Anda di halaman 1dari 10

“PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAK SYUF’AH”

Oleh : Rachmat Riqky K, Ph.D.


Ainasil uyuni

ABSTRACK

Linguistically, syuf’ah means to collect. Meanwhile, in terms of syuf’ah, it is the right of the
old partner to forcibly buy joint goods (shared) wich are sold by his frien to the new partner.
The title of this paper is "public perception of the right to syuf'ah". The author applies this
title because there are many public perceptions about the right to syuf'ah (contract syuf’ah).
Such as syuf’ah on non permanent objects and syuf’ah on permanent object that cannot be
shared. The community did mention a number of things that became the reasons behind the
perception of the community, namely because of community habits and the lack of public
understanding of the concept of syuf'ah contract. Therefore, the author hopes that by making
this paper there will be no more misunderstanding regarding the right of syuf'ah.

ABSTRAK

Secara bahasa, syuf’ah berarti mengumpulkan. Sedangkan secara istilah syuf’ah ialah hak
mitra lama untuk membeli secara paksa barang kongsian (yang dimiliki bersama) yang dijual
oleh temannya kepada mitra baru.
Judul makalah ini adalah “persepsi masyarakat terhadap hak syuf’ah”. Penulis menerapkan
judul ini karena banyaknya salah paham pada persepsi masyarakat mengenai hak syuf’ah
(akad syuf’ah). Seperti syuf’ah pada benda yang tidak permanen dan syuf’ah pada benda
permanen yang tidak bisa dibagi. Masyarakat memang menyebutkan beberapa hal yang
menjadi alasan yang melatarbelakangi persepsi masyarakat tersebut, yaitu karena faktor
kebiasaan masyarakat dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep akad syuf’ah.
Maka dari itu, penulis berharap dengan membuat makalah ini tidak akan terjadi
kesalahfahaman lagi mengenai hak syuf’ah.

PENDAHULUAN

Islam mempunyai hukum dalam setiap perbuatan manusia, dan ini tentunya agar manusia
bisa hidup dengan damai, sebab sejatinya seorang manusia itu perlu sebuah aturan agar
kehidupannya teratur dan rapih, mungkin kita bisa melihat seorang yang tidak mau mengikuti
hukun dan tidak memiliki aturan, mereka terlihat seperti tidak tahu arah dan tujuan.
Terdapat banyak sekali hukum dalam agama islam, salah satunya yaitu di bidang muamalah,
dalam fiqh mumalah ini banyak membahas tentang perbuatan yang berhubungan antar
manusia dan manusia, contohnya seperti akad syuf’ah ini. Syuf’ah adalah hak mitra lama
untuk membeli secra paksa barang kongsian yang dijual oleh temannya kepada mitra baru,
dengan sebab adanya hak atas harta yang dimiliki bersama. Dari definisi tersebut jelas bahwa

1|hokum ekonomi syari’ah


Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
teman serikat (syafi’) mempunyai hak untuk membeli secara paksa barang serikat yang dijual
teman serikatnya kepada serikat baru, baik serikat baru ini mau menjualnya ataupun tidak,
dengan kata lain ditetapkannya hukum syuf’ah ini, agar salah seorang perserikat tidak
menjual barang serikatnya kepada orang lain sebelum meminta persetujuan kepada teman
serikatnya terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kemudaratan pada teman
serikatnya jika seandainya ia harus berserikat dengan orang yang baru. Persoalan syuf’ah ini
banyak terjadi dikalangan masyarakat, namun banyak yang kurang memahaminya, sehingga
terjadi kesalahpahaman antar satu sama lain.
Contohnya: Seseorang mengambil hak syuf’ah pada barang yang tidak permanen seperti
hewan, lalu ada sebagian orang yang mengatakan tidak boleh dan ada sebagian lagi yang
mengatakan boleh, dan hal ini menjadi pertikaian diantara masyarakat.
Sebenarnya ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa syuf’ah tidak hanya berlaku pada
benda permanen yang dapat dibagi maupun tidak dapat dibagi, tetapi syuf’ah juga berlaku
pada benda yang tidak permanen. Seperti menurut ibn hazm, syuf’ah berlaku baik pada benda
tetap seperti tanah, bangunan, dll., ataupun pada benda tidak tetap seperti hewan, baik benda
tersebut memungkinkan untuk dibagi maupun tidak mungkin untuk dibagi. Beliau beralasan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh bukhari yang mengatakan bahwa syuf’ah pada sesuatu
yang belum dibagi dan jika telah ditetapkan batasannya (telah dibagi) maka tidak berlaku
suf’ah. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang ashah.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah sebagai berikut :


Banyaknya masyarakat yang tidak memahami tentang hak syuf’ah, banyak terjadinya akad
syuf’ah yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum di indonesia. Sebab di indonesia ini
menggunakan madzhab syafi’iyah, maka alangkah baiknya kita sebagai masyarakat
mengikuti ketentuan hukum syafi’iyah.
Lalu bagaimana agar tidak aterjadi kesalahpahaman lagi dalam masyarakat?.

TUJUAN

Memenuhi tugas membuat makalah dari mata kuliah fiqh muamalah


Mempelajari lebih dalam dan lebih luas terntang akad syuf’ah.

PEMBAHASAN

DEFINISI SYUF’AH

 Secara bahasa, syuf’ah berarti mengumpulkan. Sedangkan secara istilah syuf’ah ialah
hak mitra lama untuk membeli secara paksa barang yang dimiliki bersama yang dijual
oleh temannya kepada mitra baru.

2|hokum ekonomi syari’ah


Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
 Syuf’ah adalah hak mitra lama untuk memiliki kembali barang kongsian yang dijual
teman mitranya kepada mitra baru, dengan cara membeli kembali barang tersebut
dengan harga yang sama

DALIL

Nabi muhammbad SAW menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi, ketika telah
dibagi atau ditentukan batasnya, maka hak syuf’ah tidak ada. (H.R Bukhari) 1

Rasulullah saw, memutuskan syuf’ah pada setiap kongsi kemitraan yang belum dibagi,
berupa rumah atau pagar. Tidak halal bagi seorang mitra menjual hingga izin mitra lainnya,
apabila berminat, maka mitranya bisa membelinya atau melepaskannya. Apabila ia menjual
tanpa izin mitranya, maka mitranya lebih berhak dengan barang tersebut. (H.R. Muslim)2

Rasulullah SAW bersabda : perserikatan adalah pemilik hak syuf’ah, dan syuf’ah berlaku atas
segala sesuatu benda (H.R. tirmidzi) 3

Dari jabir ia berkata, rasulullah SAW bersabda : barangsiapa yang memiliki pohon kurma
atau tanah, hendaklah ia tidak menjualnya sebelum ia menawarkan kepada sekutunya.”4

Imam bukhari meriwayatkan dari jabir bin abdullah ra. Ia berkata : “bahwa rasulullah SAW
menetapkan syuf’ah pada benda yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan
dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.5

Dari abu rafi ia berkata, rasulullah SAW bersabda : “sekutu itu lebih berhak karena
dekatnya.”6

HIKMAH SYUF’AH

Hikmah syuf’ah, menurut qaul ashah adalah, untuk menghindari kerugian dalam pembagian
batas-batas barang kongsian (barang yang dimiliki bersama). Karena jika salah satu mitra
menjual barang kongsiannya kepada mitra lain, maka diharuskan untuk membagi dan
membuat batas-batas barang kongsian tersebut, Dan mitra lama berhak untuk tidak dirugikan
dari pembagian tersebut, sehingga ketika dijual kepada pihak lain, syari’at memberikan
kebenaran syuf’ah untuk melindungi haknya. Versi lain juga mengatakan, bahwa hikmah dari
syuf’ah adalah, untuk menghindari kemudaratan dengan mitra baru.
Qaul lain juga mengatakan bahwa hikmah syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya atau
pertikaian yang kemungkinan besar akan timbul. Hal tersebut, dikarenakan hak kepemilikan
mitra lama (syafi’) yang dijual kepada mitra baru (masyfu’alaih) menolak kemudaratan yang

1
Hadits ini diriwayatkan oleh bukhari
2
Hadits ini diriwayatkan oleh muslim
3
Hadits ini diriwayatkan oleh tirmidzi
4
Hadits ini diriwayatkan oleh jabir
5
Hadits ini diriwayatkan oleh imam bukhari
6
Hadits ini diriwayatkan oleh abu rafi
3|hokum ekonomi syari’ah
Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
mungkin timbul dari mitra baru. Imam syafi’i berpendapat bahwa bahaya yang dimaksud
adalah bahaya biaya pembagian, peralatan baru, dan sebagainya.

Contoh akad syuf’ah

ali, umar, dan utsman (mitra lama) memiliki sebidang tanah yang diwariskan kepada mereka,
namun belum sepenuhnya dibagi. Lalu tanpa sepengetahuan utsman, ali dan umar menjual
sebagian tanah itu kepada bakar (mitra baru). Maka ketika mengetahui hal tersebut, utsman
memiliki hak untuk memiliki sebagian tanah tersebut secara otoritatif (secara paksa), dengan
mengganti rugi kepada bakar sesuai dengan harga yang ia berikan kepada ali dan umar. Lalu
utsman (sya’fi/mitra lama) mempunyai hak suf’ah ini, baik bakar (masyfu’alaih/mitra baru)
keberatan ataupun tidak.

RUKUN DAN SYARAT SYUF’AH

Syuf’ah terdiri dari tiga rukun, yaitu:


-Syafi’
-Masyfu’ ‘alaih
-Masyfu’fih

 Syafi’
Syafi’ adalah seseorang yang memiliki hak syuf’ah atau mitra lama (syarik
qadim), yang mempunyai hak untuk membeli secara paksa dari mitra baru.
Syarat syafi’ adalah :
syafi’ harus pihak mitra yang sama-sama memiliki hak atas harta tersebut.

 Masyfu’ ‘alaih
Masyfu’ ‘alaih adalah mitra baru yang membeli aset kongsian.
Syarat masyfu’ ‘alaih adalah :
Ketika masyfu’alaih memiliki barang kongsian, maka harus menggunakan
transaksi komersial (muawadlah), baik yang bersifat ekonomis atau bukan.
Karena ketika syafi’ mengambil barang tersebut caranya adalah dengan mengganti
rugi dengan harga yang sesuai dengan yang dikeluarkan mitra baru.

Masyfu’ fih
Masyfu’ fih adalah barang kongsian yang menjadi obyek akad syuf’ah.
Syarat masyfu’ fih adalah:
a. Barangnya tidak bergerak, seperti tanah, bangunan dll. Karena barang
permanen hanya ditemukan dari benda yang tidak bergerak. Terdapat
pengecualian aset tidak bergerak tetapi tidak berlaku pada akad syuf’ah.
Yaitu bangunan diatas lahan waqaf atau lahan sewa, secara hukum tidak
bersifat permanen, sehingga tidak berlaku, karena faktor dlarar yang
menjadi hikmah legalitas syuf’ah juga tidak permanen.7

7
Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah”, thn2013. Hal.251
4|hokum ekonomi syari’ah
Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
b. Aset yang bisa dibagi dan belum dibagi. Aset yang bisa dibagi adalah,
ketika diadakan pembagian antar mitra, aset tidak kehilangan fungsi. Aset
yang tidak bisa dibagi, dalam arti ketika diadakan pembagian, maka aset
akan kehilangan fungsinya. Sebab aset yang kehilangan fungsinya ketika
dibagi maka syuf’ah tidak bisa diberlakukan, karena tidak akan ada
kerugian yang diakibatkan oleh pembagian. Demikian juga syuf’ah tidak
bisa diberlakukan pada aset yang bisa dibagi dan telah dilakukan
pembagian, sebab tidak ada kongsi kemitraan lagi. Namun menurut versi
yang mengatakan bahwa hikmah syuf’ah adalah untuk menghindari
ketidakharmonisan dengan mitra baru, syuf’h tetap berlaku pada aset yang
tidak bisa dibagi.8

HUKUM SYUF’AH

Yang dimaksud hukum disini adalah, ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan
syuf’ah, yang meliputi proses memiliki, bentuk ganti rugi, tuntutan hak syuf’ah dan lain-lain.

1. Poses memiliki
Syuf’ah adalah hak memiliki secara paksa yang disebabkan dari penjualan
barang kongsian, bukan proses memiliki itu sendiri. Dan untuk merealisasikan
hak syuf’ah tersebut, atau proses mengambil hak barang kongsian tersebut,
perlu memenuhi ketentuan-ketentuan berikut, yaitu:
 Shighah syuf’ah, adalah pernyataan dari pihak syafi’ yang menunjukan
ia menggunakan hak syuf’ahnya untuk memiliki masyfu’ fih.
 Syafi’ mengetahui masyfu’ fih, seperti syarat seorang pembeli.
 Syafi’ memberikan ganti rugi kepada masyfu’ alaih, baik dengan
sistem cash atau kredit, atau syuf’ah telah diputuskan oleh hakim.9
2. Ganti rugi
Yang dimaksud ganti rugi disini adalah tsaman yang harus dibayarkan syafi’
kepada massyfu’ alaih ketika mengambil masfu’ fih. Ganti rugi yang harus
dibayar syafi’ ialah berupa konpensasi yang pernah dipakai masyfu’ alaih
untuk menerima atau memiliki masyfu’ fih.
Apabila konpensasi tersebut berupa barang mitsli, maka ganti rugi juga berupa
barang mitsli, karena merupakan ganti rugi yang paling sepadan dengan hak
masyfu’ alaih. Apabila konpensasi berpa barang mutaqowwim, maka ganti
rugi berupa qimahnya. Sedangkan apabila konpensasi yang diberikan masyfiu’
alaih dalam menerima atau memiliki masyfu’ fih bukan berupa barang, seperti
menerima masyfu’ fih sebagai mahar, atau sebagai konpensasi gugatan cerai,
maka ganti rugi yang dibayarkan syafi’ adalah berupa mahar mitsli, sama
halnya ketika konpensasi yang diberikan masyfu’ alaih berupa jasa, seperti
menerima masyfu’ fih sebagai ujrah dalam akad ijaroh, maka ganti rugi yang

8
Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah”, thn2013. Hal. 251
9
Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah”, thn2013. Hal. 252
5|hokum ekonomi syari’ah
Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
harus dibayarkan syafi’ adalah berupa ujrah mitsli dari barang sewaan
tersebut, sebab sebuah jasa tidak memiliki padanan.10

3. Tuntutan hak syuf’ah


Tuntutan hak syuf’ah dari pihak syafi’ bersifat langsung sebagaimana hak
mengembalikan barang akibat aib. Sebab legislasi hak syuf’ah adalah demi
menghindari dlarar. Apabila hak syuf’ah tidak dilakukan syafi’ secara
langsung, maaka hak syuf’ah batal jika tanpa udzur, sebab mengindikasikan
kerelaan melepaskan haknya, sesuai qaidah.11

4. Tasaruf masyfu’ alaih


Setelah mitra baru (masyfu’alaih) memiliki barang kongsian, ia berhak
mentasarufkannya (menggunakan) secara bebas hingga pihak syafi’ menuntut
hak syuf’ahnya. Karena ia berstatus sebagai pemilik masyfu’ fih. Dan ketika
mitra baru (masyfu’ alaih) sudah mentasarufkan masyfu’ fih. Maka syafi’
memiliki hak sebagai berikut:
 Apabila berupa tasaruf yang tidak berlaku syuf’ah, seperti hibbah.
Maka syafi’ berhak membatalkan tasaruf masyfu’ alaih dan mengambil
masyfu’ fih dengan memberikan ganti rugi.12
 Apabila berupa tasaruf yang berlaku syuf’ah, seperti dijual, dijadikan
mahar, dll., maka syafi’ diberikan opsi antara membatalkan tasaruf
masyfu’ alaih dan mengambil masyfu’ fih dengan memberikan ganti
rugi, atau tidak membatalkan tasaruf masyfu’ alaih namun, mengambil
masyfu’ fih dari pembeli keedua dengan memberikan ganti ruginya.13

SYUF’AH MENURUT IMAM SYAFI’I

Berikut adalah beberapa qoul imam syafi’i tentang syuf’ah:

 jika seseorang menjual suatu bagian dari rumah, dengan syarat penjual dan
pembeli memiliki khiar (pilihan) dan hak syuf’ah tidak ada padanya hingga
barang itu diserahkan oleh penjual kepada pembeli, dan jika khiar ada pada
pembeli saja tanpa ada pada penjual, maka hak syuf’ah telah lepas dari penjual
itu dengan kemauannya dan menjadikan khiar ada pada pembeli. Dalam hal ini
pembeli mempunyai hak syuf’ah.14

 Setiap orang yang mempunyai bagian dari rumah, dan rumah itu dapat diambil
manfaat, lalu rumh itu menjadi milik seseorang yang dimilikinya dari pemilik
sebelumnya, maka orang yang mempunyai hak atas rumah itu, dapat meminta
10
Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah”, thn2013. Hal. 253
11
Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah”, thn2013. Hal. 253
12
Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah”, thn2013. Hal. 254
13
Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah”, thn2013. Hal. 254
14
http://repository.uinsu.ac.id/3085/1/Skripsi%20Nur%20Maidah%20%20Muamalah%20A%20
%20pdf.pdf
6|hokum ekonomi syari’ah
Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
haknya dari rumah itu, berupa tanah dan semua yang dihasilkan keduanya
semenjak hari ditetapkan hak ini untuknya, yaitu hari para saksi memberikan
persaksiannya bahwa rumah itu memang miliknya.15

 Jika seseorang memiliki bagian dari suatu rumah, dan pemilik bagian yang
lain meninggal dunia saat dia tidak ada, lalu para ahli warisnya menjual rumah
tersebut sebelum atau sesudah pembagian, dalam hal ini ada hak syuf’ah bagi
orang yang tidak ada itu, dan hak syuf’ah ini tiddak lepas darinya karena
pembagian itu, karena ia adalah sekutu mereka (para ahli waris sekutunya)
yang tidak dapat dibagi.16

Para ulama telah menyepakati mengenai syuf’ah pada benda permanen, sedangkan pada
benda tidak permanen dan benda permanen yang tidak dapat dibagi seperti sumur yang kecil
atau bangunan kecil yang mungkin tidak dapat dibagi, mengenai hal ini ulama berbeda-beda
pendapat.

Menurut madzhab syafi’i, akad syuf’ah hanya berlaku pada benda permanen dan tidak
berlaku pada benda yang tidak permanen, dan berlaku pada benda permanen baik yang dapat
dibagi seperti tanah, ataupun yang tidak dapat dibagi, seperti sumur yang kecil yang tidak
dapat dibagi menjadi dua sumur, imam syafi’i beralasan karena illat wajibnya suf’ah yaitu
kekhawatiran timbulnya bahaya dan kemudahratan atas serikat lama tersebut sama-sama
terdapat pada benda permanen yang mungkin dapat dibagi dan benda yang tidak mungkin
dapat dibagi.17

Menurut hanafiyah, syuf’ah hanya terdapat pada pemindahan hak milik melalui jual beli.
Disamping itu ulama malikiyah bahwa syuf’ah itu hanya bisa terjadi pada pemindahan hak
milik melalui imbalan yang tidak mesti hanya jual beli saja. Hal seperti ini dapat terjadi
melalui perdamaian , mahar, diyat, dan lain-lain. 18

Sedangkan menurut ibn hazm, syuf’ah berlaku baik pada benda tetap seperti tanah, bangunan,
dll., ataupun pada benda tidak tetap seperti hewan, baik benda tersebut memungkinkan untuk
dibagi maupun tidak mungkin untuk dibagi. Beliau beralasan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh bukhari yang mengatakan bahwa syuf’ah pada sesuatu yang belum dibagi
dan jika telah ditetapkan batasannya (telah dibagi) maka tidak berlaku suf’ah.19
SYUF’AH DALAM KITAB FATH AL-QARIB

15
http://repository.uinsu.ac.id/3085/1/Skripsi%20Nur%20Maidah%20%20Muamalah%20A%20
%20pdf.pdf
16
http://repository.uinsu.ac.id/3085/1/Skripsi%20Nur%20Maidah%20%20Muamalah%20A%20
%20pdf.pdf
17
http://repository.uinsu.ac.id/3085/1/Skripsi%20Nur%20Maidah%20%20Muamalah%20A%20
%20pdf.pdf
18
http://repository.uinsu.ac.id/3085/1/Skripsi%20Nur%20Maidah%20%20Muamalah%20A%20
%20pdf.pdf
19
http://repository.uinsu.ac.id/3085/1/Skripsi%20Nur%20Maidah%20%20Muamalah%20A%20
%20pdf.pdf
7|hokum ekonomi syari’ah
Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
Dalam kitab fath al-qorib menyebutkan bahwa syuf’ah adalah hak menebus kembali secara
paksa atas barang yang telah terjual yang ditetapkan untuk serikat lama kepada serikat baru
sebab adanya syirkah yang teerjadi dengan mengganti hak yang dimiliki serikat lama.20

Sesungguhnya syuf’ah itu tetap dalam kaitannya dengan barang permanen yang dapat dibagi
maupun tidak dapat dibagi.Syuf’ah juga tetap beraku untunk barang yang dapat dipindakhan
dari bumi yang setatusnya bukan barang yang diwakafkan dan disewakan, seperti pagar
(pekarangan) dan lainnya dari yang berupa bangunan, pepohonan dan lain-lain. Harta yang
diwakafkan tidak bisa diakadi syuf’ah karena tidak diperbolehkan membagi harta wakaf dan
tidak adanya hak milik orang dalam harta wakaf. 21

Kata “syuf’ah” dengan makna “meminta syuf’ah” mempunyai pengertian harus dilaksanakan
sesegera mungkin. Maka ketika mengetahui separuh hartanya dijual oleh mitranya,
hendaknya syafi’ cepat-cepat mengambilnya.
Bersegera (cepat-cepat) dalam hal ini patokannya adalah penilaian berlambat-lambat yang
dapat menggugurkan dalam memperoleh syuf’ah. Jika tidak berlambat-lambat maka syuf’ah
tidak digugurkan.22

Dan Syuf’ah juga bersifat langsung, karena syuf’ah merupakan hak yang ditetapkan untuk
menghindari kerugian, sehingga harus secara langsung sebagaimana mengembalikan barang
dengan sebab aib.23

Apabila seseorang mengakhirkan syuf’ah disertai adanya kemampuan untuk memperolehnya,


maka syuf’ah itu hukumnya batal, meskipun orang yang menghendaki syuf’ah itu sedang
sakit atau tidak hadir karena kuatir, maka murid (orang yang menghendaki syuf’ah)
hendaknya mewakili bila memang mampu, jika tidak mampusebaiknya menyaksikan untuk
memperoleh syuf’ah.24

KETERANGAN

jika yang memiliki syuf’ah terdiri lebih dari satu orang dan tidak sama hak miliknya, maka
semuanya sama-sama tetap berhak mengambil syuf’ah, dengan dengan menurut kadar hak
masing-masing. Misalkan sebidang tanah dimiliki oleh tiga orang, yaitu ali, umar dan bakar,
yakni :
-ali mempunyai hak milik sebanyak ½
-bakar mempunyai hak milik sebanyak 1/3
-umar mempunyai hak milik sebanyak 1/6

Kemudian bakar menjual bagiannya, yaitu 1/3, maka yang berhak membeli bagian yang
dijual tersebut adalah ali dan umar, karena ali dan umar adalah anggota perserikatannya, dan
membelinya dengan kadar hak sendiri-sendiri, maka bagian bakar itu dibagi menjadi 4
bagian, yakni ali memperoleh 3 bagian, dan umar memperoleh sebagian.25

20
Syamsuddin abu abdillah muhammad bin qosim asy-syafii, “terjemah fathul qorib al-mujib”, thn1983, hal.286
21
Syamsuddin abu abdillah muhammad bin qosim asy-syafii, “terjemah fathul qorib al-mujib”, thn1983, hal.287
22
Syamsuddin abu abdillah muhammad bin qosim asy-syafii, “terjemah fathul qorib al-mujib”, thn1983, hal.288
23
Faisal amin, HM. Bahrun nizar, lutfi syarifullah, khozinatul asror, M. Munir, M. Mas’ud, M. Amdad, M.
Ya’lu muhtadi, “terjemah Fath Al-Qarib”, thn 2015. Hlm.412
24
Syamsuddin abu abdillah muhammad bin qosim asy-syafii, “terjemah fathul qorib al-mujib”, thn1983, hal.288
25
Syamsuddin abu abdillah muhammad bin qosim asy-syafii, “terjemah fathul qorib al-mujib”, thn1983, hal.290
8|hokum ekonomi syari’ah
Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, maka kesimpulannya adalah, hak syuf’ah ini diberikan kepada
teman mitra lama yang sama-sama mempunyai hak atas barang tersebut, baik masyfu’alaih
bersedia menjualnya kembali ataupun tidak. Dan jika mitra lama yang mempunyai hak
syuf’ah ini lebih dari satu orang (banyak orang), maka semuanya memiliki hak untuk
mengambil syuf’ah, tentunya dengan hak milik masing-masing.

Dari beberapa hadits dan pembahasan diatas, dapat diketahui juga bahwa sebelum seseorang
menjual hartanya kepada orang lain, hendaknya ia menwarkannya terlebih dahuulu kepada
mitranya, sebab merekalah yang lebih berhak atas harta tersebut.

Dan menurut madzhab syafi’i, akad syuf’ah hanya berlaku pada benda permanen dan tidak
berlaku pada benda yang tidak permanen, dan berlaku pada benda permanen baik yang dapat
dibagi (seperti tanah) ataupun yanng mungkin tidak dapat dibagi (seperti sumur yang kecil
yang tidak dapat dibagi menjadi dua sumur), imam syafi’i beralasan karena illat wajibnya
suf’ah yaitu kekhawatiran timbulnya bahaya dan kemudahratan atas serikat lama tersebut
sama-sama terdapat pada benda permanen yang mungkin dapat dibagi dan benda yang tidak
mungkin dapat dibagi.

Sedangkan Menurut hanafiyah, syuf’ah hanya terdapat pada pemindahan hak milik melalui
jual beli. Disamping itu ulama malikiyah bahwa syuf’ah itu hanya bisa terjadi pada
pemindahan hak milik melalui imbalan yang tidak mesti hanya jual beli saja. Hal seperti ini
dapat terjadi melalui perdamaian , mahar, diyat, dan lain-lain.

Dari sini kita ketahui bahwa sebagian masyarakat yang mengatakan syuf’ah pada benda tidak
permanen seperti hewan itu boleh, dan sebagian masyarakat lain mengatakan tidak boleh.
Sebenarnya kedua pendapat tersebut sama-sama benar, tentunya dengan pendapat ulama yang
berbeda-beda.

Dari perbedaan pendapat para ulama, kita juga bisa menyimpulkan bahwa kita juga dapat
memilih pendapat ulama yang kita percaya, meskipun di indonesia kita bermadzhab
syafi’iyah, memang lebih baik jika kita mengikuti ulama syafi’iyah, tetapi tidak salah juga
ketika kita melakukan sesuatu dengan hukum dari madzhab lain.

Namum “jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan dan permusuhan”
-KH. M Hasyim Asy’Ari-

Daftar pustaka

Tim laskar pelangi, “metodologi fiqih muamalah diskursus metodologis konsep interaksi
sosial-ekonomi” ( kota kediri : Lirboyo Press, 2013). Hlm. 420

9|hokum ekonomi syari’ah


Sekolah tinggi ekonomi islam sebi
Faisal amin, HM. Bahrun nizar, lutfi syarifullah, khozinatul asror, M. Munir, M. Mas’ud, M.
Amdad, M. Ya’lu muhtadi, “terjemah Fath Al-Qarib” (kota kediri : Anfa’ press, 2015). Hlm.
754

Syaikh Al-imam Al-Alim Al-Alammah syamsuddin Abu abdillah muhammad bin qosim asy-
syafi’i, “terjemah fathul Qorib al-mujib” (kota kudus : Menara kudus,1983)

Skripsi nur maidah uin bandung


http://repository.uinsu.ac.id/3085/1/Skripsi%20Nur%20Maidah%20%20Muamalah%20A
%20
%20pdf.pdf

Syuf'ah alami sharia


https://alamisharia.co.id/id/kamus-keuangan-syariah/syufah/#:~:text=%E2%80%9CBahwa%
20Nabi%20shallallahu%20alaihi%20wa,lagi%20syuf'ah.''&text=Dari%20Abu%20Rafi%20ia
%20berkata,itu%20lebih%20berhak%20karena%20dekatnya.%E2%80%9D

10 | h o k u m e k o n o m i s y a r i ’ a h
Sekolah tinggi ekonomi islam sebi

Anda mungkin juga menyukai