Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SYUFAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadis Ekonomi
Dosen Pengampu

Muhammad Ramadhan, Lc.,MA

Oleh
Imroatun Musafaqoh

1502040054

Septiana Dewi

13104354

Singgih Prayogo

1502040269

Tasyriful Huda

1502040202

Umi Nur Fadilah

13104714

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


JURUSAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) JURAI SIWO METRO
1438H/2016M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberi taufiq dan
hidayah bagi kami melalui ilmu-Nya Yang Maha Luas dan tak terkira
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ulmul quran ini.
Shalawat dan salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi penutup dan
rasul pemungkas serta pemimpin umat sampai akhir zaman.
Makalah ini hanyalah sedikit ulasan tentang Syufah. Untuk itu
kami berharap adanya saran dan kritik yang membangun demi
sempurnanya makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat menjadi
pedoman bagi para pembaca.

Metro, 06 Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................ i
Kata Pengantar......................................................... ii
Daftar Isi................................................................. iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................... 1
Bab II Pembahasan
A. Definisi Syufah............................................................... 2
B. Landasan Hukum Syufah............................................... 3
C. Rukun dan Syarat Syufah............................................... 6
D. Pewaris Syufah............................................................... 7
E. Faedah dalam Syufah..................................................... 7
Bab III Penutup
A. Kesimpulan................................................................. 8
B. Saran.......................................................................... 8
Daftar Pustaka.........................................................10

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat Arab jahiliyah sudah dikenal adanya system
kerja sama dalam lapangan ekonomi (syirkah), baik kerja sama
yang

bersifat

produktif

maupun

berbentuk

kerjasama

dalam

pemilikan sesuatu secara bersama oleh dua orang atau beberapa


orang.
Lalu bagaimana jika salah seorang dari anggota itu ingin
menjual haknya kepada pihak lain yang ikut dalam persekutuan
tersebut? Bolehkah salah seorang dari mereka menjual haknya
yang belum dibagi itu kepada pihak luar yang tidak termasuk dalam
perkongsian tersebut?

Menurut ketentuan agama, pihak-pihak yang termasuk dalam


persekutuan tersebut itu tidak boleh menjual haknya kepada orang
luar

secara

sendiri-sendiri

tanpa

persetujuan

para

anggota

persekutuan. Sekiranya salah seorang menjual haknya kepada


pihak lain, maka anggota lain dapat meminta secara paksa kepada
pihak pembeli untuk menjual harta tersebut kepadanya dengan
harga yang sama ketika dia membeli. Hak tersebut dikenal dengan
sebutan Syufah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Syufah menurut para ahli?
2. Bagaimana Hukum Syufah?
3. Apa saja syarat Syufah?
4. Apakah boleh Syufah diwariskan?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Syufah
Syufah secara bahasa berarti pasangan, tambahan dan
penggabungan.

Sedangkan

menurut

istilah,

para

ulama

mendefinisikan Syufah sebagai berikut.


1. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa yang dimaksud
dengan syufah ialah: Hak memiliki sesuatu secara paksa
ditetapkan untuk syarih terdahulu atas syarik yang baru
disebabkan adanya syirkah dengan penggantian yang
dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.1
2. Menurut Sayyid sabiq, syufah ialah pemilikan benda-benda
syufah oleh syafi sebagai pengganti dan pembeli dengan
harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang
biasa dibayar oleh pembeli lain.2
3. Menurut Idris Ahmad, syufah ialah hak yang tetap secara
paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan
ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.3
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan syufah adalah hak pemilikan atas harta yang
telah dijual oleh anggota persekutuan (tanpa adanya persetujuan
sebelumnya dari anggota yang lain) kepada pihak lain dengan ganti
1 Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Al Bajuri, (Semarang: Usaha Keluarga t.t)
hlm.45
2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT Al-Maarif.Bandung:1988, hlm.45
3 Idris Ahmad, Fiqh al-Syafiiyah, (Jakarta: Karya Indah,1986) hlm. 121

rugi sebesar nilai yang telah dibayar oleh pihak lain (pembeli)
tersebut agar tidak terjadi kemudharatan kemudian hari. Dengan
demikian hak syufah tidak berlaku bagi pihak yang bukan
persekutuannya, dan syufah akan gugur apabila sudah ada
perizinan dari anggota persekutuan sebelum barang dijual.
B. Landasan Hukum Syufah
Dasar hukum Syufah adalah as-Sunnah, yakni hadist dan ijma
para ulama. Dua pihak atau lebih yang bekerjasama atau memiliki
suatu barang secara bersama dalam Islam diatur secara khusus.
Mereka tidak mempunyai kebebasan mutlak dalam mengalihkan
barang yang menjadi miliknya kepada siapa yang diinginkannya.4
Di antara dalil yang dijadikan argument yang berkaitan dengan
syufah tersebut adalah:
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir ia berkata:



- -





.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan syufah
dalam semua persekutuan yang belum dibagi; baik rumah maupun
kebun,

tidak

memberitahukan

halal
kawan

bagi

seseorang

sekutunya.

Jika

menjualnya

sampai

ia

berhak

mau,

ia

mengambil dan jika mau, ia berhak ditinggalkan. Apabila dijual,

4 Enizar, HADIS EKONOMI, Ed.1 Cet.1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2013. Hlm. 34

namun

belum

memberitahukannya,

maka

ia

lebih

berhak

terhadapnya.
Dari Jabir juga ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:








Barang siapa yang memiliki bagian pada sebuah rumah atau
pohon

kurma,

memberitahukan

maka
kawan

ia

tidak

berhak

sekutunya.

Jika

menjualnya
ia

suka,

ia

sampai
berhak

mengambilnya dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan. (HR.


Muslim)
Dalil disyariatkannya Syufah
Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu
anhu, ia berkata,











Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan syufah
pada harta yang belum dibagi-bagi, maka ketika batasannya telah
ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syufah.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu, ia berkata:




- -





.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan syufah dalam
semua persekutuan yang belum dibagi; baik rumah maupun kebun,
tidak halal bagi seseorang menjualnya sampai memberitahukan
kawan sekutunya. Jika ia mau, ia berhak mengambil dan jika mau, ia
berhak

ditinggalkan.

Apabila

dijual,

namun

belum

memberitahukannya, maka ia lebih berhak terhadapnya.


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya, (HR. Tirmidzi


dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Al Irwaa no. 1539).

Para ulama juga telah sepakat tentang tetapnya hak syufah bagi
sekutu yang belum melakukan pembagian pada sesuatu yang
dijual, baik berupa tanah, rumah maupun kebun.
Dengan

demikian

menjadi

jelaslah

disyariatkannya syufah menurut sunnah dan ijma.

akan

Kesimpulan Hadis
1. Hadist ini merupakan dasar dalam menetapkan syufah,
yang juga disandarkan kepada ijma
2. Kandungan hadist ini mengisyaratkan penetapan syufah
dalam

benda-benda

yang

bergerak.

Tapi

susunan

kalimatnya hanya dikhususkan untuk benda-benda yang


tidak bergerak, tapi dapat disertai dengan pepohonan dan
bangunan jika berkenaan dengan tanah.
3. Syufah berlaku untuk benda-benda tak bergerak yang
disekutukan, yang batasan-batasannya belum ditetapkan,
tidak dijelaskan jalannya, karena kerugian persekutuan yang
dirasakan sekutu yang meminta syufah.
4. Jika batasan-batasannya sudah ditetapkan

dan

jalan-

jalannya dijelaskan, maka tidak ada lagi syufah, karena


kerugian tidak lagi ada dan sudah ada pembagian yang jelas
dan tidak ada lagi pencampur adukan.
5. Atas dasar ini, syufah tidak berlaku untuk tetangga, karena
sudah ada kejelasan batasan tanah.
6. Sebagian ulama berhujjah dengan hadist ini bahwa syufah
tidak

berlaku

bergerak

yang

menyisakan

kecuali

untuk

benda-benda

memungkinkan

sebagian

yang

untuk

tidak

yang

dibagi,

dapat

dibagi,

tidak
namun
yang

disimpulkan dari sabda beliau, Untuk segala sesuatu yang


tidak dapat dibagi, tidak membutuhkan penafiannya.
7. Syufah ditetapkan untuk menghindarkan kerugian sekutu.
Karena itulah dikhususkan untuk benda-benda ini relative
lama. Adapun untuk benda-benda yang tidak bergerak,
kerugiannya relative lebih sedikit, yang dapat dituntaskan
dengan berbagai macam cara, dapat dibagi tanpa harus

melakukan pekerjaan yang berat, tidak perlu menjual atau


yang lainnya.5
C. Rukun dan Syarat Syufah
Rukun rukun dan syarat-syarat Syufah sebagai berikut.6
1. Masyfu, yaitu benda yang dijadikan barang syufah
Syaratnya yaitu:
a. Barang berbentuk barang tetap (Uqar), seperti tanah,
rumah, dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya
seperti pintu, tanaman, pagar, atap rumah dan semua
yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas.
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli fiqh.
b. Barang yang disyufahkan keluar dari pemilikan tuannya
dengan jalan penggantian harta seperti penjualan.
2. Syafi, yaitu orang yang akan mengambil atau menerima
syufah
Syaratnya yaitu:
a. Syafi adalah partner dari penjual sebelum barang
tersebut dijual.
b. Syafi meminta dengan segera jika telah mengetahui
(kecuali jika ada uzur untuk menundanya)
c. Syafi memberikan kepada pembeli sejumlah nilai atau
harga yang sama
d. Syafi mengambil keseluruhan barang, jika ada 2 syafi
atau lebih dan sebagian syafi melepaskannya, maka
sebagian syafi yang lain harus menerima semuanya.

5 Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Pilihan,


Jakarta:Darul Falah, 2002. Hlm.774-775
6 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT Al-Maarif.Bandung:1988, hlm.48-53

10

3. Masyfu min hu, yaitu orang tempat mengambil syufah.


Syaratnya adalah si Masyfu telah memiliki benda terlebih
dahulu secara syarikat.
D. Pewaris Syufah
Imam Malik dan SyafiI berpendapat bahwa Syufah dapat
diwariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila seseorang
memperoleh hak syufah, kemudian ia meninggal dunia sebelum
hak itu atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum
sempat

mewariskannya

kepada

ahli

waris,

maka

hukumnya

dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan harta


benda.
Imam Ahmad mengatakan : Tidak diwariskan, kecuali jika
mayit (sebelum meninggal) menuntutnya. Dan para pengikut
hanafi mengatakan bahwa hak ini tidak dapat diwariskan, dan juga
tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut syufah, kecuali jika
hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.7
E. Faidah faidah dalam Syufah
Sebagian ulama, di antaranya para fuqaha yang layak diikuti,
yang masyhur dari kalangan mazhab Hanbali, melihat gugurnya
Syufah jika orang yang meminta syufah mengetahui penjualan
bagiannya dan dia tidak mendapatkan (meminta) bagian itu
seketika itu pula. Mereka tidak mentolerirnya kecuali untuk
keperluan mendesak seperti makan, sholat dsb.
Mereka menentang orang yang meminta syufah yang hendak
melepaskan bagian tanpa ridha pembeli. Mereka menyayangkan
penolakan hal itu yang didasarkan kepada hadits-hadits dhaif,
seperti Syufah itu seperti melepas tali kendali.

7 Ibid, hlm.54

11

Yang benar dalam hal ini dikembalikka kepada tradisi dalam


menetapkan batasan, lalu member tenggang waktu untuk berpikir
dan bermusyawarah.
Ada faidah lain, yaitu diharamkannya mencari-cari alas an
untuk menggugurkan syufah guna menggugurkan hak orang
muslim, seperti yang dikatakan Al-Imam Ahmad. Sebab adakalanya
orang yang tidak memperdulikkan hokum-hukum agama dan hak
saudaranya yang berusaha menggurkan hak syufah itu dengan
beberapa alas an, seperti memberikan bagian dengan gambaran
tertentu yang tidak ada ketetapan di dalamnya atau tidak menurut
ketetapan hakim atau dapat merugikan orang yang meminta
syufah, seperti memperlihatkan tambahan harga atau mewakafkan
bagian, sebagai alas an untuk menggurkan syufah.
Ini merupakan alas an yang tidak dapat menggugurkan syufah
menurut pendapat 4 imam, juga seperti yang dikatakan pengarang
Al-Faiq.8

8 Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Pilihan,


Jakarta:Darul Falah, 2002. Hlm.775-776

12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syufah adalah hak pemilikan atas harta yang telah dijual
oleh

anggota

persekutuan

(tanpa

adanya

persetujuan

sebelumnya dari anggota yang lain) kepada pihak lain dengan


ganti rugi sebesar nilai yang telah dibayar oleh pihak lain
(pembeli) tersebut agar tidak terjadi kemudharatan kemudian
hari. Dasar hokum Syufah adala as-Sunnah, yaitu Hadits dan
ijma.
Rukun dan Syarat Syufah adalah dari Syafi, Masyfu, dan
masyfu min hu. Dari segi Syafi yakni Syafi harus segera
meminta Syufah,harus mengambil seluruhnya, dan harus
partner dari penjual barang tersebut. Dari segi barang yakni
barang yang tidak dapat dibagi, tidak ada batasan yang jelas
dan benda tidak bergerak. Sedangkan dari segi Masyfu min hu
yakni harus sudah memiliki barang (Masyfu).
Menurut Imam Malik dan SyafiI, Syufah bias diwariskan
dengan ketentuan tertentu. Menurut Imam Ahmad tidak dapat
diwariskan kecuali pewaris menuntutnya. Sedangkan menurut
pengikut madzhab Hanafi Syufah tidak dapat diwariskan
sekalipun tuntutan dari pewaris kecuali dengan keputusan
hakim.
B. Saran
Sebagai
mengerti
satunya

umat

muslim

aturan-aturan
adalah

Syufah.

sudah

dalam
Untuk

sewajarnya

praktik
itu,

kita

harus

muamalah,

salah

marilah

mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

13

kita

mulai

14

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Pilihan,
(Jakarta:Darul Falah, 2002).
Enizar, HADIS EKONOMI, Ed.1 Cet.1. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013)
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafiiyah, (Jakarta: Karya Indah,1986)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT Al-Maarif.Bandung:1988
Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Al Bajuri, (Semarang: Usaha Keluarga t.t)

15

Anda mungkin juga menyukai