Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta
resesi dan ketidak seimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti
bahwa asumsi di atas salah total, bahkan ada sesuatu yang “tidak beres” dalam
sistem yang kita anut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai Illahiyah yang melandasi
operasional Perbankan dan lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga
“penyuntik darah” pembangunan ini sebagai “sarang-sarang perampok berdasi”
yang meluluh lantahkan sendi-sendi perekonomian bangsa.
Dengan latar belakang inilah, maka seluruh praktik perbankan modern, yang
mulai tumbuh dan berkembang sejak abad ke-16, sistem operasionalnya tidak bisa
lepas dari riba. Akibat terlalu lama dan mendalamnya sistem riba dalam sistem
perbankan ini menyebabkan hal tersebut sangat sukar untuk dipisahkan. Bahkan
telah berakar dan berkarat dalam kerangka pikiran para bankir konvensional bahwa
riba adalah darah dan nadi dari seluruh sistem perbankan.
Sekarang saatnya para Bankir yang masih mengimani Al Qur’an sebagai
pedoman hidupnya dan Hadits sebagai panduan aktivitasnya berperan aktif dalam
memajukan sistem Perbankan Syari’ah. Oleh karena itu, akan sedikit kami ulas
secara singkat tentang Maisir/Judi baik kecil ataupun besar, merupakan faktor
yang dominan atau faktor kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah
haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh
dari untung-untungan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Maisir secara bahasa dan istilah?
2. Sebutkan dalil – dalil yang mengharamkan Maisir?
3. Bagaimana yang dikatakan Maisir dalam bisnis?

1
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memahami pengertian Maisir
2. Untuk mengetahui dalil pelarangan Maysir
3. Untuk memahami praktis bisnis yang mengandung Maysir

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maisir
Kata Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh
sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa
bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-
Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.
Secara bahasa Maisir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat :
Gampang/mudah, orang yang kaya dan wajib. Secara istilah, Maisir adalah setiap
Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi dan
mungkin beruntung. Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada
dalam Mu’amalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung
mungkin rugi. Namun Mu’amalat jual beli ini berbeda dengan Maisir, seorang
pedagang bila mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang dan dengan
barang itu ia bermu’amalat untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia
mendapat kerugian, tapi Maisir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka
mungkin ia rugi atau tidak dapat apapun dan mungkin ia beruntung.
Sebagian orang mengartikan Maisir ini ke dalam bahasa Indonesia dengan
pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai
“suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda
atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara
mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.
Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun
hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan
keuntungan semata (misalnya hanya mencoba-coba) di samping sebagian orang-
orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang
semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan.
Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi
berjudi.

3
Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan
segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk
perjudian adalah haram di dalam Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk
bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi
dan ramalan atau terkaan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.
Agar bisa di kategorikan judi maka harus ada tiga unsur untuk dipenuhi :
1. Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi
2. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan
yang kalah
3. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi
taruhan, sedangkan pihak yang kalah akan kehilangan hartanya.

B. Dalil/ Dasar Hukum Maisir


Allah SWT berfirman :
‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم‬
ِ ‫ش ْي َط‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ َ ‫س ِم ْن‬ ٌ ْ‫َاب َواأل َ ْزالَ ُم ِرج‬
ُ ‫يَا أَيُّهَا ا َّل ِذينَ آ َمنُواْ إِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر َواألَنص‬
ِ‫ص َّد ُك ْم عَن ِذك ِْر ّللا‬ َ ‫ش ْي َطانُ أَن يُوقِ َع بَ ْي َن ُك ُم ا ْلعَد‬
ُ َ‫َاوةَ َوا ْلبَ ْغضَاء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر َوي‬ َّ ‫ ِإنَّ َما يُ ِري ُد ال‬. َ‫ت ُ ْف ِل ُحون‬
َ‫صالَ ِة َف َه ْل أَنت ُم ُّمنتَ ُهون‬
َّ ‫َوع َِن ال‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-
Ma`idah : 90-91)

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary


dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersada :

‫ش ْيء‬ َ َ ‫ام ْركَ فَ ْليَت‬


َ ِ‫صدَّقْ ب‬ ِ َ‫احبِ ِه تَعَا َل أُق‬
ِ ‫ص‬َ ‫َم ْن قَا َل ِل‬

4
Artinya : “Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar
denganmu”,maka hendaknya ia bershodaqoh.”
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian
ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau
pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya maisir/qimar dan ajakan
melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershadaqah.
Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama tentang haramnya
maisir.
Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan
yang diperolehnya, maka dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam
melarang maisir (judi dan semacamnya) sebagaimana ayat berikut:
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi,
katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia.
Tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya…” (QS. Al Baqarah 2:219).
Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Selain judi
itu rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat
berdampak negatif pada semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi,
politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya. Bahkan , pada gilirannya akan
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan
yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka. Karena itu
merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya
untuk menguburkan makna judi.
Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia, adalah
mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baik dan
menarik, atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik,
hingga tampaknya seakan-akan halal. Allah SWT berfirman:
“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu manusia” (QS. Al-An`am: 112)

5
Juga perhatikan firman-Nya:
“Dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka
kerjakan” (QS. Al-An`am: 43)
Rasulullah SAW juga mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu
sebagai, “Surga itu dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan
mereka (setan) dikelilingi oleh sesuatu yang menyenangkan”. (HR. Bukhari –
Muslim).
Al Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi dalam menguraikan
tentang hukum undian diharuskan untuk kembali mengingat beberapa kaidah
syari’at Islam. Kaidah - kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
o Pertama : Kaidah yang tersebut dalam riwayat Imam Muslim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu’anhu : “ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari jual beli gharar. ”Gharar adalah apa yang belum diketahui
diperoleh tidaknya atau apa yang tidak diketahui hakekat dan kadarnya.
o Kedua : Kaidah syari’at yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala : “Hai
orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr maisir berhala mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran khamr dan berjudi itu dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang ; maka berhentilah kamu. ”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan haramnya perbuatan maisir dan
qimar dalam mu’amalat. Maisir adalah tiap mu’amalah yang orang masuk ke
dalamnnya setelah mengeluarkan biaya dengan dua kemungkinan ; dia mungkin
rugi atau mungkin dia beruntung. Qimar menurut sebagian ulama adalah sama
dengan maisir dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat
yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan.

C. Maysir Dalam Bisnis.


Akad judi menurut Dr. Husain Hamid Hisan merupakan akad gharar,
karena masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada

6
waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah yang ia berikan, itu bisa ditentukan
nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia
mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang
ia berikan. Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan mainnya
adalah dengan cara menentukan suatu keputusan dengan pemilihan. Contohnya
adalah undian di mana peserta harus membeli sepotong tiket yang diberi nomor.
Nomor tiket-tiket ini lantas secara acak ditarik dan nomor yang ditarik adalah
nomor pemenang. Pemegang tiket dengan nomor pemenang ini berhak atas hadiah
tertentu.
Judi baik kecil ataupun besar, merupakan faktor yang dominan atau faktor
kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah
merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan. Dan
Pada jaman jahiliah, maysir terdapat dalam dua hal yaitu :
o Dalam permainan dan atau perlombaan.
o Dalam transaksi bisnis/mu'amalat.
Dalam peraturan Bank Indonesia No 7/46/PBI/2005 dalam
penjelasan pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa maysir adalah transaksi yang
mengandung perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi.
Selanjutnya, Syaikh Hisan mengatakan tidak ada seorang pun dari para
mujtahid yang mengatakan bahwa tasharrufaat (pembelanjaan-pembelanjaan)
yang mengandung unsur “hura-hura, menghibur diri, dan menyia-nyiakan waktu”
serta didalamnya tidak ada unsur riba dan grarar merupakan perjudian dan
taruhan. Illat (sebab) keharaman judi bukan itu semua, tetapi illatnya adalah
gharar, karena di dalam judi dan taruhan ada istilah “kemungkinan menang bagi
satu pihak dan kemungkinan kalah bagi pihak lain”.
Mohd Fadzli Yusof, menjelaskan unsur maisir dalam asuransi
konvensional terjadi karena didalamnya terdapat faktor gharar, beliau
mengatakan: “adanya unsur al-maisir (perjudian) akibat adanya
unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang asuransi
jiwa meninggal dunia, sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah
membayar sebagian preminya, maka tertanggungnya akan menerima sejumlah

7
uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya tidak
diberitahukan kepada pemegang polis. Hal inilah yang dipandang sebagai al-
maisir (perjudian) dalam asuransi konvensional”.
Dengan argumentasi yang hampir sama, Syafi`i Antonio mengatakan
bahwa unsur maisir artinya adanya salah satu pihak yang untung namun dilain
pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis
dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing
period, biasanya tahun ketiga (untuk produk tertentu) maka yang bersangkutan
tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil
saja. Pada kesempatan lain Syafi`i Antonio menjelaskan tentang maisir dalam
asuransi konvensional sebagai berikut : Maisir adalah suatu bentuk kesepahaman
antara beberapa pihak, namun ending yang dihasilkan hanya satu atau sebagian
kecil saja yang diuntungkan. Sedangkan maisir (gambling/untung-untungan)
dalam asuransi konvensional terjadi dalam tiga hal:
a) Ketika seorang pemegang polis mendadak kena musibah sehingga
memperoleh hasil klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan
baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan.
b) Sebaliknya jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu,
sementara ia sudah membayar premi secara penua/lunas. Maka
perusahaanlah yang diuntungkan.
c) Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reserving period, maka yang bersangkutan tidak
akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan (cash value)kecuali
sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus.
Macam-macam undian dapat dibagi menjadi tiga bagian:
Satu : Undian Tanpa Syarat Bentuk dan contohnya : Di pusat-pusat
perbelanjaan pasar pameran dan semisalnya sebagai langkah untuk menarik
pengunjung kadang dibagikan kupon undian untuk tiap pengunjung tanpa harus
membeli suatu barang. Kemudian setelah itu dilakukan penarikan undian yang
dapat disaksikan oleh seluruh pengunjung. Hukumnya : Bentuk undian yang
seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan

8
halal. Juga tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa
kezhaliman riba gharar penipuan dan selainnya.
Dua : Undian Dengan Syarat Membeli Barang Bentuknya : Undian yang
tidak bisa diikuti kecuali oleh orang membeli barang yang telah ditentukan oleh
penyelenggara undian tersebut. Contohnya : Pada sebagian supermarket telah
diletakkan berbagai hadiah seperti kulkas radio dan lain-lainnya. Siapa yang
membeli barang tertentu atau telah mencapai jumlah tertentu dalam pembelian
maka ia akan mendapatkan kupon untuk ikut undian. Contoh lain : sebagian
perusahaan telah menyiapkan hadiah-hadiah yang menarik seperti Mobil HP Tiket
Biaya Ibadah Haji dan selainnya bagi siapa yang membeli darinya suatu produk
yang terdapat kupon/kartu undian. Kemudian kupon atau kartu undian itu
dimasukkan ke dalam kotak- kotak yang telah disiapkan oleh perusahaan tersebut
di berbagai cabang atau relasinya.
Hukumnya : undian jenis ini tidak lepas dua dari dua keadaan:
Pertama, Harga produk bertambah dengan terselenggaranya undian
berhadiah tersebut. Hukumnya : Haram dan tidak boleh. Karena ada tambahan
harga berarti ia telah mengeluarkan biaya untuk masuk ke dalam suatu mu’amalat
yang mungkin ia untung dan mungkin ia rugi. Dan ini adalah maisir yg
diharamkan dalam syariat Islam.
Kedua, Undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk.
Perusahaan mengadakan undian hanya sekedar melariskan produknya.
Hukumnya: Ada dua pendapat dalam masalah ini : 1. Hukumnya harus dirinci.
Kalau ia membeli barang dengan maksud untuk ikut undian maka ia tergolong
ke dalam maisir/qimar yang diharamkan dalam syariat karena pembelian barang
tersebut adalah sengaja mengeluarkan biaya untuk bisa ikut dalam undian.
Sedang ikut dalam undian tersebut ada dua kemungkinan ; mungkin ia
beruntung dan mungkin ia rugi. Maka inilah yang disebut Maisir/Qimar adapun
kalau dasar maksudnya adalah butuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia
mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam
muámalat adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupun Qimar dalam
bentuk ini. Rincian ini adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (Liqoul Babul

9
Maftuh no.48 soal 1164 dan no.49 soal 1185. Dengan perantara kitab Al-
Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah) Syaikh Sholih bin ‘Abdul ’Aziz Alu Asy-
Syaikh (dalam muhadhoroh beliau yang berjudul “Al Qimar wa Shuwarihil
Muharromah) Lajnah Baitut Tamwil Al-Kuwaiti (Al Fatawa Asyar’iyyah Fi
Masail Al Iqtishodiyah fatwa no.228. Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At-
Tijaiyah At-Taswiqiyah) dan Haiah Fatwa di Bank Dubai Al-Islamy (dalam fatwa
mereka no.102 Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At- Tijaiyah At-Taswiqiyah).
Hukumnya adalah haram secara mutlak. Ini adalah pendapat Syaikh
Abdul’Äziz bin Baz (Fatawa Islamiyah 2/367-368. Dengan perantara kitab Al-
Hawafidz At-Tijaiyah At- Taswiqiyah) dan Al-Lajnah Ad-Da’imah (Fatawa
Islamiyah 2/366-367. Dengan perantara kitab Al- Hawafidz At-Tijaiyah At-
Taswiqiyah) Alasannya karena hal tersebut tidak lepas dari bentuk Qimar/Maisir
dan mengukur maksud pembeli apakah ia memaksudkan barang atau sekedar
ingin ikut undian adalah perkara yang sulit. Tarjih yang kuat dalam masalah ini
adalah pendapat pertama. Karena tidak hanya adanya tambahan harga pada barang
dan dasar maksud pembeli adalah membutuhkan barang tersebut maka ini adalah
mu’amalat yang bersih dari Maisitr/Qimar dan ukuran yang menggugurkan alasan
pendapat kedua. Dan asal dalam mu’amalat adalah boleh dan halal. Wallahu
A’lam.
Tiga : Undian dengan mengeluarkan biaya. Bentuknya : Undian yang bisa
diikut tiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut atau
mengeluarkan biaya untuk bisa mengikuti undian tersebut dengan mengeluarkan
biaya. Contohnya : Mengirim kupon/kartu undian ketempat pengundian dengan
menggunakan perangko pos, tentunya mengirim dengan perangko mengeluarkan
biaya sesuai dengan harga perangkonya. Contoh Lain : Ikut undian dengan
mengirim SMS kelayanan telekomunikasi tertentu baik dengan harga wajar
maupun dengan harga yang telah ditentukan. Contoh lain : Pada sebagian tutup
minuman tertera nomor yang bisa dikirim ke layanan tertentu dengan
menggunakan SMS kemudian diundi untuk mendapatkan hadiah yang telah
ditentukan.

10
D. Penerapan Qanun Jinayat (Maisir)
UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU
PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 –
26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD yang merupakan
peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.
Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh
pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama
Islam. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan
Qanun PNAD. Qanun PNAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari
wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan
Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun. Selain
undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang lain tentang
pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir sekali disahkan yaitu
UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam pasal 125 ayat (1)
undang-undang ini diatur bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi
aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal
al-syakhshiyyah (hukum keluarga), mu’amalah(hukum perdata), jinayah (hukum
pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan
Islam.
Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk pertama
kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama hingga di
luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang sebelumnya
tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga kasus-kasus pidana
(jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli; permodalan; bagi hasil pertanian;
pendirian perusahaan; pinjam meminjam; penyitaan properti untuk membayar
hutang; hipotek; pembukaan lahan; pertambangan; pendapatan; perbankan;
perburuhan; dan bermacam-macam bentuk infaq dan sedekah.
Pelanggaran pidana dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran hudud
meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri, merampok, mengkonsumsi
minuman keras, kemurtadan dan pemberontakan, adalah pelanggaran yang

11
hukumannya ditetapkan dalam Alquran. Qishash diyat berhubungan dengan
masalah pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga
korban. Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran di luar hudud dan qishash, yaitu
kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam Alquran, karena itu
tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk perjudian (maisir),
penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak berpuasa dalam bulan Ramadan
dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga dapat termasuk pelanggaran yang
mengganggu ketertiban umum atau merusak kepentingan umum seperti
pelanggaran lalu lintas.
Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat ini merupakan hasil revisi
terhadap Qanun Jinayat yang telah disahkan dan diberlakukan sejak tanggal 15
Juli 2003. Qanun–Qanun dimaksud adalah Qanun nomor 12, 13, dan 14, masing-
masing tentang khamar, maisir, dan khalwat. Kenapa Qanun ini perlu direvisi dan
disempurnakan? Jawabannya dapat disimak dalam konsideran menimbang huruf a
dan b Qanun tentang Hukum Jinayat berikut ini:
1. bahwa untuk kesempurnaan hukum material yang terkandung
dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12/ 2003
tentang Khamar, Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13/
2003 tentang Maisir, dan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 14/ 2003 tentang Khalwat serta pelanggaran Syari’at Islam lainnya,
perlu adanya suatu pengaturan secara menyeluruh tentang Hukum Jinayat;
2. bahwa untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan dan
penegakan nilai-nilai Syari’at Islam, sesuai dengan Undangundang Nomor
44/ 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-
undang Nomor 11/ 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka dipandang
perlu untuk melakukan penyempurnaan hukum material terhadap Qanun.
Kutipan di atas mengilustrasikan bahwa ada 2 (dua) alasan dilakukan
revisi terhadap Qanun ini. Pertama, untuk menyempurnakan kekurangan hukum
material dalam Qanun nomor 12, 13, 14, dan pelanggaran syari’at Islam lainnya.
Di antaranya adalah;

12
 Kekaburan beberapa pengertian yang terkandung
dalam Qanun sebelumnya;
 Belum adanya pengaturan tentang pengertian anak dan perlindungan anak;
 Belum ada logika yang jelas dan konsisten tentang rasio/perbandingan
antara hukuman cambuk, penjara, dan denda;
 Batas hukuman maksimal dan minimal yang diancam kepada pelanggar
terlalu ringan. Ditambah belum adanya hukuman cambuk bagi pelindung,
fasilitator, dan pembantu terjadinya tindak pidana;
 Belum ada hukum acara Jinayat yang meliputi penahanan, prosedur
pelaksanaan hukum cambuk, dan perlu dimasukkannya pengaturan tentang
hubungan lembaga adat dan Mahkamah Syar’iyah;
 Pengaturan terhadap tindak pidana yang belum diatur seperti ikhtilat,
musahaqah, liwat, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan lain-lain; Bentuk
hukuman cambuk yang dipandang oleh sebagian kalangan melanggar
ketententuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
dan HAM;
 Masalah non muslim atau tentera yang melakukan
pelanggaran Qanun atau melakukan perbuatan pidana bersama-sama
dengan orang Islam.
Kedua, disesuaikan dengan undang-undang Nomor 11/ 2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang salah satu isinya adalah memberikan wewenang yang
lebih luas kepada Aceh dalam penyusunan dan pelaksanaan Hukum Jinayat Aceh.
Tentu saja, tetap dalam kerangka sistem hukum dan peradilan nasional. Izin
dimaksud diberikan kepada Aceh (Pemerintah Aceh) untuk merumuskan atau
menuliskan peraturan perundang-undangan dalam bentuk hukum positif. Izin
menulis peraturan perundang-undangan tersebut meliputi baik hukum materil
maupun hukum formil. Sehingga, dengan disahkannya Undang-undang Nomor
11/2006 ini, maka wewenang dan landasan yuridis pelaksanaan Syari’at Islam di
Aceh semakin kuat, luas, dan tegas.
Berdasarkan beberapa masalah dan kekurangan yang terkandung
dalam Qanun–Qanunsebelumnya, maka dipandang penting untuk segera

13
melakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap Qanun dimaksud. Dalam
melakukan revisi terhadap Qanun ini berpijak pada prinsip-prinsip berikut:
Pertama, ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan itu harus dijaga dan
diupayakan sedemikian rupa agar tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, yang dalam penafsiran dan pemahamannya akan berpegang pada tiga
prinsip utama;
1. dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh
secara khusus atau dunia Melayu Indonesia pada umumnya;
2. akan diupayakan untuk selalu berorientasi ke masa depan, guna memenuhi
kebutuhan masyarakat Indonesia yang sedang membangun di awal abad
XXI miladiah;
3. guna melengkapi dua prinsip di atas dipedomani prinsip yang ketiga
yaitu; al-muhafazah bi al-qadim al-salih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah,
yang maknanya ”tetap menggunakan ketentuan-ketentuan lama (mazhab)
yang masih bagus (relevan) serta berusaha mencari dan merumuskan
ketentuan baru yang lebih baik dan lebih unggul.”
Ketiga prinsip yang dikemukakan di atas sangat urgen, terutama
mengingat bahwa penerapan Syari’at Islam di Aceh masih dalam kerangka negara
kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini membutuhkan terobosan baru karena
belum memiliki model yang secara simplistis dapat dijadikan rujukan. Karena di
dalam lintasan sejarah umat Islam dunia, pelaksanaan Syari’at Islam dalam
perspektif ketatanegaraan selalu dalam koridor negara ”khalifah”. Dari segi
waktu dan situasi, selalu dalam suasana belum adanya pengaruh imperialisme
epistemologi, dan budaya Barat yang signifikan. Dengan demikian, pelaksanaan
Syari’at Islam di era sekarang, khususnya di Aceh masih dalam kerangka nation
state (negara bangsa). Hal ini merupakan fenomena baru yang muncul di dunia
Islam pasca perang dunia II.

E. Penyelesaian Perkara Jinayah


Bagi masyarakat Islam melaksanakan Syari’at Islam secara kaffah baik dalam
kehidupan pribadi atau masyarakat adalah perintah Allah. Karenanya

14
melaksanakan Syari’at Islam merupakan kewajiban suci yang harus diupayakan
dan diperjuangkan sebagai penyempurnaan iman dan tunduk kepada hukum
Allah.
Dalam proses penyelesaian perkara jinayah, meskipun baru terbatas pada
maisir, khamar dan khalwat, adanya kekhawatiran akan adanya permasalahan
dalam pelaksanaannya masih belum terbukti. Hal ini lebih disebabkan karena
penegakan Syari’at Islam memberikan rasa kepuasan dan keadilan dengan hukum
yang sesuai dengan keimanannya, dan keadilan karena dipandang hukuman yang
diberikan sepadan dengan kesalahannya. Bahkan penerapan hukum sangat
mempengaruhi secara nyata perasaan hukum, kepuasan hukum manfaat hukum,
kebutuhan atau keadilan hukum secara individual dan sosial. Adanya fakta historis
bahwa keinginan untuk melaksanakan akan Syari’at Islam yang sekarang berlaku
di Aceh, merupakan buah perjuangan yang telah sekian lama diperjuangkan, dan
ketika dimungkinkan untuk ditegakkan memberikan rasa kepuasan dan keadilan
bagi hukum yang dicita-citakan.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan Bab-bab sebelumnya, dapat diperoleh pemahaman
yaitu , Maisir adalah setiap Mu’amalah yang di dalamnya diisyaratkan adanya
sesuatu (berupa lotere) yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak yang
menang sedangkan pihak lain dirugikan.
Dasar hukum dalam islam mengenai pembahasan maisir yaitu:
Allah SWT berfirman :

َ ‫س ِم ْن‬
‫ع َم ِل‬ ٌ ْ‫اب َواأل َ ْزالَ ُم ِرج‬
ُ ‫ص‬ َ ‫ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر َواألَن‬ ‫ِين آ َمنُواْ ِإنَّ َما‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذ‬
َ ‫طا ُن أَن يُوقِ َع بَ ْي َن ُك ُم ا ْلعَد‬
َ‫َاوة‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ إِنَّ َما يُ ِري ُد ال‬.‫ون‬َ ‫ت ُ ْف ِل ُح‬ ‫ان فَاجْ ت َ ِنبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم‬ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬َّ ‫ال‬
‫صالَ ِة فَ َه ْل أَنتُم‬ ُ َ‫ضاء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر َوي‬
َّ ‫ص َّد ُك ْم عَن ِذك ِْر ّللاِ َوع َِن ال‬ َ ‫َوا ْلبَ ْغ‬
َ ‫ُّمنت َ ُه‬
‫ون‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah
dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

B.Saran
Apabila dalam penyusunan makalah ini ada yang kurang berkenan di hati
pembaca, penulis meminta maaf. Penulis mohon kritikan dan saran yang bersifat
membangun, guna untuk menyempurnakan makalah-makalah selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers

Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik Kontemporer. Bogor: Ghalia Indo

Sabiq Sayyid. 2009. Fikih Sunnah 5. Jakarta: Cakrawala Publishing

M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Keuangan


Syari’ah, Yogyakarta: Logung Terbitan 2009.

M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat),


Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet-2.

17

Anda mungkin juga menyukai