Dosen Pengampu :
Dr. Fuad Zein
Disusun Oleh :
AZIZ SETIAWAN
18/437679/PMU/09820
1
Haryono, “Konsep Al Ju’alah dan Model Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-hari”, Al Mashlahah Vol.
5 No. 09, 2017, hlm 644
2
Dimyauddin Djuwaini. 2015. Pengantar Fiqh Muamalah. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hlm 165
3
Afriani dan Ahmad Saepudin, “Implementasi Akad Ju’alah dalam Lembaga Keuangan Syariah”,
EKSISBANK Vol. 2 No. 1 Desember 2018, hlm 60
4
Haryono, Op. Cit, hlm 645
5
Dimyauddin Djuwaini. Loc. Cit.
(reward/’iwadh//ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan.6
Selanjutnya dalam fatwa dewan Syafiah Nasional disebutkan bahwa terdapat dua pihak
yang terlibat dalam akad ju’alah ini, yang pertama yaitu Ja’il ialah pihak yang berjanji akan
memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan. Yang
kedua adalah Maj’ul lah merupakan pihak yang melaksanakan Ju’alah.7
Ulama memberikan beberapa syarat terkait dengan keabsahan akad ju’alah yakni
sebagai berikut:8
A. Orang yang terlibat dalam akad ju’alah, harus memiliki ahliyyah. Al-ja’il (pemilik
sayembara) haruslah orang yang memiliki kemutlakan dalam bertransaksi (baligh, berakal,
rasyid), tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila atau orang safih. Untuk ‘amil
(pelaku), haruslah orang yang memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaan,
sehingga ada manfaat yang bisa dihadirkan.
B. Hadiah, upah (ja’l) yang diperjanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika
upahnya tidak jelas, maka akad ju’alah batal adanya, karena ketidakjelasan kompensasi.
Seperti, barangsiapa menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan
baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan bukanlah barang haram, seperti minuman keras
atau barang ghasab.
C. Manfaat yang akan dikerjakan pelaku (‘amil) haruslah jelas dan diperbolehkan secara
syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktik
sihir, atau perkara haram lainnya. Kaidahnya adalah setiap aset yang boleh dijadikan
sebagai objek transaksi dalam akad ijarah, maka juga diperbolehkan dalam akad ju’alah.
D. Mazhab Malikiyyah menambahkan satu syarat, akad ju’alah tidak boleh dibatasi dengan
jangka waktu. Namun ulama lain mengatakan, diperbolehkan memperkirakan jangka
waktu dengan dengan pekerjaan yang ada. Misalnya, barang siapa mampu menjahitkan
6
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 62/DSN-MUI/XII/2007 Tentang Akad Ju’alah
7
Ibid.
8
Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit., hlm 168-169
baju saya dalam satu hari, maka ia berhak atas hadiah sekian. Jika dalam waktu sehari ia
mampu menyelesaikannya, maka ia berhak mendapat hadiah. Jika tidak, maka ia tidak
mendapatkan apa-apa.
Lebih lanjut dalam Afriani dan Ahmad Saepudin, rukun pengupahan (ju’alah) dibagi
menjadi empat point sebagai berikut :9
A. Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan
waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh (punya barang) maka
baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
B. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan barang
atau orang lain.
C. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara
tersebut).
D. Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan
pekerjaan (menemukan barang).
III. DALIL-DALIL
Agama Islam merupakan agama dengan nilai-nilai universal yang hadir serta
menawarkan keteraturan dan keseimbangan hidup. Hal ini diperkuat dengan peran Al-Qur’an
dan Hadits yang digunakan sebagai sumber rujukan utama dalam setiap kegiatan atau perilaku
manusia. Adapun landasan hukum akad ju’alah terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Beberapa dalil dan hadits yang menjelaskan tentang akad ju’alah diantaranya adalah :
A. Dalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72.10
9
Afriani dan Ahmad Saepudin, Loc. Cit.
10
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk. 2014. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4
Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif), hlm 416
Bahan makanan (seberat) beban unta sudah ma’ruf dikalangan mereka, sedang syariat
umat sebelum kita juga berlaku bagi kita jika tidak ada nash dalam syariat kita yang
menentangnya.
11
Haryono, Op. Cit., hlm 648
dipenuhilah janji pemberian imbalan atas amal yang dilakukan sahabat tersebut dan kemudian
dia kembali lagi bersama kafilah.
Setelah sampai kepada rekannya berkatalah sebagian di antara mereka, Bagilah imbalan
tersebut dengan kami!‟ Maka diapun menjawab, Jangan kau lakukan hal itu sebelum kita
datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang terjadi kemudian baru kita lakukan
apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kepada kita.‟ Lalu menghadaplah mereka kepada
Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang terjadi kepada Nabi SAW. Setelah Nabi
mendengar hal tersebut kemudian Beliau bertanya, Bagaimana kalian tahu bahwa surat al
Fatihah adalah ayat ruqyah? Sungguh tepat sekali apa yang kalian lakukan!” Kemudian Nabi
SAW melanjutkan perkataannya. Sekarang bagilah hasil yang kalian dapatkan dan sertakan
aku dalam pembagian tersebut. Maka saat itu tertawalah Rasulullah SAW dengan hal tersebut.”
IV. PENERAPAN
Penerapan akad ju’alah dalam muamalah sehari-hari sangat beragam dalam berbagai
bidang kehidupan. Berikut beberapa contoh penerapan akad ju’alah yang dapat diterapkan.
Peserta kontes
Peserta kontes
Input Kontes
Peserta kontes
Pemberi 99designs.com
kontes Peserta kontes
Peserta kontes
Mekanisme sederhana kontes di 99designs.com
12
Haryono, Op. Cit., hlm 654
13
https://99designs.com/about, diakses 27 November 2019
D. Penerapan dalam Surat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Implementasi akad ju’alah di prbankan syariah sebenarnya tidak masuk pada usaha
pengerahan dana maupun pada penyaluran dana. Implementasi akad ju’alah hanya terjadi
antara Bank Indonesia sebagai pihak yang memiliki tugas untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter dengan bank syariah sebagai pelaksana jasa keuangan.
Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank
Indonesia Syariah bahwa akad ju’alah ini digunakan dalam Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS).14
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat
berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah
satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah yang menggunakan akad ju’alah. SBIS mempunyai
karakteristik sebagai berikut: 15
1. Satuan unit sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
2. Berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
3. Diterbitkan tanpa warkat (scripless).
4. Dapat diagunkan kepada Bank Indonesia.
5. Tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah, yang bisa
memiliki SBIS ini adalah BUS atau UUS yang bisa memenuhi persyaratan Financing to
Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia membayar
imbalan pada saat jatuh waktu SBIS. Perbankan syariah yang telah memiliki SBIS
menerima imbalan pada saat jatuh tempo dari Bank Indonesia dengan catatan perbankan
syariah yang bersangkutan telah melakukan dan mencapai tujuan yang diharapkan oleh
Bank Indonesia. Apabila perbankan syariah yang bersangkutan tidak mampu mencapai
14
Yadi Janwari. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. (Bandung: Remaja Rosdakarya), hlm 158
15
Khozainul Ulum, “Penyelesaian Utang Impor, Ju’alah dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Perspektif Fatwa DSN-MUI”, JES Vol. 2 No. 2, 2018, hlm 224
tujuan yang diinginkan atau ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam hal pengendalian
moneter berdasarkan prinsip syariah, maka perbankan syariah yang bersangkutan tidak
akan menerima imbalan dari Bank Indonesia.16
16
Ibid
17
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk. Op. Cit., hlm 422
Dengan kata lain, yang dipentingkan dalam ju'alah adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas
waktu penyelesaian ataupun bentuk atau cara mengerjakannya.
Ketiga, pada ji'alah tidak dibenarkan adanya pemberian imbalan upah atau hadiah
sebelum pekerjaan dilaksanakan. Sedangkan dalam ijarah, pemberian upah terlebih dahulu
dibenarkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian, baik sebelum pekerjaan dilaksanakan
maupun ketika pekerjaan sedang berlangsung.
Keempat, tindakan hukum yang dilakukan dalam ji’alah bersifat sukarela. Sehingga apa
yang dijanjikan boleh saja dibatalkan (fasakh) selama pekerjaan belum dimulai tanpa
menimbulkan akibat hukum, sedangkan ijarah merupakan transaksi yang bersifat mengikat
semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Dengan demikian, jika perjanjian tersebut
dibatalkan, maka tindakan itu menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan, salah satu
pihak yang melakukan perjanjian ijarah dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak
yang lain jika perjanjian ijarah tersebut dibatalkan.
Kelima, dari segi ruang lingkupnya, Mazhab Maliki menetapkan kaidah bahwa semua
yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ji'alah boleh menjadi objek dalam transaksi
ijarah, tetapi tidak semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ijarah dibenarkan
pula menjadi objek dalam transaksi ji'alah. dengan kata lain, ruang lingkup ijarah lebih luas
dari pada ruang lingkup ji'alah.18
18
Afriani dan Ahmad Saepudin, Loc. Cit.
DAFTAR PUSTAKA
Afriani, A. Saepudin. 2018. Implementasi Akad Ju’alah dalam Lembaga Keuangan Syariah.
EKSISBANK 2: (1)
Ath-Thayyar, A. M., A. M. Al-Muthlaq, M. Ibrahim. 2014. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif
Djuwaini, Dimyauddin. 2015. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haryono. 2017. Konsep Al Ju’alah dan Model Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-hari. Al
Mashlahah 5: (09)
Janwari, Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: Remaja Rosdakarya
Jauhari, Syofwan. 2016. Ju’alah Dalam Multi Level Marketing: Studi Atas Marketing Plan MLM
PT K-Link Indonesia. Ijtihad; Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial 32: (2)
Majelis Ulama Indonesia. 2007. Dewan Syari’ah Nasional nomor 62 akad Ju’alah
Ulum, Khozainul. 2018. Penyelesaian Utang Impor, Ju’alah dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah
(SBIS) Perspektif Fatwa DSN-MUI. JES 2: (2)
Sumber website :