Anda di halaman 1dari 10

SYUFAH A.

pendahuluan Menurut bahasa, Syufah berarti penggabungan, yakni penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah).1 Dalam kerangka inilah, syufah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan. Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syufah adalah pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Ilustrasi: A dan B meiliki sebuah rumah secara bersama. Tanpa sepengetahuan dan seizin A, B menjual haknya kepada C. Dalam keadaan demikian, A mempunyai hak syufah dengan secara paksa mengambil rumah itu dari C melalui cara ganti rugi sebesar penjualan yang dilakukan B kepada C. Jadi pengambilan harta secara paksa atas harta perkongsian yang telah dijual kepada pihak luar tanpa kerelaan atau persetujuan pihak pihak yang berserikat dengan cara menebus harga jual, itulah yang dimaksud syufah. Dengan demikian syufah tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan (syarikah), atau syufah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi terhadap penjualan milik bersama oleh perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah memperoleh persetujuan atau kerelaan anggota perserikatan
1

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al Fikr, 1983), hlm. 219.

1 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

(syarikah) terlebih dahulu atau karena ketidak sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti hak milik anggota yang menjual miliknya itu. Di sisi lain, anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota pemilikan bersama itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para pemegang hak perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang yang terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syufah. Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syufah atas tiap perserikatan terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual tersebut.2 B. Rukun Syufah Untuk bisa terwujud suatu syufah ada empat unsur yang mesti ada, yaitu: 1. Adanya pihak yang mempunyai hak beli paksa (syaafi). 2. Ada obyek syufah (al masyfuu alaih). 3. Ada orang yang harus menjual (al masyfuu fiih).

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dan Nasai dalam kitab hadis mereka.

2 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

4. Cara melakukan syufah.3 Dengan demikian syufah tidak akan ada bila salah satu dari keempat unsur di atas tidak ada.4 Pada unsur yang pertama, yakni pihak yang berhak membeli secara paksa, disyaratkan mestilah dari anggota yang berserikat atas pemilikan barang yang sudah dijual tersebut. Orang orang yang tidak termasuk sebagai anggota persekutuan atas benda yang sudah dijual tidak berhak sama sekali melakukan syufah. Kalau sekiranya benda yang dimiliki secara bersekutu itu sudah ditentukan bagian masing masing, syufah juga tidak bisa dilakukan, sebab pemilikan bukan lagi sebagai milik bersama. Ketentuan ini didasarkan atas hadis Rasulullah saw yang berbunyi:


Rasulullah sudah menetukan bahwa hak syufah hanya berlaku atas pemilikan sesuatu yang belum dibagi. Apabila sudah dibagi serta hak masing masing pemilik sudah ditentukan, syufah tidak ada lagi 5 Dengan redaksi yang agak berbeda, tapi maksudnya sama, ada riwayat lain yang menyebutkan:

Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathbaah al-Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), h. 193. 4 Ibnu Rusyd,. h. 193.
5

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hanbal.

3 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

Tetangga adalah orang yang paling berhak atas syufah tetangganya. Ia boleh menunggu tetangganya itu bila ia tidak ada ditempat bila memang cara demikian yang bisa dilakukannya. 6 Dua buah riwayat di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hak syufah hanya ada bagi anggota anggota yang masuk dalam perserikatan (syarikah) kepemilikan itu. Orang yang tidak tergabung dalam perserikatan itu tidak berhak atas syufah. Pendapat ini merupakan pendirian jumhur ulama. Akan tetapi, pengikut Imam Hanafi tidak dapat menerima pandangan tersebut. Menurut kelompok ini, hak syufah itu juga dimiliki oleh tetangga atas barang tetangganya. Golongan Hanafiah ini berpendapat bahwa hak syufah itu bertingkat tingkat. Tingkat pertama terdapat pada syafi yang merupakan anggota persekutuan pemilikan yang belum dibagi, kemudian anggota persekutuan yang bagian masing masing telah ditentukan, dan yang terakhir adalah para tetangga.7 Alasan yang dipakai oleh kelompok ini ialah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, yang berbunyi:


Tetangga itu lebih berhak atas rumah tetangganya.


Tetangga itu lebih berhak atas barang barang yang disekelilingnya. Terlepas dari perbedaan tersebut, yang perlu disadari ialah bahwa adanya hak syufah itu bertujuan untuk menjaga dan memelihara ketentraman bersama. Para anggota perserikatan pemilikan hendaknya jangan terganggu ketentramannya dan
6

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik. Drs. Helmi Karim, M.A., Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993, hlm. 6.

4 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

tidak boleh dirugikan hak haknya. Bila sekiranya, dalam kondisi tertentu, penjualan sesuatu hak milik seseorang kepada orang lain dapat mengganggu ketentraman tetangganya sudah tentu adanya hak syufah bagi tetangga itu dapat dipertimbangkan. Unsur syufah yang kedua ialah adanya obyek syufah, yaitu barang yang berhak dibeli secara paksa (al masfuu alaih). Para ulama sepakat akan adanya hak syufah terhadap al masyfuu alaih yang berbentuk benda yang tidak bergerak, seperti tanah, rumah, dan sejenisnya. Alasan yang mereka kemukakan adalah hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menyebutkan:


Rasulullah SAW. telah menetapkan adanya hak syufah atas segala macam perserikatan yang tidak dapat dibagi terhadap rumah atau kebun.8 Penyebutan rumah dan kebun dalam riwayat tersebut dijadikan alasan bahwa kepemilikan bersama itu berlaku atas benda benda sejenis yang tidak dapat dibagi. Akan tetapi pandangan ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa syufah itu bukan hanya bisa terjadi atas barang yang tidak bergerak, tetapi juga berlaku terhadap barang barang bergerak. Penyebutan dua jenis benda di atas bukan merupakan bukti pembatasan atas benda tidak bergerak, tetapi dikaitkan dengan benda yang dimiliki secara bersama. Bila bahaya bisa terjadi pada benda tidak bergerak, hal ini juga bisa terjadi pada barang bergerak. Jika demikian, hak syufah bisa berlaku terhadap benda tidak bergerak maka syufah juga berlaku atas benda bergerak. Denganalasan ini, maka jenis benda apa saja bisa berlaku hak syufah sepanjang adanya pemindahan itu diizinkan atau mengganggu ketentraman anggota perserikatan.
8

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

5 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

Adapun argumen yang mereka pakai yang didasarkan atas riwayat adalah hadis Rasulullah saw yang berbunyi:


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah menetukan bahwa hak syufah itu bisa berlaku atas segala jenis harta.9

: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alihi wa sallam bersabda : Perserikatan


(persero) itu adalah pemilik hak syufah, dan syufah berlaku atas segala sesuatu benda.10 Rukun syufah berikutnya adalah orang yang harus menjual kembali harta syufah kepada anggota syarikah (al masfuu fih). Para ulama sepakat bahwa orang yang harus menjual kembali barang syufah kepada anggota syarikah ialah orang yang menerima pemindahan milik anggota syarikah melalui jual beli atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syuah bagi tetangga. Adapun pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli, diperselisihkan oleh para fuqaha.11 Menurut Hanafiah, syufah hanya terdapat pada pemindahan hak milik melalui jual beli, bukan melalui pemindahan di luar jual beli. Di samping itu ulama Malikiah berpendapat bahwa syufah itu hanya bisa terjadi pada pemindahan hak milik melalui imbalan yang tidak mesti hanya jual beli saja. Hal seperti ini dapat terjadi melalui perdamaian, mahar, diyat, dan lain lain. Pendapat serupa juga
9

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasai, dan Ahmad bin Hanbal. Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi.

10

11

Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathbaah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195

6 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

dikemukakan oleh imam Syafii. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa syufah bisa pula terjadi atas sesuatu pemindahan hak milik, kecuali pewarisan.12 Rukun syufah yang terakhir ialah cara melakukan syufah. Yang perlu ditekankan disini ialah bahwa syufah haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artian bahwa syaafi hendak melakukan syufah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya pemindahan hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syufah tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syufah akan menjadi gugur.13 C. Ukuran Syufah Adapun kadar ukuran syufah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak boleh kurang. Bagi fuqaha yang membolehkan syufah karena pemindahan hak milik bukan melalui jual beli, maka pelaksanaan syufah dilakukan dengan cara memperkirakan nilai harga bagian yang dipindahmilikkan itu. Kalau sesuatu itu terbatas kadarnya karena syara, seperti diyatpelukaan yang

menghilangkan tulang, maka ganti rugi yang harus ditebus sebagai imbalan syufah didasarkan atas imbalan pelukaan tersebut. Persolan yang dikemukakan diatas pada dasarnya adalah pelaksanaan syufah yang syaafinya hanya satu orang, sehingga syufah tidak mesti dibagi, sebab setelah syufah dilakukan maka pemilikan terhadap benda yang di syufah itu akan menjadi milik utuh dari seorang syaafi. Dengan keadaan yang demikian, benda itu akan menjadi milik pribadi secara keseluruhan oleh syaafi itu serta persekutuan pemilikan
12 13

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al Fikr, 1983), hlm. 223. Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathbaah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195

7 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

terhadap benda yang sebelumnya terjadi akan berakhir. Lalu bagaimana jika syaafi itu lebih dari satu orang? Lantas berapa hak mereka atas barang yang di syufah itu? Persoalan ini tidak ada ketentuannya dari nash secara pasti. Menurut pendapat Imam Malik, SyafiI, serta jumhur fuqaha madinah, pembagian benda syufah tersebut didasarkan pada besar kecilnya hak masing masing syaafi terhadap pemilikan bersama itu. Siapa yang memiliki hak terbesar ialah yang yang paling banyak menerima masyfu, dan orang yang paling kecil haknya akan mendapatkan hak masyfu paling sedikit, serta jika hak mereka sama maka akan mendapatkan bagian yang sama banyaknya. Jadi, besarnya bagian para syafi dihitung atas persentase pemilikannya atas suatu perserikatan, bukan didasarkan atas pembagian rata rata para anggota. Fuqaha koufah tidak setuju dengan cara pembagian yang demikian. Bagi kelompok yang disebut terakhir ini, persentase pemilikan tidak bisa menjadi ukuran, karena suatu benda itu dasar pemilikannya adalah bersama atau bersekutu. Syufah hanya bisa terjadi karena hak milik itulah, dan makanya hanya hak miliklah yang harus dijadikan dasar pertimbangan. Dalam hal ini, kelompok ulama ini berpendapat bahwa syufah itu adalah milik bersama diantara mereka yang berserikat dalam emilikan, dan oleh sebab itu pembagiannya haruslah sama rata antar syaafi.14 Suatu hal yang perlu disebutkan disini adalah bahwa adanya syufah ini diatur oleh agama adalah untuk memelihara ketenangan dan keutuhan para pemilik harta bersama itu dari berbagai gangguan, baik gangguan terhadap hak milik atau
14

Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathbaah al Babiy al Halabiy

wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195

8 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

ketenangan para anggota. Dalam hal ini unsur ketentraman dan kedamaian sebagai salah satu asas dalam lapangan muamalah, haruslah benar benar diperhatikan. Berangkat dari sasaran ingin menciptakan ketenangan dalam kelompok perkongsian itu, maka inti pokok dari bagaimana cara pembagian masyfu serta berapa kadar bagian masing masing haruslah dikembalikan kepada kesepakatan masing masing anggota perserikatan atau kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Helmi Karim, M.A., Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993,

9 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathbaah alBabiy al Halabiy wa Awlaidh,1960) Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al Fikr, 1983)

10 Fiqih Ekonomi Tentang Syufah

Anda mungkin juga menyukai