Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya
menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia
ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk
membuat sebuah makalah yang berjudul tentang “syirkah” guna
untuk  memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada
zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan
sistem syirkah atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat
yang belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah
dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyârakah, al-mudhârabah,
al-muzâra’ah dan al-musâqah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai al-musyârakah saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang
lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-
musyârakah dan al-mudhârabah, sedangkan al- muzâra’ah dan al-musâqah di
pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah
yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dari syirkah?
2. Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3. Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?

C. Tujuan
1. Memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.
2. Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3. Memberikan informasi tentang rukun dan syarat dari syirkah.
BAB II
PEMBAHASAN
SRIRKAH, MUDHARABAH DAN WAKALAH
I. SRIRKAH
A. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
‫اإلختالط أى خلط أحد المالين باآلخر بحيث اليمتزان عن بعضهما‬
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta
lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya1.
Syirkah  adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung
bersama.2
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama
1. menurut Hanafiah
‫الشركة هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح‬
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua
orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2. Menurut Malikiyah
‫هي اذن فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى مال‬
‫لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما‬

1 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 183

2 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, (Cet. I; Jakarta:


Gema Insani, 2001), h. 90
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya,
namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.3
3. menurut syafi’iyah
‫ عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع‬:‫وفي الشرع‬
Syirkah  menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas
suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4. menurut Hanabilah
‫الشركة هي اإلجتماع في استحقاق أو تصرف‬
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas
hak atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai
pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing
dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada
perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di
tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang  bekerja
sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Termasuk dalam golongan musyârakah  adalah semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud. 4

B. Hukum Syirkah

3 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, h. 183

4  H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), h.
51
Syirkah   hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-
Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami
sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
ِ ‫ْض إِاَّل الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
٢٤﴿ .‫ت َوقَلِي ٌل َّما هُ ْم‬ ُ ‫﴾ َوإِ َّن َكثِيراً ِّم ْن ْال ُخلَطَاء لَيَ ْب ِغي بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَى بَع‬
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:
َ ِ‫﴾فَإِن َكانُ َو ْا أَ ْكثَ َر ِمن َذل‬
ِ ُ‫ك فَهُ ْم ُش َر َكاء فِي الثُّل‬
١٢﴿ ‫ث‬
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’
ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat
Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
‫ أنا ثالث الشريكين مالم يخن‬:‫ ان هللا عزوجل يقول‬:‫قال‬. ‫م‬.‫عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص‬
‫أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما‬
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).5
3. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan
legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa
elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa

5 Musthofa Dayb al-Baghâ, at Tadzhîb Fî Adillah Matni al Ghôyah wa al-


taqrîb, (Malang: Ma’had Sunan Ampel al Ali, 2013), h. 135
kegitan syirkah  dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya
telah jelas dan tegas.6
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum
muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.7
C. Rukun dan Syarat Syirkah 
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu
berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama
Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan
penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah
ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan
selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang
berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi
termasuk syarat.8
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah
dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.9
1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat
diterima sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu
pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek
akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan

6 Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Edisi I (Cet. I;


Yogyakarta: Bpfe Yogyakarta, 2005), h. 32

7 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 91

8 Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, Edisi. I, (Cet.
I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 128

9  Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia,


2011), h. 179
rupiah, dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah
dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan;
a) modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli
untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan
melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau
perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan
syarat syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i
berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan,
sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya
hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah
satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah
terpenuhi maka syirkah  dinyatakan shahih.10

D. Macam-Macam Syirkah
1. Syirkah Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi
jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini
kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh
menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud
dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis
barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.11

Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:12

10 Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2008), h. 217

11 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006), h. 932

12 Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, h. 181


a. Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam
pemilikan suatu benda secara paksa
b. Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih
untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh
hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat
memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.

Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang


mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah
ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi
dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.13
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil
oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang
keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua
berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2. Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)

Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman
modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual
beli atau lainnya. Bentuk syirkah  seperti inilah yang hendak kami bahas dalam
tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak
menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini,
seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya.
Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

II. MUDHARABAH
A. Pengertian Mudharabah

13 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor: Ghalia


Indonesia, 2012), h. 153
Mudharabah adalah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain
untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian
(perjanjian) antara keduanya sewaktu akad, dibagi dua atau dibagi tiga
seumpamanya.14
Mudharabah juga di definisikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak,

yaitu pihak pertama yang menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi
pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak. Apabila rugi, kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian pengelola. Apabila kerugian
diakibatkan kelalaian pengelola, pengelola bertanggung jawab mengatasinya.15
Rasulillah Saw. telah melakukannya, beliau mengambil modal dari
Siti Khadijah sewaktu beliau berniaga ke Syam. Begitu pula ijma’ sahabat.
B. Hukum Mudharabah
Mudharabah mempunyai landasan dari Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan
qiyas.
Mudharabah hukumnya adalah mubah (boleh), sebagaimana firman Allah
swt :
1. Firman Allah dalam surat al-Muzammil ayat 20
Artinya: “…berkeliaran di muka bumi mencari karunia Allah”
2. Q.S Al-Jumu’ah ayat 10
Artinya: “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu
dimuka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung”.
3. Q.S Al Baqarah, ayat 198
Artinya: Tiada dosa atas kamu sekalian akan mencari kelebihan dari
Tuhanmu. (QS. Al Baqarah ayat 198).
Pada dasarnya ayat-ayat diatas tidak secara langsung menjelaskan atau
melegitimasi akad mudharabah, hanya saja secara maknawi mengandung arti

14 H.Sulaiman Rasjid, FIQIH ISLAM (Hukum fiqih Islam), (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2015), hlm. 299-300
15 Mia Lasmi Wardiah, Dasar-dasar Perbankan, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013) hlm.
95
kegiatan ekonomi melalui mudharabah. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut bisa
dijadikan landasan hukum akad mudharabah. Landasan dari al-Sunnah antara lain
adalah sebagai berikut:
a) Hadis riwayat Imam baihaqi dari Ibnu ‘Abbas:
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas bin Abdul Muthalib jika
memberikan dan ake mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan
agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, maka
yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah
syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. pun, membolehkannya.”
b) Hadits riwayat Ibnu Majjah
“Dari Shuhaib, ra., : Bahwasanya Rasulullah saw, bersabda: “ada tiga
hal yang didalamnya berisi berkah, yaitu: “jual-beli dengan
kontan, menyerahkan permodalan dan mencampur gandum dengan
sya’ir untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”.16
Mudharabah sewaktu-waktu boleh difasakh (dibubarkan) oleh yang punya
modal atau oleh orang yang diserahi pekerjaan itu. Jika salah satu orang dari
mereka meninggal atau gila, maka qiradl itu batal.17

C. Jenis-jenis mudharabah
Secara garis besar mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah
mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam akad mudharabah mutlaqah
pengelola modal di beri keleluasaan dalam mengelola dan menjalankan modal.
Keleluasaan menentukan jenis usaha, termasuk lokasi, dan tujuan usah. Pemilik
modal tidak menentukan jenis usaha yang harus dijalankan oleh pengelola modal.
Sementara dalam akad mudharabah muqayyadah, pemilik modal sudah
menentukan usaha yang harus dijalankan oleh pengelola modal. Oleh karena itu
dia harus menjalankan usaha sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik modal

16 Imam Mustofa, hlm. 129-130.


17 Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1978).
hlm 419-420.
saat akad. Jenis usaha, lokasi, jangka waktu, dantujuan usaha harus sesuai dengan
kesepakatan dan apa yang telah ditentukan oleh pemilik modal.
Ketentuan-ketentuan dalam akad mudharabah. Ada beberapa ketentuan
yang harus dimengerti dan dipatuhi oleh masing-masing pihak yang
melaksanakan akad mudharabah. Ketentuantersebut sebagai berikut:
1) Pada akad mudharabah mutlaqah, pengelola modal tidak diperbolehkan
melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari ketentuan syara’.
2) Pada akad mudharabah muqayyadah, pengelola modal dalam pengelolaan
modal tidak diperbolehkan menjalankan modal diluar usaha yang telah
ditentukan bersama dengan pemilik modal.
3) Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan mengambil atau berhutang
dengan menggunakan uang modal untuk keperluan lain tanpa seizin
pemilik modal.
4) Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan untuk membeli komoditi atau
barang yang harganya lebih tinggi dari modal yang telah di sediakan.
5) Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan mengalihkan modal kepada
orang lain dengan akadmudharabah, atau dengan kata lain mengoper
modal untuk akad mudharabah.
6) Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan mencampur modal dengan
harta miliknya.Pengelola modal hendaknya melaksanakan usaha
sebagaimana mestinya.18
D. Rukun dan Syarat Mudharabah
Akad mudharabah yang sah harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun
mudharabah ada lima, yaitu pemilik modal (sahibul mal), pelaku usaha atau
pengelola modal (mudarib), modal (ra’sul mal), pekerjaan pengelola modal,
(al-‘amal) dan keuntungan (al-ribh). Penggunaan modal pada dasarnya untuk
perdagangan, namun pada praktiknya tidak selalu digunakan untuk bidang
perdagangan, akan tetapi juga ada yang digunakan untuk usaha dalam bidang
jasa.

18 Imam Mustofa, hlm.134-135.


Mudharabah yang sah harus memenuhi syarat. Syarat yang melekat pada
rukunnya. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad. Kedua
belah pihak yang berakad, pemilik modal (sahibul mal) dan pengelola modal
(mudarib) harus cakap bertindak atau cakap hukum. Berakal dan baligh, dalam
akad mudharabah kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan harus
muslim.
Kedua, syarat yang terkait dengan modal adalah sebagai berikut:

a. Modal harus berupa uang atau mata uang yang berlaku di pasaran.
Menurut mayoritas ulama modal dalam mudharabah tidak boleh berupa
barang, baik bergerak maupun tidak.
b. Modal harus jelas jumlah dan nilainya. Ketidakjelasan modal akan
berakibat pada ketidakjelasan keuntungan, sementara kejelasan modal
merupakan syarat sah mudharabah.
c. Modal harus berupa uang cash, buka piutang. Berdasarkan syarat ini,
maka mudharabah dengan modal berupa tanggungan utang pengelola
modal kepada pemilik modal.
d. Modal harus ada pada saat dilaksanakannya akad mudharabah.
e. Modal harus diserahkan kepada pihak pengelola modal atau pengelola
usaha (mudarib), bila modal tidak diserahkan maka akad mudharabah
rusak.
Persyaratan yang terkait dengan keuntungan atau laba dalam akad
mudharabah adalah sebagai berikut:
a. Jumlah keuntungan harus jelas. Selain itu, proporsi pembagian hasil antara
pemilik modal dan pengelola modal harus jelas, karena
dalam mudharabah yang menjadi ma’qud alaih atau obyek akad adalah
laba atau keuntungan, bila keuntungan atau pembagiannya tidak jelas
maka akad diangap rusak. Proporsi pembagian hasil misalnya 50:50,
60:40, 65:35 dan seterusnya.
b. Sebagai tambahan untuk syarat pada poin satu di atas, disyaratkan juga
bahwa proporsi atau presentase pembagian hasil dihitung hanya dari
keuntungan, tidak termasuk modal.
c. Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan presentase dari jumlah
modal yang diberikan sahibul mal. Penghitungan bagi hasil harus
berdasarkan keuntungan yang didapat.
d. Tidak boleh menentukan jumlah tertentu untuk pembagian hasil, misalnya
Rp. 1.000.000, Rp. 5.000.000 dan seterusnya. Karena keuntungan atau
hasil yang akan diperoleh belum diketahui jumlahnya. Oleh karena itu,
maka pembagian hasil berdasarkan presentase, bukan berdasarkan jumlah
tertentu.

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang
usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut
berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang
keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah
di laksanakan. Mengenai landasan hukum tentang syirkah ini terdapat dalam al-
qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan
penerimaan (ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai syaratnya
ada tiga yaitu, pertama, ucapan: berakad dianggap sah jika diucapkan secara
verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan. Kedua, pihak
yang berkontrak: disyaratkan mitra harus kompeten dalam memberikan atau
diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak (dana dan kerja): modal
yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang bernilai sama. Para ulama
menyepakati hal ini.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk
dan syirkah ‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan
ada pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm.
Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta:
Gema Insani, 2001.
Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1.
Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan Shidiq, Sapiudin. Fiqh Muamalat.
Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010.
Al-baghâ, Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî adillah Matan al-Ghôyah wa al-taqrîb. Cet. 1.
Malang: Ma’had Sunan Ampel al-Ali Uin Maulana Malik Ibrahim, 2013.
Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012.
Sadique, Muhammad Abdurrahman. Essentials of Mushârakah and Mudhârabah. Edisi
1. Internasional islamic University Malaysia: IIUM Press, 2009.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.

Anda mungkin juga menyukai