibnu hajar,2011,Bulughul Maram,surabaya: mutiara ilmu, hlm 406.
7
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah. Jakarta: 1976, hlm 321.
jenis”. Karena bahaya yang mungkin dapat terjadi pada partner dalam jual-beli
barang tak bergerak, dapat pula terjadipada barang yang dapat dipindahkan.
Mereka berdalil kepada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir:

ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِال ُّش ْف َع ِة‬


‫فى ُك ِّل َشي ٍْئ‬ َ َ‫ق‬
َ ِ‫ضى َرسُوْ ُل هللا‬

“Rasulullah menetapkan Syuf`ah untuk segala jenis”.


Dalil lain adalah hadits riwayat Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi saw., bersabda:

‫اَل ُّش ْف َعةُ فِ ْي ُك ِّل َشي ٍْئ‬

“Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”.

Ath-Thahawi mengeluarkan kesaksian dari hadits Jabir dengan isnad yang dapat
dipercaya, dan Ibnu Hazm mendukung hadits ini. Ia mengtakan: “Syuf’ah wajib
pada setiap penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi antara dua orang
atau lebih, dalam  bentuk apapun yang pada awalnya terbagi-bagi berupa, tanah
pohon (satu atau lebih), budak pria, budak wanita, pedang, makanan, binatang
atau apa saja yang tidak dapat dijual”.
2) Orang  yang membeli secara Syuf’ah, adalah partner dalam barang tersebut. Dan
perkongsian mereka lebih dulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak adanya
perbedaaan batasan antara keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka
berdua secara bersamaan.

Dari Jabir r.a., berkata:

َ‫ق فَالَ ُش ْف َعة‬ ُّ ‫ت‬


ُ ‫الط ُر‬ ُ ‫ فَإِذاَ َوقَ َع ِة ْال ُح ُدوْ ُد َو‬,‫فى ُك ِّل ماَلَ ْم يُ ْق َس ْم‬
ِّ َ‫ص ِّرف‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِال ُّش ْف َع ِة‬ َ َ‫ق‬
َ ِ‫ضى َرسُوْ ُل هللا‬
)‫(رواه الخمسة‬

“Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis yang belum dibagi/dipecah.


Dan apabila terjadi had (batasan hak) kemudian pembedaan hak sudah jelas, maka
tidak ada lagi Syuf’ah”. Riwayat Al-Khamsah.

Artinya bahwa Syuf’ah yang berlaku untuk semua jenis


barang Musytarak (bersama) yang menjadi milik telah dilakukan diantara
keduanya, maka tidak ada lagi Syuf’ah.
Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku
untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat
ia dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi.
Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah
manfaatnya menjadi tidak ada.

3) Barang yang di Syuf’ahkan keluar dari pemilikan tuannya dengan jalan


penggantian harta, seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti pengakuan
(pernyataan) dengan jalan damai, atau karena adanya faktor jinayat, atau hibah
dengan penjualan dengan cara tertentu. Karena pada hakekatnya ini adalah
penjualan.
4) Syafi` meminta dengan segera. Maksunya, bahwa Syafi’ jika telah mengetahui
penjualan ia wajib meminta dengan segera, jika hal itu memungkinkan. Jika ia
telah menegetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya
menjadi gugur. Sebab, karena jika Syafi’ memintanya dengan segera atau ia
memperlambat permintaannya, hal ini akan berbahaya bagi si pembeli. Kerena
pemilikanya terhadap barang yang dijual tidak sesuai (stabil) dan tidak
memungkinkan ia bertindak untuk membangunnya, karena takut tersia-sia oleh
usaha dan karena ia takut diambil segera Syuf’ah.
5) Syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga sesuai yang telah
diakadkan. Kemudian Syafi’ mengambil Syuf’ah harga yang sama, apabila jual
beli itu Mitslian, atau dengan suatu nilai yang dihargakan. Di dalam hadits Marfu`
dari Jabir:

)‫ق بِ ِه بِاالثّ َم ِن (رواه الجوزجان‬


ُّ ‫هُ َوأَ َح‬

“Dia (syafi’) lebih berhak dengan harga”. Riwayat Al-Jauzjani

Bila ia tidak mampu menyarahkan keseluruhan harga, gugurlah Syuf’ah. Imam


Malik dan mazdhab Hanbali berpendapat: “Bahwa apabila harga itu ditangguhkan
semuanya atau sebagiannya, maka Syafi’ boleh menangguhkannya, atau
membayarnya secara kredit sesuai dengan akad di awal.

6) Syafi’ mengambil semua transaksi jual beli atas barang. Apabila Syafi’
mengambil sebagian saja, maka gugur haknya secara keseluruhan.
Dan apabila Syuf’ah terjadi antara lebih dari satu orang Syafi’, sebagian mereka
melepaskannya, untuk yang sebagian lagi tak lain kecuali mengambil
keseluruhannya. Hal ini dimaksudkan agar barang tidak terpilah-pilah atas
pembeli.8

3. Pewaris dalam Syuf’ah


Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat diwariskan dan
tidak batal karena kematian. Apabila sesorang memperoleh hak Syuf’ah, kemudian ia
meninggal dunia sebelum hak itu atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal dunia
sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada ahli waris, maka hukumnya
dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan harta benda.

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika mayit


menuntutnya”. Dan para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak ini tidak
dapat diwariskan, dan juga tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah,
kecuali jika hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.9

4. Tindakan Pembeli dalam Syuf’ah


Tindakan pembeli terhadap harta sebagai Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan
sah karena ia bertindak terhdap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi
kepada orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua
penjualan. Jika pembeli harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya
atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnya sebab pemilikan barang
tersebut tanpa ganti.
Tindakan pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i
adalah bathil sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli
bermaksud mempermainkan hak Syafi’i. Apabila seseoran berdamai dalam masalah
syuf;ah aatau menjalnya dari pembeli, menurut al-syafi’i perbuatan tersebut
dinyatakan bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban
mengembalikan benda-benda yang telah diambil. Menurt Imam Hanafi, Maliki dan

8
Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah,hlm48-53
9
Ibid, hlm54
Hanbali perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk
dia miliki dari pembeli.
5. Hikmah dalam Syuf’ah
Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan
menghindari permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain
(pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang
lainyang baru saja ikut serta. Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud
dengan madharat (bahaya) adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak
baruyang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud
kemadharatan adalah risiko persekutuan.

6. Pengertian Shulh (Perdamaian)


Secara bahasa, kata al- shulhu ( ‫ ) ﺍﻟﺼﻠﺢ‬Berarti ‫ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﺘﺮﺍﻉ‬artinya: Memutus
pertengkaran / perselisihan.
Secara istilah( Syara’) ulama mendefinisikan shulhu sebagai berikut:
. Sayyid Sabiq berpenddapat bahwa yang dimaksud dengan al –Shulhu adalah suatu
jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.
Dari beberapa definisi di atas maka dapat di simpulkan bahwa “Shulhu adalah suatu
usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar, saling dendam,
dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat di
harapkan akan berakhir perselisihan”. Dengan kata lain, sebagai mana yang di
ungkapkan oleh Wahbah Zulhaily shulhu adalah ”akad untuk mengakhiri semua
bentuk pertengkaran atau perselisihan”
7. Dasar hukum shulh
Perdamaian ( al- shulh) disyari’atkan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang tertuang
dalam Al- Qur’an :"Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat” (Qs. Al Hujurat : 10).
Disamping firman- firman Allah, Rasulullah SAW. Juga menganjurkan untuk
melaksanakan perdamaian dalam salah satu hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu
Hibban dan Tirmizi dari Umar Bin Auf Al- Muzanni Rasulullah Saw. Bersabda:
”Mendamaikan dua muslim ( yang berselisih) itu hukumnya boleh kecuali
perdamaina yang mengarah kepada upaya mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram”. (HR. Ibnu Hibban dan Turmudzi).
8. Rukun dan Syarat al- Shulh
a.Rukun Shulh
1. Mhusalih yaitu dua belah pihak yang melakukan akad sulhu untuk mengakhiri
pertengkaran atau perselisihan.
2. Mushalih ‘anhu yaitu persoala yang diperselisihkan
3. Mushalih bih yaitu sesuatu yang dilakukan oelh salah satu pihak terhadap
lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut dengan istilah badal al-
Shulh
4. Shigat ijab kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang berdamai.
Seperti ucapan “ aku bayar utangku kepadamu yang berjumlah lima puluh ribu
dengan seratus ribu (ucapan pihak pertama)”. Kemudian, pihak kedua menjawab
“saya terima”.
Jika telah di ikrarkan maka konsekuensinya kedua belah pihak harus
melaksanakannya. Masing – masing pihak tidak dibenarkan untuk mengundurkan
diri dengan jalan memfasaknya kecuali di sepakati oleh kedua belah pihak.
b.Syarat- syarat Shulhu:
1. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih ( orang yang berdamai) yaitu
disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya di nyatakan sah secara hukum.
Jika tidak seperti anak kecil dan orang gila maka tidak sah.
2. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih bih.
a. Berbentuk harta yang dapat di nilai, diserah- terimakan, dan berguna.
b. Di ketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbulkan
perselisihan.
3. Syarat yang berhubungan dengan Mushalih anhu yaitu sesuatu yang di perkirakan
termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jika berkaitan dengan hak-
hak Allah maka tidak dapat bershulhu.
8. Macam – macam Shulhu
Dijelaskan dalam buku Fiqh, Syafi’iyaholeh Idris Ahmad bahwa al- shulhu
(perdamaian) di bagi menjadi 4 bagian berikut ini.
 Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk
meletakkan senjata dalam masa tertentu, secara bebas atau dengan jalan
mengganti kerugian yang di atur dalam undang – undang yang di sepakati dua
belah pihak.
 Perdamaian antara kepala negara (Imam/ Khalifah) dengan pemberontak, yakni
membuat perjanjian- perjanjian atau peraturan mengenai keamanan dalam
negara yang harus dia taati, lengkapnya dapat di lihat dalam pembahasan khusus
tentang bughat.
 Perdamaian antara suami dan istri yaitu membuat perjanjia dan aturan – aturan
pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah haknya kepada
suaminya manakala terjadi perselisihan.
 Perdamaian dalam mua’malat, yaitu membentuk perdamain dalam masalah yang
ada kaitannya dalam perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalat.
Di jelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa al –shulhu (perdamaian) di bagi menjadi 3
macam. Yaitu:
a. Perdamaian tentang iqrar
b. Perdamaian tentang inkar
c. Perdamaian tentang sukut
Adapun dilihat dari keabsahannya dibagi menjadi dua:
 Shulhu Ibra yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya. Shulhu
ibra ini tidak terkait oleh syarat.
 Shulhu Muawadah yaitu berpalingnya satu orang dari haknya kepada orang lain.
Hukum yang berlaku pada sulhu ini adalah hukum jual beli.
9. Ketentuan – ketentuan yang terkait shulh
Shulh memiliki ketentuan sebagai berikut:

 Jika akad perdamaian dibuat dengan materi yang berupa pengakuan atas harta
yang di sengketakan, perdamain itu diakui sebagai kepemilikan.
 Jika seluruh atau sebagian dari penggantian objek perdamaian diambil dari
seseorang yang berhak atas penggantian itu, penggantian objek perdamaian berupa
barang yang di gugat dari perdamaian itu, yakni bisa seluruhnya atau sebagiannya,
dinyatakan sah.
 Jika akad perdamaian dibuat dengan pengakuan tentang mamfaat suatu harta,
hukum akad perdamaian itu adalah sama dengan hukum akad ijarah.
 Suatu perdamaian dengan cara penolakan atau bersikap diam saja, dengan
demikian penggugat berhak atas harta penggantinya, sedangkan tergugat berhak
untuk tidak melakukan sumpah dan selesainya sengketa.
 Hak syuf’ah (hak untuk didahulukan/ preference) yang melekat pada suatu benda
tidak bergerak berlaku sebagai pengganti objek perdamaian.
 Jika seseorang yang berhak atas harta itu lalu mengambil sebagian atau seluruh
benda tidak bergerak itu, penggugat harus mengembalikan sejumlah pengganti
perdamaian itu kepada tergugat seluruhnya atau sebagian, dan penggugat itu
berhak mengajukan gugatan itu kepada orang yang menuntut dan yang punya hak
tersebut.
 Jika seluruah atau sebagian dari pengganti kerugian itu di ambil oleh penggugat,
penggugat berhak mengajukan gugatan atas penggantian perdamaian.
 Jika pihak penggugat berkeinginan memperoleh kembali hartanya, dan
menyetujui suatu perdamaian untuk mendapat sebagian daripadanya, serta
membebaskan tergugat dari sisa perkara yang di ajukan, penggugat dianggap telah
menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan membebaskan sisanya.
 Jika seseorang melaksanakan suatu perdamaian dengan orang lain tentang
sebagian dari tuntutannya kepada orang itu, orang yang melaksanakan perdamaian
itu dianggap telah menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan telah
melepaskan haknya terhadap sisanya.
 Jika seseorang melakukan suatu perdamaian dengan suatu utang yang segera
harus dibayar, diubah menjadi utang yang dapat dibayarkan kembali pada
kemudian hari, ia dianggap telah melepaskan haknya pembayaran segera.

10. Berakhirnya Shulh

Adapun berakhirnya shulh ini ada dengan dua cara yaitu:

 Ibra: membebaskan debitor dari sebagian kewajibannya.


 Mufadhah: penggantian dengan yang lain dengan cara menghibahkan (shulhu hibah),
menjual (shulhu bay), atau menyewakan (shulhu ijarah) sebagian barang yang dituntut
oleh penggugat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli
dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar
oleh pembeli lain.

Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku
untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat
memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu,
Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi atau dipecah manfaatnya menjadi
tidak ada.

Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan,
bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha
tersebut dapat di harapkan akan berakhir perselisihan.

Terdapat beberapa rukun Shulh yaitu :1. Mhusalih ,2. Mushalih ‘anhu ,3. Mushalih
bih,4. Shigat ijab kabul. Ada pula syarat shulh yaitu :1. Syarat yang berhubungan dengan
Musahlih ( orang yang berdamai) , 2. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih bih.

Adapun berakhirnya shulh ini ada dengan dua cara yaitu:

 Ibra: membebaskan debitor dari sebagian kewajibannya.


 Mufadhah: penggantian dengan yang lain dengan cara menghibahkan (shulhu hibah),
menjual (shulhu bay), atau menyewakan (shulhu ijarah) sebagian barang yang dituntut
oleh penggugat.

DAFTAR PUSTAKA
Sabiq,Sayyid, 1997, fiqh al-sunnah, Kairo: Dar al-fiqr.

Al-Bajuri,Ibrahim Syaikh, al-Bajuri, Semarang : Usaha Keluarga.

Ahmad,Idris, 1986,  fiqh al- Syafiiyah, Jakarta : Karya Indah.

Ibnu hajar, al-hafidz Al-asqalani, 2011, Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu.

Rasyid,Sulaiman,1976, Fiqh Islam, Jakarta : Attahiriyah.

Ghazaly Abdul Rahman,M.A. Prof. Dr. H, Ihsan Ghufron M.A. Drs. H, Shidiq Sapiudin,
M.A. Drs. Fiqih Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2010.

Suhendi, Hendi, Dr. H, FiqhMuamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Jakarta: Darul Fath, 2004, Jilid 4.

Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al- Husaini, Kifayah al- Akhyar, ( Bandung:
PT al- Marif, tt), hlm. 271.

Hasbi Ash Siddiqi, Pengantar Fiqih Muamalat, (Bulan Bintang: Jakarta, 1984), hlm.92.

Anda mungkin juga menyukai