Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan,
menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang
lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang
mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan
hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda
yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan
menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan pembagian terhadap
barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu
atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari
benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka
bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga
yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu.
Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang
disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak dijelaskan
jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya diketahui antara
dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada Syuf’ah karena dampak
persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak ada, yang karenanya ada
penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang dijual dari
pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah dan Shulh.
Mengenai Ash-shulhu (perdamaian). Karena di dalam perdamaian ini banyak
hal yang dapat kita gali untuk menjadi tambahan ilmu serta wawasan, entah itu dari
rukun, syarat, macam-macam, dan hikmah Shulhu itu sendiri. Selain itu, kita sebagai
umat islam patut mengetahui bahwa di dalam islam, perdamaian diperbolehkan,
asalkan tidak merubah hukum (yang haram menjadi halal atau sebaliknya).
Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan “As-Shulhu” , secara
harfiah atau secara etimologi mengandung pengertian “memutus
pertengkaran/perselisihan”. Yang dimaksud dengan al-Shulh adalah suatu akad yang
bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan. Perdamaian dalam
syariat islam memiliki dasar hukum yang kuat, yakni terdapat di dalam Al-Quran dan
Sunah Nabi SAW. Serta ijtihad para ulama. Didalam perdamaian tidak terjadi secara
begitu saja namun ada rukun dan syarat-syarat yanag harus dipenuhi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Dasar Hukum syuf’ah?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Syuf’ah?
3. Adakah pewaris dalam Syuf’ah ?
4. Bagaimana tindakan pembeli Syuf’ah?
5. Apa hikmah dengan adanya Syuf’ah?
6. Apa Pengertian shulh?
7. Apa dasar hukum shuluh
8. Apa saja rukun shulh dan syarat shulh?
9. Apa saja macam-macam shulh?
10. Apa saja ketentuan-ketentuan terkait shulh?
11. Bagaiman berakhirnya shulh?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi Syuf’ah
2. Mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat Syuf’ah
3. Mengetahui pewarisan dalam Syuf’ah
4. Mengetahui bagaimana tindakan pembeli syuf'ah
5. Mengetahui hikmah adanya Syuf’ah
6. Mengeetahui apa itu pengertian shulh
7. Mengetahui dasar hukum shulh
8. Mengetahui apa saja rukun dan syarat syarat shulh
9. Mengetahuu macam-macam shulh
10. Mengetahui ketentuan-ketentuan terkait shulh
11. Mengetahui berakhirnya shulh
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Syuf’ah
Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu
(menggabungkan), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman
jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga,
partner (mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa
yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat
hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.1
Sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’
sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya,
sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. Berbeda dengan para ulama
menafsirkan al-syuf’ah sebagai berikut :
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri, yang dimaksud dengan Syuf’ah adalah “Hak
memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru
disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya,
disyariatkan untuk mencegah kemudharatan”.2
Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i
sebagai pengganti dan pembeli denan membayar harga brang kepada pemiliknya
sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.3
Menurut Idris ahmad, Al-syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat
lama atas syarikat barudengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik
bersama.
1
Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah, (Dar al-fiqr: Kairo, 1997), hlm 45.
2
Syaikh Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang, t.t), hlm 15.
3
Ibid, hlm 45.
Setelah diketahui ta’rif-tar’rif yang dikkemukakan oleh para ulama beserta contohnya,
kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan
dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.4
Dari pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa as-
syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak
lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota
perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang
diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik
secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang
sudah dilakukan.5
Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta
perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk
dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara
mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Dengan demikian syuf’ah tidak bisa
dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan (syarikah), atau
syuf’ah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi’ terhadap penjualan milik bersama oleh
perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah memperoleh persetujuan atau
kerelaan anggota perserikatan (syarikah) terlebih dahulu atau karena ketidak
sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti hak milik anggota yang
menjual miliknya itu.
Di sisi lain, anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota
pemilikan bersama itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para
pemegang hak perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang
yang terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syuf’ah.
صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِال ُش ْف َع ِة فِى ُك ِّل ِشرْ َك ٍة لَ ْم تُ ْق َس ْم رُ ْب َعةٌ أَوْ َحا ِءطٌ الَيَ ِحلُّ لَهُ أَ ْن يَبِ ْي َع َحتّى يُٶ ِذنَ َش ِر ْي ُكهُ فَإ ِ ْن َ ِقَضاى َرسُوْ ُل هللا
ق بِه َ َشآ َء أَ َخ َذ َوإِ ْن َشآ َء تَ َر
ُّ ك فَاإِ َذا بَا َع َولَ ْم يُٶْ ِذ ْنهُ فَهُ َو اَ َح
“Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas tiap perserikatan
terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan
itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika seorang
4
Idris Ahmad, fiqh al- Syafiiyah, (Karya Indah: Jakarta, 1986), hlm 121.
5
Ibid, hlm 122
anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh partnernya)
maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh meninggalkannya.
Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya dalam pemilikan itu,
maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual
tersebut”. 6
Syarat-syarat Syuf’ah :
1) Barang yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah, rumah
dan yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan, pintu-
pintu, atap-atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat
dilepas. Berdalil kepada hadits dari Jabir r.a.:
Ath-Thahawi mengeluarkan kesaksian dari hadits Jabir dengan isnad yang dapat
dipercaya, dan Ibnu Hazm mendukung hadits ini. Ia mengtakan: “Syuf’ah wajib
pada setiap penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi antara dua orang
atau lebih, dalam bentuk apapun yang pada awalnya terbagi-bagi berupa, tanah
pohon (satu atau lebih), budak pria, budak wanita, pedang, makanan, binatang
atau apa saja yang tidak dapat dijual”.
2) Orang yang membeli secara Syuf’ah, adalah partner dalam barang tersebut. Dan
perkongsian mereka lebih dulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak adanya
perbedaaan batasan antara keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka
berdua secara bersamaan.
6) Syafi’ mengambil semua transaksi jual beli atas barang. Apabila Syafi’
mengambil sebagian saja, maka gugur haknya secara keseluruhan.
Dan apabila Syuf’ah terjadi antara lebih dari satu orang Syafi’, sebagian mereka
melepaskannya, untuk yang sebagian lagi tak lain kecuali mengambil
keseluruhannya. Hal ini dimaksudkan agar barang tidak terpilah-pilah atas
pembeli.8
8
Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah,hlm48-53
9
Ibid, hlm54
Hanbali perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk
dia miliki dari pembeli.
5. Hikmah dalam Syuf’ah
Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan
menghindari permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain
(pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang
lainyang baru saja ikut serta. Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud
dengan madharat (bahaya) adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak
baruyang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud
kemadharatan adalah risiko persekutuan.
Jika akad perdamaian dibuat dengan materi yang berupa pengakuan atas harta
yang di sengketakan, perdamain itu diakui sebagai kepemilikan.
Jika seluruh atau sebagian dari penggantian objek perdamaian diambil dari
seseorang yang berhak atas penggantian itu, penggantian objek perdamaian berupa
barang yang di gugat dari perdamaian itu, yakni bisa seluruhnya atau sebagiannya,
dinyatakan sah.
Jika akad perdamaian dibuat dengan pengakuan tentang mamfaat suatu harta,
hukum akad perdamaian itu adalah sama dengan hukum akad ijarah.
Suatu perdamaian dengan cara penolakan atau bersikap diam saja, dengan
demikian penggugat berhak atas harta penggantinya, sedangkan tergugat berhak
untuk tidak melakukan sumpah dan selesainya sengketa.
Hak syuf’ah (hak untuk didahulukan/ preference) yang melekat pada suatu benda
tidak bergerak berlaku sebagai pengganti objek perdamaian.
Jika seseorang yang berhak atas harta itu lalu mengambil sebagian atau seluruh
benda tidak bergerak itu, penggugat harus mengembalikan sejumlah pengganti
perdamaian itu kepada tergugat seluruhnya atau sebagian, dan penggugat itu
berhak mengajukan gugatan itu kepada orang yang menuntut dan yang punya hak
tersebut.
Jika seluruah atau sebagian dari pengganti kerugian itu di ambil oleh penggugat,
penggugat berhak mengajukan gugatan atas penggantian perdamaian.
Jika pihak penggugat berkeinginan memperoleh kembali hartanya, dan
menyetujui suatu perdamaian untuk mendapat sebagian daripadanya, serta
membebaskan tergugat dari sisa perkara yang di ajukan, penggugat dianggap telah
menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan membebaskan sisanya.
Jika seseorang melaksanakan suatu perdamaian dengan orang lain tentang
sebagian dari tuntutannya kepada orang itu, orang yang melaksanakan perdamaian
itu dianggap telah menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan telah
melepaskan haknya terhadap sisanya.
Jika seseorang melakukan suatu perdamaian dengan suatu utang yang segera
harus dibayar, diubah menjadi utang yang dapat dibayarkan kembali pada
kemudian hari, ia dianggap telah melepaskan haknya pembayaran segera.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli
dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar
oleh pembeli lain.
Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku
untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat
memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu,
Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi atau dipecah manfaatnya menjadi
tidak ada.
Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan,
bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha
tersebut dapat di harapkan akan berakhir perselisihan.
Terdapat beberapa rukun Shulh yaitu :1. Mhusalih ,2. Mushalih ‘anhu ,3. Mushalih
bih,4. Shigat ijab kabul. Ada pula syarat shulh yaitu :1. Syarat yang berhubungan dengan
Musahlih ( orang yang berdamai) , 2. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih bih.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq,Sayyid, 1997, fiqh al-sunnah, Kairo: Dar al-fiqr.
Ibnu hajar, al-hafidz Al-asqalani, 2011, Bulughul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu.
Ghazaly Abdul Rahman,M.A. Prof. Dr. H, Ihsan Ghufron M.A. Drs. H, Shidiq Sapiudin,
M.A. Drs. Fiqih Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2010.
Suhendi, Hendi, Dr. H, FiqhMuamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Jakarta: Darul Fath, 2004, Jilid 4.
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al- Husaini, Kifayah al- Akhyar, ( Bandung:
PT al- Marif, tt), hlm. 271.
Hasbi Ash Siddiqi, Pengantar Fiqih Muamalat, (Bulan Bintang: Jakarta, 1984), hlm.92.